expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Sabtu, 07 Maret 2015

The Missing Star ( Part 2 )



One Mystery
.

            Seminggu berlalu sejak kepergian Austin dan untuk sementara ini The Potatoes memilih untuk break. Mereka lebih mementingkan kuliah dan memikirkan dulu bagaimana The Potatoes kedepannya dan apakah The Potatoes akan bubar. Tapi, fans-fans mereka memaksa agar The Potatoes tetap berjalan, walau mereka tidak ikhlas tanpa kehadiran Austin disana.

            Emma sudah cukup baik dan dia sudah mulai kuliah. Tapi gadis manis itu memilih untuk menyendiri. Bahkan bicara dengan Taylor pun jarang. Gadis itu lebih banyak menghabiskan waktu duduk di sebuah bangku panjang, bangku yang merupakan salah satu kenangannya dengan Austin.

            Kedua mata birunya tidak sengaja melihat Louis yang sedang terduduk lesu di pinggir lapangan bola. Cowok itu tengah memainkan bolanya dengan malas. Emma menggeleng-gelengkan kepala. Seharusnya Louis harus lebih kuat dibanding dirinya. Emma pun memutuskan untuk menemui Louis.

            “Hai Lou! Apa kabar?” Sapanya berusaha ceria.

            “Seperti yang kau lihat.” Jawab Louis malas.

            Emma pun duduk di samping Louis. Tiba-tiba ia teringat sesuatu. “Bagaimana kabar The Potatoes? Aku harap boyband kalian tetap berlanjut.” Ucapnya.

            Nafas Louis terdengar berat. “Yeah, I hope so. But Austin… He.. He.. Without him, The Potatoes never famous and..”

            “Jangan pikirkan ketenaran ataupun lainnya. Kariermu ini sudah hampir berada di pucak. Seandainya Potatoers berkurang karena Austin, kan tidak apa-apa. Itu hak mereka sendiri asalkan kau bisa bernyanyi. Aku yakin banyak sekali gadis-gadis yang mengidolakanmu. Kau sama kerennya dengan Austin.” Kata Emma.

            Louis menatap Emma dengan aneh. “Apa kau tidak sedih? Kau kan kekasihnya Austin.” Tanyanya.

            Emma tersenyum. “Aku tidak ingin menjadi mayat hidup karena Austin. Awalnya sih iya. Aku ingin pergi menyusul Austin. Tapi masa depanku masih panjang. Masih banyak cinta yang harus kutemukan. Memang sakit rasanya ditinggal pergi oleh orang yang sangat kita cintai. Tapi kita tidak boleh putus aja. Jalani aja. Lihat Niall, dia mulai terlihat ceria.”

            Kalimat-kalimat yang bijak. Louis heran mengapa Emma bisa sebijak ini. Ia pun mengacak-acak rambut Emma sehingga berantakan dan Emma menjadi kesal. Tiba-tiba, ekspresi Louis menjadi berubah. Ia sudah tidak tersenyum lagi.

            “Ada apa?” Tanya Emma heran.

            “Aku ingat. Ya, aku ingat.” Jawab Louis.

            “Ingat apa?”

            “Aku ingat kata-kata yang diucapkan Austin saat pertemuan terakhir kita. Kata-kata yang cukup membingungkan dan terasa ganjil.”

            Jantung Emma menjadi berdebar-debar. Mungkin itu adalah petunjuk pertama dari masalah ini. Dan ia berharap ia bisa memahami kata-kata terakhir Austin yang sebentar lagi akan disampaikan oleh Louis.

            “Austin mengatakan bahwa semua ini sebentar lagi akan hancur dan berakhir dengan air mata dan kebencian. Apapun masalahnya, aku harap The Potatoes akan tetap berjalan selamanya.” Kata Louis sambil mengingat-ngingat.

            Sebisa mungkin Emma mencerna kata demi kata yang diucapkan Louis. Apa artinya Austin sudah tau bahwa dia akan mati? Mengapa semua ini harus berakhir dengan air mata dan… kebencian? Emma sama sekali tidak mengerti.

            “Aku lupa. Austin mengatakan bahwa ada rahasia besarnya yang tidak aku ketahui, bahkan kau juga.” Tambah Louis.

            “Rahasia?” Tanya Emma sambil menaikkan sebelah alisnya. “Rahasia apalagi? Selama ini Austin selalu berbagi cerita padaku. Dia tepi orang terbuka.”

            “Aku juga bingung.” Kata Louis.

            Sesaat, keduanya terdiam bersama pikiran masing-masing. Angin sepoi-sepoi berhembus menuju rambut mereka. Emma yang sengaja membiarkan rambutnya tergerai menjadi berantakan karena tertiup angin. Tetapi ia merasa tenang dan nyaman. Ia merasa angin yang lewat tadi adalah Austin.

            “Apa kau merasa belakang-belakangan ini sikap Austin berbeda?” Tanya Louis.

            Emma berpikir sesaat. “Hmmm.. Menurutku sih iya. Austin jarang mengajakku keluar dan dia jarang menelponku. Bahkan dia jarang mengirim sms tuk sekedar mengucapkan selamat malam. Terakhir, kami makan malam di sebuah restoran dan itu dua minggu yang lalu. Aku juga merasa ada yang aneh dengan dirinya. Aku ingin bertanya tetapi aku yakin kalau Austin baik-baik saja. Kulihat penampilannya di panggung tetap keren seperti biasa.”

            “Satu misteri datang dan aku begitu semangat untuk memecahkannya. Aku tidak mau mati penasaran hanya karena masalah ini.” Ucap Louis.

            “Ya, aku juga. Aku harus tau apa, mengapa, bagaimana, siapa yang ada hubungannya dengan kematian Austin. Pertanyaannya, darimana kita memulai memecahkan masalah ini? Kita orang terdekat Austin dan kita sama sekali tidak tau apa masalah Austin. Bagaimana Lou?”

            Louis hanya mengangkat bahu, pertanda ia juga tidak mengerti bagaimana cara memecahkan masalah yang begitu misterius ini.

***

            “Darimana saja kau Lou?” Tanya Zayn yang begitu lelah menunggu kedatangan Louis.

            “Ya! Aku lelah menunggumu!” Tambah Niall yang sudah benar-benar kesal.

            Louis merasa dirinya bodoh dan cukup pelupa. Padahal hari ini akan ada jumpa pers untuk membahas bagaimana nasib The Potatoes ke depannya.

            “Maaf. Aku terlalu lelah.” Jawab Louis.

            Sepertinya Liam paham akan keadaan Louis. “Tidak apa-apa. Tapi jika kau lelah, kau boleh tidak ikut dalam jumpa pers ini. Kau tau kan bagaimana hasilnya?”

            Louis menatap Liam tidak mengerti. Lalu ia beralih menatap wajah Zayn dan Niall dengan ekspresi yang sama: sedih dan pasrah. Dan pada akhirnya Louis bisa mengerti.

            “Oke. Aku setuju The Potatoers bubar dan kita kembali di kehidupan normal kita. Dan aku akan berusaha menyelesaikan masalah Austin.” Ucap Louis lalu pergi meninggalkan Liam dkk. Baru saja datang langsung pergi. Apa Louis kesal?

            “Menyelesaikan masalah Austin? Memangnya dia polisi?” Tanya Niall tidak mengerti.

            “Aku tidak bisa membaca pikirannya. Ya sudah, kita harus bersiap-siap. Dan semoga ini adalah keputusan terbaik.” Kata Liam.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar