expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Sabtu, 07 Maret 2015

We Love You Sivia ( Part 24 )



Part 24

.

.

.

“Mama! Tidak! Jangan tinggalin Alvin!” Teriak Alvin seperti anak kecil.

Sekuat tenaga ia berlari menuju tempat sang Mama. Mama terlihat cantik pada balutan kain kafan putih. Bibirnya yang pucat membentuk sebuah senyum.

Alvin melihat Marsya-Mama Alvin- dengan tatapan kesedihan yang mendalam. Ternyata, sia-sia ia kemari. Ia pergi ke negri ini dengan tujuan agar penyakit yang dialami Marsya sembuh. Namun, sebaliknya. Kini, Marsya kembali ke rumah Tuhan yang abadi.

“Ma, kenapa Mama tinggalkan Alvin? Alvin lelah datang kemari, menunggu Mama agar Mama sembuh. Tapi.. Kenapa Mama memilih meninggalkan Alvin?”

Ya. Hilangnya Alvin di Jakarta#Bahasanya :D# bukan bermaksud untuk meninggalkan Sivia. Alvin masih mencintai Sivia dan sangatlah berat meninggalkan gadisnya itu. Mengapa Alvin tidak memberitahu soal kepergiannya kepada Sivia? Karena ponselnya hancur ketika mendengar berita sang Mama mengalami koma. Maka Alvin cepat-cepat pergi ke Singapura demi menemui Marsya dan meninggalkan Sivia.

“Ma.. Alvin nggak mau kehilangan Mama..” Lirih Alvin.

Sakit memang ketika kita kehilangan seseorang yang kita sayangi. Terutama orangtua kita! Coba bayangkan jika salah satu dari kedua orangtuamu meninggalkanmu, bagaimana reaksimu? Bagaimana reaksimu saat kamu melihat Ibumu terbaring lemah dan dibaluti kain kafan? Bagaimana reaksimu saat kita melihat Ayahmu terbaring lemah dan dibaluti kain kafan?

Maka dari itu, hormatilah Bapak Ibumu. Ingat, bapak ibumu sangat menyayangimu. Mereka berusaha mencarimu uang agar kamu bisa makan, bisa hidup, bisa sekolah dan lain sebagainya. Selalu sayangi Bapak Ibumu, jangan bentakin mereka. Terutama Ibumu.

Apa kau tak tau, sembilan bulan Ibumu mengandungmu? Membamu kemana pun ia pergi? Apa Ibumu tidak merasa lelah membawamu kemana saja? Dan, ketika dia melahirkan bayi mungil yang tak lain adalah kamu, apa tidak sakit rasanya? Apa melahirkan itu sangat gampang sehingga dengan mudahnya kamu membentaki Ibumu yang bersusah payah berusaha agar kamu lahir ke dunia? Bahkan, Ibumu rela mati demi dirimu. Ibumu rela mengorbankan nyawa asalkan kamu lahir dengan selamat. Oh Ibu...

Alvin menitikkan air mata. Tapi cepat-cepat ia usap air mata yang tak berarti itu. And the last, Alvin mencium kening Marsya dengan penuh kasih sayang. Berharap Marsya bahagia pada kehidupan barunya.

“Bahagia disana, Ma. Dan jangan lupakan Alvin. Disini Alvin selalu mendoakan Mama.”

Tiba-tiba Alvin teringat dengan Sivia. Gadis yang sangat ia rindukan. Bagaimana jika Sivia sama seperti Marsya? Apakah ia mampu untuk bertahan dan....

Hus! Buang semua pikiran negativmu! Tapi tenang aja Vi, secepatnya gue bakal balik ke Jakarta demi menemui bidadari cantik yaitu elo. Tenag aja Vi.. Dan semoga lo masih ingat gue.. Dan tolong, jangan pernah tinggalin gue. Lo satu-satunya bidadari yang bisa mengobati segala luka yang gue alami.

Terimakasih Vi :’)

***

@RS Mawar

Orang-orang yang ditunggunya akhirnya sudah tiba. Kekhawatiran menghiasi wajah Gabriel maupun Rio. Bisa ia tebak, Rio dan Gabriel langsung mengeluarkan sejuta pertanyaan yang harus ia jawab. Sementara Cakka memilih diam.

“Doker masih di dalam. Kita doakan saja supaya Sivia sembuh.” Kata Febby penuh harap.

“Feb, Via nggak kena kanker kan?” Tanya Gabriel.

Febby nggak menjawab. Ia malah terdiam.

“Yel, apa belum jelas tulisan Sivia ini?” Tanya Rio.

Giliran Gabriel yang terdiam. Beberapa menit kemudian, Ify dan Agni datang menemui Rio, Gabriel dan Cakka. Kali ini, Agni tersenyum pada Cakka melalui sebuah isyarat yang hanya ia dan Cakka saja yang tau.

“Yo, gimana kondisi adek lo?” Tanya Agni. Tadi Cakka sempat memberitahukannya sebuah kabar buruk tentang adik Rio.

Rio mengangkat bahu. “Hanya Tuhan yang tau.” Setelah itu, Rio melirik wajah Ify yang ternyata juga melirik ke arahnya.

Seorang dokter keluar dari ruang yang bertuliskan ICU. Tampaknya dokter itu tampak serius memulai pembicaraan.

“Adakah yang bernama Alvin disini?” Tanya dokter itu.

Semuanya menggeleng. Dalam hati, Gabriel berkata, ‘Mengapa dokter itu menyebut nama bajingan itu? Apa jangan-jangan Sivia ngigau sambil nyebut nama cowok yang telah menyakiti hatinya itu?’

“Memangnya ada apa dok?” Tanya Rio.

“Pasien berkali-kali memanggil nama itu. Sepertinya dia membutuhkan Alvin di sampingnya.” Jelas sang dokter.

“Dok! Biar saya saja yang masuk. Dia juga butuh saya.” Kata Gabriel.

Dokter pun mengangguk. Memberi ijin Gabriel untuk masuk ke dalam ruang ICU. “Gue kesana dulu.” Kata Gabriel pelan lalu meninggalkan Rio cs.

***

Pelan-pelan, ia membuka matanya. Cukup berat memang, namun ia mampu membukanya. Ia merasakan kondisi tubuhnya yang sangat lemah. Entah sejak kapan, pikirannya dipenuhi oleh dua lelaki yang sangat ia cintai. Yang tak bisa ia memilih yang terbaik diantara keduanya. Ia tidak bisa, karena takdir cintanya memang untuk mereka. Gabriel dan Alvin.

Ketika ia membuka matanya, ia melihat satu senyuman yang sangat indah. Senyuman yang membuatnya bisa untuk bertahan sampai detik ini. Namun, ia ingin sekali melihat senyuman lain dari orang yang lain pula. Tapi, kemana orang itu? Mengapa orang itu tak menemuinya juga? Padahal, ia sudah sangat rindu dengan orang itu.

“Kau.. Kau sudah sadar?”

Terdengar lirihan suara Gabriel. Sivia berusaha menggunakan indra pendengarannya agar suara lembut Gabriel dapat ia dengar.

“Al.. Alvin.. Yel.. Al.. Alvin dim.. dimana?”

Kalo saja ada Alvin disini, Gabriel berjanji nggak akan memaafkan Alvin. Apapun alasannya. Karena Alvin telah meninggalkan Sivia tanpa memberinya kabar.

“Vi, jangan cari dia. Dia sudah jahat ke elo. Jadi, lupakan dia Vi.” Kata Gabriel.

Dan apa yang terjadi? Sivia malah menitikkan air mata. Sial! Bukannya ia berjanji nggak akan menangis lagi? Bukannya di danau itu ia berjanji akan mengeluarkan tangisnya yang terkahir?

“Maaf Vi.” Kata Gabriel.

“Hiks.. Hiks.. Al.. Alvin.. Hiks.. Aku.. Aku ingin bertemu dia untuk yang.. untuk yang terakhir kalinya..”

“Vi! Jangan bicara kayak gitu! Lo nggak boleh mati. Gue udah berusaha nyari Alvin. Tapi dia nggak ketemu-ketemu! Ngapain juga lo rindukan orang yang..”

“Yel..”

Pintu terbuka. Rio masuk ke dalam mendekati ranjang Sivia. Sepertinya Rio mendengar apa yang dikatakan Gabriel. Gabriel menjadi bersalah karena perkataannya tadi sedikit kasar.

“Tenang Yel, jangan emosi. Kita belum tau alasan Alvin meninggalkan Sivia. Jadi, gue harap lo jangan marah.” Kata Rio pelan. Sementara Gabriel menunduk.

Giliran Rio yang menatap wajah cantik Sivia yang pucat. Rio melihat ada senyuman kesedihan disana. Via.. Jika kamu mati... Rio tak bisa membayangkan dirinya hidup sendiri. Dan ia harus tertawa sekencang-kencangnya karena Mama dan Papanya tidak kunjung mendatangi rumah sakit ini.

“Kak, maafkan Via kalo Via punya salah sama kakak.” Kata Sivia.

Rio membelai lembut rambut Sivia. “It’s okay. Seharusnya kakak yang minta maaf ke kamu.” Ucapnya.

“Sampaikan perminta maafan Sivia ke Mama dan Papa ya, kak..”

Rio mengangguk. Rasanya seperti ada yang mendekat ke arahnya. Mendekat... Namun Rio tak bisa merasakan langkah kaki orang tersebut. Rio mencium kening Sivia dengan penuh cinta, dan seraya bertanya pada diri sendiri. Apakah ini adalah kecupan terakhir untuk Sivia?

Di sampingnya, Gabriel menitikkan air mata. Terharu melihat adik kakak itu. Juga keadaan Sivia yang semakin memburuk. Tiba-tiba, tangannya di genggam oleh tangan dingin Sivia.

“Yel, Via cinta kamu. Via cinta kamu. Juga Alvin. Kalian adalah lelaki terhebat yang Via miliki. Via mencintai kalian. Sampaikan perminta maafan Via ke Alvin ya Yel..” Kata Sivia.

“I.. Iya, Vi..” Jawab Gabriel dengan suara bergetar.

Di luar, Ify, Agni dan Cakka menangis dalam diam melihat suasana tegang di dalam sana. Bagi Ify, Sivia adalah gadis yang periang. Ia sering mentionan dengan Sivia. Dari Sivia, Ify bisa tau semua tentang Rio. Apa kesukaan Rio, bagaimana kehidupan Rio dan lain sebagainya. Ify sangat berhutang budi dengan Sivia.

Tiiiiiitttt....

Garis zig zag itu berubah menjadi garis lurus. Pertanda bahwa nyawa dalam tubuh itu telah terpisah. Nafas yang ke luar dari hidung sudah tak bisa dirasakan lagi.

“VIAA!! TIDAK !! LO JANGAN MATI!! JANGAN!!” Teriak Gabriel. Ia frustrasi mengguncang-guncangkan tubuh Sivia yang tak berdaya itu.

Sementara Rio, ia berusaha menahan tangisnya. Ia berusaha menahan agar air mata tak keluar dari matanya. Sakit sekali rasanya melihat seseorang yang ia sayangi meninggalkannya. Baru pertama kali ini Rio merasakan sakit seperti ini. Sivia...

“Via! Gue janji akan bunuh tuh orang! Dia yang sudah membuatmu menjadi seperti ini! Dan dia juga harus mendapatkannya!” Tekad Gabriel marah bercampur kesedihan yang mendalam.

Setiap jiwa yang bernafas, pasti akan merasakan kematian.

***

Kamar itu kosong. Kamar itu tak berpenghuni. Kamar itu terasa sepi dan sunyi. Kamar itu seperti menggambarkan ekspresi kesedihan yang tak berujung. Namun, kita tidak boleh bersedih terus menerus. Kita tidak boleh kalah dengan kesedihan.

Diam-diam, Rio berjalan masuk ke dalam kamar Sivia. Ia tersenyum melihat kamar berukuran sedang itu tersusun rapi. Ya, sudah dua hari Sivia meninggalkannya. Menyisakan sejuta kenangan yang indah.

Yang menjadi pertanyaannya, sampai sekarang kedua orangtuanya tak kunjung datang ke rumah ini. Itu yang membuat Rio penasaran. Kalo boleh jujur, ia sangat membutuhkan kehadiran orangtua. Karena sekarang, ia hidup sendiri di rumah ini. Tanpa ada siapapun yang menemaninya.

“Yo..”

Rio terenyak mendengar suara lembut itu. Ia membuka pintu kamar Sivia dan mendapati wajah manis Ify tersenyum kepadanya. Rio membalas senyuman Ify.

“Kok tau aku ada disini?” Tanya Rio.

“Ng.. Aku nebak-nebak aja. Hehe..”

Rio mengajak Ify masuk ke dalam kamar Sivia. Ify nurut aja. Kini, keduanya berada di dalam kamar seseorang yang menyedihkan. Tapi Rio berjanji nggak akan bersedih lagi. Mengenai Gabriel, Rio nggak tau bagaimana keadaan Gabriel sekarang. Dan Alvin, Rio rasa itu bukan urusannya. Cukup Gabriel yang berurusan dengan Alvin.

“Yo..” Kata Ify pelan.

Rio menoleh ke arah Ify. “Ada apa?” Tanyanya.

Ify tidak menjawab. Ia malah memeluk erat tubuh Rio. Sementara Rio bingung harus berbuat apa. Tapi ia sadar. Ia tidak sendiri. Ada Ify di sampingnya. Ify yang selalu untuknya dan Ify yang selalu mendukungnya.

“Yo.. Berjanjilah ke Ify, kamu jangan sedih lagi. Ify akan melakukan apapun asalkan kamu bahagia. Apapun itu.” Kata Ify.

Rio tersenyum seraya membalas pelukan Ify. “Aku janji Fy nggak akan sedih lagi. Aku janji.” Ucapnya.

Ya, ada hikmah di balik musibah ini. Akhirnya, Rio bisa merasakan hangatnya sentuhan kasih Ify. Begitu pula Ify. Tak henti-hentinya ia tersenyum. Hei! Apakah sekarang mereka resmi menjadi sepasang kekasih?

“Aku senang Yo ketika Cakka memberitahu kabar gembira itu.” Kata Ify mengingat saat Cakka memberinya selembar kertas yang bertuliskan beberapa kalimat yang penuh dengan keajaiban.

“Aku juga, aku juga!” Kata Rio.

Rio mengeratkan pelukannya. Semakin erat dan erat. Ia senang sekarang, walau sejujurnya kesedihan itu masih menggentayanginya tanpa henti.

“Sebulan lagi, kita tunangan!” Kata Rio tiba-tiba yang membuat Ify kaget mendadak. Lalu, Ify melempar bantal yang ada di sampingnya. Bantal itu mengenai wajah jahil Rio.

“Dasar kamu!” Kata Ify tertawa.

Keduanya tertawa dalam kebahagiaan. Di atas sana, seorang malaikat cantik tersenyum dan mendukung keduanya. Malaikat cantik itu berharap agar keduanya selalu bahagia, dan cinta yang selama ini mereka bangun tidak akan pudar dan tetap ada untuk selama-lamanya.

Semoga.

***

“Ini.. Ini semua bohong kan? Ini semua..”

Lelaki itu menatap wajah seorang gadis yang tampaknya habis menangis. Ia mencoba mencari kebenaran di mata gadis itu. Ternyata, gadis itu memang benar. Gadis itu sama sekali tak membohonginya.

“Aku harus pergi kesana!” Kata cowok itu.

***

Lima hari sudah Sivia meninggalkannya. Hati Gabriel masih saja hancur. Berkali-kali Shilla menghiburnya. Tapi usaha Shilla gagal. Shilla mengerti kondisi Gabriel yang mungkin sudah tak menganggapnya sebagai kekasihnya. Shilla tau kalo Gabriel sama sekali tak mencintainya. Hanya Sivia, Sivia dan Sivia yang ada dipikirkan Gabriel.

Sore ini, di makam Sivia, Gabriel duduk bersila di samping batu nisan yang bertuliskan nama Sivia. Air mata sialan itu masih saja menetes walau hanya satu tetes. Jujur, Gabriel masih belum ikhlas atas kepergian Sivia dan masih dendam dengan sesosok lelaki yang bernama Alvin.

“Via, udah lima hari. Lo lagi ngapain nih? Disini gue sendirian Vi.” Kata Gabriel pelan sambil mengusap batu nisan Sivia.

Tidak ada jawaban. Padahal Gabriel sangat berharap Sivia bisa mendengar suaranya dan menjawab pertanyaannya. Meski hanya satu kata yang ia ucapkan. Asalkan Sivia mendengarnya.

“Sivia..” Lirih seseorang yang baru saja datang.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar