One Mystery
.
Seminggu berlalu sejak kepergian
Austin dan untuk sementara ini The Potatoes memilih untuk break. Mereka lebih
mementingkan kuliah dan memikirkan dulu bagaimana The Potatoes kedepannya dan
apakah The Potatoes akan bubar. Tapi, fans-fans mereka memaksa agar The
Potatoes tetap berjalan, walau mereka tidak ikhlas tanpa kehadiran Austin
disana.
Emma
sudah cukup baik dan dia sudah mulai kuliah. Tapi gadis manis itu memilih untuk
menyendiri. Bahkan bicara dengan Taylor pun jarang. Gadis itu lebih banyak
menghabiskan waktu duduk di sebuah bangku panjang, bangku yang merupakan salah
satu kenangannya dengan Austin.
Kedua mata birunya tidak sengaja
melihat Louis yang sedang terduduk lesu di pinggir lapangan bola. Cowok itu
tengah memainkan bolanya dengan malas. Emma menggeleng-gelengkan kepala.
Seharusnya Louis harus lebih kuat dibanding dirinya. Emma pun memutuskan untuk
menemui Louis.
“Hai Lou! Apa kabar?” Sapanya
berusaha ceria.
“Seperti yang kau lihat.” Jawab
Louis malas.
Emma pun duduk di samping Louis.
Tiba-tiba ia teringat sesuatu. “Bagaimana kabar The Potatoes? Aku harap boyband
kalian tetap berlanjut.” Ucapnya.
Nafas Louis terdengar berat. “Yeah,
I hope so. But Austin… He.. He.. Without him, The Potatoes never famous and..”
“Jangan pikirkan ketenaran ataupun
lainnya. Kariermu ini sudah hampir berada di pucak. Seandainya Potatoers
berkurang karena Austin, kan tidak apa-apa. Itu hak mereka sendiri asalkan kau
bisa bernyanyi. Aku yakin banyak sekali gadis-gadis yang mengidolakanmu. Kau
sama kerennya dengan Austin.” Kata Emma.
Louis menatap Emma dengan aneh. “Apa
kau tidak sedih? Kau kan kekasihnya Austin.” Tanyanya.
Emma tersenyum. “Aku tidak ingin
menjadi mayat hidup karena Austin. Awalnya sih iya. Aku ingin pergi menyusul
Austin. Tapi masa depanku masih panjang. Masih banyak cinta yang harus
kutemukan. Memang sakit rasanya ditinggal pergi oleh orang yang sangat kita
cintai. Tapi kita tidak boleh putus aja. Jalani aja. Lihat Niall, dia mulai
terlihat ceria.”
Kalimat-kalimat yang bijak. Louis
heran mengapa Emma bisa sebijak ini. Ia pun mengacak-acak rambut Emma sehingga
berantakan dan Emma menjadi kesal. Tiba-tiba, ekspresi Louis menjadi berubah.
Ia sudah tidak tersenyum lagi.
“Ada apa?” Tanya Emma heran.
“Aku ingat. Ya, aku ingat.” Jawab
Louis.
“Ingat apa?”
“Aku ingat kata-kata yang diucapkan
Austin saat pertemuan terakhir kita. Kata-kata yang cukup membingungkan dan
terasa ganjil.”
Jantung Emma menjadi berdebar-debar.
Mungkin itu adalah petunjuk pertama dari masalah ini. Dan ia berharap ia bisa
memahami kata-kata terakhir Austin yang sebentar lagi akan disampaikan oleh
Louis.
“Austin mengatakan bahwa semua ini
sebentar lagi akan hancur dan berakhir dengan air mata dan kebencian. Apapun
masalahnya, aku harap The Potatoes akan tetap berjalan selamanya.” Kata Louis sambil
mengingat-ngingat.
Sebisa mungkin Emma mencerna kata
demi kata yang diucapkan Louis. Apa artinya Austin sudah tau bahwa dia akan
mati? Mengapa semua ini harus berakhir dengan air mata dan… kebencian? Emma
sama sekali tidak mengerti.
“Aku lupa. Austin mengatakan bahwa
ada rahasia besarnya yang tidak aku ketahui, bahkan kau juga.” Tambah Louis.
“Rahasia?” Tanya Emma sambil
menaikkan sebelah alisnya. “Rahasia apalagi? Selama ini Austin selalu berbagi
cerita padaku. Dia tepi orang terbuka.”
“Aku juga bingung.” Kata Louis.
Sesaat, keduanya terdiam bersama
pikiran masing-masing. Angin sepoi-sepoi berhembus menuju rambut mereka. Emma
yang sengaja membiarkan rambutnya tergerai menjadi berantakan karena tertiup
angin. Tetapi ia merasa tenang dan nyaman. Ia merasa angin yang lewat tadi
adalah Austin.
“Apa kau merasa belakang-belakangan
ini sikap Austin berbeda?” Tanya Louis.
Emma berpikir sesaat. “Hmmm..
Menurutku sih iya. Austin jarang mengajakku keluar dan dia jarang menelponku.
Bahkan dia jarang mengirim sms tuk sekedar mengucapkan selamat malam. Terakhir,
kami makan malam di sebuah restoran dan itu dua minggu yang lalu. Aku juga
merasa ada yang aneh dengan dirinya. Aku ingin bertanya tetapi aku yakin kalau
Austin baik-baik saja. Kulihat penampilannya di panggung tetap keren seperti
biasa.”
“Satu misteri datang dan aku begitu
semangat untuk memecahkannya. Aku tidak mau mati penasaran hanya karena masalah
ini.” Ucap Louis.
“Ya, aku juga. Aku harus tau apa,
mengapa, bagaimana, siapa yang ada hubungannya dengan kematian Austin.
Pertanyaannya, darimana kita memulai memecahkan masalah ini? Kita orang
terdekat Austin dan kita sama sekali tidak tau apa masalah Austin. Bagaimana
Lou?”
Louis hanya mengangkat bahu,
pertanda ia juga tidak mengerti bagaimana cara memecahkan masalah yang begitu
misterius ini.
***
“Darimana saja kau Lou?” Tanya Zayn
yang begitu lelah menunggu kedatangan Louis.
“Ya! Aku lelah menunggumu!” Tambah
Niall yang sudah benar-benar kesal.
Louis merasa dirinya bodoh dan cukup
pelupa. Padahal hari ini akan ada jumpa pers untuk membahas bagaimana nasib The
Potatoes ke depannya.
“Maaf. Aku terlalu lelah.” Jawab
Louis.
Sepertinya Liam paham akan keadaan
Louis. “Tidak apa-apa. Tapi jika kau lelah, kau boleh tidak ikut dalam jumpa
pers ini. Kau tau kan bagaimana hasilnya?”
Louis menatap Liam tidak mengerti.
Lalu ia beralih menatap wajah Zayn dan Niall dengan ekspresi yang sama: sedih
dan pasrah. Dan pada akhirnya Louis bisa mengerti.
“Oke. Aku setuju The Potatoers bubar
dan kita kembali di kehidupan normal kita. Dan aku akan berusaha menyelesaikan
masalah Austin.” Ucap Louis lalu pergi meninggalkan Liam dkk. Baru saja datang
langsung pergi. Apa Louis kesal?
“Menyelesaikan masalah Austin?
Memangnya dia polisi?” Tanya Niall tidak mengerti.
“Aku tidak bisa membaca pikirannya.
Ya sudah, kita harus bersiap-siap. Dan semoga ini adalah keputusan terbaik.”
Kata Liam.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar