expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Sabtu, 07 Maret 2015

The Missing Star ( Part 22 )



Finally
.

            Besok. Besok adalah hari dimana One Direction melakukan konser pertama mereka dan mereka akan menyanyikan lagu-lagu di album pertama mereka. Ada satu hal yang hampir mereka lupakan. Yaitu besok adalah hari dimana Austin kembali di sisi-Nya. Sudah setahun dan itu sangat lama. Tidak tau kenapa hari pertama konser mereka sama dengan hari dimana kematian Austin. Apakah itu hanya sebuah kebetulan atau lainnya?

            Tentu saja Liam dkk begitu semangat dengan konser pertama mereka. Mereka tidak sabaran untuk membuat directioners berteriak dengan kenang. Latihan demi latihan sudah mereka lakukan dan mereka yakin sekali hasilnya akan baik.

            Malam itu, Harry sengaja mengajak Emma jalan keluar tuk menghirup udara malam. Mungkin malam ini adalah malam terakhirnya bersantai dengan Emma sebelum tour. Besok tour sudah dimulai. Pertama-tama mereka tour keliling Inggris lalu menjelajai benua Eropa. Bukankah menyenangkan? Lagipula Harry penasaran gimana menara Eiffel itu karena jujur saja ia belum pernah mengunjungi Perancis. Mengerikan bukan?

            “Kau pasti tidak sabar melihat Eiffel.” Kata Emma.

            “Ya. Aku ingin kau juga ikut kami. Aku ingin menikmati indahnya pemandangan di Paris bersamamu.” Ucap Harry.

            Emma tersenyum. “Tentu saja. Apa kau tidak cemas atau merasa gugup dengan konser pertama kalian yang diadakan besok malam?” Tanyanya.

            “Tidak. Bahkan aku begitu semangat. Niall dan lainnya juga semangat.” Ucap Harry.

            Tiba-tiba ekspresi wajah Emma berubah. Gadis itu memberhentikan langkahnya mengingat akan hari ini. Dan juga besok. Emma sadar, besok adalah hari dimana ia ditinggal pergi oleh Austin. Tepatnya sudah satu tahun. Emma tidak menyangka waktu berjalan begitu cepat. Ah ya, bagaimana kabar Austin? Apa Austin baik-baik saja disana?

            “Ada apa?” Tanya Harry.

            “Ti.. Tidak. Aku hanya.. Aku hanya teringat Austin. Maaf.” Jawab Emma.

            Harry meghela nafas panjang. Ia juga baru sadar besok adalah hari kepergian Austin dari dunia ini. Pemuda tampan itu seperti sedang menyembunyikan sesuatu. Namun di wajahnya tampak sedikit pucat dan juga takut.

            “Kau tidak marah kan aku menyebut nama Austin?” Tanya Emma. Takut-takut jika Harry cemburu.

            “Tidak. Tapi aku sedih mengingat hari esok. Aku janji akan menyanyikan lagu spesial untuk Austin.” Kata Harry.

            Emma tersenyum sambil menatap wajah Harry dengan sangat dalam. Ia begitu mencintai Harry dan tidak ingin kehilangan Harry. Entah mengapa air matanya turun membahasi pipinya. Harry langsung memeluk Emma dan Emma merasa nyaman dengan pelukan itu. Ia berharap Harry akan terus memeluknya.

            Sambil terisak-isak, Emma berbicara secara perlahan. “Aku sudah kehilangan Austin. Dan aku tidak mau kehilanganmu.” Ucapnya.

            Harry pun tidak bisa menahan air matanya. Maka setetes air mata turun membahasi pipinya. “Aku juga. Aku juga tidak ingin kehilanganmu.” Balasnya sambil mengeratkan pelukannya.

            “Tapi.. Besok kau dan lainnya tour dan itu pasti sangat lama.” Ucap Emma.

            “Iya. Aku tau Emm. Inilah hidupku dan aku harus menjalaninya. Kau juga. Rajin-rajin belajar agar cita-citamu terkabul dan jaga dirimu baik-baik. Meski aku tidak ada disampingmu, aku selalu merasa berada dekat denganmu. Percayalah.”

            Pelukan itu semakin erat dan tangis Emma semakin menjadi-jadi. Mengapa hidupnya sesulit ini? Dulu saat ia pacaran dengan Austin, Austin jarang meluangkan waktu untuknya karena kesibukannya sebagai bintang. Dan sekarang Harry. Emma tau Harry adalah seorang bintang baru yang banyak digemari jutaan gadis. Dan ia adalah gadis yang paling beruntung. Ya, Emma sadar akan hal itu.

            Perlahan, pelukan itu semakin longgar dan Emma tidak ingin pelukan hangat itu lepas dari tubuhnya. Sebagai gantinya, Harry memegang pundaknya dengan kedua tangannya seakan-akan memberinya energi.

            “Suatu hari nanti, aku akan datang menemui orangtuamu dan kita akan menikah. Aku janji.” Ucap Harry sambil tersenyum.

            Emma pun ikut tersenyum. “Aku pegang janjimu.”

            Terdiam sesaat. Sepertinya Harry ingin mengucapkan sesuatu, tapi ia ragu. Tau hal itu, Emma langsung bicara. “Ada apa?” Tanyanya lembut.

            Mendengar suara lembut Emma, Harry jadi malu. “Aku.. Aku hanya ingin menciummu. Boleh?”

            Sebisa mungkin Emma menahan tawanya. Ekspresi Harry lucu sekali. Apa memang harus meminta izin dulu? Bahkan dulu Austin suka menciumnya secara mendadak. Entah di pipi maupun di bibir dan Emma tidak bisa menolaknya.

            “Siapa takut!” Ucap Emma.

            Sepertinya Harry mulai berani. Ia menutup jaraknya dengan Emma sehingga mereka tidak dibatasi oleh jarak. Tubuh mereka sudah berdekatan dan Emma tidak bisa menyembunyikan detakan jantungnya. Harry mendekati wajahnya dengan wajah Emma yang sedang menunduk. Ia pun mengangkat dagu Emma secara perlahan dengan tangan kanannya.

            “Katanya tidak takut.” Goda Harry.

            Emma tersenyum dan keduanya pun berciuman di bawah sinar lampu yang menerangi malam itu. Di atas sana, bulan tidak terlalu terlihat jelas karena tertutupi mendung. Bintang-bintang pun sama sehingga tidak bisa menyaksikan sepasang kekasih yang sedang bahagia itu. Emma begitu menikmati ciumannya dengan Harry. Begitu pula dengan Harry. Mereka berciuman cukup lama dan Harry enggan melepaskan ciumannya dengan Emma.

            Setelah dirasa cukup lama, perlahan Harry melepaskan ciumannya. Sebuah ciuman yang begitu indah. Emma pun sama. Itu adalah ciuman terindah sepanjang masa. Kalau boleh jujur, ciuman Harry lebih dahsyat dibanding ciuman Austin.

            “Itu adalah ciuman pertamaku.” Ucap Harry.

            “Ohya? Apa sebelumnya kau belum pernah berciuman dengan seorang gadis?” Tanya Emma.

            “Belum. Kaulah ciuman pertamaku. Ya, malam ini.” Jawab Harry.

            “Wah, aku tidak nyangka bahwa aku adalah ciuman pertamamu.” Ucap Emma.

            Memang benar. Selama hidupnya ini Harry tidak pernah berciuman dengan gadis manapun dan malam inilah pertama kalinya dimana ia berciuman dengan seorang gadis. Ya. Emma-lah ciuman pertamanya.

            “Aku berharap, kau juga menjadi ciuman terakhirku.” Ucap Harry.

            “Ciuman pertama dan terakhir.” Ucap Emma sambil tersenyum.

            “Hei! Itu salah satu judul lagu di album pertama One Direction.” Ucap Harry sambil tertawa.

***

            Hari ini. Ya, hari ini! One Direction sudah siap untuk membuat para directioner kehabisan nafas dan suara. Konser ini adalah konser pertama mereka dan mereka yakin sekali semuanya akan berjalan dengan lancar.

            “Ada apa Harr?” Tanya Liam yang melihat Harry lain dari biasanya.

            Mendengar suara Liam, Harry tersadar. “Tidak ada kok. Hanya merasa aneh saja. Entah mengapa perasaanku menjadi tidak enak dan aku terus saja teringat dengan Emma.” Jawab Harry.

            Liam tersenyum. “Kau terlalu mencintainya. Ayolah! Kali ini saja lupakan Emma dan fokus dengan konser nanti. Oke?”

            Semuanya pun berkumpul menjadi satu. Beberapa menit lagi mereka akan tampil. Bisa didengar jeritan dari luar sana yang kebanyakan adalah suara para gadis. Yaiyalah. Tidak banyak cowok-cowok yang mengidolakan band seperti One Direction. Apalagi teriak-teriak seperti itu.

            “Oke! Let’s go and do the best!” Ucap Liam untuk yang terakhir kalinya.

***

            Teriakan para gadis sudah terdengar begitu jelas. Seorang pemuda kurus yang mengenakan jaket tebal tersenyum puas menatap ribuan gadis itu. Benar-benar menakjubkan padahal ini konser pertama One Direction. Pemuda kurus itu mengeratkan jaket yang ia pakai. Walau udara cukup panas, namun pemuda itu merasa dingin. Apa tubuhnya sudah tidak kuat lagi?

            Pemuda itu teringat dengan percakapannya dengan sahabatnya. Tepatnya dua hari yang lalu.

            “Apa kau yakin akan melakukannya?”

            “Ya. Aku yakin sekali.” Jawab pemuda itu.

            Sahabatnya itu menghela nafas panjang. “Kenapa kau begitu tidak menyukai jika dia bahagia? Jangan pikirkan masa lalumu itu. Dia itu bermaksud baik. Kau jangan egois.”

            Pemuda itu tersenyum sinis. “Austin sudah mati. Sebentar lagi aku mati. Dan dia juga harus mati!”

            Setelah mengucapkan kalimat itu dengan kasar, pemuda itu terbatuk-batuk. Penyakitnya semakin parah dan ia hanya bisa menunggu panggilan Tuhan. Namun ia masih bersyukur diberi sedikit umur panjang untuk menuntaskan dendamnya agar semuanya selesai dengan damai. Biarlah orang mengatakan ia egois atau apa. Tapi itulah keinginannya.

            “Luk, cobalah berpikir baik-baik. Lagipula, kau tidak bisa menuntaskan dendanmu dengan cara itu. Lagipula lusa adalah konser One Direction.”

            “Aku tidak peduli!”

            Percakapan itu masih terekam jelas di otaknya. Apa benar ia akan melakukannya? Apa benar ini adalah akhir dari semuanya? Hatinya masih terasa sakit akan kematian Austin dan dialah orang yang membunuh Austin karena kesalah pahaman! Ia kira Austin sudah tidak mencintainya lagi karena telah mencintai seorang gadis bernama Emma dan itu semua karena Harry! Ya! Karena Harry! Dan saat ia melihat mobil Austin yang rusak dan pada saat itu Austin sekarat, Austin mengatakan kalau dia masih mencintainya, bukan Emma. Saat itulah ia menyesal.

            Harry memang benar. Harry mencoba menyembuhkannya juga Austin. Tapi rasa cintanya pada Austin sudah tidak bisa dihapus. Ia terlalu mencintai Austin dan tidak tau kenapa. Padahal dulu ia dan Austin adalah bersahabat. Ya, ia mengakui bahwa ia gay dan membuat Austin ikutan gay juga dan Harry tidak suka akan hal itu. Tapi bagaimanapun juga, Harry tidak memiliki hak untuk menjauhkannya dari Austin sekalipun ia salah. Itulah penyebab ia membenci Harry dan ingin Harry menderita.

            Lampu-lampu mulai menyala dan musik mulai terdengar. Jeritan penonton semakin keras. Luke, pemuda itu kini berada di kerumunan penonton. Namun tempatnya cukup strategis jadi tidak ada yang peduli dan curiga dengannya. Gadis-gadis itu terlalu serius menatap ke depan.

            One Direction pun muncul dan mereka menyanyikan lagu Up All Night yang adalah salah satu lagu dari The Potatoes. Tentu saja hal itu membuat mereka rindu pada Austin. Di atas panggug, Harry begitu bersemangat. Dia begitu energik dan suaranya terdengar bagus. Begitupun dengan yang lain. Malam itu One Direction begitu semangat.

            ‘Bintang yang sempurna!’ Batin Luke.

            “I wanna stay up all night

And jump around until we see the sun

I wanna stay up all night

And find a girl and tell her she's the one…”

Suara mereka begitu terdengar semangat hingga membuat para penonton ikut semangat juga dan hampir dari sebagaian mereka ikut mengikuti lagu yang berjudul Up All Night itu. Semua orang tampak bergembira. Tentunya kecuali Luke, si pemuda yang dikabarkan sudah menghilang dan tidak ada yang tau dimana keberadaannya. Diam-diam ia rindu dengan kariernya sebagai seorang penyanyi. Ia sangat iri dengan Harry di panggung sana.

Tidak terasa konser berjalan cukup lama dan ini adalah sebuah lagu penutup. Sebuah lagu yang khusus diciptakan oleh Harry dan Harry sendiri yang akan menyanyikan lagu itu. Dengan gitar cokelatnya, Harry duduk seorang diri di tengah panggung sementara Liam dan lainnya bersembunyi di belakang sana. Mereka tidak sabaran menunggu aksi Harry dengan gitar itu. Sementara Harry, pemuda itu menatap para penonton dengan senyuman. Jujur saja, ia begitu lelah namun ia tetap bersemangat dan senang.

Tiba-tiba, Harry tidak sengaja bertatapan dengan seorang pemuda yang sudah lama tidak ditemuinya. Luke, ya Luke! Luke tampak berubah. Jadi selama ini Luke bersembunyi? Harry tau kabar tentang The Invisible yang bubar karena kehadiran One Direction dan saat itulah Luke menghilang. Harry memejamkan kedua matanya. Kemudian jari-jarinya mulai menyentuh senar gitar itu sehingga menciptakan sebuah nada yang indah.

Mungkin lagu ini ia khususkan untuk orang-orang yang begitu tulus menyayanginya dan ia tidak bisa hidup tanpa orang itu. Termasuk Austin. Ia memiliki masa lalu yang indah bersama Austin, juga Luke. Ia memiliki sebuah rahasia yang selama ini ia pendam. Sebuah rahasia yang ada hubungannya dengan Austin dan Luke. Bahkan Ele pun tidak mengetahui rahasianya. Namun ia sudah menulis kisahnya pada Ele dan Harry yakin sekali Ele akan membacanya.

So your friend's been telling me

You've been sleeping with my sweater

And that you can't stop missing me

Bet my friend's been telling you

I'm not doing much better
           
Cause I'm missing half of me..”

            Baru saja Harry menyanyikan bait pertama dari lagu itu, membuat suasana berubah menjadi sunyi. Tidak ada sekecilpun teriakan. Harry sempat melirik ke arah Luke yang juga sedang melihatnya. Harry tidak bisa menebak bagaimana ekspresi Luke.

            “And being here without you is like I’m waking up to

            Only half a blue sky kinda there but not quite

            I’m walking around with just one shoe

            I’m half a heart without you

            I’m half a man at best with half an narrow in my chest

            I miss everything we do I’m half a heart without you..”

            Tanpa sepengetahuannya, Emma yang juga menonton konser One Direction menangis. Ia menangis mendengar suara Harry yang begitu terdengar berat. Emma terus saja menatap Harry seperti ia tak ingin kehilangan Harry.

            “Without you.. Without you…

            Half a heart without you

            Without you.. Without you…

            I’m half a heart without you..”

            Setelah menyelesaikan lagu itu, Harry tersenyum menyaksikan fansnya yang menangis. Entah mengapa hatinya ikut sedih juga dan Harry tidak bisa menahan air matanya. Tidak ada salahnya meneteskan air mata di hadapan ribuan penonton. Tiba-tiba ia teringat dengan Austin dan ia merasa seperti ada suara Austin yang sedang memanggil namanya. Dan Harry bisa merasakan sentuhan tangan Austin. Ya, ia begitu rindu dengan sahabatnya itu. Austin.

            “HARRY !!!”

            Harry merasa tubuhnya melemas dan perutnya terasa perih. Sangat perih. Dan Harry sadar saat ia meraba perutnya, tangan kanannya berubah menjadi merah. Dalam suasana seperti itu, Harry masih sempat mencari keberadaan Luke yang sudah tidak ada di tempatnya. Semakin lama, kepalanya semakin pening dan ia pun tidak sadarkan diri.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar