expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Sabtu, 07 Maret 2015

The Missing Star ( Part 7 )



Who’s The Boy?
.

            Ele pulang ke rumah tepat jam sepuluh malam dan ia tidak peduli dengan ocehan kakaknya yang menyebalkan. Ele senang karena ia bisa menjadi teman curhat Louis. Jadi, masalah-masalah Louis sedikit berkurang.

            “Habis kencan dengan Louis?” Tebak Kakaknya.

            Ele tersenyum miris. “Tidak. Ele hanya mendengarkan curhatan Louis.” Jawabnya jujur.

            Seketika itu juga Kakaknya langsung berdiri, membuat Ele ketakutan setengah mati. Yang hanya bisa ia lakukan hanyalah menunduk.

            “Sudah kakak bilang, kau jangan dekat dengan dia ataupun lelaki lainnya! Kalau kau masih tidak mau mendengarkan ucapan kakak, mengapa kau tidak pergi saja dari rumah ini? Kakak sudah muak dengan orang-orang seperti kalian!”

            Baru kali ini kakaknya sebegitu marahnya, bahkan sampai ingin mengusirnya. Tapi Ele tidak ingin dijajah terus oleh kakaknya. Kalau ia terus melawan dengan nasehat-nasehat dan kebenaran, lama kelamaan kakaknya pasti akan mengerti.

            “Kak! Apa kakak tidak pernah memiliki seorang sahabat? Ele sudah menganggap Louis adalah sahabat Ele! Ele tidak tega jika ada sahabat Ele bersedih dan membutuhkan Ele, Ele tidak ada! Kakak sih yang terlalu protektiv dengan Ele! Kalau kakak punya sahabat seperti Ele, pasti kakak akan merasakan hal yang sama dengan apa yang dirasakan Ele!”

            Suara Ele sangat tinggi, namun sedikit bergetar. Di matanya pun terlihat berkaca-kaca. Sebentar lagi Ele akan menangis. Ya, menangis. “Kak, kenapa kakak melarang Ele bergaul dengan orang lain? Kenapa kak? Semenjak Ibu dan Ayah meninggal, kenapa kakak berubah drastis sekali? Apa kakak memiliki rahasia? Kalau ya, kenapa kakak tidak cerita ke Ele? Ele bisa menjadi pendengar yang baik.”

            Kakaknya pun terdiam sambil memikirkan sesuatu. Ia pun duduk sambil berusaha menarik nafasnya yang terasa sulit untuk dihirup. Apa sebegitunyakah ia mengurung adiknya itu? Satu-satunya keluarga yang hanya ia miliki. Apa ia siap melepas adiknya? Dan ketika Ele menyebut kata ‘sahabat’, hatinya serasa teriris-iris oleh pisau yang tajam. Sahabat. Tiba-tiba ia teringat sesuatu. Sesuatu yang sangat berbahaya yang mungkin akan berpengaruh besar terhadap adiknya.

            “Kakak hanya ingin kau aman saja. Tapi jika Louis memang baik dan menyayangimu, kakak tidak bisa melarangmu lagi.” Ucapnya dengan suara pelan.

            Sebuah senyum menghiasi wajahnya. “Louis anaknya baik kok kak walau sedikit keras kepala dan kasar. Tapi dia sangat baik. Kapan-kapan Ele akan kenalin kakak dengan Louis. Kakak jangan nolak ya?”

            Kali ini, Kakaknya itu tidak bisa mengelak sedikitpun.

***

            Pagi yang membosankan. Niall begitu bosan hari ini. Maka ia putuskan untuk pergi kuliah jam delapan pagi, padahal kelasnya dimulai tepat pukul sepuluh pagi. Disana masih tampak sepi. Hanya ada beberapa orang disana. Sebenarnya, Niall ingin mengajak Zayn tapi berhubung karena Zayn belum bangun, Niall jadi pergi sendiri.

            Saat ia melewati kelasnya, disana ada beberapa gadis yang sedang heboh membicarakan The Invisible terutama Luke. Niall menelan ludahnya. Dia saja sakit mendengarnya, apalagi Louis! Pantas saja Louis begitu emosi. Tapi Niall sudah lelah dengan semua ini. Tidak ada yang bisa menggantikan Austin. Tidak ada!

            Niall tiba di ruang musik yang tidak jauh dari kelasnya. Samar-samar ia mendengar sebuah bunyi yang tidak asing baginya. Ya, itu adalah bunyi hasil dari petikan gitar seseorang. Nadanya begitu lembut dan menyentuh. Siapa yang memainkan gitar itu? Louis-kah? Tapi tidak mungkin. Louis tidak ada kuliah pagi.

            Jaraknya sudah cukup dekat dari ruang musik itu, tetapi Niall tidak berani melihat siapakah orang itu. Ia takut jika makhluk yang memainkan gitar itu adalah hantu. Niall memang sedikit penakut. Cukup lama Niall berada di tempat itu, ia sadar bahwa suara petikan gitar yang indah itu tidak lagi terdengar. Yang terdengar hanyalah suara derap langkah kaki.

            Terakhir, suara bunyi kenop pintu. Mau tidak mau, Niall harus kabur sebelum ia tertangkap basah. Niall pun berlari sekencang-kencangnya dan berharap orang itu tidak mengetahui keberadaannya.

***

            Kuliah pagi ini selesai dengan lancar. Niall jadi lega karena otaknya begitu sakit. Di depannya ada Emma yang tengah tersenyum padanya.

            “Mau aku traktir makanan?” Tanyanya.

            “Gratis?” Tanya Niall dengan tampang polosnya.

            Emma tertawa mendengar pertanyaan Niall. Jelas-jelaslah mentraktir itu adalah gratis. “Yaiyalah Yell! Kamu mikirin apa sih? Kok hari ini lain dari biasanya? Masih memikirkan siapa sosok pengganti Autsin?”

            Bahkan Emma sendiri tau rencana itu. Tapi Niall tidak mau memikirkan masalah itu. “Tidak. Ya udah, ayo kita makan!” Ucapnya dengan penuh semangat.

            Sesampainya di kantin, Emma memesan dua buah burger ukuran sedang dan dua gelas jus apel. Suasana di kantin cukup ramai dan banyak pasang mata yang melihat keduanya. Emma jadi geli sendiri. Mereka mengira ia dan Niall sudah taken.

            “Jadi, tadi kau mendengar suara petikan gitar misterius di ruang musik?” Tanya Emma.

            “Ya.” Jawab Niall.

            “Siapa yang memainkannya? Jarang lho ada orang yang masuk ke dalam ruang musik.”

            “Aku juga tidak tau. Tapi sepertinya suara petikan giar itu seperti suara petikan gitar Austin. Nadanya mirip sekali. Jangan-jangan Austin bangkit lagi.”

            Emma jadi penasaran dengan cerita Niall. Apa cowok itu sedang tidak sadar? “Mengapa kau tidak mencari tahu saja? Mengapa kau tidak masuk ke dalam?” Tanyanya.

            “Aku tidak berani. Kalau dia Austin bagaimana? Aku akan mati nanti!”

            “Dih.. Kau ini penakut sekali. Austin sudah tidak ada dan dia tidak akan kembali lagi. Atau jangan-jangan dia kembarannya Austin?”

            Menurut Niall, Emma sudah bisa mengikhlaskan kepergian Austin. Beda dengan Louis yang masih belum ikhlas dan kerjaannya marah mulu. Kalau ia sih ikhlas-ikhlas saja. Tidak baik mengharapkan orang yang sudah tiada.

            “Austin tidak memiliki kembaran. Dia kan anak tunggal.” Kata Niall.

            “Tapi siapa tau kan.” Kata Emma.

            “Aku tau, kalau dia punya saudara kembar, kau akan pdkt dengannya. Aku tau akal bulusmu.”

            Mendengar ucapan Niall, Emma langsung menggetok kepala Niall. “Sok tau sekali kamu! Ya udah, besok kau kesana lagi. Cari tau dan jangan takut. Kalau kau tidak berani, aku anterin aja.” Ucap Emma.

            Tentu saja Niall menolak mentah-mentah. Diantarin oleh Emma? Yang benar saja! Ia adalah seorang lelaki dan lelaki itu harus berani. Masa ia kalah dengan Emma yang jelas-jelas perempuan?

***

            Sore ini Liam dkk berkumpul untuk membahas masalah yang masih belum terselesaikan. Tapi disini tidak ada Louis. Mungkin Louis sedang marah besar dengan mereka dan kemungkinan besar Louis tau rencana mereka untuk mencari pengganti Austin tanpa sepertujuannya.

            “Jadi gimana? Apa tetap lanjut aja?” Tanya Liam mencari kepastian.

            Niall duduk di samping Liam dengan gaya kepasrahan. “Aku sudah bilang kalau aku menyerah. Terserah kalian.” Ucapnya malas.

            “Iya, Niall benar. Di tambah lagi Louis yang sepertinya sedang membenci kita.” Tambah Zayn.

            “Okelah. Menyusun sebuah boyband itu tidaklah mudah. Banyak sekali hambatannya. Tapi aku berharap kalian sukses dengan karier solo kalian.” Kata Liam.

            “Hhh.. Aku tidak ingin menjadi penyanyi solo. Aku lebih suka ber-grup.” Kata Zayn.

            “Aku juga.” Kata Niall.

            Liam jadi bingung sendiri dengan teman-temannya ini. Kalau saja Austin ada, pasti nasib mereka tidak akan seperti ini. Jadi, kehadiran Austin di The Potatoes sangatlah berpengaruh besar. Liam yakin sekali jika dirinya yang mati, pasti The Potatoes tetap berjalan seperti biasa karena Austin-lah penyemangat mereka.

            “God only knows..” Gumam Liam.

***

            Pagi yang sama. Bedanya hanyalah Niall lebih berani dari pagi yang kemarin. Dengan seluruh keberaniannya, ia berjalan menuju ruang musik. Tiba-tiba, ekor matanya melihat seorang pemuda yang kira-kira usianya sebaya dengannya sekaligus mahasiswa disini berjalan dengan santai sambil membawa gitar di punggungnya. Diakah orang itu? Batin Niall.

            Diam-diam Niall mengikuti pemuda itu. Memang benar. Pemuda itulah yang kemarin, yang menciptakan suara petikan gitar dengan penuh penghayatan. Niall mengintip dari balik jendela. Ia melihat pemuda itu mulai memetik gitarnya. Niall memerhatikannya dengan begitu serius.

            Terdengar alunan indah yang diciptakan oleh pemuda itu. Niall begitu sangat tersihir oleh permainan gitar itu.

            “I gotta a heart and I gotta a soul

            Believe me I wanna use them both..”

            Lirik demi lirik dinyanyikannya. Niall semakin tersihir. Suara pemuda itu begitu lembut. Dan suara itu mengingatkannya dengan Austin. Tiba-tiba Niall seperti ingin menangis.

            “We made a start be it a false one, I know

            Baby I don’t want to feel alone..”

            Liam dan lainnya harus tau! Harus tau! Niall tidak akan menyia-nyiakan kesempatan emas di depan matanya ini. Sepertinya Niall pernah melihat wajah pemuda itu. Tapi entah dimana. Mungkin ia tidak sengaja berpapasan pada saat pendaftaran atau di kantin atau tempat lainnya.

            “So kiss me where I lay down my hands press to your cheeks

            A long way from the playgroud…”

            Sebentar lagi menuju puncak lagu. Niall begitu bersemangat sekaligus penasaran bagaimana nada dari reff lagu tersebut. Dan Niall penasaran siapa yang menciptakan lagu itu. Apa pemuda itu-kah yang menciptakannya?

            “I have loved you since we were eighteen

            Long before we both thought the same thing

            To be loved and to be in love

            All I can do is say that these arms were made for holding you oo..oo..

            I wanna love like you made me feel

            When we were eighteen..”

            Ingin sekali Niall bertepuk tangan sekeras-kerasnya. Tapi ia tau diri kok. Ia tidak ingin tertangkap basah karena memerhatikan pemuda itu. Namun sayangnya, kedua kakinya yang tidak seimbang membuatnya terjatuh dan ia menyenggol benda semacam seng disampingnya sehingga menimbulkan suara yang cukup keras.

            Niall merasakan kesakitan yang luar biasa sekaligus ketakutan. Bagaimana jika pemuda itu mengetahuinya? Cepat-cepat Niall pergi meninggalkan tempat itu dengan terpincang-pincang. Sementara pemuda yang memainkan gitar tadi menjadi curiga. Jangan-jangan, ada yang mengintipnya lagi.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar