Who’s The Boy?
.
Ele pulang ke rumah tepat jam
sepuluh malam dan ia tidak peduli dengan ocehan kakaknya yang menyebalkan. Ele
senang karena ia bisa menjadi teman curhat Louis. Jadi, masalah-masalah Louis
sedikit berkurang.
“Habis kencan dengan Louis?” Tebak
Kakaknya.
Ele tersenyum miris. “Tidak. Ele
hanya mendengarkan curhatan Louis.” Jawabnya jujur.
Seketika itu juga Kakaknya langsung
berdiri, membuat Ele ketakutan setengah mati. Yang hanya bisa ia lakukan
hanyalah menunduk.
“Sudah kakak bilang, kau jangan
dekat dengan dia ataupun lelaki lainnya! Kalau kau masih tidak mau mendengarkan
ucapan kakak, mengapa kau tidak pergi saja dari rumah ini? Kakak sudah muak
dengan orang-orang seperti kalian!”
Baru kali ini kakaknya sebegitu
marahnya, bahkan sampai ingin mengusirnya. Tapi Ele tidak ingin dijajah terus
oleh kakaknya. Kalau ia terus melawan dengan nasehat-nasehat dan kebenaran,
lama kelamaan kakaknya pasti akan mengerti.
“Kak! Apa kakak tidak pernah
memiliki seorang sahabat? Ele sudah menganggap Louis adalah sahabat Ele! Ele
tidak tega jika ada sahabat Ele bersedih dan membutuhkan Ele, Ele tidak ada!
Kakak sih yang terlalu protektiv dengan Ele! Kalau kakak punya sahabat seperti
Ele, pasti kakak akan merasakan hal yang sama dengan apa yang dirasakan Ele!”
Suara Ele sangat tinggi, namun
sedikit bergetar. Di matanya pun terlihat berkaca-kaca. Sebentar lagi Ele akan
menangis. Ya, menangis. “Kak, kenapa kakak melarang Ele bergaul dengan orang
lain? Kenapa kak? Semenjak Ibu dan Ayah meninggal, kenapa kakak berubah drastis
sekali? Apa kakak memiliki rahasia? Kalau ya, kenapa kakak tidak cerita ke Ele?
Ele bisa menjadi pendengar yang baik.”
Kakaknya pun terdiam sambil
memikirkan sesuatu. Ia pun duduk sambil berusaha menarik nafasnya yang terasa
sulit untuk dihirup. Apa sebegitunyakah ia mengurung adiknya itu? Satu-satunya
keluarga yang hanya ia miliki. Apa ia siap melepas adiknya? Dan ketika Ele
menyebut kata ‘sahabat’, hatinya serasa teriris-iris oleh pisau yang tajam.
Sahabat. Tiba-tiba ia teringat sesuatu. Sesuatu yang sangat berbahaya yang
mungkin akan berpengaruh besar terhadap adiknya.
“Kakak hanya ingin kau aman saja.
Tapi jika Louis memang baik dan menyayangimu, kakak tidak bisa melarangmu
lagi.” Ucapnya dengan suara pelan.
Sebuah senyum menghiasi wajahnya.
“Louis anaknya baik kok kak walau sedikit keras kepala dan kasar. Tapi dia
sangat baik. Kapan-kapan Ele akan kenalin kakak dengan Louis. Kakak jangan
nolak ya?”
Kali ini, Kakaknya itu tidak bisa
mengelak sedikitpun.
***
Pagi yang membosankan. Niall begitu
bosan hari ini. Maka ia putuskan untuk pergi kuliah jam delapan pagi, padahal
kelasnya dimulai tepat pukul sepuluh pagi. Disana masih tampak sepi. Hanya ada
beberapa orang disana. Sebenarnya, Niall ingin mengajak Zayn tapi berhubung
karena Zayn belum bangun, Niall jadi pergi sendiri.
Saat ia melewati kelasnya, disana
ada beberapa gadis yang sedang heboh membicarakan The Invisible terutama Luke.
Niall menelan ludahnya. Dia saja sakit mendengarnya, apalagi Louis! Pantas saja
Louis begitu emosi. Tapi Niall sudah lelah dengan semua ini. Tidak ada yang
bisa menggantikan Austin. Tidak ada!
Niall tiba di ruang musik yang tidak
jauh dari kelasnya. Samar-samar ia mendengar sebuah bunyi yang tidak asing
baginya. Ya, itu adalah bunyi hasil dari petikan gitar seseorang. Nadanya
begitu lembut dan menyentuh. Siapa yang memainkan gitar itu? Louis-kah? Tapi
tidak mungkin. Louis tidak ada kuliah pagi.
Jaraknya sudah cukup dekat dari
ruang musik itu, tetapi Niall tidak berani melihat siapakah orang itu. Ia takut
jika makhluk yang memainkan gitar itu adalah hantu. Niall memang sedikit
penakut. Cukup lama Niall berada di tempat itu, ia sadar bahwa suara petikan
gitar yang indah itu tidak lagi terdengar. Yang terdengar hanyalah suara derap
langkah kaki.
Terakhir, suara bunyi kenop pintu.
Mau tidak mau, Niall harus kabur sebelum ia tertangkap basah. Niall pun berlari
sekencang-kencangnya dan berharap orang itu tidak mengetahui keberadaannya.
***
Kuliah pagi ini selesai dengan
lancar. Niall jadi lega karena otaknya begitu sakit. Di depannya ada Emma yang
tengah tersenyum padanya.
“Mau aku traktir makanan?” Tanyanya.
“Gratis?” Tanya Niall dengan tampang
polosnya.
Emma tertawa mendengar pertanyaan
Niall. Jelas-jelaslah mentraktir itu adalah gratis. “Yaiyalah Yell! Kamu
mikirin apa sih? Kok hari ini lain dari biasanya? Masih memikirkan siapa sosok
pengganti Autsin?”
Bahkan Emma sendiri tau rencana itu.
Tapi Niall tidak mau memikirkan masalah itu. “Tidak. Ya udah, ayo kita makan!”
Ucapnya dengan penuh semangat.
Sesampainya di kantin, Emma memesan
dua buah burger ukuran sedang dan dua gelas jus apel. Suasana di kantin cukup
ramai dan banyak pasang mata yang melihat keduanya. Emma jadi geli sendiri.
Mereka mengira ia dan Niall sudah taken.
“Jadi, tadi kau mendengar suara
petikan gitar misterius di ruang musik?” Tanya Emma.
“Ya.” Jawab Niall.
“Siapa yang memainkannya? Jarang lho
ada orang yang masuk ke dalam ruang musik.”
“Aku juga tidak tau. Tapi sepertinya
suara petikan giar itu seperti suara petikan gitar Austin. Nadanya mirip
sekali. Jangan-jangan Austin bangkit lagi.”
Emma jadi penasaran dengan cerita
Niall. Apa cowok itu sedang tidak sadar? “Mengapa kau tidak mencari tahu saja?
Mengapa kau tidak masuk ke dalam?” Tanyanya.
“Aku tidak berani. Kalau dia Austin
bagaimana? Aku akan mati nanti!”
“Dih.. Kau ini penakut sekali.
Austin sudah tidak ada dan dia tidak akan kembali lagi. Atau jangan-jangan dia
kembarannya Austin?”
Menurut Niall, Emma sudah bisa
mengikhlaskan kepergian Austin. Beda dengan Louis yang masih belum ikhlas dan
kerjaannya marah mulu. Kalau ia sih ikhlas-ikhlas saja. Tidak baik mengharapkan
orang yang sudah tiada.
“Austin tidak memiliki kembaran. Dia
kan anak tunggal.” Kata Niall.
“Tapi siapa tau kan.” Kata Emma.
“Aku tau, kalau dia punya saudara
kembar, kau akan pdkt dengannya. Aku tau akal bulusmu.”
Mendengar ucapan Niall, Emma
langsung menggetok kepala Niall. “Sok tau sekali kamu! Ya udah, besok kau
kesana lagi. Cari tau dan jangan takut. Kalau kau tidak berani, aku anterin
aja.” Ucap Emma.
Tentu saja Niall menolak mentah-mentah.
Diantarin oleh Emma? Yang benar saja! Ia adalah seorang lelaki dan lelaki itu
harus berani. Masa ia kalah dengan Emma yang jelas-jelas perempuan?
***
Sore ini Liam dkk berkumpul untuk
membahas masalah yang masih belum terselesaikan. Tapi disini tidak ada Louis.
Mungkin Louis sedang marah besar dengan mereka dan kemungkinan besar Louis tau
rencana mereka untuk mencari pengganti Austin tanpa sepertujuannya.
“Jadi gimana? Apa tetap lanjut aja?”
Tanya Liam mencari kepastian.
Niall duduk di samping Liam dengan
gaya kepasrahan. “Aku sudah bilang kalau aku menyerah. Terserah kalian.”
Ucapnya malas.
“Iya, Niall benar. Di tambah lagi
Louis yang sepertinya sedang membenci kita.” Tambah Zayn.
“Okelah. Menyusun sebuah boyband itu
tidaklah mudah. Banyak sekali hambatannya. Tapi aku berharap kalian sukses
dengan karier solo kalian.” Kata Liam.
“Hhh.. Aku tidak ingin menjadi
penyanyi solo. Aku lebih suka ber-grup.” Kata Zayn.
“Aku juga.” Kata Niall.
Liam jadi bingung sendiri dengan
teman-temannya ini. Kalau saja Austin ada, pasti nasib mereka tidak akan
seperti ini. Jadi, kehadiran Austin di The Potatoes sangatlah berpengaruh
besar. Liam yakin sekali jika dirinya yang mati, pasti The Potatoes tetap
berjalan seperti biasa karena Austin-lah penyemangat mereka.
“God only knows..” Gumam Liam.
***
Pagi yang sama. Bedanya hanyalah
Niall lebih berani dari pagi yang kemarin. Dengan seluruh keberaniannya, ia berjalan
menuju ruang musik. Tiba-tiba, ekor matanya melihat seorang pemuda yang
kira-kira usianya sebaya dengannya sekaligus mahasiswa disini berjalan dengan
santai sambil membawa gitar di punggungnya. Diakah orang itu? Batin Niall.
Diam-diam Niall mengikuti pemuda
itu. Memang benar. Pemuda itulah yang kemarin, yang menciptakan suara petikan
gitar dengan penuh penghayatan. Niall mengintip dari balik jendela. Ia melihat
pemuda itu mulai memetik gitarnya. Niall memerhatikannya dengan begitu serius.
Terdengar alunan indah yang
diciptakan oleh pemuda itu. Niall begitu sangat tersihir oleh permainan gitar itu.
“I
gotta a heart and I gotta a soul
Believe
me I wanna use them both..”
Lirik demi lirik dinyanyikannya.
Niall semakin tersihir. Suara pemuda itu begitu lembut. Dan suara itu
mengingatkannya dengan Austin. Tiba-tiba Niall seperti ingin menangis.
“We
made a start be it a false one, I know
Baby
I don’t want to feel alone..”
Liam dan lainnya harus tau! Harus
tau! Niall tidak akan menyia-nyiakan kesempatan emas di depan matanya ini.
Sepertinya Niall pernah melihat wajah pemuda itu. Tapi entah dimana. Mungkin ia
tidak sengaja berpapasan pada saat pendaftaran atau di kantin atau tempat
lainnya.
“So
kiss me where I lay down my hands press to your cheeks
A
long way from the playgroud…”
Sebentar lagi menuju puncak lagu.
Niall begitu bersemangat sekaligus penasaran bagaimana nada dari reff lagu
tersebut. Dan Niall penasaran siapa yang menciptakan lagu itu. Apa pemuda
itu-kah yang menciptakannya?
“I
have loved you since we were eighteen
Long
before we both thought the same thing
To be
loved and to be in love
All I
can do is say that these arms were made for holding you oo..oo..
I
wanna love like you made me feel
When
we were eighteen..”
Ingin sekali Niall bertepuk tangan
sekeras-kerasnya. Tapi ia tau diri kok. Ia tidak ingin tertangkap basah karena
memerhatikan pemuda itu. Namun sayangnya, kedua kakinya yang tidak seimbang
membuatnya terjatuh dan ia menyenggol benda semacam seng disampingnya sehingga
menimbulkan suara yang cukup keras.
Niall merasakan kesakitan yang luar
biasa sekaligus ketakutan. Bagaimana jika pemuda itu mengetahuinya? Cepat-cepat
Niall pergi meninggalkan tempat itu dengan terpincang-pincang. Sementara pemuda
yang memainkan gitar tadi menjadi curiga. Jangan-jangan, ada yang mengintipnya
lagi.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar