expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Sabtu, 07 Maret 2015

The Missing Star ( Part 15 )



Broken Parts
.

            “Aku tidak percaya!” Sanggah Niall mendengar cerita Louis.

            Kejadian kemarin yang tidak diduganya itu telah ia ceritakan kepada Niall, Liam dan Zayn. Tentu saja Niall tidak percaya. Ia tidak akan pernah percaya sebelum ia melihat dengan mata kepalanya sendiri. Tidak mungkin Harry seperti itu!

            “Kalau kau tidak percaya, kenapa kau tidak kesana saja? Aku yakin Harry akan membentakimu dan berbicara kasar padamu!” Kata Louis.

            Niall ingat kejadian di perpustakaan kemarin. Ketika ia meminta Harry untuk bergabung ke dalam bandnya dan langsung ditolak Harry. Apa Louis benar? Niall pun bingung. Memang sih sewaktu kejadian di perpustakaan itu Harry sedikit kurang ramah dan tidak seperti sebelumnya. Tapi mungkin pada saat itu Harry lagi ada masalah sehingga bawaannya buruk sekali. Sama seperti kejadian antara Louis dengan Harry. Wajar saja Harry emosi menghadapi Louis yang emosi juga. Jadi wajar saja. Coba Louis bicara baik-baik dan menahan emosinya. Pasti kejadiannya tidak akan seperti itu.

            “Yell, sebaiknya kau hapus nama Harry. Aku sudah muak dengannya. Tapi aku masih menghormati lagunya. Biarlah lagu itu menjadi kenangan antara kau dengan Harry.” Kata Louis.

            “Tidak Lou! Terkadang Harry suka emosi dan tidak bisa menahan emosinya. Saat itu dia sedang sedih Lou! Bayangkan saja, adik satu-satunya sedang sekarat di rumah sakit. Coba kalau kau berada di posisi Harry, aku yakin sikapmu tidak jauh beda dengan Harry.” Ucap Niall.

            Louis terdiam mendengar ucapan Niall. Tiba-tiba ia teringat dengan Ele. Semalaman penuh ia memikirkan kondisi Ele. Bagaimanapun juga, rasa cinta itu tidak bisa ia hilangkan. Rasa cinta itu lebih besar dibanding rasa bencinya pada Harry. Menghapus rasa cinta itu sangatlah susah. Sebaliknya, membuang rasa benci itu mudah. Niall benar. Saat itu Harry sedang sedih dan tidak bisa diganggu. Jadi, semua ini adalah salahnya? Jadi ia harus meminta maaf pada Harry?

            “Tapi aku tidak bisa meminta maaf ke Harry. Aku masih memikirkan hubungan antara Harry dengan Luke.” Kata Louis.

            “Lou, sejahat-jahatnya Luke, dia tidak seperti para penjahat yang setiap harinya banyak memakan korban. Luke hanya tidak ingin memiliki saingan. Itu tidak jahat Lou, tetapi egois.”

            “Ohya? Tapi firasatku mengatakan kalau dia dan Harry dibalik kematian Austin. Mereka yang membunuh Austin!”

            “Cukup Lou! Jangan menuduh seperti itu sebelum kau mendapatkan bukti. Buanglah firasat-firasatmu itu!”

            Akhirnya Louis mengalah karena ia lelah menghadapi Niall. “Oke. Aku tidak akan lagi menuduhnya. Tapi kau harus janji, kau tidak akan lagi berteman dengan Harry. Dan kita berempat akan bangkit lagi. Tidak peduli apakah bisa menyaingi The Invisible atau tidak.” Ucapnya.

            Niall hanya bisa mengangguk walau hatinya melawan.

***

            Kedua matanya bergerak secara perlahan. Tangan lemahnya juga mulai bergerak. Syukurlah Ele sadar dalam waktu yang cepat ini dan Harry sedikit lega. Yang ia pikirkan adalah bagaimana membayar uang muka rumah sakit sebelum jam dua siang. Sekarang jam sepuluh pagi dan Harry belum menemukan jalan keluarnya.

            “Kak..” Lirih Ele.

            Harry tersenyum sedih melihat adiknya. “Kau baik-baik saja.” Ucapnya.

            “Mana Louis?” Tanyanya.

            Lagi-lagi pemuda itu! Harry tidak menyangka kemarin ia dan Louis perang mulut bersama emosi masing-masing. Untunglah tidak sampai perang fisik. Harry tau Louis sangat membencinya karena menuduhnya yang mempunyai hubungan dengan Luke.

            “Dia tidak ada disini. Dia sedang sibuk dengan bandnya. Sebaiknya kau istirahat saja.” Jawab Harry.

            Mendengar jawaban Harry, wajah Ele semakin bertambah sedih. Jujur saja, ia sangat mengharapkan kehadiran Louis disisinya. Ele ingat dengan ajakan Louis untuk malam itu. Betapa indahnya malam itu jika ia tidak sekarat seperti sekarang ini.

            “Maafkan Ele. Karena Ele kakak jadi susah. Lalu, bagaimana cara membayar semua ini? Ini sama saja menambah hutang kakak. Biaya rumah sakit tidak murah, kak. Kalau boleh, Ele pulang saja. Ele kuat kok.” Ucap Ele.

            Hutang itu semakin banyak dan semakin membuat kepalanya sakit. Harry sadar hutang-hutangnya sudah berada di puncaknya dan mungkin ia tidak akan pernah bisa lagi berhutang kepada siapapun. Harry ingat kebaikan Bu Laura saat meminjaminya uang yang cukup banyak untuk membiayai genteng rumahnya yang bocor dan untung biaya lainnya. Dan hutang-hutang itu belum juga dilunasinya. Belum lagi hutang-hutang orangtuanya. Jika di hitung, seluruh hutangnya sampai puluhan juta dan Harry bingung bagaimana cara untuk melunasi hutang-hutang itu dalam waktu dekat ini.

            “Jangan pikirkan hutang-hutang itu. Kakak akan mencari uang sebanyak-banyaknya. Sebaiknya kau istirahat saja ya.” Kata Harry sambil membelai kepala Ele.

            Ele tersenyum sedih menatap wajah kakaknya yang lelah dan pucat. Tuhan.. Tunjukkanlah jalan keluarnya. Berilah kami keajaiban agar hutang-hutang itu terlunasi. Ele menangis. Ya, gadis itu menangis.

***

            “Sebenarnya, Ibu kasihan padamu Harr. Kau adalah seorang pemuda yang sangat hebat dan kuat dengan cobaan ini. Tapi, uang Ibu juga sudah habis. Masalah hutang-hutang yang dulu, kau boleh kapan-kapan melunasinya.”

            Harry begitu sedih sekaligus terharu mendengar ucapan Laura yang sudah ia anggap sebagai Ibunya sendiri. Laura adalah sahabat Ibunya. Kadang-kadang jika ia kehabisan uang atau makanan, Laura sering meminjamkannya uang dan mengirimkannya makanan.

            “Oh, terimakasih Bu. Saya janji akan melunasinya secepat ini.” Ucap Harry.

            Melunasinya secepat ini? Gila! Hutangnya saja pada Laura sudah mencapai lima juta! Bayangkan saja darimana ia akan mendapat uang sebanyak itu. Belum lagi hutang-hutang lainnya. Harry teringat dengan Ele dan biaya rumah sakit. Tepat jam dua siang ia harus siap dengan uang sebanyak sepuluh juta untuk uang muka saja.

            “Sebenarnya apa pekerjaanmu? Mau Ibu tawarkan bekerja di perusahaan? Ibu banyak memiliki teman yang suaminya bekerja di perusahaan.” Tawar Laura.

            Harry tersenyum lalu menggeleng. “Terimakasih. Tapi saya tidak suka bekerja di perusahaan. Baiklah, saya pamit dulu. Sekali lagi terimakasih.” Ucapnya lalu pergi meninggalkan Laura.

            Sekarang, langkah yang ia ambil apa? Harry bingung mau meminjam uang dimana. Hanya sepuluh juta saja. Sedikitpun ia tidak memiliki uang. Bahkan untuk makan saja tidak ada. Sampai saat ini ia sekali pun belum menyentuh makanan. Dimana ia bisa mendapatkan uang?

            Tiba di pinggir jalan yang cukup ramai, Harry banyak melihat anak-anak kecil yang sedang mencari uang demi bertahan hidup. Disana ada yang menjual Koran dan majalah, ada yang mengamen, adapun yang meminta secara langsung. Benar-benar anak yang malang.

            Kedua matanya menangkap seorang anak laki-laki yang kira-kira berusia enam tahun. Anak laki-laki itu duduk bersila sambil bermain gitar. Harry tertarik untuk mendekati anak laki-laki itu.

            “Hai! Namamu siapa?” Sapa Harry dengan ramah.

            Anak laki-laki itu tersenyum malu. “Namaku Paul kak. Kakak siapa?” Jawab+Tanyanya.

            Harry tersenyum. “Aku Harry. Senang berkenalan denganmu, Paul. Ngomong-ngomong, kau sedang apa dengan gitar keren itu?”

            Mungkin anak laki-laki yang bernama Paul itu bingung dengan pujian Harry. Apa kerennya sih gitarnya itu? “Aku sedang memainkannya.” Jawabnya.

            “Ooh, boleh ku pinjam? Bagaimana kalau kita menyanyi bersama? Kita pasti akan mendapat uang banyak.” Ajak Harry.

            Sebelum menjawab, Paul menatap Harry dan mencari kebenaran disana. Benarkan Harry mau bernyanyi bersamanya dengan penampilannya yang cukup buruk? Sebenarnya siapa Harry itu? Tidak mungkin Harry seperti dirinya. Akhirnya Paul pun mengangguk dan memberikan gitar itu ke Harry. Keduanya pun bersiap-siap untuk menyanyi.

            Entah perasaan apa yang dirasakan Paul saat mendengar suara Harry. Baginya, Harry bukanlah orang biasa. Mungkin Harry sedang menyamar untuk membantunya.

            “Ayo Paul bernanyilah bersamaku! Kau tau kan lagu-lagu The Potatoes?” Tanya Harry.

            “Ya. Aku sangat mengidolakannya!” Jawab Paul semangat.

            Tidak terasa waktu berjalan begitu cepat dan usaha mereka tidak sia-sia. Keduanya mendapat uang yang cukup banyak. Orang-orang pada menyukai lagu yang dinyanyikan Harry dan merespon dengan baik. Ada juga beberapa gadis yang fangirling melihat gaya Harry dan meminta Harry untuk mengulangi lagunya.

            “Wah, terimakasih ya kak!” Kata Paul ceria. Ia menerima sebagian uang hasil dari kerja mereka.

            “Sama-sama Paul. Terimakasih ya. Aku jadi bisa makan hari ini.” Kata Harry.

            Paul menatap Harry dengan heran. “Memangnya kakak sama sepertiku?” Tanyanya.

            Harry tersenyum. “Iya. Kakak sedang butuh uang banyak. Adikku sedang dirawat di rumah sakit. Kalau begitu, kakak pergi dulu ya.”

            Setelah meninggalkan Paul, Harry menyadari bahwa sekarang hampir jam dua siang. Tepatnya jam setengah dua. Hah? Betapa cepatnya waktu berganti dan ia belum mendapatkan uang sebanyak sepuluh juta! Apa lebih baik ia meminjam ke Niall? Betapa malunya tapi jika ia melakukan itu walau dulu Niall pernah menawarinya.

            Ternyata, menyanyi dapat melupakan segalanya. Harry sadar akan hal itu. Teringat dengan peristiwa di ruang musik bersama Niall, ia begitu tidak sadar menyanyikan lagu Little Things dan Fireproof. Akhirnya Harry memutuskan untuk kembali ke rumah sakit dan pasrah akan segalanya. Ya, kali ini ia benar-benar pasrah.

***

            “SIALAN !!!”

            Baru saja Louis menerima pesan dari nomor yang tidak dikenalnya, tapi Louis yakin sekali itu adalah nomor Luke. Disana tertulis, “KAU MAU TAU SIAPA YANG MENABRAK GADIS YANG KAU CINTAI ITU? JAWABANNYA ADALAH: LUKE ( THE INVISIBLE )” Apa maunya sih orang itu? Louis tidak habis pikir mengapa teganya Luke mencederai Ele. Apa Luke melakukannya karenanya?

            “Siapa pemilik nomor itu?” Tanya Niall heran.

            Louis tidak langsung menjawab. Pemuda itu sedang berusaha untuk mengendalikan emosinya. “Aku yakin sekali Luke yang mengirim pesan itu. Tapi, mengapa harus Ele? Ele kan adik kandungnya Harry!”

            Tiba-tiba Niall menemukan suatu kesimpulan. “Jangan-jangan Luke sedang ada masalah dengan Harry dan Ele-lah yang menjadi korbannya! Kau tidak ada sangkut pautnya dengan masalah ini karena Luke tidak tau kalau kau mencintai Ele. Dia terlalu sibuk dengan bandnya. Lou, aku kasihan dengan Harry. Mungkin katamu benar. Harry ada hubungannya dengan Luke. Tapi bukan hubungan persahabatan, melainkan bermusuhan!”

            Kesimpulan Niall sedikit masuk akal. Dan entah mengapa Louis menjadi kasihan dengan Harry. Kemarin itu, ia benar-benar menyesal karena telah menambah kesedihan Harry. Louis sadar bahwa dirinya salah. Ia salah! Harry sendiri dan dia butuh bantuan. Tiba-tiba Louis teringat sesuatu.

            “Yell, ayo kita ajak Harry untuk gabung di band kita!”

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar