expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Sabtu, 07 Maret 2015

The Missing Star ( Part 14 )



A Tragedy
.

            Bagi Louis, ia merasa sudah lama tidak bertemu Ele dan ia sangat merindukan gadis itu. Louis penasaran bagaimana perasaan Ele terhadapnya. Menurutnya, Ele sama seperti dulu. Hanya menganggapnya sebagai seorang teman, tidak lebih. Ia sendiri pun masih bingung dengan perasaannya. Apakah ia memang menyukai Ele?

            Pagi ini dunia mempertemukannya dengan Ele. Tepatnya di sebuah caffe yang terletak tidak jauh dari universitasnya. Di caffe yang tidak terlalu ramai itu, Louis berjanji akan mengobrol banyak dengan Ele dan melepas rasa rindu itu.

            “Sudah lama kita tidak bertemu.” Kata Louis.

            Ele tersenyum. “Ya. Aku tau kau sangat sibuk. Dengar-dengar kau dan lainnya membuat band baru ya? The Black and White ya namanya?” Tanyanya.

            “Ya. Sebentar lagi kami akan menghebohkan dunia.” Jawab Louis.

            Ucapan Louis di balas tawa oleh Ele. “Kalian masih berempat kan?” Tanyanya.

            Louis menghela nafas panjang. “Untuk sementara ini.” Jawabnya. Tiba-tiba ia teringat Harry dan lagunya.

            “Kenapa tidak mencari personil lagi?” Tanya Ele.

            Louis balik nanya. “Kau kira mencari anggota boyband itu mudah?” Tanyanya.

            Ele yang tidak tau apa-apa memilih untuk diam. Memang sih mencari anggota baru itu cukup sulit dan belum tentu juga bisa di ajak kerja sama. Coba jika masih ada Austin. Mungkin The Potatoes akan semakin terkenal dan The Invisible kalah telak.

            “Kapan aku bisa bertemu dengan kakakmu yang hebat itu?” Tanya Louis.

            Bahkan Ele sampai lupa dengan janjinya yang akan memperkenalkan Louis dengan kakaknya. “Ohya aku lupa. Mmm.. Ntar aja deh aku lihat dulu. Kalau kakakku sedang ada waktu senjang baru akan ku kasih tau.” Jawabnya.

            “Oke. Aku paham kok dengan kakakmu yang super duper sibuk itu.” Ucap Louis.

            Tiba-tiba wajah Ele berubah menjadi sedih. Melihat hal itu, Louis menjadi khawatir. Apa omongannya tadi salah? Kakaknya Ele kan memang sangat sibuk?

            “Sekarang kakakku tidak seperti dulu lagi. Dia sering keluar rumah dan jarang pulang. Tapi bukan untuk digunakan belajar dan bekerja.” Kata Ele.

            “Kenapa? Kakakmu kan sedang berjuang keras untuk cepat-cepat lulus kuliah dan mempertahankan beasiswa?” Tanya Louis heran.

            Ele menghela nafas dalam-dalam. “Aku tidak tau. Katanya dia mau berhenti kuliah karena sudah bosan kuliah. Nilainya saja sudah banyak yang C. D pun ada!”

            Tidak mungkin orang seperti kakak Ele yang bagi Louis sangat menginspiratif bisa berubah seperti yang Ele ceritakan. Pasti ada sesuatu yang membuat kakak Ele berubah. Jika ia bisa membantu maka ia siap membantunya.

            “Tapi kalau perlu bantuan, jangan malu-malu beritahu aku ya. Siapa tau aku bisa membantumu.” Kata Louis.

            “Terimakasih Lou, kau sangat baik padaku. Padahal aku hanyalah seorang gadis biasa. Banyak lho yang iri padaku karena aku dekat dengan seorang Louis Tomlinson. Dan kenapa kau tidak memilih berteman dengan gadis yang lebih baik dariku?”

            Jantung Louis berdetak lebih kencang saat Ele mengucapkan kata ‘berteman.’ Ya. Ia kan memang teman Ele. Hanya teman Ele. Namun mengapa ia ingin meminta lebih dari itu?

            “Besok malam, aku akan mengajakmu kencan dan kau harus ikut. Oke?” Ucap Louis.

***

            “Kau serius dengan rencanamu ini?” Tanya seorang pria berkumis tebal.

            “Ya. Aku sudah merencanakannya sejak dulu. Walaupun dia sangat baik padaku, tapi dia telah menghancurkan hubunganku dengan Austin.”

            “Tapi, itu salah. Dia berniat baik untuk mencegah perbuatanmu yang tidak wajar itu. Seharusnya kau sadar dong kalau perbuatanmu itu salah.”

            Pemuda itu menatap si pria kumis dengan tajam. “Kalau kau tidak mau, uang semiliyaran rupiah itu tidak akan aku beri padamu.” Ucapnya mengancam.

***

            Malam harinya, Ele menemukan kakaknya yang sedang duduk di teras rumah. Tidak lupa Ele membuatkannya secangkir teh hangat. Ele pun memilih duduk di samping kakaknya sambil menatap langit malam yang begitu indah. Tiba-tiba ia teringat dengan Louis. Sebuah senyum menghiasi wajahnya.

            “Kau menyukainya.” Kata Kakaknya itu.

            Tentu saja Ele tersipu malu mendengar ucapan kakaknya. “Iya, Ele memang menyukainya. Tetapi dia adalah seorang bintang, sementara aku?”

            “Karena itulah kau harus melupakannya.”

            Ucapan kakaknya memang benar. Perasaannya pada Louis semakin lama semakin menjadi-jadi. Kehadiran cinta itu tidak bisa dicegah. Tapi Ele tidak menyesal karena telah mencintai Louis. Tapi apa salahnya menyukai Louis? Ia kan punya hak untuk menyukai siapapun. Bahkan jika Louis adalah seorang Pangeran tampan yang lahir dari sepasang Raja dan Ratu yang sangat disegani rakyat.

            “Tidak apa. Ele akan terus mencintai Louis dan Ele tidak peduli jika seandainya Louis pacaran dengan gadis lain.”

            Kakaknya langsung menatapnya. “Artinya kau mau saja dijajah oleh Louis!” Ucapnya.

            Ele tersenyum. “Ele tidak paham apa yang dimaksud dengan kata ‘dijajah’ yang kakak ucapkan.”

            Terkadang, kakaknya itu tidak bisa mengerti jalan pikirannya. Tapi bagaimanapun juga, kakaknya itu sangat sayang padanya walau belakang-belakangan ini sedikit berubah.

            “Mau tidak besok malam Ele akan perkenalkan kakak dengan Louis?” Tanya Ele.

            “Tidak perlu!” Ucap kakaknya dengan suara tinggi. “Dia tidak perlu mengenalku.” Sambungnya.

            “Kenapa? Kakak-kan pernah berjanji suatu hari nanti mau Ele kenalkan dengan Louis?”

            Kakaknya itu tidak menjawab pertanyaannya. Ele memilih untuk mengubah topik pembicaraan. “Bagaimana dengan kuliah kakak?” Tanyanya.

            “Kakak kehilangan beasiswa dan sebentar lagi kakak akan berhenti kuliah. Uang kakak sudah habis. Untuk makan besok saja tidak ada.” Ucapnya dengan lirih.

***

            Berani tidak ya? Berkali-kali Niall mondar-madir layaknya orang yang kebingungan. Zayn pusing melihat sahabatnya itu. Karena itu-lah Zayn memilih mendengar lagu lewat headsetnya.

            “Aku akan menemui Harry sekarang juga!”

            Tujuan utamanya yaitu perpustakaan. Untunglah Harry ada disana. Niall melihat Harry yang sedang serius membaca buku. Anak yang rajin.

            “Harr, aku ingin berbicara serius denganmu.” Ucap Niall.

            Entah sejak kapan Niall sudah ada di dekatnya tanpa terlebih dahulu menyapanya. Tentu saja Harry kaget. Niall seperti hantu saja, datang secara tiba-tiba lalu membuatnya kaget.

            “Apa? Bicara saja.” Ucap Harry.

            Sesaat Niall ragu untuk berbicara, tiba-tiba ia teringat di ruang musik itu. Ya, sekarang Harry adalah sahabatnya jadi ia tidak perlu ragu. “Ku mohon kau bergabung dengan band-ku. Aku, kau, Liam, Louis dan Zayn. Pleasee..” Jawabnya memelas.

            “Kenapa harus aku?” Tanya Harry.

            “Aku juga tidak tau. Tapi menurutku kau cocok menggantikan Austin. Liam dan Zayn pun setuju dan mereka malah mendukungku. Masalah Louis, biar ku atur. Gimana?”

            Sesaat Harry berpkir. Ingatannya kembali pada saat ia dan Niall bernyanyi bersama menyanyikan lagu Little Things dan ia menyanyikan lagunya yang berjudul Fireproof dengan penuh semangat. Parahnya lagi, Emma melihat semua itu dengan jelas. Apakah ia sudah terlalu bodoh?

            “Kau ingin tau apa jawabanku?” Tanya Harry.

            “Ya.” Jawab Niall.

            “Tidak.” Ucap Harry.

***

            Sore hari yang sedikit agak mendung. Ele sangat tidak sabar menunggu malam harinya. Disana ia akan berkencan dengan Louis. Rencananya, Louis akan menjemutnya tepat di depan rumahnya dan disana harus ada kakaknya sehingga Louis tau bagaimana kakaknya agar rasa penasaran Louis menghilang.

            Sebentar lagi ia akan sampai di rumah. Terlebih dahulu Ele harus menyebrangi jalan raya yang besar. Untunglah jalan rayanya cukup sepi jadi Ele tidak perlu melihat ke kanan dan kiri. Yang ada dipikirannya hanyalah Louis, Louis dan Louis. Ketika ia menyebrang pun masih memikirkan Louis dan sempat tersenyum sendiri.

            Dari jarak yang cukup dekat, sebuah mobil berkecepatan tinggi melaju seakan tidak peduli dengan jalan yang didepannya. Sepertinya si pengemudi mobil itu sedang mabuk. Tepat disasarannya! Batin si pengemudi mobil itu.

            Sementara Ele yang masih memikirkan Louis dan tidak menyadari datangnya mobil itu hanya bisa kaget dan menjerit. Bisa ia rasakan kepalanya yang begitu sakit dan kaki kanannya yang teramat sakit melebihi rasa sakit di kepalanya, dan Ele sadar ada cairan merah keluar dari wajahnya. Sakit. Itulah yang ia rasakan. Namun samar-samar Ele masih mendengar suara seorang laki-laki.

            “Kau berhasil! Kita lihat saja bagaimana aksi sang kakaknya itu!”

***

            “Dok, gimana keadaan adik saya?” Tanya sebuah suara yang tidak lain adalah kakak Ele. Wajahnya begitu panik, pucat dan lelah.

            Sungguh, ia tidak menyangka kejadian tragis itu menimpa adiknya. Seharusnya ia yang saat ini berbaring di atas ranjang rumah sakit dengan selang yang menusuk urat tangan dan melingkari di bagian hidung. Ia sudah banyak memakan korban hanya karena ulahnya. Tapi ia sangat tidak mengerti. Ia hanya ingin berbuat baik, dan mengapa perbuatan baik itu dibalas oleh kejahatan dan kesakitan?

            “Adik Anda baik-baik saja. Hanya saja…”

            Ia mendengar kelanjutan ucapan dokter itu dengan jantung yang berdebar-debar. Ia takut sesuatu akan terjadi pada adiknya. Ia ingin adiknya baik-baik saja dan tidak ditambah dengan kalimat ‘hanya saja..’.

            “Hanya saja.. Kaki kanannya tidak bisa disembuhkan. Kecelakaan yang keras itu membuat kaki kanannya tidak bisa digunakan lagi atau lebih tepatnya lumpuh. Tapi hanya sebagaian. Jangan khawatir. Kami akan berusaha untuk menyembuhkannya.” Jelas dokter itu.

            Ucapan telak dari dokter itu membuat tubuhnya semakin lemas. Cobaan apa lagi ini? Mengapa harus adiknya? Mengapa harus Ele? Mengapa tidak dirinya saja? Mengapa ‘orang itu’ tidak langsung membunuhnya saja sehingga urusannya selesai?

            Dan satu hal yang hampir ia lupakan dan hal itu sangat-lah penting dan sangat berhubungan dengan kondisi Ele. Yaitu uang.

***

            Bagai di sambar petir! Mendengar berita itu, tentu saja Louis merasa sangat sedih. Hampir saja ia menangis jika tidak ada Niall, Liam dan Zayn di dekatnya. Bagaimana hal itu bisa terjadi? Mengapa harus Ele? Padahal malam nanti adalah malam yang paling ditunggunya. Mau tidak mau Louis harus menjenguk Ele sekarang juga.

            “Ele pasti tidak mempunyai biaya untuk membayar sewa kamar rumah sakit dan pengobatan. Aku akan membantu kakaknya.” Kata Louis lalu cepat-cepat pergi meninggalkan rumahnya.

            “Kasihan Louis. Dia sangat khawatir dengan Ele. Semoga gadis yang dicintainya itu baik-baik saja.” Ucap Liam.

            “Memangnya kau yakin gadis itu adalah pilihan hati Louis?” Tanya Zayn.

            “Tentu saja!” Jawab Liam yakin.

            Sementara itu, Louis telah sampai di rumah sakit tempat Ele di rawat. Ia berlari sekencang-kencangnya dan tidak peduli dengan orang-orang yang ia tabrak. Sesampai di meja resepsionis, pertama-tama Louis mengatur nafasnya yang ngos-ngosan.

            “Ada yang bisa saya bantu?” Tanya resepsionis itu ramah.

            “Aku mencari seorang gadis bernama Eleanor. Baru saja dia kecelakaan. Umurnya kira-kira sembilan belas tahun.” Jawab Louis.

            “Oh dia. Sebentar.”

            Beberapa menit kemudian, resepsionis itu memberitahu dimana ruang rawat Ele. Louis menjadi lega. Namun jantungnya masih berdebar-debar. Ia berharap Ele baik-baik saja dan tidak amnesia. Kalau dia sampai amnesia, Louis tidak akan pernah bisa memaafkan orang yang telah membuat Ele menjadi seperti itu. Tiba-tiba Louis teringat dengan Austin yang kejadiannya sama persis dengan Ele. Mengapa orang yang sangat disayangnya harus menjalani masa seperti ini?

            Louis hampir sampai menuju ruang rawat Ele dan disana ia bisa melihat seorang laki-laki bertubuh tinggi yang ia yakini adalah kakak Ele. Louis bisa melihat kakak Ele yang sedang bingung. Cepat-cepat Louis berlari mendekati kakak Ele.

            “Maaf, apakah Anda kakak kandung Ele?” Tanya Louis dengan sopan.

            Si ‘kakak Ele’ itu langsung membalikkan badannya tatkala mendengar sebuah suara yang sepertinya pernah ia dengar sebelumnya. Dan setelah ia menyadari siapa si pemilik suara itu, ia benar-benar kaget. Apalagi Louis yang benar-benar tidak percaya dengan orang di hadapannya itu. Jadi, dia-kah kakak Ele yang selama ini ia penasarankan?

            “Louis?”

            “Harry?”

            Bodoh! Bodoh! Entah mengapa Louis memaki-maki dirinya sendiri. Harry! Harry! Jadi, Harry-lah kakak kandung Ele? Jujur, Louis sangat tidak percaya. Jadi, selama ini ia memuji Harry habis-habisan? Jadi kakak kandung Ele itu adalah Harry?

            “Mengapa kau kesini?” Tanya Harry dengan nada yang kurang ramah.

            Louis tidak menyangka Harry bisa sesinis itu. Dan ucapannya hampir sama dengan Luke. Entah mengapa Louis ingin sekali menghajar pemuda didepannya itu kalau saja ia tidak tau hubungan antara pemuda itu dengan Ele.

            “Aku ingin melihat keadaan Ele!” Jawab Louis dengan nada tinggi.

            “Tidak. Dia tidak membutuhkanmu. Sebaiknya kau pergi saja.” Ucap Harry.

            Louis menatap Harry dari atas sampai bawah. Benar-benar sangat berbeda. Saat ia bersama Harry sewaktu acara yang hancur itu, Harry begitu sopan dan pendiam. Suaranya pun ramah dan tidak sesinis ini. Jadi, inilah Harry yang sebenarnya?

            “Kenapa kau tidak mau pergi juga?” Tanya Harry.

            Louis tersenyum sinis. “Kau sama seperti Luke dan aku sangat membencimu. Baiklah. Aku akan pergi dan aku akan melupakan Ele. Jujur, aku menyesal jatuh cinta kepada gadis itu. Gadis yang memiliki seorang kakak yang licik!”

            Mendengar kata ‘Luke’ dan ‘licik’, emosi Harry mulai naik. “Jaga mulutmu! Aku disini sedang panik dan susah! Tapi bagus juga kalau kau mau melupakan adikku. Sekarang pergilah sebelum aku menghancurkan wajahmu!”

            “Dengan keadaan seperti itu. Hah! Dasar orang miskin! Aku tau bagaimana keidupanmu. Dan aku tau kau sangat membutuhkan uang kan? Nih!”

            Dengan kasarnya Louis melempar sebuah amplop putih tebal yang berisikan puluhan juta uang. Amplop itu kini berada tepat di kaki Harry. Harry menatap amplop itu sesaat, lalu tiba-tiba ia meludahi amplop itu.

            “Aku tidak membutuhkan uangmu! Bahkan sedikitpun!” Ucapnya.

***

            Sialan! Sialan! Sialan! Louis begitu emosi. Sangat emosi sekaligus sedih. Mengapa sih ia tidak bisa mengendalikan emosinya? Dan mengapa ia tidak bisa menjadi seseorang yang dewasa? Ele. Tentu saja ia tidak bisa melupakan gadis yang telah mencuri hatinya itu. Tidak bisa!

            Malam yang ia rasa adalah malam terbaiknya berubah menjadi malam terburuknya. Padahal Louis sudah mempersiapkan satu buah lagu ciptaannya yang akan ia nyanyikan untuk Ele. Dan Harry.. Perutnya begitu terasa mual mengingat nama itu. Ternyata benar. Harry tidak seperti yang Niall bayangkan. Baik-lah, pendiam-lah, ramah-lah.. Itu hanya topeng cerdas milik Harry. Louis yakin sekali Harry dan Luke saling kenal mengenal dan bersekongkol menjadi satu. Atau jangan-jangan, Harry yang membunuh Austin?

            Hampir saja Louis menabrak motor di depannya. Untunglah ia mengerem mobilnya dengan cepat. Kalau tidak, tentu ia akan berakhir dengan tragis seperti Ele. Ele? Sanggupkah ia melupakan gadis itu? Melupakan seorang gadis yang selama ini menjadi obat untuk mendinginkan hatinya yang sedang panas?

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar