expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Sabtu, 07 Maret 2015

We Love You Sivia ( Part 18 )



Part 18

.

.

.

Berkali-kali lelaki tampan ini memiscall seseorang, dan hasilnya sama saja. Orang yang dipanggilnya itu tidak mengangkat panggilannya. Lama-kelamaan, ia jadi frustrasi. Sivia kenapa? Kenapa pacarnya itu nggak mau angkat telponnya?

Alvin teringat dengan Gabriel. Jangan-jangan cowok itu! Entah firasatnya mengatakan bahwa Sivia sekarang bersama Gabriel. Alvin tau, pacarnya itu nggak bisa lepas dari Gabriel. Selalu saja Gabriel dinomor satukan. Tetapi sekarang tidak.

Sivia harus jauh dari Gabriel. Sivia adalah miliknya dan tak ada satupun cowok yang berhak menyentuhnya. Terdengar egois memang. Tapi itulah kenyataannya.

Iseng aja Alvin mengambil kunci mobil kakaknya. Mumpung sang kakak lagi nggak ada di rumah dan tentu saja perginya bawa motor, Alvin mempergunakan kesempatan ini sebaik-baiknya. Ia sih bisa aja nyetir. Masalahnya, sang kakak ngelarang keras meminjam mobilnya buat Alvin. Katanya takut lecet atau rusak. Halah! Segitunya sama saudara sendiri.

Mobil honda jazz itu pun meninggalkan rumah besar dan pergi ke suatu tempat. Suatu tempat yang walau tidak ia ketahui keberadaannya.

***

Apa gue nggak salah lihat?

Seorang gadis yang sekarang ini ia perhatikan sedang membeli roti bakar tak jauh dari tempatnya. Yang ia anehkan, mengapa gadis itu sendiri? Kemana kekasih dari gadis itu? Apa ia salah lihat?

Tapi eh, kok gadis itu kebingungan ya? Rio baru menyadari ternyata gadis itu kebingungan karena tidak membawa uang. Coba perhatikan! Gadis itu mencari-cari uang di dalam tasnya maupun roknya. Tetapi tidak ada serupiah pun uang yang ia dapatkan.

Secepat mungkin Rio menemui gadis itu.

***

Dugaannya benar! Alvin melihat semuanya. Ya! Ia melihat semua itu. Tempat yang ia datangi sangat tepat. Bisa ia lihat dengan kedua matanya sendiri bahwa sang kekasih sedang bermesraan dengan orang lain yang adalah Gabriel.

Ingin sekali Alvin menghajar Gabriel. Tapi, ia berusaha mencoba untuk tenang. Dengan sangat-sangat berat dan terpaksa ia menyaksikan kemesraan antara Sivia dengan Gabriel. Apalagi dengan genggaman tangan itu yang membuatnya ingin meledakkan api di kepalanya(?).

“Gue tau lo nggak bisa mencintai gue. Gue tau..”

Alvin memutuskan untuk kembali saja. Tak ada gunanya ia berada di tempat ini. Tapi.. Belum sempat ia membalikkan badan..

***

“Fy, kamu mau kemana?” Tanya Cakka melihat Ify yang sepertinya ingin kabur darinya.

“Ng.. Aku kesana dulu ya. Ng.. Kamu balik aja. Ntar aku pulang bareng teman.” Jawab Ify.

Sudah berjam-jam Ify bersama Cakka. Ia merasa bosan sekaligus merasa seperti di penjara dalam kurungan Cakka. Entah mengapa ia ingin sekali berdiam diri di taman yang sedikit angker itu.

“Heh! Ini udah malam sayang. Ntar kalo kamu kenapa-napa gimana?” Tanya Cakka.

“Aku baik-baik aja, Kka.” Kata Ify meyakinkan.

Cakka mengerutkan dahinya, seperti berpikir sesuatu. Lalu ia tersenyum. “Ya udah. Ntar telpon aku kalo kamu butuh aku.” Ucapnya.

Ify tersenyum senang. “Thanks, Kka! Aku pergi dulu.”

Sesuai dengan tujuannya. Ify pergi menuju taman yang sedikit angker itu. Cakka tau kemana tujuan Ify pergi. Tetapi ia tenang-tenang saja dan sama sekali nggak khawatir.

Sementara Ify, ia sedikit merasa bebas. Ia heran juga mengapa Cakka mengizinkannya pergi. Apa Cakka nggak khawatir? Atau mungkin Cakka sedang dalam rencananya? Nggak taulah. Yang penting ia bebas dan sekarang... Hmmm.. Kemana ya? Tempat ini lumayan ramai. Taman yang tadi ingin ia datangi tak diliriknya lagi. Sudah tau angker kok masih mau didatangi sih?

Akhirnya Ify memutuskan membeli roti bakar yang letaknya tak jauh dari tempatnya. “Mbak, beli roti bakarnya dua.” Kata Ify singkat.

Si mbak itu hanya mengangguk sementara Ify menunggu dengan sabar. Setelah roti bakar itu matang, Ify merogoh tasnya. Mencari-cari dompetnya. Lho? Kok nggak ada ya? Ify berubah jadi panik. Sementara mbak penjual itu bingung melihat tingkah laku si pembeli.

“Nona, uangnya mana?” Tanya mbak penjual.

“Eh, uangnya..” Jawab Ify yang tiba-tiba dipotong oleh seseorang.

“Berapa semuanya mbak?”

Seketika itu juga darah Ify membeku melihat siapa cowok yang datang. Dia disini.. Dia disini... Mengobati segala kerinduan...

“Enam ribu, Mas.”

Cowok yang tak lain adalah Rio langsung memberi uang kepada penjual itu. Berhubung uangnya sepuluh ribuan, Rio mengiklhasan sisanya. Padahal si penjual ada angsulnya.

Rio beralih menatap Ify. “Lupa bawa uang?” Tanyanya.

Ify tergagap. “Eh, iya.. Iya.. Ng.. Thanks ya..” Jawabnya.

“No problem. Kok sendiri? Cakka lo mana?”

Bagai tersengat listrik ratusan volt, Ify merasakan hatinya teramat sakit. Sakit sekali mendengar Rio mengatakan ‘Cakka lo mana?’ Artinya, ia adalah milik Cakka. Bukan milik siapa-siapa. Oh, jadi Rio udah tau ya ia pacaran sama Cakka?

“Ng.. Gu.. Gue..”

Tak disangka, seorang Ify tiba-tiba menangis. Cairan bening itu membentuk sebuah sungai kecil di pipinya. Roti bakar yang ia bawa jatuh di tanah. Tubuh Ify yang tadinya seimbang kini sedikit linglung. Seperti penyangga tubuhnya sebagian fungsinya telah hilang.

“Ify.. Lo ken..”

Rio menangkap tubuh Ify yang akan jatuh. Jantungnya pun kembali merasakan detak-detak yang melebihi kadar normal. Rio sempat mencium rambut Ify yang wangi. Oh, apa yang lo lakukan Rio? Ify bukan siapa-siapa lo! Tapi entah mengapa Rio memeluk Ify. Ya, ia pelampiaskan semua kerinduannya dengan cara memeluk Ify sepuasnya.

“Hiks.. Hiks.. Ri.. Ri..”

“Sst, jangan nangis. Gue nggak suka liat lo nangis.”

Pelukan itu semakin erat. Hati Ify menjadi lebih tenang karena pelukan hangat itu. Pelukan dari orang yang sangat dicintainya.

Tanpa mereka sadari, ada sepasang mata yang memerhatikan semuanya. Sepasang mata itu menyunggingkan sebuah senyum.

“Andai semua berjalan seperti ini..”

***

Alvin memutuskan untuk kembali saja. Tak ada gunanya ia berada di tempat ini. Tapi.. Belum sempat ia membalikkan badan..

“Lo cowok kan? Cewek itu pacar lo kan? Bodoh! Kenapa lo diam saja? Kenapa lo nggak hajar tuh cowok yang sekenanya genggam-genggam tangan pacar lo?”

Entah siapa yang bicara barusan. Mungkin setan yang membisikkan kalimat itu di telinganya. Sesaat, Alvin bimbang. Apa sebaiknya ia pergi ke tempat itu? Apa sebaiknya ia merebut Sivia? Nggak salah kan jika ia merebut Sivia dari tangan Gabriel? Toh Sivia adalah pacarnya.

Sebuah surprise dari Alvin! Sivia dan Gabriel yang sedaritadi tenang ditemani cahaya lampu yang lumayan terang mendadak kaget melihat siapa yang datang. Terutama Sivia! Ia mencium bau-bau tak enak.

“Sayang..” Kata Alvin.

Apa dia bilang? Sayang? Jelas Gabriel kaget! Ia menatap Sivia dengan sejuta pertanyaan. Sementara Sivia diam membisu.

“Lo..” Tunjuk Gabriel ke arah Alvin.

Alvin hanya tersenyum kecil. “Why? Kenalin. Gue Alvin. Pacarnya nona Sivia. Lo siapa? Selingkuhannya Sivia?”

Kaget untuk kedua kalinya! Sivia pacar Alvin? SIVIA PACAR ALVIN? Sekali lagi, Gabriel menatap Sivia, berusaha mencari penjelasan dari kedua mata yang kini berkaca-kaca.

“Via.. Kamu..”

“Ma..Maaf..”

Sivia berlari kencang meninggalkan Alvin dan Gabriel. Bersamaan dengan darah yang keluar dari hidungnya. Ya, darah itu setiap harinya selalu menemani kesedihannya. Kondisi Sivia makin buruk. Yah, ia memperkirakan umurnya nggak sampai dua minggu. Rambutnya pun perlahan mulai terlepas dari kepalanya.

“Lo! Lo apa..” Kata Gabriel masih dengan kekagetannya.

“Kenapa? Kenapa lo ambil Sivia?” Balas Alvin.

 “Lo..”

Gabriel bingung mau mengatakan apa. Yang ia rasakan saat ini adalah kebingungan. Ia bingung sekali. Sivia pacar Alvin? Nggak mungkin! Sivia bukan gadis seperti itu.

“Sekali lagi, Sivia milik gue. Lo jangan sentuh dia.” Kata Alvin.

Masih dengan kebingungannya, Gabriel terdiam sambil berpikir. Walau ia juga bingung sedang memikirkan apa.

“Sana kejar Sivia! Gue beri lo kesempatan untuk bersamanya. Setelah itu, jangan sentuh pacar gue!”

Alvin pun meninggalkan Gabriel yang (lagi-lagi) masih kebingungan. Akhirnya Gabriel pergi menyusul Sivia. Ya, ia harus mendapat penjelasan dari Sivia. Bagaimanapun penjelasannya.

***

“Jangan nangis lagi.” Ucap Rio pelan. Keduanya kini telah sampai di rumah Ify. Rio yang berinisiatif mengantar Ify pulang ke rumah.

Mama Ify mengintip putrinya dengan sedikit kekagetan. Tadi Ify berangkat bareng Cakka. Kok pulangnya sama cowok yang berbeda ya? Juga, kenapa Ify menangis? Apa jangan-jangan Cakka...

“Aku masuk dulu.” Jawab Ify mengusap matanya lalu masuk ke dalam. Tanpa menawarkan Rio masuk ke dalam rumahnya.

Rio mengangguk sambil tersenyum lalu pergi meninggalkan rumah Ify. Walau sejujurnya ia nggak rela meninggalkan rumah Ify.

Sementara Ify, ia menangis dipelukan sang Mama. Mama memeluk Ify dengan penuh kasih sayang. Ia tau, putrinya itu telah lama menyukai Rio. Namun, ia tak ingin mengecewakan Hesti. Surat wasiat Hesti harus ia laksanakan. Apapun yang terjadi.

“Sabar sayang.. Sabar.. Kalo dia jodoh kamu, nggak akan lari kemana.” Hibur Mama.

“Iya, Ma.. Ta.. Tapi.. Cakka..”

“Sudah. Jangan dibahas lagi.”

Ify menangis dan menangis. Ia tumpahkan seluruh kesedihannya di pelukan Mama. Ya, jika ia bukan jodoh Rio di dunia ini, tentu ia akan berjodoh dengan Rio di dunia lain.

Semoga.

***

“Sa.. Sakit..”

Rasa sakit ini lain dari biasanya. Mau nggak mau, secepatnya ia harus ke dokter. Apa.. Apa kankernya sudah sangat parah? Hahaha.. Sivia tertawa hambar menikmati kehidupannya. Tuhan emang nggak adil! Buktinya, Ia memberikan hidupnya selalu dalam keadaan menderita.

Pertama, kedua orangtuanya yang nggak tau gimana kabarnya. Kedua, penyakit mematikan yang ia terima. Ketiga.. Kisah cintanya yang begitu rumit. Tak henti-hentinya Sivia mengeluarkan cairan bening itu. Ia ingat betul percakapan Gabriel beberapa menit yang lalu.

“Jadi, lo pacaran sama Alvin?” Tanya Gabriel tak percaya.

Sivia hanya mengangguk. Pasrah dengan segala akibatnya.

“Kenapa? Kenapa lo terima Alvin? Kenapa?!”

Gabriel mulai emosi. Dia benar-benar sangat marah. Baru kali ini Gabriel marah sama Sivia. Selama ini, Gabriel selalu menahan amarahnya jika Sivia sedikit saja menyakiti hatinya.

“Yel.. Aku..”

“Cukup! Kita putus! Lo benar. Gue hanya sahabat lo saja. Alvin lah lelaki sempurna yang pantas lo cintai. Bukan gue. Jujur ya Via, gue marah lo mainin. Lo sekenanya nerima Alvin padahal lo udah dimiliki oleh orang. Seharusnya, lo nggak perlu nerima gue. Maaf. Hubungan singkat kita berakhir sampai disini. Gue pamit.”

Belum sempat Gabriel membalikkan badan, Sivia langsung menarik tangan Gabriel. Wajah Sivia yang pucat diserati bekas darah dihidungnya membuat Gabriel merasa simpati. Tapi, rasa marahnya mengalahkan segalanya.

“Ma.. Maafin aku Yel. Aku..”

“Gue maafin lo. Meski hati gue teramat sakit mengetahui lo terima Alvin. Dan gue sangat-sangat menyesal telah mencintai cewek kayak lo! Yang nggak lebih seperti cewek playgirl yang suka manfaatin cowok. Gue pergi dulu dan gue janji nggak akan ganggu hubungan lo sama Alvin. Makasih karena telah menjadi cinta sekaligus sahabat gue. Makasih karena lo mau nerima gue. Makasih atas segala yang lo lakukan ke gue.”

Gabriel pergi dan Sivia merasa kehilangan. Sangat kehilangan. Gabriel. Lelaki yang sudah lama menemaninya, yang sudah ia anggap sebagai salah satu bagian dari tubuhnya. Sekarang, salah satu bagian tubuh itu telah hilang dan tak akan kembali lagi. Tak akan!

“Yel..” Lirih Sivia mengingat kejadian itu. “Aku cinta kamu. Cinta kamu. Dan aku juga sangat mencintai Alvin. Maaf karena membuat hatimu sakit. Maaf atas segala yang aku lakukan untukmu. Aku memang bukan untukmu. Maafkan aku..”

***

Sekolah, di pagi hari...

“Aw..”

Seorang cewek mengerang kesakitan karena tangannya ditarik dengan sedikit kasar oleh seorang cowok. Ketika tau siapa yang menarik tangannya, cewek itu menatap si pelaku dengan penuh tanda tanya.

“Lo mau jadi pacar gue?” Tembak cowok itu dan sukses membuat si cewek speechless.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar