After The Moment
.
Lagi dan lagi. Air mata itu terus saja mengalir membahasi pipi mereka.
Terutama pipi seorang gadis manis yang matanya sudah sangat merah dan bengkak
karena tangisan itu. Gadis itu tidak menyangka kekasih yang selama ini ia
cintai sudah meninggalkannya karena kecelakaan maut itu. Ia benar-benar sangat
kesal dan marah dengan orang yang menabrak mobil kekasihnya itu. Tapi ia tidak
bisa melawan takdir Tuhan dan ia harus menerima semua ini dengan ikhlas.
Baru saja ia menerima telpon dari Liam yang adalah sahabat sekaligus
teman se-grup kekasihnya itu bahwa kekasihnya sudah tiada. Kekasihnya itu sudah
mati ditempat dengan keadaan yang sangat mengenaskan. Mobil yang baru saja
dibelinya hancur dan entah siapa yang menabraknya. Mungkin saja truk besar yang
menabarknya. Tidak ada saksi mata disana. Sungguh kematian yang begitu tragis
dan misterius.
“Aku tidak menyangka dia telah pergi..” Lirih Niall yang juga sahabat dan
teman se-grup kekasihnya itu.
“Iya. Aku tidak tau bagaimana nasib kita tanpa dia.” Tambah Louis yang
juga sahabat dan teman se-grup kekasihnya itu.
Namanya adalah Austin Alexander Matthew. Dia adalah pemuda tampan yang
merupakan vokalis utama dalam boyband yang dikenal dengan nama The Potatoes.
Sekarang, Austin sudah tiada dan entahlah bagaimana nasib The Potatoes yang
sudah hampir setahun berdiri. Padahal boyband mereka sudah berada dipuncaknya
dan banyak gadis yang menggandrunginya.
The Potatoes terdiri dari lima personil tampan yaitu Austin, Liam, Niall,
Louis dan Zayn dan umur mereka masih cukup muda, yaitu diantara sembilan belas
sampai dua puluh satu tahun. Disana, Austin yang paling muda.
Emma Lilian, kekasih Austin yang sedaritadi menangis tersedu-sedu melihat
mayat Austin yang mengenaskan. Emma tidak yakin apa ia bisa hidup tanpa Austin
disampingnya. Selama ini, Austin-lah yang selalu menemaninya walau Austin
sering sibuk dengan boybandnya, tetapi Emma mengerti dengan keadaan Austin yang
sibuk itu. Emma juga kagum dengan Austin yang masih menyempatkan diri untuk
kuliah, begitu pula dengan personil lainnya.
“Pleasee Aus… Pleasee bangun… I can’t live without you… Please wake up…”
Tangis Emma.
Di sampinya ada Taylor yang adalah kakak kandung Emma. Umur mereka hanya
selisih dua tahun. Sebisa mungkin Taylor menenangkan adik satu-satunya itu.
“Yem, bagaimana ini? Bagaimana nasib kita selanjutnya?” Tanya Louis pada
Liam.
Liam mengangkat bahunya pertanda tidak tau. “Jangan pikirkan soal itu!
Malam ini kita sedang berduka dan aku tidak mau kau menambah masalah lain!”
Ucapnya setengah marah.
Mendengar bentakan Liam yang terdengar sendu, Louis memilih untuk diam
dan memaki dirinya karena ia sangat bodoh menanyakan hal itu pada Liam.
Suasana bertambah semakin sedih dan mencengkam. Taylor berhasil
menenangkan Emma. Tapi setelah itu Emma langsung pingsan dan Taylor membawanya
ke ruangan lain. Sementara Liam, Niall, Louis dan Zayn masih ada di tempat ini.
“Sebaiknya kalian pulang saja. Kalian kan cukup lelah karena konser
tadi.” Ucap Mama Austin.
Ya, mereka baru saja mengadakan konser di Bourton dan tentu saja tanpa
Austin. Menjelang konser mereka, Austin tidak bisa dihubungi padahal Austin
janji dengan konser itu. Tapi nyatanya? Memang belakang-belakangan ini Austin
tampak sedikit aneh dan sikapnya berubah. Apa itu ada hubungannya dengan
kematiannya ini?
“Sebaiknya kita pulang saja.” Kata Liam sambil merangkul Niall dan Zayn.
Sementara Louis masih tetap berada disini. Louis-lah yang paling dekat dengan
Austin dan ia yang paling merasa kehilangan diantara member The Potatoes
lainnya.
“Lou, kau tidak pulang?” Tanya Zayn pelan.
Louis menggeleng pelan. Air mata masih setia menemaninya dalam suasana
yang penuh duka itu. Ia masih tidak percaya dengan kejadian ini. Bisakah Tuhan
mengembalikan Austin lagi? Bisakah ini hanya sebuah mimpi buruk?
“Selamat tinggal sahabatku..” Lirih Louis sambil mengusap wajah Austin
yang pucat dan dibalut oleh perban.
***
Pagi yang berbeda. Bahkan sangat berbeda. Emma terbangun dan merasakan
kesakitan di kepalanya. Ia terdiam sejenak sambil mengumpulkan nyawa-nyawanya
yang belum semua kembali ke tubuhnya. Tiba-tiba ia tersenyum sedih. Austin. Ya,
hanya nama itu yang diingatnya sekarang. Sedang apakah dia? Apa kekasihnya itu
bisa menemuinya saat ini juga agar ia bisa melihat senyum dan mata Austin yang
indah itu?
“Kau sudah sadar? Syukurlah. Mama sangat khawatir padamu.” Kata Naura,
Mama Emma.
Emma tersenyum lemah. “Emma di rumah sakit ya?” Tanyanya.
“Iya sayang. Kamu tidak usah berpikir kesana dulu. Sekarang kamu
istirahat saja ya.”
Tentu saja Emma tau apa maksud dari ‘berpikir kesana dulu.’ Ibunya tidak
ingin dia kembali sedih karena kematian Austin. Ya, ia harus menerima semua
ini. Setiap yang bernyawa akan kembali ke asalnya. Begitu pula dengan dirinya.
Dan entah mengapa ia ingin sekali pergi menyusul Austin.
“Taylor mana?” Tanya Emma.
“Dia ada kuliah pagi.” Jawab Ibunya.
Emma memang dekat dengan Taylor. Ia nyaris tidak memiliki sahabat sejati
karena ia selalu bersama-sama dengan Taylor. Begitupula dengan Taylor. Ia hanya
disibukkan oleh kuliah dan menghabiskan waktu bersama adik tercintanya, pacar
pun ia tidak punya.
Gadis berusia sembilan belas tahun itu memilih untuk tidur. Lagipula
kepalanya masih terasa sakit. Tiba-tiba, terbesit dibenaknya: Apa jadinya The
Potatoes tanpa kehadiran Austin yang memang adalah kunci dari The Potatoes itu?
Apa The Potatoes masih tetap bertahan tanpa Austin? Apa The Potatoes akan
mencari pengganti Austin?
***
Jum’at, 28 Oktober….
Austin Matthew, salah satu personil
The Potatoes sudah kembali ke sisi Tuhan kemarin malam. Hal ini menyebabkan
jutaan Potatoers menangis atas kepergian sang idola. Selain itu, Emma Lilian
yang adalah kekasih Austin juga sangat terpuruk dengan kejadian yang sangat tak
diduganya itu. Liam yang adalah teman se-rekan Austin mengatakan bahwa The
Potatoes tidak akan bisa berjalan tanpa adanya Austin karena Austin-lah yang
membuat The Potatoes menjadi maju dan terkenal.
Saat ini, kematian Austin masih
dipertanyakan. Siapa yang tega menabrak mobil Austin yang baru saja dibelinya?
Atau adakah orang yang menginginkan kematian Austin? Sampai saat ini pihak
polisi masih menyelediki semua masalah-masalah itu. Bla.. Bla… Bla…
“Acara TV sialan!” Umpat Niall seraya membanting remot TVnya itu.
Sayangnya, remot yang dilemparnya mengenai Zayn yang kebetulan menginap
di rumah Niall. Tentu saja Zayn kaget dan kakinya sakit karena lemparan dari
remot Niall itu.
“Hati-hati kalau melempar sesuatu!” Kata Zayn.
Niall tersenyum melihat Zayn yang sedang kesal. Keusilannya mulai kumat
lagi. Padahal kemarin ia begitu sedih dan terpuruk. Niall memang ceria dan
hidupnya seperti tidak ada masalah. Sekalipun masalah yang dialaminya cukup
besar, dia tetap ceria dan menganggap masalah itu adalah hal yang enteng.
“Tadi barusan aku dengar berita tentang Austin ya?” Tanya Zayn yang
tengah berusaha menutupi kesedihannya. Bodoh sekali ia jika bersedih apalagi
menangis dihadapan Niall.
“Iya..” Jawab Niall pelan. “Kematian Austin sangat misterius. Aku sudah
tanya ke orangtuanya dan orangtuanya juga tidak tau.” Sambungnya.
“Benar. Bagiku, dia memang begitu misterius.”
“Tapi populer.” Potong Niall sambil tertawa.
Kesedihan tidaklah selamanya. Jika itu memang yang terbaik, tentu kita
tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Jika Austin sudah tiada, apa boleh buat? Masih
banyak Austin-Austin yang lain diluar sana.
“Tapi kata Liam, The Potatoes tidak akan bisa berjalan tanpa Austin.
Benarkah itu?” Tanya Niall.
Zayn berpikir sejenak. “Maybe. Aku merasa Potatoers bukan mengidolakan
The Potatoes, melainkan Austin saja.” Jawabnya.
“Hahaha.. Darimana kau tau? Buktinya, kemarin saat kita konser,
suasananya tidak jauh beda saat Austin ada.” Kata Niall. Cowok itu duduk di
sofa ruang tamu. “Tapi yah… Kalau memang The Potatoes tidak bisa berjalan lagi,
ya mau tidak mau kita bubar.” Sambungnya.
Mendengar ucapan Niall, kedua mata Zayn langsung melotot. “Apa kau gila?
Kita sudah hampir setahun dan kini kita sedang berada di puncaknya! Kita sudah
sukses dengan album pertama kita! Aku tidak mau The Potatoes bubar. Pasti
Potatoers akan sedih walau tadi sudah ku bilang bahwa kebanyakan Potatoers
mengidolakan Austin.”
“Maksudmu, kita akan mencari pengganti Austin?” Tanya Niall.
Zayn menarik nafas dalam-dalam lalu menjawab dengan singkat. “Maybe.”
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar