Part 24
.
.
.
“Mama! Tidak! Jangan tinggalin Alvin!” Teriak Alvin
seperti anak kecil.
Sekuat tenaga ia berlari menuju tempat sang Mama. Mama
terlihat cantik pada balutan kain kafan putih. Bibirnya yang pucat membentuk
sebuah senyum.
Alvin melihat Marsya-Mama Alvin- dengan tatapan kesedihan
yang mendalam. Ternyata, sia-sia ia kemari. Ia pergi ke negri ini dengan tujuan
agar penyakit yang dialami Marsya sembuh. Namun, sebaliknya. Kini, Marsya
kembali ke rumah Tuhan yang abadi.
“Ma, kenapa Mama tinggalkan Alvin? Alvin lelah datang
kemari, menunggu Mama agar Mama sembuh. Tapi.. Kenapa Mama memilih meninggalkan
Alvin?”
Ya. Hilangnya Alvin di Jakarta#Bahasanya :D# bukan
bermaksud untuk meninggalkan Sivia. Alvin masih mencintai Sivia dan sangatlah
berat meninggalkan gadisnya itu. Mengapa Alvin tidak memberitahu soal
kepergiannya kepada Sivia? Karena ponselnya hancur ketika mendengar berita sang
Mama mengalami koma. Maka Alvin cepat-cepat pergi ke Singapura demi menemui
Marsya dan meninggalkan Sivia.
“Ma.. Alvin nggak mau kehilangan Mama..” Lirih Alvin.
Sakit memang ketika kita kehilangan seseorang yang kita
sayangi. Terutama orangtua kita! Coba bayangkan jika salah satu dari kedua orangtuamu
meninggalkanmu, bagaimana reaksimu? Bagaimana reaksimu saat kamu melihat Ibumu
terbaring lemah dan dibaluti kain kafan? Bagaimana reaksimu saat kita melihat
Ayahmu terbaring lemah dan dibaluti kain kafan?
Maka dari itu, hormatilah Bapak Ibumu. Ingat, bapak ibumu
sangat menyayangimu. Mereka berusaha mencarimu uang agar kamu bisa makan, bisa
hidup, bisa sekolah dan lain sebagainya. Selalu sayangi Bapak Ibumu, jangan
bentakin mereka. Terutama Ibumu.
Apa kau tak tau, sembilan bulan Ibumu mengandungmu?
Membamu kemana pun ia pergi? Apa Ibumu tidak merasa lelah membawamu kemana
saja? Dan, ketika dia melahirkan bayi mungil yang tak lain adalah kamu, apa
tidak sakit rasanya? Apa melahirkan itu sangat gampang sehingga dengan mudahnya
kamu membentaki Ibumu yang bersusah payah berusaha agar kamu lahir ke dunia?
Bahkan, Ibumu rela mati demi dirimu. Ibumu rela mengorbankan nyawa asalkan kamu
lahir dengan selamat. Oh Ibu...
Alvin menitikkan air mata. Tapi cepat-cepat ia usap air
mata yang tak berarti itu. And the last, Alvin mencium kening Marsya dengan
penuh kasih sayang. Berharap Marsya bahagia pada kehidupan barunya.
“Bahagia disana, Ma. Dan jangan lupakan Alvin. Disini
Alvin selalu mendoakan Mama.”
Tiba-tiba Alvin teringat dengan Sivia. Gadis yang sangat
ia rindukan. Bagaimana jika Sivia sama seperti Marsya? Apakah ia mampu untuk
bertahan dan....
Hus! Buang semua pikiran negativmu! Tapi tenang aja Vi,
secepatnya gue bakal balik ke Jakarta demi menemui bidadari cantik yaitu elo.
Tenag aja Vi.. Dan semoga lo masih ingat gue.. Dan tolong, jangan pernah
tinggalin gue. Lo satu-satunya bidadari yang bisa mengobati segala luka yang
gue alami.
Terimakasih Vi :’)
***
@RS Mawar
Orang-orang yang
ditunggunya akhirnya sudah tiba. Kekhawatiran menghiasi wajah Gabriel maupun
Rio. Bisa ia tebak, Rio dan Gabriel langsung mengeluarkan sejuta pertanyaan
yang harus ia jawab. Sementara Cakka memilih diam.
“Doker masih di
dalam. Kita doakan saja supaya Sivia sembuh.” Kata Febby penuh harap.
“Feb, Via nggak
kena kanker kan?” Tanya Gabriel.
Febby nggak
menjawab. Ia malah terdiam.
“Yel, apa belum
jelas tulisan Sivia ini?” Tanya Rio.
Giliran Gabriel
yang terdiam. Beberapa menit kemudian, Ify dan Agni datang menemui Rio, Gabriel
dan Cakka. Kali ini, Agni tersenyum pada Cakka melalui sebuah isyarat yang
hanya ia dan Cakka saja yang tau.
“Yo, gimana kondisi
adek lo?” Tanya Agni. Tadi Cakka sempat memberitahukannya sebuah kabar buruk
tentang adik Rio.
Rio mengangkat
bahu. “Hanya Tuhan yang tau.” Setelah itu, Rio melirik wajah Ify yang ternyata
juga melirik ke arahnya.
Seorang dokter
keluar dari ruang yang bertuliskan ICU. Tampaknya dokter itu tampak serius
memulai pembicaraan.
“Adakah yang
bernama Alvin disini?” Tanya dokter itu.
Semuanya
menggeleng. Dalam hati, Gabriel berkata, ‘Mengapa dokter itu menyebut nama
bajingan itu? Apa jangan-jangan Sivia ngigau sambil nyebut nama cowok yang
telah menyakiti hatinya itu?’
“Memangnya ada apa
dok?” Tanya Rio.
“Pasien
berkali-kali memanggil nama itu. Sepertinya dia membutuhkan Alvin di
sampingnya.” Jelas sang dokter.
“Dok! Biar saya
saja yang masuk. Dia juga butuh saya.” Kata Gabriel.
Dokter pun
mengangguk. Memberi ijin Gabriel untuk masuk ke dalam ruang ICU. “Gue kesana
dulu.” Kata Gabriel pelan lalu meninggalkan Rio cs.
***
Pelan-pelan, ia
membuka matanya. Cukup berat memang, namun ia mampu membukanya. Ia merasakan
kondisi tubuhnya yang sangat lemah. Entah sejak kapan, pikirannya dipenuhi oleh
dua lelaki yang sangat ia cintai. Yang tak bisa ia memilih yang terbaik diantara
keduanya. Ia tidak bisa, karena takdir cintanya memang untuk mereka. Gabriel
dan Alvin.
Ketika ia membuka
matanya, ia melihat satu senyuman yang sangat indah. Senyuman yang membuatnya
bisa untuk bertahan sampai detik ini. Namun, ia ingin sekali melihat senyuman
lain dari orang yang lain pula. Tapi, kemana orang itu? Mengapa orang itu tak
menemuinya juga? Padahal, ia sudah sangat rindu dengan orang itu.
“Kau.. Kau sudah
sadar?”
Terdengar lirihan
suara Gabriel. Sivia berusaha menggunakan indra pendengarannya agar suara
lembut Gabriel dapat ia dengar.
“Al.. Alvin.. Yel..
Al.. Alvin dim.. dimana?”
Kalo saja ada Alvin
disini, Gabriel berjanji nggak akan memaafkan Alvin. Apapun alasannya. Karena
Alvin telah meninggalkan Sivia tanpa memberinya kabar.
“Vi, jangan cari
dia. Dia sudah jahat ke elo. Jadi, lupakan dia Vi.” Kata Gabriel.
Dan apa yang
terjadi? Sivia malah menitikkan air mata. Sial! Bukannya ia berjanji nggak akan
menangis lagi? Bukannya di danau itu ia berjanji akan mengeluarkan tangisnya
yang terkahir?
“Maaf Vi.” Kata
Gabriel.
“Hiks.. Hiks.. Al..
Alvin.. Hiks.. Aku.. Aku ingin bertemu dia untuk yang.. untuk yang terakhir
kalinya..”
“Vi! Jangan bicara
kayak gitu! Lo nggak boleh mati. Gue udah berusaha nyari Alvin. Tapi dia nggak
ketemu-ketemu! Ngapain juga lo rindukan orang yang..”
“Yel..”
Pintu terbuka. Rio
masuk ke dalam mendekati ranjang Sivia. Sepertinya Rio mendengar apa yang
dikatakan Gabriel. Gabriel menjadi bersalah karena perkataannya tadi sedikit
kasar.
“Tenang Yel, jangan
emosi. Kita belum tau alasan Alvin meninggalkan Sivia. Jadi, gue harap lo
jangan marah.” Kata Rio pelan. Sementara Gabriel menunduk.
Giliran Rio yang
menatap wajah cantik Sivia yang pucat. Rio melihat ada senyuman kesedihan
disana. Via.. Jika kamu mati... Rio tak bisa membayangkan dirinya hidup
sendiri. Dan ia harus tertawa sekencang-kencangnya karena Mama dan Papanya
tidak kunjung mendatangi rumah sakit ini.
“Kak, maafkan Via
kalo Via punya salah sama kakak.” Kata Sivia.
Rio membelai lembut
rambut Sivia. “It’s okay. Seharusnya kakak yang minta maaf ke kamu.” Ucapnya.
“Sampaikan perminta
maafan Sivia ke Mama dan Papa ya, kak..”
Rio mengangguk.
Rasanya seperti ada yang mendekat ke arahnya. Mendekat... Namun Rio tak bisa
merasakan langkah kaki orang tersebut. Rio mencium kening Sivia dengan penuh
cinta, dan seraya bertanya pada diri sendiri. Apakah ini adalah kecupan
terakhir untuk Sivia?
Di sampingnya,
Gabriel menitikkan air mata. Terharu melihat adik kakak itu. Juga keadaan Sivia
yang semakin memburuk. Tiba-tiba, tangannya di genggam oleh tangan dingin
Sivia.
“Yel, Via cinta
kamu. Via cinta kamu. Juga Alvin. Kalian adalah lelaki terhebat yang Via
miliki. Via mencintai kalian. Sampaikan perminta maafan Via ke Alvin ya Yel..”
Kata Sivia.
“I.. Iya, Vi..”
Jawab Gabriel dengan suara bergetar.
Di luar, Ify, Agni
dan Cakka menangis dalam diam melihat suasana tegang di dalam sana. Bagi Ify,
Sivia adalah gadis yang periang. Ia sering mentionan dengan Sivia. Dari Sivia,
Ify bisa tau semua tentang Rio. Apa kesukaan Rio, bagaimana kehidupan Rio dan
lain sebagainya. Ify sangat berhutang budi dengan Sivia.
Tiiiiiitttt....
Garis zig zag itu
berubah menjadi garis lurus. Pertanda bahwa nyawa dalam tubuh itu telah
terpisah. Nafas yang ke luar dari hidung sudah tak bisa dirasakan lagi.
“VIAA!! TIDAK !! LO
JANGAN MATI!! JANGAN!!” Teriak Gabriel. Ia frustrasi mengguncang-guncangkan
tubuh Sivia yang tak berdaya itu.
Sementara Rio, ia
berusaha menahan tangisnya. Ia berusaha menahan agar air mata tak keluar dari
matanya. Sakit sekali rasanya melihat seseorang yang ia sayangi
meninggalkannya. Baru pertama kali ini Rio merasakan sakit seperti ini.
Sivia...
“Via! Gue janji
akan bunuh tuh orang! Dia yang sudah membuatmu menjadi seperti ini! Dan dia
juga harus mendapatkannya!” Tekad Gabriel marah bercampur kesedihan yang
mendalam.
Setiap jiwa yang
bernafas, pasti akan merasakan kematian.
***
Kamar itu kosong.
Kamar itu tak berpenghuni. Kamar itu terasa sepi dan sunyi. Kamar itu seperti
menggambarkan ekspresi kesedihan yang tak berujung. Namun, kita tidak boleh
bersedih terus menerus. Kita tidak boleh kalah dengan kesedihan.
Diam-diam,
Rio berjalan masuk ke dalam kamar Sivia. Ia tersenyum melihat kamar berukuran
sedang itu tersusun rapi. Ya, sudah dua hari Sivia meninggalkannya. Menyisakan
sejuta kenangan yang indah.
Yang menjadi
pertanyaannya, sampai sekarang kedua orangtuanya tak kunjung datang ke rumah
ini. Itu yang membuat Rio penasaran. Kalo boleh jujur, ia sangat membutuhkan
kehadiran orangtua. Karena sekarang, ia hidup sendiri di rumah ini. Tanpa ada
siapapun yang menemaninya.
“Yo..”
Rio terenyak
mendengar suara lembut itu. Ia membuka pintu kamar Sivia dan mendapati wajah
manis Ify tersenyum kepadanya. Rio membalas senyuman Ify.
“Kok tau aku ada
disini?” Tanya Rio.
“Ng.. Aku
nebak-nebak aja. Hehe..”
Rio mengajak Ify
masuk ke dalam kamar Sivia. Ify nurut aja. Kini, keduanya berada di dalam kamar
seseorang yang menyedihkan. Tapi Rio berjanji nggak akan bersedih lagi. Mengenai
Gabriel, Rio nggak tau bagaimana keadaan Gabriel sekarang. Dan Alvin, Rio rasa
itu bukan urusannya. Cukup Gabriel yang berurusan dengan Alvin.
“Yo..” Kata Ify
pelan.
Rio menoleh ke arah
Ify. “Ada apa?” Tanyanya.
Ify tidak menjawab.
Ia malah memeluk erat tubuh Rio. Sementara Rio bingung harus berbuat apa. Tapi
ia sadar. Ia tidak sendiri. Ada Ify di sampingnya. Ify yang selalu untuknya dan
Ify yang selalu mendukungnya.
“Yo.. Berjanjilah
ke Ify, kamu jangan sedih lagi. Ify akan melakukan apapun asalkan kamu bahagia.
Apapun itu.” Kata Ify.
Rio tersenyum
seraya membalas pelukan Ify. “Aku janji Fy nggak akan sedih lagi. Aku janji.”
Ucapnya.
Ya, ada hikmah di
balik musibah ini. Akhirnya, Rio bisa merasakan hangatnya sentuhan kasih Ify.
Begitu pula Ify. Tak henti-hentinya ia tersenyum. Hei! Apakah sekarang mereka
resmi menjadi sepasang kekasih?
“Aku senang Yo
ketika Cakka memberitahu kabar gembira itu.” Kata Ify mengingat saat Cakka
memberinya selembar kertas yang bertuliskan beberapa kalimat yang penuh dengan
keajaiban.
“Aku juga, aku
juga!” Kata Rio.
Rio mengeratkan
pelukannya. Semakin erat dan erat. Ia senang sekarang, walau sejujurnya
kesedihan itu masih menggentayanginya tanpa henti.
“Sebulan lagi, kita
tunangan!” Kata Rio tiba-tiba yang membuat Ify kaget mendadak. Lalu, Ify
melempar bantal yang ada di sampingnya. Bantal itu mengenai wajah jahil Rio.
“Dasar kamu!” Kata
Ify tertawa.
Keduanya tertawa
dalam kebahagiaan. Di atas sana, seorang malaikat cantik tersenyum dan
mendukung keduanya. Malaikat cantik itu berharap agar keduanya selalu bahagia,
dan cinta yang selama ini mereka bangun tidak akan pudar dan tetap ada untuk
selama-lamanya.
Semoga.
***
“Ini.. Ini semua
bohong kan? Ini semua..”
Lelaki itu menatap
wajah seorang gadis yang tampaknya habis menangis. Ia mencoba mencari kebenaran
di mata gadis itu. Ternyata, gadis itu memang benar. Gadis itu sama sekali tak
membohonginya.
“Aku harus pergi
kesana!” Kata cowok itu.
***
Lima hari sudah
Sivia meninggalkannya. Hati Gabriel masih saja hancur. Berkali-kali Shilla
menghiburnya. Tapi usaha Shilla gagal. Shilla mengerti kondisi Gabriel yang
mungkin sudah tak menganggapnya sebagai kekasihnya. Shilla tau kalo Gabriel
sama sekali tak mencintainya. Hanya Sivia, Sivia dan Sivia yang ada dipikirkan
Gabriel.
Sore ini, di makam
Sivia, Gabriel duduk bersila di samping batu nisan yang bertuliskan nama Sivia.
Air mata sialan itu masih saja menetes walau hanya satu tetes. Jujur, Gabriel
masih belum ikhlas atas kepergian Sivia dan masih dendam dengan sesosok lelaki
yang bernama Alvin.
“Via, udah lima
hari. Lo lagi ngapain nih? Disini gue sendirian Vi.” Kata Gabriel pelan sambil
mengusap batu nisan Sivia.
Tidak ada jawaban.
Padahal Gabriel sangat berharap Sivia bisa mendengar suaranya dan menjawab
pertanyaannya. Meski hanya satu kata yang ia ucapkan. Asalkan Sivia
mendengarnya.
“Sivia..” Lirih
seseorang yang baru saja datang.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar