Sudah
seminggu aku berada di sekolah baruku. Aku masih bersama Luke, Calum, Ashton
dan Michael. Aku belum mendapatkan teman selain mereka. Ada sih beberapa anak cewek
yang mencoba mendekatiku. Mungkin mereka penasaran mengapa aku bisa akrab
dengan empat pria terkenal di sekolah ini.
“Hei! Kau Aleisha bukan?”
Aku menoleh dan mendapati gadis
berambut merah menatapku dengan tatapan yang tidak ramah. Aku mulai was-was.
Namanya Laura. Dia adalah teman kelasku yang sikapnya kurang baik. Tentu saja
aku tidak ingin bermasalah dengannya.
“Iya, memangnya kenapa?” Tanyaku.
Laura menatapku dengan tajam.
“Sebaiknya kau jauhi Luke karena dia adalah milikku!” Ancamnya.
Tuh kan, semuanya karena aku
berteman dengan Luke. Aku bosan mendengar itu semua. Bisakah mereka menerima
keadaanku bersama mereka? Aku tidak mempunyai teman disini selain mereka dan
aku sudah cocok dengan mereka. Tidak mungkin aku meninggalkan mereka hanya
karena ancaman itu.
“Apa hak-mu melarangku menjauhi
Luke?” Tanyaku.
Laura tidak langsung menjawab. Gadis
itu memerhatikan penampilanku dari atas sampai bawah. “Begini gadis yang dekat
dengan Luke? Hueek! Apa kau menyantet Luke? Asal kau tau, gadis-gadis yang
pernah dekat dengan Luke adalah gadis yang cantik, bukan gadis sepertimu! Ngaca
dong!” Ucapnya lalu pergi meninggalkanku.
Aku menahan nafas melihat kepergian
Laura. Betapa jahatnya dia. Dia tidak mempunyai hati dan tega mengejekku
seperti itu. Aku tau aku tidak cantik, aku jelek. Tapi aku paling tidak suka
membanding-bandingkan orang dengan penampilan. Bukan hanya Laura saja yang
tidak menyukaiku, tapi banyak sekali anak-anak disini yang tidak menyukaiku
tapi mereka menyimpannya saja dan tidak mau ngomong langsung padaku seperti
Laura.
“Alesh!” Teriak Michael.
Aku membalikkan badan dan menatapnya
dengan kesal. “Jangan panggil aku Alesh! Namaku Aleisha atau Leish.” Ucapku.
Michael menggaruk-garukkan
rambutnya. “Seminggu kita berteman dan kau belum melihat kami latihan band.
Bagaimana sepulang sekolah kau ke markas kami? Letaknya tidak jauh dari
rumahku.” Ucapnya.
Ajakan yang menggiurkan. Selama ini
aku tidak pernah melihat penampilan band secara langsung. Biasanya aku
menontonnya di youtube. Aku tersenyum girang. Lagi-lagi sikap idiot-ku kambuh.
Bel masuk berbunyi. Kami pun masuk ke dalam kelas. Kulihat Luke sudah duduk
manis disana. Ah, Luke. Sampai saat ini aku belum berani menyimpulkan kalau aku
menyukainya. Tapi sungguh aku takut jika aku benar-benar jatuh cinta padanya
maka semuanya akan bertambah buruk. Akan banyak anak-anak yang membenciku,
bahkan mungkin bakal ngaruh pada Luke dan merusak persahabatan kami.
“Apa kita tidak mencari makan dulu?
Aku sangat lapar.” Ucapku jujur ketika bel pulang berbunyi.
Seperti biasa. Aku selalu keluar
bersama Luke dan Michael lalu menunggu Calum dan Ashton diparkiran atau mereka
yang menunggu kami. Michael tertawa menatapku yang memang sangat kelaparan.
“Kau Leish..Aku ingin mencubit
pipi-mu yang besar itu..” Ucap Michael.
Aku tertawa.
“Tenang saja Leish, di rumah Mike
ada banyak sekali makanan. Ngomong-ngomong pizza Mike masih banyak di kulkas
dan nanti kau boleh menghabiskannya sampai kau kenyang.” Ucap Calum.
Kulihat Michael melotot mendengar
ucapan Calum. Michael sangat menyayangi pizza dan jika aku datang pada saat dia
membawa pizza, Michael langsung berlari menjauhiku agar pizza-nya tidak aku
ambil karena pernah sekali aku mengambil pizza-nya dan itu sukses membuat
Michael menangis.
“Kau tidak kasihan pada Leish? Dia
sangat kelaparan. Aku takut kalau-kalau badan Leish menjadi kurus.” Ucap
Ashton.
“Oke! Kali ini aku berbaik hati
padanya.” Ucap Michael.
Diantara kami berlima, Luke yang
paling irit bicara. Sudah aku katakan sejak awal. Luke anaknya asli pendiam dan
jika melihat tingkah teman-temannya yang aneh, Luke hanya tersenyum saja tanpa
harus tertawa. Dia seperti… memiliki masalah yang serius. Luke belum pernah
menceritakan tentang hidupnya pada kami semua. Mungkin Luke lebih ingin
mememdamnya sendiri.
Setiba di rumah Michael, Michael
membawakanku banyak sekali makanan. Satu diantaranya adalah pizza. Michael
tampak sedih dan tidak rela melihat aku yang langsung merebut pizza-nya dan
memakannya dengan cepat. Mungkin dipikiran Michael, dia kasihan melihat
pizza-nya yang dimakan tanpa perasaan olehku.
“Mimpi apa aku bisa mendapatkan
teman seperti Aleisha.” Ucap Michael.
“Benar tuh. Tapi dia sangat ceria.
Dia sama sekali tidak pernah menampakkan wajah sedihnya. Dia terlalu bersemangat
menjalani hidupnya dan membuat orang-orang disekitarnya tertawa karena
tingkahnya yang lucu.” Ucap Calum.
Aku menatap Michael dan Calum yang
tengah membicarakanku. “Untuk apa bersedih jika masih banyak hal yang bisa
membuatmu tertawa?” Tanyaku.
“Ale benar. Kau benar-benar gadis
ceria yang sangat hebat. Demi Tuhan aku ingin sekali mendapatkan pacar seperti
dirimu.” Ucap Ashton.
Tiba-tiba aku teringat sesuatu.
“Menurut kalian, apakah aku ini jelek?” Tanyaku.
Semuanya menatapku. Entah apa yang ada
dipikiran mereka. Mungkin mereka mengira aku anaknya tidak percaya diri dengan
penampilan yang aku miliki. Tiba-tiba Michael membuka suaranya.
“No..
No.. Kau sangat cantik, sungguh.” Ucap Michael.
Andaikan saja Luke yang mengatakan
seperti itu. Tapi kulihat Luke tampak diam dan sibuk dengan pikirannya. Jika
aku benar-benar teman Luke, pasti Luke mau menceritakan masalahnya padaku.
Sayangnya untuk saat ini dia hanya ingin sendirian menghadapinya.
Setelah semuanya kenyang, kami pergi
ke tempat band yang Michael masuk. Letaknya tidak jauh dari rumah Michael. Aku
tersenyum saat masuk ke dalamnya dan menemukan berbagai alat musik disana.
Keren. Rasanya seperti mimpi berada di tempat ini.
“Keren! Aku boleh kan mencoba gitar
kalian?” Ucapku semangat lalu menemukan gitar biru yang tergeletak manis di
tempatnya. Lalu aku mengambilnya dan mencoba memainkannya.
“Ini keren. Aku bisa memainkannya
dengan mudah.” Ucapku walau nada yang aku bentuk tidak beratura
“Coba deh Luk kau contohkan pada
Leish cara bermain gitar yang benar.” Ucap Michael.
Aku menatap miris ke arah Michael
lalu beralih menatap Luke. Kemudian aku melihat Luke mulai menggerakkan
jari-jarinya. Aku menahan nafasku. Bisa-bisa aku mati di tempat saat ini juga.
Aku ingin mengalihkan pandang ke arah lain tetapi rasanya tidak bisa. Tapi aku
takut menatap Luke. Luke memainkan instrument lagu Green Day yang berjudul
Boulevard of Broken Dreams dengan tepat tanpa adanya kesalahan sedikitpun. Demi
Tuhan, aku heran mengapa ada cowok seperti Luke.
“Hei.” Ucap Luke menyadarkanku.
Ternyata Luke sudah selesai
memainkannya sementara aku masih melongo menatapnya. Cepat-cepat aku menunduk.
Tadi itu benar-benar membuatku seperti terbang ke angkasa. Luke benar-benar
membuatku kagum dan itu menguatkanku bahwa aku memang jatuh cinta pada Luke.
Aku tersenyum miris. Tidak. Aku tidak boleh jatuh cinta pada Luke.
“Eh, tadi kau sangat hebat.” Ucapku
gugup.
Luke menatapku dan aku tidak berani
membalas tatapannya. Untunglah Ashton yang menyelamatkanku. Dia meminta pada
teman-temannya untuk bersiap-siap latihan. Kulihat Calum mengambil bass-nya,
Michael mengambil gitarnya dan Ashton yang sudah siap dengan drumnya.
“One..
Two.. Three.. Go!” Teriak Ashton dengan semangat.
***
“Lesih!”
Aku membalikkan badan dan tersenyum
melihat Luke. Luke berusaha men-sejajarkan langkahnya dengan langkahku. Tadi
itu sangat menyenangkan. Mereka benar-benar hebat. Suara mereka bagus-bagus
semua. Beda dengan band-band yang pernah aku kenal. Mereka hanya mengandalkan
satu vokalis saja sedangkan 5 Seconds of Summer tidak.
“Hai Luk, tadi itu keren. I love your voice.” Ucapku.
Sudah hampir malam dan sebaiknya aku
pulang saja. Aku ingin pulang sendiri karena Calum, Ashton dan Luke tidak mau
pulang dulu. Aku tidak enak dengan mereka maka aku putuskan untuk pulang
sendiri. Tapi Luke menyusulku dan itu membuat hatiku berbunga-bunga.
“Kau mau pulang? Kenapa kabur? Nanti
kalau kau kenapa-napa gimana? Sudah mau malam.” Ucap Luke penuh perhatian.
Astaga makhluk apakah yang aku tatap
sekarang? Seharusnya aku menyesal karena bertemu Luke. Jika aku tidak bertemu
Luke, maka aku tidak akan merasa seperti ini. Aku takut terlalu sering
memikirkan Luke dan mengaku kalau aku jatuh cinta padanya. Luke adalah temanku
dan aku tidak ingin jatuh cinta dengan temanku sendiri.
“I’m
fine. Sebaiknya kau kembali saja ke rumah Michael.” Ucapku.
Luke terdiam sesaat. “Bagaimana
kalau kita pergi ke taman kota? Ada banyak permainan dan… tentunya makanan
disana.” Usulnya.
Aku ragu apakah harus menyetujui
ajakan Luke. Tapi cowok itu malah menarik tanganku dan mengajakku kembali ke
rumah Michael untuk mengambil motornya. Jantungku berdebar-debar merasakan
genggaman tangan Luke yang bukannya membuat hangat melainkan membuat tanganku
dingin saking gugupnya.
“Eh, Michael dan lainnya ikut kan?”
Tanyaku memastikan.
“No.
Aku malas mengajak mereka. Malam ini untuk kita berdua saja.” Jawab Luke.
Pipiku memerah mendengar ucapannya. Malam ini untuk kita berdua saja. Berasa
aku menjadi orang spesial saja. Akhirnya aku nurut saja karena tidak ingin
membuang kesempatan besar ini. Lagipula tidak ada salahnya kan keluar malam
bersama Luke? Wah pasti orang-orang di rumah penasaran dan curiga padaku
jangan-jangan aku sudah punya pacar lagi.
Setiba di taman kota yang mulai
ramai, kami berdua turun. Aku mencium bau makanan dan itu langsung membuat
perutku bunyi. Aku tersenyum miris. Bisakah aku menahan rasa laparku atau aku
berharap aku tidak akan merasakan lapar lagi. Aku sudah lelah mencoba untuk
diet tapi gagal-gagal saja.
Luke menarik tanganku dan mengajakku
pergi ke tempat berupa sebuah jembatan yang di bawahnya ada sungai yang cukup
luas. Tempat yang indah. Kurasa sebelumnya Luke pernah pergi ke tempat ini.
Sebisa mungkin aku tahan rasa laparku dan membiarkan Luke melakukan apa yang
ingin dia lakukan.
“Tempat yang indah. Masih sama
seperti tahun-tahun sebelumnya.” Ucap Luke.
Aku menatap Luke penasaran.
Sepertinya tempat ini merupakan salah satu tempat kenangan Luke. Apakah bersama
mantannya? Aku yakin sebelumnya Luke pernah pacaran dan mempunyai banyak
kenangan-kenangan yang sulit untuk dilupakan. Tapi untuk apa Luke mengajakku
mendatangi tempat ini? Kurasa Luke hanya ingin sendirian.
“Luk, ng..” Ucapku ragu.
“What’s
wrong? Apa kau lapar?” Tanya Luke.
“Bu.. Bukan.” Jawabku gugup.
Luke tertawa lalu dia mengacak-acak
rambutku. Anehnya aku malas membalas perbuatannya dan membiarkan Luke
mengacak-acak rambutku. Dipikiran Luke mengenaiku, pasti isinya makan semua.
Bagi Luke, aku itu identik dengan makanan.
“Kurasa sudah cukup berada di tempat
ini. Ayo kita cari makanan!” Ucap Luke.
Apalah isi otaknya, aku tidak bisa
membaca pikiran Luke. Yang jelas, Luke sedang tidak baik-baik saja. Kami pun
menemukan tempat yang nyaman untuk kami duduki. Aku langsung memesan burger
ukuran besar dan jus alpukat. Sedangkan Luke hanya memesan roti bakar dan air
putih. Hemat sekali dia atau Luke belum lapar?
“Actually,
aku bingung kenapa kau mau mengajakku pergi ke tempat ini. Terutama di jembatan
tadi. Sepertinya ada sesuatu disana.” Ucapku.
Kulihat Luke yang berusaha untuk
tersenyum dan menyembunyikan wajah sedihnya. “Tempat itu adalah kenanganku. Ya
begitulah.” Ucap Luke.
“Kenangan? Wau. Sama siapa? Pasti
sama pacarmu ya?” Tanyaku berharap ucapanku kali ini tidak menyakiti Luke.
“Kau, mengapa suka membicarakan
pacar sih? Kau ingin sekali ya mempunyai seorang pacar.” Ucap Luke.
Aku terkekeh. “Mungkin. Selama ini
aku belum pernah merasa memiliki seorang pacar. Pasti akan sangat bahagia.
Apalagi cowok itu amat baik pada kita. Dan aku membayangkan bagaimana rasanya
dicium oleh orang yang sangat kita cintai.” Ucapku.
Luke tertawa mendengar ucapanku.
“Kau harus jatuh cinta dulu dengan seseorang baru kau bisa mendapatkan pacar.”
Ucapnya.
“Ohya? Percuma aku jatuh cinta. Toh
mereka tidak menyukaiku. Bahkan tidak ada satupun cowok yang mau dekat
denganku, kecuali kalian. Dan aku senang mendapatkan teman seperti kalian.”
Ucapku.
Setelah itu, kami disibukkan oleh
makanan yang kami makan. Aku memakan burger itu tanpa memikirkan orang yang
duduk di sampingku. Cukup sepuluh menit aku memakannya dan aku cukup kenyang,
cukup ya. Aku tidak mau memesan makanan lagi karena takut berat badanku semakin
bertambah.
“Aku heran deh. Kenapa sih mereka
menilai seseorang dari penampilan? Mereka mengejekku karena aku jelek makanya
tidak ada satupun cowok yang mau mendekatiku. Di tambah lagi badanku yang rrrr
tidak bisa memikat hati cowok.” Ucapku.
Tiba-tiba saja Luke menyentuh
dagu-ku dan itu sukses membuatku ingin meledak. Luke juga menatapku dengan
lekat. Apa maksudnya semua ini? Luke please,
jangan melakukan hal-hal yang membuatku terus memikirkanku. Semakin lama aku
semakin takut dengan perasaan yang aku rasakan. Aku takut perasaan ini akan
semakin kuat karena sama saja itu membunuhku.
“Kau cantik. Mereka yang salah. Aku
menilai seseorang bukan karena paras wajahnya. Justru kau adalah gadis idaman
lelaki. Kau baik dan lucu.” Ucap Luke.
Aku memejamkan mataku. Berharap yang
aku rasakan ini bukan mimpi. Luke melepaskan tangannya dari daguku kemudian aku
membuka mataku. Aku ingin pulang. Aku tidak tahan berada di tempat ini bersama
Luke.
“Kita pulang saja yuk.” Ucap Luke.
Antara lega dan tidak rela. Aku
ingin berlama-lama di tempat ini bersama Luke. Bahkan aku ingin merasakan
pelukan Luke. Pasti terasa hangat. Lagipula aku ini pendek sedangkan bagiku
Luke adalah raksasa. Tubuhnya sangat tinggi dan aku tidak bisa melihat wajahnya
jika aku tidak berjinjit atau mendongakkan wajahku. Finally, aku sudah siap di motor Luke. Luke melajukan motornya
dengan kecepatan sedang. Angin malam yang terasa sejuk membuatku mengantuk.
Alhasil aku tertidur tepat di punggung Luke.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar