expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Sabtu, 07 Maret 2015

We Love You Sivia ( Part 23 )



Part 23

.

.

.

“Gue mau cerita sesuatu ke elo, dan lo harus denger baik-baik.”

Gabriel terdiam. Tak sedikitpun ia mengeluarkan sepatah kata. Rio. Ya, cowok itu tiba-tiba ingin berbagi cerita dengannya. Sebenarnya,Kak  Rio mau cerita apa sih? Kok perasaan gue nggak enak ya? Jangan-jangan, ada hubungannya lagi dengan Sivia?

“Yel, lo sayang nggak sama Sivia?” Tanya Rio.

Gabriel kaget mendengar pertanyaan Rio. “Eng.. Sayang sebagai sahabat. Ya, sebagai sahabat.” Jawabnya.

Terlihat Rio yang sedang menghela nafas berat. Sepertinya ia ragu melanjutkan kalimatnya. Tapi, Gabriel harus tau. Ya, dia harus tau!

“Sivia.. Sivia...”

“Via kenapa Kak?” Desak Gabriel kepo. Benarkan, ada hubungannya dengan Sivia!

“Via.. Dia.. Dia..”

Rio nggak mampu melanjutkannya. Sementara Gabriel kecewa sekaligus penasaran. Akhirnya Rio mendapatkan ide. Tulisan itu! Aha! Untung tulisan Sivia ia bawa. Rio pun memberi tulisan Sivia kepada Gabriel. Gabriel menerimanya dengan tangan bergetar.

Dan...

“Vi.. Via.. Ka.. Kamu..”

Entah perasaan apa yang dirasakan Gabriel saat ini. Tapi ia yakin. Ini tak mungkin. Itu bukan tulisan Sivia. Rasanya, seperti masuk ke dalam mimpi buruk yang tak berujung. Sekali lagi, Gabriel membaca tulisan Sivia dengan cermat. Barangkali ia salah baca. Namun, tulisan itu nggak berubah.

“Selama ini, dia menyembunyikan penyakitnya dari kita. Jujur, gue tidak suka dengan kelakuannya itu. Karena itulah, gue marah-marah seperti ini.” Kata Rio.

Gabriel tak mendengar ucapan Rio. Ia pun beralih menatap wajah Rio yang mempunyai banyak kemiripan dengan wajah Sivia. Tulisan Sivia tadi ia remas-remas membentuk sebuah bola yang siap ia lempar kapan saja.

“Dimana sekarang Sivia?” Tanya Gabriel. Nada suaranya berbeda.

Yang ditanya nggak menjawab.

“Dimana Sivia?!” Tanya Gabriel sedikit membentak.

Dan, kalian tau apa jawaban Rio? Mungkin bagi kalian jawaban itu sangat menyakitkan.

“Gue nggak peduli dimana dia sekarang. Apa gunanya gue cari dia? Dia sudah membohongi gue dan tidak menganggap gue sebagai kakaknya.” Jawab Rio.

Gabriel mulai emosi. “Lo gimana sih? Via itu adek lo! Adek kandung lo! Walau dia pernah seribu kali membohongi lo, seharusnya lo jangan marah!” Gabriel terdiam sesaat. Ia seperti gunung berapi yang siap mengeluarkan api panas. “Via.. Gue nggak nyangka. Dibalik keceriaannya, dia berusaha sekuat mungkin menahan tangis dan kesakitannya. Gu.. Gue..” Volume suara Gabriel menurun.

“Via..” Lirih Gabriel. Benar. Hari ini memang hari yang sangat aneh. Hari yang aneh. Berbeda dengan hari lainnya. Lantas, dimana ia bisa menemukan Sivia?

Tiba-tiba, terdengar suara rendah dan pelan dari mulut Rio. “Maaf.” Hanya itu kata yang bisa diucapkan Rio. Rio sadar. Ia salah besar. Seharusnya, ia tidak marah dan berusaha menyembunhkan penyakit Sivia walau rasanya tidak mungkin.

“Maaf.” Ucap Gabriel mengikuti kata yang tadi diucapkan Rio. Ternyata, ia masih belum bisa mengendalikan emosi meski kata orang ia bisa menahan emosi agar tidak kelepasan.

“Kak, dimana kita..”

“Gue tau tempatnya! Danau! Itu adalah tempat kesayangan Sivia dan Febby! Kita harus kesana.” Kata Rio.

Danau? Bukannya tadi Febby pergi ke danau? Kuat juga ya ternyata ikatan batin Sivia dengan Febby. Yah, namanya juga sahabat dekat.

Tapi, sebelum Rio dan Gabriel hendak pergi ke danau, terdengar sebuah suara yang memanggilnya. Seakan-akan suara itu ingin memberitahu sebuah hal penting yang jika tidak ia terima, maka ia akan rugi.

“RIOO!!”

***

@danau

Hawa dingin menusuk-nusuk tulang rusuknya. Tampaknya, jaket yang ia gunakan tidak berguna. Walau jaket tebal itu membaluti tubuhnya, tetap saja ia merasakan kedinginan yang luar biasa. Atau mungkin... Suhu tubuhnya yang sedang tak normal?

Ia memejamkan mata. Dan ketika ia memejamkan mata, ia seperti melayang-layang. Tiba-tiba ia melihat senyum manis Alvin. Disana, Alvin mengatakan kalo sebentar lagi dia akan menemuinya. Lalu, muncul Gabriel dengan pelukan hangat yang setiap harinya selalu ia rasakan.

Ah, sebuah pikiran yang aneh. Tak seharusnya ia memikirkan dua lelaki yang harus ia lupakan. Ia tau. Dua lelaki itu telah mengisi hatinya yang sepi. Tapi, ia egois. Ia egois karena ia tidak bisa memilih salah satu diantara keduanya.

“SIVIA!!” Teriak suara seseorang.

Sivia menoleh ke belakang dan mendapati Febby bersama nafas yang ngos-ngosan. Ketika Febby melihat wajah sahabatnya itu, Febby merinding. Wajah Sivia berbeda dari biasanya. Wajah Sivia sangat pucat seperti mayat. Tapi, Febby memberanikan diri mendekati Sivia.

“Via, lo kenapa? Gue khawatir sama lo.” Kata Febby.

Sivia tersenyum. Ia melupakan sesuatu. Febby, sahabatnya itu tidak akan pernah membencinya walau berkali-kali ia melakukan kesalahan. Meski kesalahan yang ia lakukan sangat besar. Tuhan begitu baik mengirimkannya seorang sahabat seperti Febby.

“Vi..”

“Gue nggak papa kok Feb. Kok lo tau gue ada disini?”

Itu Sivia atau bukan sih? Perlahan, Febby memegang lengan Sivia. Bisa dipegang kok. Astaga! Lo kira Sivia itu hantu apa? Lalu, Febby memegang telapak tangan Sivia yang ia akui terasa dingin seperti es.

“Thanks Feb karena udah mau menjadi sahabat baik Via.” Kata Sivia pelan.
Febby mengernyitkan dahi. “I.. Iya Vi. Sama-sama. Yuk balik!”

Sivia menggeleng-gelengkan kepala. Mungkin, inilah saatnya ia bercerita tentang semua yang dialaminya. Penyakitnya dan sebuah panggilan yang harus ia patuhi dari Atas sana.

Sebelum bercerita, pipi Sivia yang tadinya kering kini basah karena air mata. Ya, Sivia menangis. Dan ini adalah tangisan terakhir baginya. Febby mengusap air mata Sivia seraya merangkul sahabatnya itu.

“Feb, aku.. Aku..”

“Menangislah Via. Keluarkan semua kesedihan yang lo rasakan.”

“Aku.. Hiks.. Aku.. Umurku sudah nggak lama lagi Feb, aku..”

“Hus! Jangan bicara seperti itu. Hanya Tuhan Vi yang tau kapan waktunya lo kembali pada-Nya. Jadi, jangan bicara yang aneh-aneh.” Hibur Febby.

Sivia terdiam sesaat. Sepertinya, Sivia ingin mengeluarkan segala unek-unek, masalah, derita dan kemalangan yang ia alami. Perlahan, Sivia bangkit dari duduknya. Ia menatap danau yang luas itu.

“Aku.. Aku tau. Aku adalah cewek bodoh. Aku cewek yang nggak berguna. Aku cewek lemah. Aku.. Tuhan tidak butuh aku di dunia ini. Aku emang bodoh.” Kata Sivia. Anehnya, Febby hanya diam saja mendengar perkataan Sivia.

“AKU CEWEK YANG NGGAK BERGUNA!! TUHAAAANN!!! ATAS DASAR APA KAU MENCIPTAKANKU? DAN MENGAPA KAU BERIKAN AKU PENYAKIT KANKER INI?? MENGAPA ?!!”

Penyakit kanker? Sivia bercanda kan? SIVIA BERCANDA KAN? Febby masih diam dan nggak berani mengomentari ucapan kasar yang diucapkan Sivia dengan nada tinggi. Febby ingin mendengar kelanjutan dari ucapan Sivia.

“Hiks.. Aku.. Aku ingin.. Hiks..”

Langsung saja Febby memeluk Sivia. Gadis itu butuh sekali pelukannya agar ia tenang. Via.. Jangan pernah bercanda dalam hal apapun!

“Febby.. Hiks.. Hiks.. Alvin.. Gabriel..”

“Jangan pedulikan mereka. Terpenting, omonganmu tadi just kidding kan Vi? Kamu nggak serius kan kena kanker?”

Sivia tertawa hambar. “Hahaha.. Aku nggak pernah bercanda Feb. Hahaha.. Aku memang terlahir bersama kanker sialan ini, hahaha..”

Entah mulai sejak kapan, Sivia tertidur tepat di bahu Febby. Febby baru menyadarinya ketika merasakan bahu kanannya terasa berat karena tubuh Sivia. Febby berusaha membangunkan Sivia. Ia guncang-guncangkan tubuh Sivia.

“Vi.. Via! Bangun Via!”

Namun, usahanya nihil. Sivia tak kunjung juga terbangun. Febby mengecek nafas Sivia. Masih bernafas! Mungkin saja Sivia pingsan. Dan mungkin.. Apa yang dikatakan Sivia barusan tadi adalah... Benar? Sivia terkena kanker?

“Gue harus bawa Via ke rumah sakit dan telpon kak Rio!”

***

Back to RioGab...

“Lo..” Tunjuk Rio pada cowok yang barusan memanggil namanya.

“Yo..” Kata Cakka girang.

Rio tak mengerti mengapa Cakka bisa sebahagia ini. Padahal, hatinya sedang sedih. Cakka nggak mungkin bisa bahagia kecuali...

“Yo! Surat wasiat itu ternyata salah Yo! Surat wasiat itu masih ada lanjutannya! Ini baca!” Kata Cakka tanpa titik koma bagi kali tambah kurang sama dengan lima belas(?). Ia memberikan lembaran kertas yang tadi ia dapat dari Mira.

Sementara, Rio membacanya dengan teliti. Lalu, dadanya berdesir ketika membaca sebuah kalimat yang sangat berarti.

Cakka, maafkan Mama kalo seandainya Mama terlalu memaksakan kamu untuk menjaga Ify. Tapi, jika kamu tidak bisa menerima Ify, anggaplah dia sebagai adikmu. Jaga dia. Carikan dia lelaki yang pantas untuknya. Dan untuk kamu, HIDUPLAH BERSAMA GADIS YANG BENAR-BENAR KAMU CINTAI.

‘Agni’, senyum Rio. Hampir saja ia melupakan Sivia karena kabar bahagia dari Cakka. Artinya.. Artinya.. Ia bisa... Ia bisa...

Drtdrtdrt...

Message From : 0878xxxxxxxx

Kak Rio! Cepat prgi ke RS Mawar! Sivia sedang ada di ruang ICU! CEPAT!!

By. Febby

“Yo..” Kata Cakka melihat ekspresi perubahan wajah Rio.

Bayangkan, ketika kabar bahagia hadir, sangat cepat digantikan dengan kabar buruk. Bahkan sangat buruk. Alhasil, Rio bingung mengekspresikan keadaan. Di salah satu sisinya, ia sangat bahagia. Dan di lain sisi, ia sangat sedih dan khawatir dengan kondisi Sivia.

“Yo..” Ulang Cakka.

“Kak! Adik kandung Rio sedang di rumah sakit! Dia terkena kanker kak!” Jelas Gabriel.

Cakka terdiam mendengar penjelasan singkat Gabriel. Apa? Mustahil sekali gadis periang seperti Sivia terkena kanker. Diam-diam, Cakka merasa berdosa karena larut dalam kebahagiaannya sementara disana ada seseorang yang sedih dan mungkin nggak akan bisa bahagia lagi.

“Kita harus ke rumah sakit! Secepatnya!” Kata Rio diikuti Gabriel dan Cakka. Sementara Cakka tak lupa memberitahu berita buruk pada Agni dan Ify.

***

Seorang lelaki bertubuh tinggi baru saja menginjakkan kaki di bandara Soekarno-Hatta. Hah! Sudah lama ia meninggalkan negaranya ini. Lelaki itu tersenyum seraya membetulkan letak kacamata hitamnya. Lalu ia menarik koper hitam yang ia bawa.

I’m comming! Batinnya. Walau rasa sedih masih menggentayanginya, ia harus bisa menghilangkan kesedihan itu.

Ia harus menemui orang yang ia tinggalkan tanpa ia beritahu kabar sedikitpun. Ia akui. Ia salah karena tak memberinya kabar.

“Semoga ‘dia’ masih ingat gue dan nggak akan tinggalin gue. Gue telah kehilangan seseorang yang berarti buat gue, dan gue nggak mau ‘dia’ ikut pergi meninggalkan gue.” Kata cowok itu menahan kesedihannya.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar