expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Sabtu, 07 Maret 2015

We Love You Sivia ( Part 16 )




Part 16

.

.

.

Tangannya yang lincah menari-nari ria di atas buku diary berwarna merah muda. Dari hasil kerja tangannya itu, tersusunlah sebuah kalimat-kalimat yang indah. Ify tersenyum mendapati diary yang selesai ia buat.

“Ify..”

Suara itu adalah suara Cakka. Ify malas mendengar suara itu. Ia lebih suka bersama diarynya dibanding bertemu pacarnya itu.

“Hei! Aku mau ajak kamu keliling Jakarta. Ayo! Malam-malam gini kan romantis.” Kata Cakka semangat.

Sekuat mungkin Ify menahan air matanya. Cakka lagi Cakka lagi. Cowok yang setiap harinya selalu membuatnya menangis. Dan Rio... Rasa rindunya dengan Rio udah nggak bisa dibendung lagi. Ia ingin sekali bertemu Rio.

“Fy, cepet ganti pakaianmu dan dandan yang cantik.”

Lagi-lagi Ify nggak bisa menolak permintaan Cakka.

***

Dua jam mereka berjalan demi menikmati indahnya ibu kota di malam hari. Ya, kali ini mereka nggak membawa kendaraan. Cukup dengan jalan kaki saja biar romantis.

“Fy, aku seneng deh hari ini.” Kata Cakka merangkul Ify.

‘Pandai banget kamu Kka menyembunyikan ekspresi.’ Batin Ify.

“Kamu tau Fy, kamu itu adalah salah satu dari sekian bidadari cantik yang berhasil mengambil hatiku. Aku harap, hubungan kita baik-baik saja dan selamanya.” Kata Cakka mengeratkan rangkulannya.

Ify sama sekali nggak tergoda dengan ucapan Cakka. Bagi Agni mungkin iya. Oh, Agni! Bagaimana keadaan cewek itu? Agni pasti membencinya. Rio? Apa Rio udah tau ia dan Cakka pacaran?

“Lapar ya sayang?” Tanya Cakka.

“Eh.. Ngg.. I.. Iya.. Tapi nggak terlalu sih, cuma mau makan manakan ringan aja. ” Jawab Ify.

“Kalo gitu kita ke coffe cream yuk!”

Ify hanya mengangguk.

Setelah mereka sampai di coffe cream yang letaknya berada di dalam mall city, Cakka dan Ify mencari tempat duduk yang nyaman. Tepatnya di pinggir dekat jendela. Cakka memesan moccacino dan cheese brownis sementara Ify memesan cappucino dan stawberrycheesecake.

“Suasananya nyaman banget ya Fy..” Ucap Cakka. Ia menggenggam tangan Ify.

“Iya.” Jawab Ify yang berusaha melepaskan diri dari genggaman Cakka.

“Kenapa? Nggak suka aku genggam? Aku tau Fy kamu masih belum menerimaku. Tapi percayalah. Seiring dengan berjalannya waktu kamu pasti bisa mencintaiku, dan yang paling penting... Lupakan Rio.”

“Iya.” Jawab Ify karena kata-kata yang ia punya sudah habis. Jadi Ify menjawab ‘iya’ saja.

Di luar, seorang cowok memandangi pemandangan tersebut dengan hati yang sangat sakit. Jadi.. Jadi ini alasan Ify? Jadi ini alasan Ify?

Cowok yang tak lain adalah Rio itu menahan segala emosinya. Terutama pada cowok yang sedang menggenggam tangan Ify.

‘Sialan lo Kka! Teganya lo lakukan semua ini. Teganya lo putusin Agni karena Ify!’ Kata Rio dalam hati.

Walau rasanya ingin menghajar Cakka, tapi Rio tetap berdiri manis di luar coffe cream. Memerhatikan gerak-gerik keduanya.

***

Hhhhh...

Nafas Sivia terengah-engah. Ia beristirahat di bawah pohon dekat rumahnya. Kepalanya yang terasa sakit ia sandarkan di batang pohon yang kokoh itu.

“Sebegitu lemahnya gue..” Kata Sivia parau.

Mengenai masalah kedua orangtuanya, Sivia nggak peduli lagi. Papa udah nggak mau balik ke rumah, dan Mama jarang pulang ke rumah.

“Tuhan.. Cabutlah nyawaku!” Pinta Sivia.

“Hei!”

Jantung Sivia seakan mau copot ketika mendengar suara itu. Alvin! Sivia merasakan ada ketidakberesan. Masalah apa lagi ini?

“Jujur Vi, jujur ke gue.”

Alvin duduk di samping Sivia. Sempat Sivia sadari Alvin tidak mengucapkan kata ‘aku’ melainkan pake ‘gue’. Alvin marah ya? Apa Alvin sudah tau kalo ia...

“Lo pacaran sama Gabriel?” Tanya Alvin.

Sebelumnya Sivia sudah menyiapkan segalanya. Ia yakin sekali suatu saat pasti Alvin tau kalo ia pacaran sama Gabriel. Begitupun sebaliknya. Gabriel pasti tau kalo ia pacaran sama Alvin.

“Iya.” Jawab Sivia.

“Kenapa? Lo udah bosen sama gue?” Tanya Alvin dengan nada tak ramah.

Jika air mata diizinkan keluar, maka ia akan mengeluarkannya. Namun Sivia lelah menangis. Ia lelah menangis. Sekali saja ia tidak menangis.

“Jawab Vi!” Bentak Alvin.

Sivia menarik nafas dalam-dalam, meski paru-parunya terasa sakit. Lalu ia menoleh ke arah Alvin. Wajah Alvin sama seperti dulu. Tampan dan manis. Idaman para cewek. Seharusnya ia bersyukur memiliki cowok seperti Alvin.

“Maaf.”

Itulah kalimat yang bisa ia sampaikan. Setelah itu Sivia terdiam. Tak sanggup lagi ia bicara. Dan ia juga tak sanggup menerima bentakan serta kemarahan Alvin.

“Gue nggak butuh maaf lo. Sekarang jawab pertanyaan gue. Lo cinta nggak sih ke gue? Kalo cinta, kenapa lo pacaran sama Gabriel?”

‘Cinta.. Cinta Vin..’ Jerit Sivia.

Tidak! Air mata itu datang lagi, padahal segerombol air mata itu udah ia simpan di sebuah tempat yang sulit dijangkau. Tapi, mengapa air mata itu bisa keluar?

Yang terjadi selanjutnya, Alvin memeluk tubuh Sivia. Ia peluk dengan perasaan cinta dan kasih sayang. Sungguh, ia sangat mencintai gadis ini dan nggak mau meninggalkannya.

“Vi.. Kamu.. Kamu cinta nggak sama aku?” Tanya Alvin pelan.

Terdengar isakan kecil Sivia. “I.. Iya Vi. Aku.. Aku cinta kamu.” Jawabnya.

“Tapi.. Gabriel..”

“Vin, aku.. Aku..”

Sivia nggak sanggup melanjutkan kalimatnya. Ia hanya ingin menikmati pelukan hangat Alvin yang menjalar ke tubuhnya.

Drtdrtdrt...

Ponsel Sivia berdering. Takut-takut kalo Gabriel yang meng-smsnya. Perlahan ia buka pesan yang masuk itu.

ASTAGA!!

Ia lupa hari ini ada latihan basket. Cepat-cepat Sivia bangkit dan meninggalkan Alvin yang sama sekali nggak tau apa-apa tentang sms barusan.

***

Sesampai di sekolah, Sivia langsung berlari ke lapangan basket. Disana sudah ramai. Perasaan bersalah yang dirasakan Sivia. Aisshh, kok gue bisa lupa ya?

“Ehem.. Kirain lo nggak latihan. Ckck, tapi lo datengnya telat. Nggak nyangka gue ada kapten yang kelakuannya seperti ini.” Ejek Pricilla yang tiba-tiba ada di depannya.

Sivia menunduk. Tak berani berkomentar apapun.

“Hei!” Pricilla mengangkat dagu Sivia. “Heran gue. Kenapa sih lo yang dijadiin kapten? Lo nyadar nggak sih? Harusnya jabatan itu gue yang pegang!”

“Via!” Teriak Osa dari jauh. Sivia segera berlari menuju Osa.

“Lo kenapa sih setelat gini?” Tanya Osa.

“Ng.. Itu.. Ng..”

“Lo abis pacaran sama Gabriel?” Tanya Osa.

Pacaran? Bukannya sama Gabriel, Sa. Tapi sama Alvin, kata Sivia sedih. Bagaimana kabar Gabriel? Mengapa ia rindu sekali dengan cowok itu?

“Ya udah. Tanding yuk!” Ajak Osa semangat dan Sivia hanya mengangguk. Tiba-tiba saja kepalanya menjadi pusing. Oh tidak! Hal buruk akan menimpanya.

Sebentar lagi.

Ketika Sivia asyki tanding 1 on 1 dengan Osa, sesuatu itu terjadi. Darah. Ya, darah merah keluar dari hidungnya. Semua yang melihatnya langsung kaget. Termasuk Pricilla! Sementara Sivia tenang-tenang aja. Ia beristirahat di pinggir lapangan sambil mengelap hidungnya.

“Lo kenapa Vi?” Tanya Osa panik.

“Cuma mimisan. Maaf Sa, gue lagi nggak sehat. Gue bolehkan pulang?” Kata Sivia.

Osa mengangguk. Ia bantu Sivia berdiri. Nggak biasanya Sivia sakit. Atau jangan-jangan.. Ada sesuatu yang terjadi dengan Sivia. Tapi apa itu?

“Mau gue anter?” Tanya Osa.

“Nggak deh Sa. Lo latihan aja sana.”

Walau kepalanya terasa pusing, Sivia memaksakan diri mengendarai motornya dan meningalkan sekolah.

Mungkin.. Mungkin ia tak akan lagi bisa seperti dulu. Ia yang dulu beda dengan yang sekarang. Dan.. Mungkin saja ia nggak akan bermain basket lagi.

Untuk selamanya.

***

Lelaki itu duduk bersila menghadap danau luas. Sudah tiga jam ia menyendiri di tempat yang sunyi itu dan letaknya jauh dari Ibu Kota, atau bisa saja dibilang sudah di luar daerah Jakarta.

“Andaikan Mama masih hidup..” Gumamnya parau.

Ia adalah lelaki, dan lelaki tidak boleh mengeluarkan air mata sedikit pun. Bahkan setetes pun tidak boleh. Tapi mengapa cairan yang ditahannya itu mengalir?

“Gue cowok yang lemah ya?” Tanyanya pada diri sendiri.

Sore menjelang malam menciptakan angin yang cukup dingin. Sayangnya ia tak membawa jaket. Bisa mati kedinginan ia disini.

“Apa yang harus gue lakukan? Gue nggak sanggup menghadapi hidup ini.”

Jika ia membantah takdir, apa itu salah? Bolehkah ia mengubah takdirnya sendiri? Bolekah ia menghadang takdir Tuhan? Ia ingin sekali hidup bahagia. Bukan hidup yang sekarang ini. Sangat-sangat menderita.

“Girl I see your eyes you’re dissapointed

Cause I’m the foolish one that you anointed with your heart

I tore apart

And girl what a mess I made upon your innocence

And no woman in the world deserves this

But here I’m asking you for one more chance..”

Lelaki itu malah bernyanyi lirih. Sebuah lagu yang melukiskan keadaannya sekarang. Lagu yang khusus ia berikan untuk seseorang yang telah dilukainya.

“Can we fall one more time?

Stop the tape and rewind

Oh, and if you walk away I know I’II fade

Cause there is nobody else”

Ia menyetopkan lagunya dan beralih menatap langit yang mulai gelap di atas sana. Kepalanya ia dongakkan ke atas. Tak terasa, air dari atas sana mentes pelan, membasahi wajahnya.

“It’s gotta be you... Only you...

I’ts gotta be you... Only you...”

Tidak. Bukan ia yang menyanyi. Tapi... Ada sebuah suara lain yang melanjutkan lagunya. Lelaki itu pun menoleh kebelakang dan menyadari ada seseorang yang baginya tak nyata dalam kehidupannya.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar