Part 16
.
.
.
Tangannya yang
lincah menari-nari ria di atas buku diary berwarna merah muda. Dari hasil kerja
tangannya itu, tersusunlah sebuah kalimat-kalimat yang indah. Ify tersenyum
mendapati diary yang selesai ia buat.
“Ify..”
Suara itu adalah
suara Cakka. Ify malas mendengar suara itu. Ia lebih suka bersama diarynya
dibanding bertemu pacarnya itu.
“Hei! Aku mau ajak
kamu keliling Jakarta. Ayo! Malam-malam gini kan romantis.” Kata Cakka
semangat.
Sekuat mungkin Ify
menahan air matanya. Cakka lagi Cakka lagi. Cowok yang setiap harinya selalu
membuatnya menangis. Dan Rio... Rasa rindunya dengan Rio udah nggak bisa
dibendung lagi. Ia ingin sekali bertemu Rio.
“Fy, cepet ganti
pakaianmu dan dandan yang cantik.”
Lagi-lagi Ify nggak
bisa menolak permintaan Cakka.
***
Dua jam mereka
berjalan demi menikmati indahnya ibu kota di malam hari. Ya, kali ini mereka
nggak membawa kendaraan. Cukup dengan jalan kaki saja biar romantis.
“Fy, aku seneng deh
hari ini.” Kata Cakka merangkul Ify.
‘Pandai banget kamu
Kka menyembunyikan ekspresi.’ Batin Ify.
“Kamu tau Fy, kamu
itu adalah salah satu dari sekian bidadari cantik yang berhasil mengambil
hatiku. Aku harap, hubungan kita baik-baik saja dan selamanya.” Kata Cakka
mengeratkan rangkulannya.
Ify sama sekali
nggak tergoda dengan ucapan Cakka. Bagi Agni mungkin iya. Oh, Agni! Bagaimana
keadaan cewek itu? Agni pasti membencinya. Rio? Apa Rio udah tau ia dan Cakka
pacaran?
“Lapar ya sayang?”
Tanya Cakka.
“Eh.. Ngg.. I..
Iya.. Tapi nggak terlalu sih, cuma mau makan manakan ringan aja. ” Jawab Ify.
“Kalo gitu kita ke
coffe cream yuk!”
Ify hanya
mengangguk.
Setelah mereka
sampai di coffe cream yang letaknya berada di dalam mall city, Cakka dan Ify
mencari tempat duduk yang nyaman. Tepatnya di pinggir dekat jendela. Cakka
memesan moccacino dan cheese brownis sementara Ify memesan cappucino dan
stawberrycheesecake.
“Suasananya nyaman
banget ya Fy..” Ucap Cakka. Ia menggenggam tangan Ify.
“Iya.” Jawab Ify
yang berusaha melepaskan diri dari genggaman Cakka.
“Kenapa? Nggak suka
aku genggam? Aku tau Fy kamu masih belum menerimaku. Tapi percayalah. Seiring
dengan berjalannya waktu kamu pasti bisa mencintaiku, dan yang paling
penting... Lupakan Rio.”
“Iya.” Jawab Ify
karena kata-kata yang ia punya sudah habis. Jadi Ify menjawab ‘iya’ saja.
Di luar, seorang
cowok memandangi pemandangan tersebut dengan hati yang sangat sakit. Jadi..
Jadi ini alasan Ify? Jadi ini alasan Ify?
Cowok yang tak lain
adalah Rio itu menahan segala emosinya. Terutama pada cowok yang sedang
menggenggam tangan Ify.
‘Sialan lo Kka!
Teganya lo lakukan semua ini. Teganya lo putusin Agni karena Ify!’ Kata Rio
dalam hati.
Walau rasanya ingin
menghajar Cakka, tapi Rio tetap berdiri manis di luar coffe cream. Memerhatikan
gerak-gerik keduanya.
***
Hhhhh...
Nafas Sivia
terengah-engah. Ia beristirahat di bawah pohon dekat rumahnya. Kepalanya yang
terasa sakit ia sandarkan di batang pohon yang kokoh itu.
“Sebegitu lemahnya
gue..” Kata Sivia parau.
Mengenai masalah
kedua orangtuanya, Sivia nggak peduli lagi. Papa udah nggak mau balik ke rumah,
dan Mama jarang pulang ke rumah.
“Tuhan.. Cabutlah
nyawaku!” Pinta Sivia.
“Hei!”
Jantung Sivia
seakan mau copot ketika mendengar suara itu. Alvin! Sivia merasakan ada
ketidakberesan. Masalah apa lagi ini?
“Jujur Vi, jujur ke
gue.”
Alvin duduk di
samping Sivia. Sempat Sivia sadari Alvin tidak mengucapkan kata ‘aku’ melainkan
pake ‘gue’. Alvin marah ya? Apa Alvin sudah tau kalo ia...
“Lo pacaran sama
Gabriel?” Tanya Alvin.
Sebelumnya Sivia
sudah menyiapkan segalanya. Ia yakin sekali suatu saat pasti Alvin tau kalo ia
pacaran sama Gabriel. Begitupun sebaliknya. Gabriel pasti tau kalo ia pacaran
sama Alvin.
“Iya.” Jawab Sivia.
“Kenapa? Lo udah
bosen sama gue?” Tanya Alvin dengan nada tak ramah.
Jika air mata
diizinkan keluar, maka ia akan mengeluarkannya. Namun Sivia lelah menangis. Ia
lelah menangis. Sekali saja ia tidak menangis.
“Jawab Vi!” Bentak
Alvin.
Sivia menarik nafas
dalam-dalam, meski paru-parunya terasa sakit. Lalu ia menoleh ke arah Alvin.
Wajah Alvin sama seperti dulu. Tampan dan manis. Idaman para cewek. Seharusnya
ia bersyukur memiliki cowok seperti Alvin.
“Maaf.”
Itulah kalimat yang
bisa ia sampaikan. Setelah itu Sivia terdiam. Tak sanggup lagi ia bicara. Dan
ia juga tak sanggup menerima bentakan serta kemarahan Alvin.
“Gue nggak butuh
maaf lo. Sekarang jawab pertanyaan gue. Lo cinta nggak sih ke gue? Kalo cinta,
kenapa lo pacaran sama Gabriel?”
‘Cinta.. Cinta
Vin..’ Jerit Sivia.
Tidak! Air mata itu
datang lagi, padahal segerombol air mata itu udah ia simpan di sebuah tempat
yang sulit dijangkau. Tapi, mengapa air mata itu bisa keluar?
Yang terjadi
selanjutnya, Alvin memeluk tubuh Sivia. Ia peluk dengan perasaan cinta dan
kasih sayang. Sungguh, ia sangat mencintai gadis ini dan nggak mau
meninggalkannya.
“Vi.. Kamu.. Kamu
cinta nggak sama aku?” Tanya Alvin pelan.
Terdengar isakan
kecil Sivia. “I.. Iya Vi. Aku.. Aku cinta kamu.” Jawabnya.
“Tapi.. Gabriel..”
“Vin, aku.. Aku..”
Sivia nggak sanggup
melanjutkan kalimatnya. Ia hanya ingin menikmati pelukan hangat Alvin yang
menjalar ke tubuhnya.
Drtdrtdrt...
Ponsel Sivia
berdering. Takut-takut kalo Gabriel yang meng-smsnya. Perlahan ia buka pesan
yang masuk itu.
ASTAGA!!
Ia lupa hari ini
ada latihan basket. Cepat-cepat Sivia bangkit dan meninggalkan Alvin yang sama
sekali nggak tau apa-apa tentang sms barusan.
***
Sesampai di
sekolah, Sivia langsung berlari ke lapangan basket. Disana sudah ramai.
Perasaan bersalah yang dirasakan Sivia. Aisshh, kok gue bisa lupa ya?
“Ehem.. Kirain lo
nggak latihan. Ckck, tapi lo datengnya telat. Nggak nyangka gue ada kapten yang
kelakuannya seperti ini.” Ejek Pricilla yang tiba-tiba ada di depannya.
Sivia menunduk. Tak
berani berkomentar apapun.
“Hei!” Pricilla
mengangkat dagu Sivia. “Heran gue. Kenapa sih lo yang dijadiin kapten? Lo
nyadar nggak sih? Harusnya jabatan itu gue yang pegang!”
“Via!” Teriak Osa
dari jauh. Sivia segera berlari menuju Osa.
“Lo kenapa sih
setelat gini?” Tanya Osa.
“Ng.. Itu.. Ng..”
“Lo abis pacaran
sama Gabriel?” Tanya Osa.
Pacaran? Bukannya
sama Gabriel, Sa. Tapi sama Alvin, kata Sivia sedih. Bagaimana kabar Gabriel?
Mengapa ia rindu sekali dengan cowok itu?
“Ya udah. Tanding
yuk!” Ajak Osa semangat dan Sivia hanya mengangguk. Tiba-tiba saja kepalanya
menjadi pusing. Oh tidak! Hal buruk akan menimpanya.
Sebentar lagi.
Ketika Sivia asyki
tanding 1 on 1 dengan Osa, sesuatu itu terjadi. Darah. Ya, darah merah keluar
dari hidungnya. Semua yang melihatnya langsung kaget. Termasuk Pricilla!
Sementara Sivia tenang-tenang aja. Ia beristirahat di pinggir lapangan sambil
mengelap hidungnya.
“Lo kenapa Vi?”
Tanya Osa panik.
“Cuma mimisan. Maaf
Sa, gue lagi nggak sehat. Gue bolehkan pulang?” Kata Sivia.
Osa mengangguk. Ia
bantu Sivia berdiri. Nggak biasanya Sivia sakit. Atau jangan-jangan.. Ada
sesuatu yang terjadi dengan Sivia. Tapi apa itu?
“Mau gue anter?”
Tanya Osa.
“Nggak deh Sa. Lo
latihan aja sana.”
Walau kepalanya
terasa pusing, Sivia memaksakan diri mengendarai motornya dan meningalkan
sekolah.
Mungkin.. Mungkin
ia tak akan lagi bisa seperti dulu. Ia yang dulu beda dengan yang sekarang.
Dan.. Mungkin saja ia nggak akan bermain basket lagi.
Untuk selamanya.
***
Lelaki itu duduk
bersila menghadap danau luas. Sudah tiga jam ia menyendiri di tempat yang sunyi
itu dan letaknya jauh dari Ibu Kota, atau bisa saja dibilang sudah di luar
daerah Jakarta.
“Andaikan Mama
masih hidup..” Gumamnya parau.
Ia adalah lelaki, dan
lelaki tidak boleh mengeluarkan air mata sedikit pun. Bahkan setetes pun tidak
boleh. Tapi mengapa cairan yang ditahannya itu mengalir?
“Gue cowok yang
lemah ya?” Tanyanya pada diri sendiri.
Sore menjelang
malam menciptakan angin yang cukup dingin. Sayangnya ia tak membawa jaket. Bisa
mati kedinginan ia disini.
“Apa yang harus gue
lakukan? Gue nggak sanggup menghadapi hidup ini.”
Jika ia membantah
takdir, apa itu salah? Bolehkah ia mengubah takdirnya sendiri? Bolekah ia
menghadang takdir Tuhan? Ia ingin sekali hidup bahagia. Bukan hidup yang
sekarang ini. Sangat-sangat menderita.
“Girl I see your eyes you’re dissapointed
Cause I’m the foolish one that you anointed with your
heart
I tore apart
And girl what a mess I made upon your innocence
And no woman in the world deserves this
But here I’m asking you for one more chance..”
Lelaki itu malah
bernyanyi lirih. Sebuah lagu yang melukiskan keadaannya sekarang. Lagu yang
khusus ia berikan untuk seseorang yang telah dilukainya.
“Can we fall one more time?
Stop the tape and rewind
Oh, and if you walk away I know I’II fade
Cause there is nobody else”
Ia menyetopkan
lagunya dan beralih menatap langit yang mulai gelap di atas sana. Kepalanya ia
dongakkan ke atas. Tak terasa, air dari atas sana mentes pelan, membasahi
wajahnya.
“It’s gotta be you... Only you...
I’ts gotta be you... Only you...”
Tidak. Bukan ia
yang menyanyi. Tapi... Ada sebuah suara lain yang melanjutkan lagunya. Lelaki
itu pun menoleh kebelakang dan menyadari ada seseorang yang baginya tak nyata
dalam kehidupannya.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar