expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Sabtu, 07 Maret 2015

The Missing Star ( Part 1 )



After The Moment
.

Lagi dan lagi. Air mata itu terus saja mengalir membahasi pipi mereka. Terutama pipi seorang gadis manis yang matanya sudah sangat merah dan bengkak karena tangisan itu. Gadis itu tidak menyangka kekasih yang selama ini ia cintai sudah meninggalkannya karena kecelakaan maut itu. Ia benar-benar sangat kesal dan marah dengan orang yang menabrak mobil kekasihnya itu. Tapi ia tidak bisa melawan takdir Tuhan dan ia harus menerima semua ini dengan ikhlas.

Baru saja ia menerima telpon dari Liam yang adalah sahabat sekaligus teman se-grup kekasihnya itu bahwa kekasihnya sudah tiada. Kekasihnya itu sudah mati ditempat dengan keadaan yang sangat mengenaskan. Mobil yang baru saja dibelinya hancur dan entah siapa yang menabraknya. Mungkin saja truk besar yang menabarknya. Tidak ada saksi mata disana. Sungguh kematian yang begitu tragis dan misterius.

“Aku tidak menyangka dia telah pergi..” Lirih Niall yang juga sahabat dan teman se-grup kekasihnya itu.

“Iya. Aku tidak tau bagaimana nasib kita tanpa dia.” Tambah Louis yang juga sahabat dan teman se-grup kekasihnya itu.

Namanya adalah Austin Alexander Matthew. Dia adalah pemuda tampan yang merupakan vokalis utama dalam boyband yang dikenal dengan nama The Potatoes. Sekarang, Austin sudah tiada dan entahlah bagaimana nasib The Potatoes yang sudah hampir setahun berdiri. Padahal boyband mereka sudah berada dipuncaknya dan banyak gadis yang menggandrunginya.

The Potatoes terdiri dari lima personil tampan yaitu Austin, Liam, Niall, Louis dan Zayn dan umur mereka masih cukup muda, yaitu diantara sembilan belas sampai dua puluh satu tahun. Disana, Austin yang paling muda.

Emma Lilian, kekasih Austin yang sedaritadi menangis tersedu-sedu melihat mayat Austin yang mengenaskan. Emma tidak yakin apa ia bisa hidup tanpa Austin disampingnya. Selama ini, Austin-lah yang selalu menemaninya walau Austin sering sibuk dengan boybandnya, tetapi Emma mengerti dengan keadaan Austin yang sibuk itu. Emma juga kagum dengan Austin yang masih menyempatkan diri untuk kuliah, begitu pula dengan personil lainnya.

“Pleasee Aus… Pleasee bangun… I can’t live without you… Please wake up…” Tangis Emma.

Di sampinya ada Taylor yang adalah kakak kandung Emma. Umur mereka hanya selisih dua tahun. Sebisa mungkin Taylor menenangkan adik satu-satunya itu.

“Yem, bagaimana ini? Bagaimana nasib kita selanjutnya?” Tanya Louis pada Liam.

Liam mengangkat bahunya pertanda tidak tau. “Jangan pikirkan soal itu! Malam ini kita sedang berduka dan aku tidak mau kau menambah masalah lain!” Ucapnya setengah marah.

Mendengar bentakan Liam yang terdengar sendu, Louis memilih untuk diam dan memaki dirinya karena ia sangat bodoh menanyakan hal itu pada Liam.

Suasana bertambah semakin sedih dan mencengkam. Taylor berhasil menenangkan Emma. Tapi setelah itu Emma langsung pingsan dan Taylor membawanya ke ruangan lain. Sementara Liam, Niall, Louis dan Zayn masih ada di tempat ini.

“Sebaiknya kalian pulang saja. Kalian kan cukup lelah karena konser tadi.” Ucap Mama Austin.

Ya, mereka baru saja mengadakan konser di Bourton dan tentu saja tanpa Austin. Menjelang konser mereka, Austin tidak bisa dihubungi padahal Austin janji dengan konser itu. Tapi nyatanya? Memang belakang-belakangan ini Austin tampak sedikit aneh dan sikapnya berubah. Apa itu ada hubungannya dengan kematiannya ini?

“Sebaiknya kita pulang saja.” Kata Liam sambil merangkul Niall dan Zayn. Sementara Louis masih tetap berada disini. Louis-lah yang paling dekat dengan Austin dan ia yang paling merasa kehilangan diantara member The Potatoes lainnya.

“Lou, kau tidak pulang?” Tanya Zayn pelan.

Louis menggeleng pelan. Air mata masih setia menemaninya dalam suasana yang penuh duka itu. Ia masih tidak percaya dengan kejadian ini. Bisakah Tuhan mengembalikan Austin lagi? Bisakah ini hanya sebuah mimpi buruk?

“Selamat tinggal sahabatku..” Lirih Louis sambil mengusap wajah Austin yang pucat dan dibalut oleh perban.

***

Pagi yang berbeda. Bahkan sangat berbeda. Emma terbangun dan merasakan kesakitan di kepalanya. Ia terdiam sejenak sambil mengumpulkan nyawa-nyawanya yang belum semua kembali ke tubuhnya. Tiba-tiba ia tersenyum sedih. Austin. Ya, hanya nama itu yang diingatnya sekarang. Sedang apakah dia? Apa kekasihnya itu bisa menemuinya saat ini juga agar ia bisa melihat senyum dan mata Austin yang indah itu?

“Kau sudah sadar? Syukurlah. Mama sangat khawatir padamu.” Kata Naura, Mama Emma.

Emma tersenyum lemah. “Emma di rumah sakit ya?” Tanyanya.

“Iya sayang. Kamu tidak usah berpikir kesana dulu. Sekarang kamu istirahat saja ya.”

Tentu saja Emma tau apa maksud dari ‘berpikir kesana dulu.’ Ibunya tidak ingin dia kembali sedih karena kematian Austin. Ya, ia harus menerima semua ini. Setiap yang bernyawa akan kembali ke asalnya. Begitu pula dengan dirinya. Dan entah mengapa ia ingin sekali pergi menyusul Austin.

“Taylor mana?” Tanya Emma.

“Dia ada kuliah pagi.” Jawab Ibunya.

Emma memang dekat dengan Taylor. Ia nyaris tidak memiliki sahabat sejati karena ia selalu bersama-sama dengan Taylor. Begitupula dengan Taylor. Ia hanya disibukkan oleh kuliah dan menghabiskan waktu bersama adik tercintanya, pacar pun ia tidak punya.

Gadis berusia sembilan belas tahun itu memilih untuk tidur. Lagipula kepalanya masih terasa sakit. Tiba-tiba, terbesit dibenaknya: Apa jadinya The Potatoes tanpa kehadiran Austin yang memang adalah kunci dari The Potatoes itu? Apa The Potatoes masih tetap bertahan tanpa Austin? Apa The Potatoes akan mencari pengganti Austin?

***

Jum’at, 28 Oktober….

Austin Matthew, salah satu personil The Potatoes sudah kembali ke sisi Tuhan kemarin malam. Hal ini menyebabkan jutaan Potatoers menangis atas kepergian sang idola. Selain itu, Emma Lilian yang adalah kekasih Austin juga sangat terpuruk dengan kejadian yang sangat tak diduganya itu. Liam yang adalah teman se-rekan Austin mengatakan bahwa The Potatoes tidak akan bisa berjalan tanpa adanya Austin karena Austin-lah yang membuat The Potatoes menjadi maju dan terkenal.

Saat ini, kematian Austin masih dipertanyakan. Siapa yang tega menabrak mobil Austin yang baru saja dibelinya? Atau adakah orang yang menginginkan kematian Austin? Sampai saat ini pihak polisi masih menyelediki semua masalah-masalah itu. Bla.. Bla… Bla…

“Acara TV sialan!” Umpat Niall seraya membanting remot TVnya itu.

Sayangnya, remot yang dilemparnya mengenai Zayn yang kebetulan menginap di rumah Niall. Tentu saja Zayn kaget dan kakinya sakit karena lemparan dari remot Niall itu.

“Hati-hati kalau melempar sesuatu!” Kata Zayn.

Niall tersenyum melihat Zayn yang sedang kesal. Keusilannya mulai kumat lagi. Padahal kemarin ia begitu sedih dan terpuruk. Niall memang ceria dan hidupnya seperti tidak ada masalah. Sekalipun masalah yang dialaminya cukup besar, dia tetap ceria dan menganggap masalah itu adalah hal yang enteng.

“Tadi barusan aku dengar berita tentang Austin ya?” Tanya Zayn yang tengah berusaha menutupi kesedihannya. Bodoh sekali ia jika bersedih apalagi menangis dihadapan Niall.

“Iya..” Jawab Niall pelan. “Kematian Austin sangat misterius. Aku sudah tanya ke orangtuanya dan orangtuanya juga tidak tau.” Sambungnya.

“Benar. Bagiku, dia memang begitu misterius.”

“Tapi populer.” Potong Niall sambil tertawa.

Kesedihan tidaklah selamanya. Jika itu memang yang terbaik, tentu kita tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Jika Austin sudah tiada, apa boleh buat? Masih banyak Austin-Austin yang lain diluar sana.

“Tapi kata Liam, The Potatoes tidak akan bisa berjalan tanpa Austin. Benarkah itu?” Tanya Niall.

Zayn berpikir sejenak. “Maybe. Aku merasa Potatoers bukan mengidolakan The Potatoes, melainkan Austin saja.” Jawabnya.

“Hahaha.. Darimana kau tau? Buktinya, kemarin saat kita konser, suasananya tidak jauh beda saat Austin ada.” Kata Niall. Cowok itu duduk di sofa ruang tamu. “Tapi yah… Kalau memang The Potatoes tidak bisa berjalan lagi, ya mau tidak mau kita bubar.” Sambungnya.

Mendengar ucapan Niall, kedua mata Zayn langsung melotot. “Apa kau gila? Kita sudah hampir setahun dan kini kita sedang berada di puncaknya! Kita sudah sukses dengan album pertama kita! Aku tidak mau The Potatoes bubar. Pasti Potatoers akan sedih walau tadi sudah ku bilang bahwa kebanyakan Potatoers mengidolakan Austin.”

“Maksudmu, kita akan mencari pengganti Austin?” Tanya Niall.

Zayn menarik nafas dalam-dalam lalu menjawab dengan singkat. “Maybe.”

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar