expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Sabtu, 07 Maret 2015

The Missing Star ( Epilog )



Epilog
.

            “HARRY !!!”

            Pemuda itu ambruk seketika setelah menyelesaikan lagunya. Tentu saja banyak orang yang berbondong-bondong. Emma yang tidak menduga akan hal ini langsung berteriak histeris seperti kesurupan. Begitu pula dengan Louis, Niall, Liam dan Zayn. Mereka yang mengira konser ini bakal berakhir seru dan menyenangkan kini menjadi menyedihkan.

            “Kak! Apa kakak bisa mendengar suara Ele?”

            Ele juga ada disana dan gadis itu menangis tersedu-sedu. Louis yang ada di samping Ele menggenggam tangan gadis itu. Beberapa para medis mengecek tubuh Harry dan ternyata mereka menemukan sebuah luka di bagian perut Harry dan darah banyak sekali keluar. Keringat dingin membahasi wajah Harry yang pucat.

            Secepat mungkin mereka membawa Harry ke rumah sakit. Emma yakin sekali Harry masih hidup. Di tengah perjalanan ia masih bisa merasakan denyut nadi Harry. Kabar tak kalah terkejutnya lagi, ada yang menemukan mayat seorang pemuda yang tidak lain adalah Luke! Luke sangat mengenaskan dan diduga dia buhuh diri. Apa kematian Luke ada hubungannya dengan Harry?

            Sesampai di rumah sakit, dokter dibantu dengan perawat mencoba mengembalikan keadaan Harry namun keadaan Harry semakin buruk. Diduga peluru yang mengenai perut Harry sangat beracun dan tidak bisa disembuhkan. Emma dan lainnya tidak bisa berbuat apa-apa. Terlebih saat mereka menyadari bahwa denyut jantung Harry sudah tidak berdetak lagi. Rasanya seperti tahun kemarin di hari yang sama.

            Ya. Emma kehilangan dua lelaki yang sangat dicintainya dan di hari yang sama.

***

            Gitar cokelat yang baginya sangat berharga. Itulah gitar yang digunakan Harry pada saat menyanyikan sebuah lagu di panggung tiga minggu yang lalu. Half a Heart. Mengapa Harry harus meninggalkanya? Mengapa?

            Emma sudah membaca tulisan Harry yang dapat membuat dadanya sesak. Berkat tulisan itu, Emma jadi tau bagaimana kehidupan Harry yang sebenarnya dan kenyataannya sangat bertolak belakang dengan apa yang selama ini ia bayangkan. Ternyata Harry begitu dekat dengan Austin dan mereka adalah sahabat sejati. Emma tidak bisa menahan senyumnya mengingat dua lelaki yang dicintainya adalah sahabat sejati. Dan kenapa ia tidak menyadarinya?

            Tiga minggu sudah Harry meninggalkannya dan apakah ia baik-baik saja? Apakah ia bisa tegar seperti ketika Austin meninggalkannya? Emma menatap gitar itu sambil tersenyum. Ada sebuah lagu yang ia ingin nyanyikan. Lagu yang ia khususkan untuk Harry. Lagu yang menjadi balasan dari lagu yang Harry nyanyikan saat di panggung.

            Senar-senar gitar itu pun berbunyi hingga menghasilkan nada yang indah dan lembut. Emma mencoba untuk tersenyum dan menahan air matanya.

            Shut the door, turn the light off

I wanna be with you, I wanna feel your love

I wanna live inside you

I cannot hide this even though I try



Heart beats harder, time escapes me

Trembling hands touch skin,It makes this harder

And the tears stream down my face



If we could only have this life for one more day

If we could only turn back time
           


            You know I’ll be your life your voice your reason to be

            My love my heart it’s breathing for this

            Moments in time I’ll find the words to say

            Before you leave me today…”



THE END!

The Missing Star ( Part 23 )



Rainy Day
.

            Hari ini hujan. Ele menatap pemandangan di luar jendela dan bisa ia lihat air turun dari langit dengan derasnya. Sejak pagi tadi, hujan tak kunjung reda. Langit memang sedang bersedih dan matahari tidak mampu meredakan tangis langit itu.

            Ele merasa ada sebuah tangan yang menyetuh punggung tangannya. Sebisa mungkin Ele tersenyum tatkala Louis menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca. Langsung saja Louis memeluk tubuh kekasihnya itu. Berharap kekasihnya cukup tegar dan bisa menerima semua ini.

            “Lou.. Aku.. Aku tidak menyangka! Teganya Luke berbuat seperti itu!” Tangis Ele.

            Seminggu yang lalu dan di hari yang sama. Louis memejamkan matanya. Ia ingat kejadian setahun yang lalu. Saat kepergian Austin. Dia sangat kehilangan Austin. Dan sekarang, di hari yang sama pula, ia sudah kehilangan Harry. Louis mengira ini hanyalah sebuah mimpi dan berharap ia terbangun dari tidurnya.

            Lalu bagaimana keadaan Emma? Setaunya, Emma sedang di rawat di rumah sakit dan tidak tau bagaimana kabarnya. Louis berharap gadis itu baik-baik saja. Emma memang begitu rapuh saat ini. Dia sudah kehilangan dua orang yang sangat dicintainya. Yaitu Austin dan Harry.

            Lama Louis memeluk Ele, Louis mengambil sebuah buku yang isinya adalah tulisan Harry. Mungkin dengan buku ini, semuanya akan terungkap. Rasa penasarannya pada Harry dan hubungan Harry dengan Luke, juga Austin. Louis tidak mengerti. Saat Harry menyelesaikan lagunya, tiba-tiba Harry terjatuh dan membuat semua orang panik. Kemudian Louis mendapat kabar bahwa ada penjaga yang menemukan mayat Luke yang mengenaskan. Sepertinya Luke memilih untuk mengakhiri hidupnya. Tapi, kenapa Luke harus membunuh Harry? Kenapa?

            Setelah diselidiki, diam-diam Luke membawa pistol beracun yang bisa membunuh siapa saja. Entah darimana Luke mendapatkan pistol itu dan anehnya Luke sangat pandai menembak. Padahal jarak antara Luke dengan panggung cukup jauh. Juga pistol itu tidak mengeluarkan suara. Polisi menduga setelah Luke menembak Harry dengan pistol itu, Luke membunuh dirinya sendiri dengan pistol itu pula.

            “El, kau siap membacanya?” Tanya Louis.

            Ele hanya mengangguk pelan. Kemudian tangan Louis membuka satu persatu lembaran buku itu, ditemani dengan derasnya hujan.

            “Hai! Aku bertaruh kalian pasti sedih? Sebaiknya kalian tidak usah sedih. Aku senang kalian mau membaca tulisanku yang menurutku buruk ini dan bahasanya hancur.

            Maafkan aku Lou. Selama ini aku berbohong. Aku sengaja memilih untuk menyendiri karena ini demi Luke, sahabatku! Kau pasti kaget kenapa aku bisa menjadi sahabat Luke? Dulu, aku, Luke dan Austin adalah tiga sahabat sejati dan kami bagaikan satu. Kami selalu bersama dan tidak ada satupun yang bisa memisahkan kami. Sampai di hari itu.

            Saat kami duduk di bangku SMA, Luke mulai memperlihatkan sikap buruknya. Dia benar-benar berubah dan aku tidak suka dengan perubahannya. Karena itulah aku hanya berteman dengan Austin. Dan saat aku tau bahwa Luke ternyata gay, hatiku hancur sekali. Aku tidak menyangka Luke yang kukenal adalah seseorang yang gay. Dia sudah banyak berhubungan dengan teman cowoknya. Saat itulah aku membenci Luke.

            Parahnya lagi, Austin ikut terjerat dengan Luke dan aku tidak percaya ternyata keduanya diam-diam menjalani sebuah hubungan spesial, layaknya kau dengan Ele dan mereka sama-sama mencintai. Aku bingung harus berbuat apa. Mereka tampak cuek-cuek aja. Dan ketika kami berumur sembilan belas tahun, aku harus bertindak. Ya!

            Sebisa mungkin aku menghilangkan penyakit Austin tapi aku selalu gagal meskipun berkali-kali aku memohon pada Austin. Orangtuanya sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Dan pada akhirnya, aku menemukan seorang bidadari cantik yang langsung membuatku jatuh cinta. Dia adalah Emma Lilian. Emma adalah mahasiswi yang begitu cantik, pintar dan terkenal. Banyak lelaki yang menginginkannya dan aku lebih memendam perasaanku karena aku sadar aku tidak pantas untuknya.

            Sampai aku tau bahwa ternyata Emma menyukai Austin ( Aku belum cerita ya kalau Austin sudah terkenal dengan The Potatoes dan tentu saja Emma mengagumi Austin habis-habisan ), aku menemukan sebuah ide. Aku menyuruh Austin untuk menjalani sebuah hubungan dengan seorang gadis. Aku menyarankan Emma. Anehnya Austin menerima dan mereka pun pacaran. Jujur saja, aku sedih dan merasa cemburu melihat mereka bahagia, namun aku senang karena aku yakin Austin sudah sembuh total dan kembali normal.

            Tapi tentunya kau tau kan bagaimana Luke karena kau pernah cerita kalau Luke keras kepala dan tidak mau mengalah. Melihat Austin dan Emma bahagia, Luke begitu marah dan dia tau itu adalah ideku. Luke marah padaku dan mengancamku untuk membunuhku. Tapi aku tidak takut.

            Sampai di hari itu, Luke sudah tidak tahan lagi dan ia memilih untuk membunuh Austin. Ya. Luke-lah yang membunuh Austin dalam kecelakaan mobil itu. Tapi saat detik-detik kematian Austin, Austin mengaku kalau ia belum bisa melupakan Luke dan Emma adalah pelariannya. Saat itulah Luke merasa menyesal. Ia menyesa karena sudah membunuh seseorang yang sangat dicintainya. Pikirannya kini hanya tertuju pada satu nama. Yaitu aku.

            Luke sangat dendam padaku dan dia ingin membalas dendam itu dengan cara apapun. Amarahnya tidak bisa ditahan. Luke pernah mengancam untuk membunuhku dan bisa saja dia membunuhku karena aku tau siapa Luke itu. Dia mempunyai geng yang sebagian besar adalah penjahat yang telah melarikan diri dari penjara. Tapi aku tidak takut dengan ancamannya. Kalaupun ia membunuhku dan aku berakhir seperti Austin, aku tidak peduli.

            Tapi luke ternyata bisa berubah pikiran dan dia akan menghapus dendamku asalkan aku tidak boleh bergaul dengan siapapun termasuk ikut ke dalam dunianya. Kau pasti bertanya-tanya kenapa aku begitu mudah bernyanyi bersama kalian dan mungkin Niall bertanya-tanya kenapa aku begitu pandai menyanyi dan bermain gitar.

            Dulu, saat kami masih kecil, aku, Luke dan Austin, aku-lah yang sangat mencintai musik dan aku suka menyanyi, sementara Luke dan Austin tidak tertarik dengan dunia musik. Namun karena pengaruhku,akhirnya Luke dan Austin menyukai dunia musik dan kami berobsesi bercita-cita menjadi seorang penyanyi. Dan di saat audisi X-Factor itu, kami bertiga mengikutinya. Namun hanya aku saja yang lolos sementara Austin dan Luke tidak. Aku heran kenapa kalian berempat tidak mengenaliku karena aku mengenali kalian. Kau, Niall, Liam dan Zayn dan kalian berempat lulus audisi. Aku juga lulus audisi dan aku senang sekali. Tidak dengan Austin. Dia begitu sedih dan aku kasihan padanya.

            Akhirnya, aku memutuskan untuk menggantikan posisiku dengan Austin. Aku memohon pada juri untuk menggantikan diriku dengan Austin. Tentu saja juri itu tidak setuju karena aku lebih pantas dibanding Ausin. Tapi aku tidak menyerah. Aku berbohong pada juri bahwa aku ternyata mengidap suatu penyakit parah dan jika aku melanjutkan audisiku, keadaanku akan semakin parah. Untunglah juri mengerti dan dia mau menggantikanku dengan Austin dengan syarat Austin harus bisa bernyanyi sepertiku. Akulah yang mengajarkan Austin sampai Austin bisa dan lihat sekarang. Dia menjadi populer dan terkenal dengan The Potatoes dan berkali-kali Austin berterimakasih padaku.

            Coba bayangkan jika aku tidak mengalah, mungkin kalian tidak akan pernah mengenali Austin dan akulah yang berada di posisi Austin. Tapi, bagiku persahabatan itu adalah segala-galanya. Aku hanya ingin sahabat-sahabatku bahagia meski itu membuatku sedih. Ya seperti ceritaku di atas tadi. Luke tau aku sangat mencintai dunia musik dan dia memanfaatkanku. Karena itulah aku menutupi diriku bahwa aku sama sekali tidak tertarik dengan dunia musik. Coba saja kau tanyakan pada Niall.

            Tapi, lama-kelamaan aku tidak tahan juga. Terutama ketika Niall mendekatiku dan mengajakku bergabung di bandnya karena aku begitu bodoh menyanyikan lagu dan dia melihatku. Dan aku ingat dengan ucapan Ele bahwa setiap manusia memiliki hak dan kehidupan masing-masing. Meski aku berada di bawah bayang-bayangan Luke, tapi tentu aku tidak mau terus ditahan olehnya. Karena itulah aku memutuskan untuk bergabung dengan kalian.

            Mendengar kemunculan One Direction, Luke semakin membenciku. The Invisible pun mendadak menghilang karena kemunculan One Direction. Ya, aku telah menghancurkan impian Luke. Kau tau kan Luke tidak mau mengalah dan ingin selalu menjadi yang pertama. Tapi dia memberiku kesempatan terakhir. Yaitu aku harus membuat gadis yang disukai Luke menyukai Luke. Tentu saja aku heran. Apa Luke sudah sembuh? Luke kan gay! Aku sudah tau ini adalah sebuah jebakan karena aku tau keinginan Luke hanyalah menghapusku dari dunia ini. Gadis itu adalah Emma. Ya, Emma, gadis yang selama ini aku cintai. Aku sudah cerita semuanya pada Emma dan aku harap dia percaya.

            Tapi sekali lagi, aku mengingkari janjiku dengan Luke. Aku memilih menyatakan perasaanku pada Emma karena rasa cinta ini tidak bisa disimpan lagi dan aku kasihan pada Emma yang terlalu mengharapkanku.

            Dan.. Tepat di hari kematian Austin, tampaknya Luke ingin melakukan sesuatu untuk mengakhiri semuanya. Kau tau, sudah lama Luke menderita penyakit di paru-parunya namun dia masih saja merokok. Berkali-kali aku memperingatinya untuk tidak merokok namun dia tidak mau menuruti nasehatku. Saat konser pertama kita, Luke ada diantara ribuan penonton dan dia siap untuk membunuhku. Aku sudah tau apa isi otak Luke dan dia hanya ingin mengakhiri semuanya dengan cara membunuhku, lalu membunuh dirinya sendiri, tepat di hari kematian Austin. Aku tidak tau kenapa Luke memilih hari kematian Austin. Apa karena Luke belum ikhlas atau masih menyesal?

            Terakhir, aku titip salam ke Niall, Zayn, Liam dan tentunya Emma. Aku sangat menyayangi kalian dan aku tidak bisa hidup tanpa kalian. Lagu yang aku nyanyikan pada saat konser adalah lagu yang aku khususkan untuk kalian dan semoga kalian menyukainya J

            “And being here without you is like I’m waking up to

            Only half a blue sky kinda there but not quite

            I’m walking around with just one shoe

            I’m half a heart without you

            I’m half a man at best with half an narrow in my chest

            I miss everything we do I’m half a heart without you..”

***

            Aku telah menuntaskan janjiku. Sekarang, kita bertiga kembali. Ya. Kembali pada kehidupan yang semula. Kembali pada kehidupan yang indah seperti dulu, saat kita masih bocah dan belum mengerti apa sebenarnya arti hidup ini.

***

The Missing Star ( Part 22 )



Finally
.

            Besok. Besok adalah hari dimana One Direction melakukan konser pertama mereka dan mereka akan menyanyikan lagu-lagu di album pertama mereka. Ada satu hal yang hampir mereka lupakan. Yaitu besok adalah hari dimana Austin kembali di sisi-Nya. Sudah setahun dan itu sangat lama. Tidak tau kenapa hari pertama konser mereka sama dengan hari dimana kematian Austin. Apakah itu hanya sebuah kebetulan atau lainnya?

            Tentu saja Liam dkk begitu semangat dengan konser pertama mereka. Mereka tidak sabaran untuk membuat directioners berteriak dengan kenang. Latihan demi latihan sudah mereka lakukan dan mereka yakin sekali hasilnya akan baik.

            Malam itu, Harry sengaja mengajak Emma jalan keluar tuk menghirup udara malam. Mungkin malam ini adalah malam terakhirnya bersantai dengan Emma sebelum tour. Besok tour sudah dimulai. Pertama-tama mereka tour keliling Inggris lalu menjelajai benua Eropa. Bukankah menyenangkan? Lagipula Harry penasaran gimana menara Eiffel itu karena jujur saja ia belum pernah mengunjungi Perancis. Mengerikan bukan?

            “Kau pasti tidak sabar melihat Eiffel.” Kata Emma.

            “Ya. Aku ingin kau juga ikut kami. Aku ingin menikmati indahnya pemandangan di Paris bersamamu.” Ucap Harry.

            Emma tersenyum. “Tentu saja. Apa kau tidak cemas atau merasa gugup dengan konser pertama kalian yang diadakan besok malam?” Tanyanya.

            “Tidak. Bahkan aku begitu semangat. Niall dan lainnya juga semangat.” Ucap Harry.

            Tiba-tiba ekspresi wajah Emma berubah. Gadis itu memberhentikan langkahnya mengingat akan hari ini. Dan juga besok. Emma sadar, besok adalah hari dimana ia ditinggal pergi oleh Austin. Tepatnya sudah satu tahun. Emma tidak menyangka waktu berjalan begitu cepat. Ah ya, bagaimana kabar Austin? Apa Austin baik-baik saja disana?

            “Ada apa?” Tanya Harry.

            “Ti.. Tidak. Aku hanya.. Aku hanya teringat Austin. Maaf.” Jawab Emma.

            Harry meghela nafas panjang. Ia juga baru sadar besok adalah hari kepergian Austin dari dunia ini. Pemuda tampan itu seperti sedang menyembunyikan sesuatu. Namun di wajahnya tampak sedikit pucat dan juga takut.

            “Kau tidak marah kan aku menyebut nama Austin?” Tanya Emma. Takut-takut jika Harry cemburu.

            “Tidak. Tapi aku sedih mengingat hari esok. Aku janji akan menyanyikan lagu spesial untuk Austin.” Kata Harry.

            Emma tersenyum sambil menatap wajah Harry dengan sangat dalam. Ia begitu mencintai Harry dan tidak ingin kehilangan Harry. Entah mengapa air matanya turun membahasi pipinya. Harry langsung memeluk Emma dan Emma merasa nyaman dengan pelukan itu. Ia berharap Harry akan terus memeluknya.

            Sambil terisak-isak, Emma berbicara secara perlahan. “Aku sudah kehilangan Austin. Dan aku tidak mau kehilanganmu.” Ucapnya.

            Harry pun tidak bisa menahan air matanya. Maka setetes air mata turun membahasi pipinya. “Aku juga. Aku juga tidak ingin kehilanganmu.” Balasnya sambil mengeratkan pelukannya.

            “Tapi.. Besok kau dan lainnya tour dan itu pasti sangat lama.” Ucap Emma.

            “Iya. Aku tau Emm. Inilah hidupku dan aku harus menjalaninya. Kau juga. Rajin-rajin belajar agar cita-citamu terkabul dan jaga dirimu baik-baik. Meski aku tidak ada disampingmu, aku selalu merasa berada dekat denganmu. Percayalah.”

            Pelukan itu semakin erat dan tangis Emma semakin menjadi-jadi. Mengapa hidupnya sesulit ini? Dulu saat ia pacaran dengan Austin, Austin jarang meluangkan waktu untuknya karena kesibukannya sebagai bintang. Dan sekarang Harry. Emma tau Harry adalah seorang bintang baru yang banyak digemari jutaan gadis. Dan ia adalah gadis yang paling beruntung. Ya, Emma sadar akan hal itu.

            Perlahan, pelukan itu semakin longgar dan Emma tidak ingin pelukan hangat itu lepas dari tubuhnya. Sebagai gantinya, Harry memegang pundaknya dengan kedua tangannya seakan-akan memberinya energi.

            “Suatu hari nanti, aku akan datang menemui orangtuamu dan kita akan menikah. Aku janji.” Ucap Harry sambil tersenyum.

            Emma pun ikut tersenyum. “Aku pegang janjimu.”

            Terdiam sesaat. Sepertinya Harry ingin mengucapkan sesuatu, tapi ia ragu. Tau hal itu, Emma langsung bicara. “Ada apa?” Tanyanya lembut.

            Mendengar suara lembut Emma, Harry jadi malu. “Aku.. Aku hanya ingin menciummu. Boleh?”

            Sebisa mungkin Emma menahan tawanya. Ekspresi Harry lucu sekali. Apa memang harus meminta izin dulu? Bahkan dulu Austin suka menciumnya secara mendadak. Entah di pipi maupun di bibir dan Emma tidak bisa menolaknya.

            “Siapa takut!” Ucap Emma.

            Sepertinya Harry mulai berani. Ia menutup jaraknya dengan Emma sehingga mereka tidak dibatasi oleh jarak. Tubuh mereka sudah berdekatan dan Emma tidak bisa menyembunyikan detakan jantungnya. Harry mendekati wajahnya dengan wajah Emma yang sedang menunduk. Ia pun mengangkat dagu Emma secara perlahan dengan tangan kanannya.

            “Katanya tidak takut.” Goda Harry.

            Emma tersenyum dan keduanya pun berciuman di bawah sinar lampu yang menerangi malam itu. Di atas sana, bulan tidak terlalu terlihat jelas karena tertutupi mendung. Bintang-bintang pun sama sehingga tidak bisa menyaksikan sepasang kekasih yang sedang bahagia itu. Emma begitu menikmati ciumannya dengan Harry. Begitu pula dengan Harry. Mereka berciuman cukup lama dan Harry enggan melepaskan ciumannya dengan Emma.

            Setelah dirasa cukup lama, perlahan Harry melepaskan ciumannya. Sebuah ciuman yang begitu indah. Emma pun sama. Itu adalah ciuman terindah sepanjang masa. Kalau boleh jujur, ciuman Harry lebih dahsyat dibanding ciuman Austin.

            “Itu adalah ciuman pertamaku.” Ucap Harry.

            “Ohya? Apa sebelumnya kau belum pernah berciuman dengan seorang gadis?” Tanya Emma.

            “Belum. Kaulah ciuman pertamaku. Ya, malam ini.” Jawab Harry.

            “Wah, aku tidak nyangka bahwa aku adalah ciuman pertamamu.” Ucap Emma.

            Memang benar. Selama hidupnya ini Harry tidak pernah berciuman dengan gadis manapun dan malam inilah pertama kalinya dimana ia berciuman dengan seorang gadis. Ya. Emma-lah ciuman pertamanya.

            “Aku berharap, kau juga menjadi ciuman terakhirku.” Ucap Harry.

            “Ciuman pertama dan terakhir.” Ucap Emma sambil tersenyum.

            “Hei! Itu salah satu judul lagu di album pertama One Direction.” Ucap Harry sambil tertawa.

***

            Hari ini. Ya, hari ini! One Direction sudah siap untuk membuat para directioner kehabisan nafas dan suara. Konser ini adalah konser pertama mereka dan mereka yakin sekali semuanya akan berjalan dengan lancar.

            “Ada apa Harr?” Tanya Liam yang melihat Harry lain dari biasanya.

            Mendengar suara Liam, Harry tersadar. “Tidak ada kok. Hanya merasa aneh saja. Entah mengapa perasaanku menjadi tidak enak dan aku terus saja teringat dengan Emma.” Jawab Harry.

            Liam tersenyum. “Kau terlalu mencintainya. Ayolah! Kali ini saja lupakan Emma dan fokus dengan konser nanti. Oke?”

            Semuanya pun berkumpul menjadi satu. Beberapa menit lagi mereka akan tampil. Bisa didengar jeritan dari luar sana yang kebanyakan adalah suara para gadis. Yaiyalah. Tidak banyak cowok-cowok yang mengidolakan band seperti One Direction. Apalagi teriak-teriak seperti itu.

            “Oke! Let’s go and do the best!” Ucap Liam untuk yang terakhir kalinya.

***

            Teriakan para gadis sudah terdengar begitu jelas. Seorang pemuda kurus yang mengenakan jaket tebal tersenyum puas menatap ribuan gadis itu. Benar-benar menakjubkan padahal ini konser pertama One Direction. Pemuda kurus itu mengeratkan jaket yang ia pakai. Walau udara cukup panas, namun pemuda itu merasa dingin. Apa tubuhnya sudah tidak kuat lagi?

            Pemuda itu teringat dengan percakapannya dengan sahabatnya. Tepatnya dua hari yang lalu.

            “Apa kau yakin akan melakukannya?”

            “Ya. Aku yakin sekali.” Jawab pemuda itu.

            Sahabatnya itu menghela nafas panjang. “Kenapa kau begitu tidak menyukai jika dia bahagia? Jangan pikirkan masa lalumu itu. Dia itu bermaksud baik. Kau jangan egois.”

            Pemuda itu tersenyum sinis. “Austin sudah mati. Sebentar lagi aku mati. Dan dia juga harus mati!”

            Setelah mengucapkan kalimat itu dengan kasar, pemuda itu terbatuk-batuk. Penyakitnya semakin parah dan ia hanya bisa menunggu panggilan Tuhan. Namun ia masih bersyukur diberi sedikit umur panjang untuk menuntaskan dendamnya agar semuanya selesai dengan damai. Biarlah orang mengatakan ia egois atau apa. Tapi itulah keinginannya.

            “Luk, cobalah berpikir baik-baik. Lagipula, kau tidak bisa menuntaskan dendanmu dengan cara itu. Lagipula lusa adalah konser One Direction.”

            “Aku tidak peduli!”

            Percakapan itu masih terekam jelas di otaknya. Apa benar ia akan melakukannya? Apa benar ini adalah akhir dari semuanya? Hatinya masih terasa sakit akan kematian Austin dan dialah orang yang membunuh Austin karena kesalah pahaman! Ia kira Austin sudah tidak mencintainya lagi karena telah mencintai seorang gadis bernama Emma dan itu semua karena Harry! Ya! Karena Harry! Dan saat ia melihat mobil Austin yang rusak dan pada saat itu Austin sekarat, Austin mengatakan kalau dia masih mencintainya, bukan Emma. Saat itulah ia menyesal.

            Harry memang benar. Harry mencoba menyembuhkannya juga Austin. Tapi rasa cintanya pada Austin sudah tidak bisa dihapus. Ia terlalu mencintai Austin dan tidak tau kenapa. Padahal dulu ia dan Austin adalah bersahabat. Ya, ia mengakui bahwa ia gay dan membuat Austin ikutan gay juga dan Harry tidak suka akan hal itu. Tapi bagaimanapun juga, Harry tidak memiliki hak untuk menjauhkannya dari Austin sekalipun ia salah. Itulah penyebab ia membenci Harry dan ingin Harry menderita.

            Lampu-lampu mulai menyala dan musik mulai terdengar. Jeritan penonton semakin keras. Luke, pemuda itu kini berada di kerumunan penonton. Namun tempatnya cukup strategis jadi tidak ada yang peduli dan curiga dengannya. Gadis-gadis itu terlalu serius menatap ke depan.

            One Direction pun muncul dan mereka menyanyikan lagu Up All Night yang adalah salah satu lagu dari The Potatoes. Tentu saja hal itu membuat mereka rindu pada Austin. Di atas panggug, Harry begitu bersemangat. Dia begitu energik dan suaranya terdengar bagus. Begitupun dengan yang lain. Malam itu One Direction begitu semangat.

            ‘Bintang yang sempurna!’ Batin Luke.

            “I wanna stay up all night

And jump around until we see the sun

I wanna stay up all night

And find a girl and tell her she's the one…”

Suara mereka begitu terdengar semangat hingga membuat para penonton ikut semangat juga dan hampir dari sebagaian mereka ikut mengikuti lagu yang berjudul Up All Night itu. Semua orang tampak bergembira. Tentunya kecuali Luke, si pemuda yang dikabarkan sudah menghilang dan tidak ada yang tau dimana keberadaannya. Diam-diam ia rindu dengan kariernya sebagai seorang penyanyi. Ia sangat iri dengan Harry di panggung sana.

Tidak terasa konser berjalan cukup lama dan ini adalah sebuah lagu penutup. Sebuah lagu yang khusus diciptakan oleh Harry dan Harry sendiri yang akan menyanyikan lagu itu. Dengan gitar cokelatnya, Harry duduk seorang diri di tengah panggung sementara Liam dan lainnya bersembunyi di belakang sana. Mereka tidak sabaran menunggu aksi Harry dengan gitar itu. Sementara Harry, pemuda itu menatap para penonton dengan senyuman. Jujur saja, ia begitu lelah namun ia tetap bersemangat dan senang.

Tiba-tiba, Harry tidak sengaja bertatapan dengan seorang pemuda yang sudah lama tidak ditemuinya. Luke, ya Luke! Luke tampak berubah. Jadi selama ini Luke bersembunyi? Harry tau kabar tentang The Invisible yang bubar karena kehadiran One Direction dan saat itulah Luke menghilang. Harry memejamkan kedua matanya. Kemudian jari-jarinya mulai menyentuh senar gitar itu sehingga menciptakan sebuah nada yang indah.

Mungkin lagu ini ia khususkan untuk orang-orang yang begitu tulus menyayanginya dan ia tidak bisa hidup tanpa orang itu. Termasuk Austin. Ia memiliki masa lalu yang indah bersama Austin, juga Luke. Ia memiliki sebuah rahasia yang selama ini ia pendam. Sebuah rahasia yang ada hubungannya dengan Austin dan Luke. Bahkan Ele pun tidak mengetahui rahasianya. Namun ia sudah menulis kisahnya pada Ele dan Harry yakin sekali Ele akan membacanya.

So your friend's been telling me

You've been sleeping with my sweater

And that you can't stop missing me

Bet my friend's been telling you

I'm not doing much better
           
Cause I'm missing half of me..”

            Baru saja Harry menyanyikan bait pertama dari lagu itu, membuat suasana berubah menjadi sunyi. Tidak ada sekecilpun teriakan. Harry sempat melirik ke arah Luke yang juga sedang melihatnya. Harry tidak bisa menebak bagaimana ekspresi Luke.

            “And being here without you is like I’m waking up to

            Only half a blue sky kinda there but not quite

            I’m walking around with just one shoe

            I’m half a heart without you

            I’m half a man at best with half an narrow in my chest

            I miss everything we do I’m half a heart without you..”

            Tanpa sepengetahuannya, Emma yang juga menonton konser One Direction menangis. Ia menangis mendengar suara Harry yang begitu terdengar berat. Emma terus saja menatap Harry seperti ia tak ingin kehilangan Harry.

            “Without you.. Without you…

            Half a heart without you

            Without you.. Without you…

            I’m half a heart without you..”

            Setelah menyelesaikan lagu itu, Harry tersenyum menyaksikan fansnya yang menangis. Entah mengapa hatinya ikut sedih juga dan Harry tidak bisa menahan air matanya. Tidak ada salahnya meneteskan air mata di hadapan ribuan penonton. Tiba-tiba ia teringat dengan Austin dan ia merasa seperti ada suara Austin yang sedang memanggil namanya. Dan Harry bisa merasakan sentuhan tangan Austin. Ya, ia begitu rindu dengan sahabatnya itu. Austin.

            “HARRY !!!”

            Harry merasa tubuhnya melemas dan perutnya terasa perih. Sangat perih. Dan Harry sadar saat ia meraba perutnya, tangan kanannya berubah menjadi merah. Dalam suasana seperti itu, Harry masih sempat mencari keberadaan Luke yang sudah tidak ada di tempatnya. Semakin lama, kepalanya semakin pening dan ia pun tidak sadarkan diri.

***