Broken Parts
.
“Aku tidak percaya!” Sanggah Niall
mendengar cerita Louis.
Kejadian kemarin yang tidak
diduganya itu telah ia ceritakan kepada Niall, Liam dan Zayn. Tentu saja Niall
tidak percaya. Ia tidak akan pernah percaya sebelum ia melihat dengan mata
kepalanya sendiri. Tidak mungkin Harry seperti itu!
“Kalau kau tidak percaya, kenapa kau
tidak kesana saja? Aku yakin Harry akan membentakimu dan berbicara kasar
padamu!” Kata Louis.
Niall ingat kejadian di perpustakaan
kemarin. Ketika ia meminta Harry untuk bergabung ke dalam bandnya dan langsung
ditolak Harry. Apa Louis benar? Niall pun bingung. Memang sih sewaktu kejadian
di perpustakaan itu Harry sedikit kurang ramah dan tidak seperti sebelumnya.
Tapi mungkin pada saat itu Harry lagi ada masalah sehingga bawaannya buruk
sekali. Sama seperti kejadian antara Louis dengan Harry. Wajar saja Harry emosi
menghadapi Louis yang emosi juga. Jadi wajar saja. Coba Louis bicara baik-baik
dan menahan emosinya. Pasti kejadiannya tidak akan seperti itu.
“Yell, sebaiknya kau hapus nama
Harry. Aku sudah muak dengannya. Tapi aku masih menghormati lagunya. Biarlah
lagu itu menjadi kenangan antara kau dengan Harry.” Kata Louis.
“Tidak Lou! Terkadang Harry suka
emosi dan tidak bisa menahan emosinya. Saat itu dia sedang sedih Lou! Bayangkan
saja, adik satu-satunya sedang sekarat di rumah sakit. Coba kalau kau berada di
posisi Harry, aku yakin sikapmu tidak jauh beda dengan Harry.” Ucap Niall.
Louis terdiam mendengar ucapan
Niall. Tiba-tiba ia teringat dengan Ele. Semalaman penuh ia memikirkan kondisi
Ele. Bagaimanapun juga, rasa cinta itu tidak bisa ia hilangkan. Rasa cinta itu
lebih besar dibanding rasa bencinya pada Harry. Menghapus rasa cinta itu
sangatlah susah. Sebaliknya, membuang rasa benci itu mudah. Niall benar. Saat
itu Harry sedang sedih dan tidak bisa diganggu. Jadi, semua ini adalah
salahnya? Jadi ia harus meminta maaf pada Harry?
“Tapi aku tidak bisa meminta maaf ke
Harry. Aku masih memikirkan hubungan antara Harry dengan Luke.” Kata Louis.
“Lou, sejahat-jahatnya Luke, dia
tidak seperti para penjahat yang setiap harinya banyak memakan korban. Luke
hanya tidak ingin memiliki saingan. Itu tidak jahat Lou, tetapi egois.”
“Ohya? Tapi firasatku mengatakan
kalau dia dan Harry dibalik kematian Austin. Mereka yang membunuh Austin!”
“Cukup Lou! Jangan menuduh seperti
itu sebelum kau mendapatkan bukti. Buanglah firasat-firasatmu itu!”
Akhirnya Louis mengalah karena ia
lelah menghadapi Niall. “Oke. Aku tidak akan lagi menuduhnya. Tapi kau harus
janji, kau tidak akan lagi berteman dengan Harry. Dan kita berempat akan
bangkit lagi. Tidak peduli apakah bisa menyaingi The Invisible atau tidak.”
Ucapnya.
Niall hanya bisa mengangguk walau
hatinya melawan.
***
Kedua matanya bergerak secara
perlahan. Tangan lemahnya juga mulai bergerak. Syukurlah Ele sadar dalam waktu
yang cepat ini dan Harry sedikit lega. Yang ia pikirkan adalah bagaimana
membayar uang muka rumah sakit sebelum jam dua siang. Sekarang jam sepuluh pagi
dan Harry belum menemukan jalan keluarnya.
“Kak..” Lirih Ele.
Harry tersenyum sedih melihat
adiknya. “Kau baik-baik saja.” Ucapnya.
“Mana Louis?” Tanyanya.
Lagi-lagi pemuda itu! Harry tidak
menyangka kemarin ia dan Louis perang mulut bersama emosi masing-masing.
Untunglah tidak sampai perang fisik. Harry tau Louis sangat membencinya karena
menuduhnya yang mempunyai hubungan dengan Luke.
“Dia tidak ada disini. Dia sedang
sibuk dengan bandnya. Sebaiknya kau istirahat saja.” Jawab Harry.
Mendengar jawaban Harry, wajah Ele
semakin bertambah sedih. Jujur saja, ia sangat mengharapkan kehadiran Louis
disisinya. Ele ingat dengan ajakan Louis untuk malam itu. Betapa indahnya malam
itu jika ia tidak sekarat seperti sekarang ini.
“Maafkan Ele. Karena Ele kakak jadi
susah. Lalu, bagaimana cara membayar semua ini? Ini sama saja menambah hutang
kakak. Biaya rumah sakit tidak murah, kak. Kalau boleh, Ele pulang saja. Ele
kuat kok.” Ucap Ele.
Hutang itu semakin banyak dan
semakin membuat kepalanya sakit. Harry sadar hutang-hutangnya sudah berada di
puncaknya dan mungkin ia tidak akan pernah bisa lagi berhutang kepada siapapun.
Harry ingat kebaikan Bu Laura saat meminjaminya uang yang cukup banyak untuk
membiayai genteng rumahnya yang bocor dan untung biaya lainnya. Dan
hutang-hutang itu belum juga dilunasinya. Belum lagi hutang-hutang orangtuanya.
Jika di hitung, seluruh hutangnya sampai puluhan juta dan Harry bingung
bagaimana cara untuk melunasi hutang-hutang itu dalam waktu dekat ini.
“Jangan pikirkan hutang-hutang itu.
Kakak akan mencari uang sebanyak-banyaknya. Sebaiknya kau istirahat saja ya.”
Kata Harry sambil membelai kepala Ele.
Ele tersenyum sedih menatap wajah
kakaknya yang lelah dan pucat. Tuhan.. Tunjukkanlah jalan keluarnya. Berilah
kami keajaiban agar hutang-hutang itu terlunasi. Ele menangis. Ya, gadis itu
menangis.
***
“Sebenarnya, Ibu kasihan padamu Harr.
Kau adalah seorang pemuda yang sangat hebat dan kuat dengan cobaan ini. Tapi,
uang Ibu juga sudah habis. Masalah hutang-hutang yang dulu, kau boleh
kapan-kapan melunasinya.”
Harry begitu sedih sekaligus terharu
mendengar ucapan Laura yang sudah ia anggap sebagai Ibunya sendiri. Laura
adalah sahabat Ibunya. Kadang-kadang jika ia kehabisan uang atau makanan, Laura
sering meminjamkannya uang dan mengirimkannya makanan.
“Oh, terimakasih Bu. Saya janji akan
melunasinya secepat ini.” Ucap Harry.
Melunasinya secepat ini? Gila!
Hutangnya saja pada Laura sudah mencapai lima juta! Bayangkan saja darimana ia
akan mendapat uang sebanyak itu. Belum lagi hutang-hutang lainnya. Harry
teringat dengan Ele dan biaya rumah sakit. Tepat jam dua siang ia harus siap dengan
uang sebanyak sepuluh juta untuk uang muka saja.
“Sebenarnya apa pekerjaanmu? Mau Ibu
tawarkan bekerja di perusahaan? Ibu banyak memiliki teman yang suaminya bekerja
di perusahaan.” Tawar Laura.
Harry tersenyum lalu menggeleng.
“Terimakasih. Tapi saya tidak suka bekerja di perusahaan. Baiklah, saya pamit
dulu. Sekali lagi terimakasih.” Ucapnya lalu pergi meninggalkan Laura.
Sekarang, langkah yang ia ambil apa?
Harry bingung mau meminjam uang dimana. Hanya sepuluh juta saja. Sedikitpun ia
tidak memiliki uang. Bahkan untuk makan saja tidak ada. Sampai saat ini ia
sekali pun belum menyentuh makanan. Dimana ia bisa mendapatkan uang?
Tiba di pinggir jalan yang cukup
ramai, Harry banyak melihat anak-anak kecil yang sedang mencari uang demi
bertahan hidup. Disana ada yang menjual Koran dan majalah, ada yang mengamen,
adapun yang meminta secara langsung. Benar-benar anak yang malang.
Kedua matanya menangkap seorang anak
laki-laki yang kira-kira berusia enam tahun. Anak laki-laki itu duduk bersila
sambil bermain gitar. Harry tertarik untuk mendekati anak laki-laki itu.
“Hai! Namamu siapa?” Sapa Harry
dengan ramah.
Anak laki-laki itu tersenyum malu.
“Namaku Paul kak. Kakak siapa?” Jawab+Tanyanya.
Harry tersenyum. “Aku Harry. Senang
berkenalan denganmu, Paul. Ngomong-ngomong, kau sedang apa dengan gitar keren
itu?”
Mungkin anak laki-laki yang bernama
Paul itu bingung dengan pujian Harry. Apa kerennya sih gitarnya itu? “Aku
sedang memainkannya.” Jawabnya.
“Ooh, boleh ku pinjam? Bagaimana
kalau kita menyanyi bersama? Kita pasti akan mendapat uang banyak.” Ajak Harry.
Sebelum menjawab, Paul menatap Harry
dan mencari kebenaran disana. Benarkan Harry mau bernyanyi bersamanya dengan
penampilannya yang cukup buruk? Sebenarnya siapa Harry itu? Tidak mungkin Harry
seperti dirinya. Akhirnya Paul pun mengangguk dan memberikan gitar itu ke
Harry. Keduanya pun bersiap-siap untuk menyanyi.
Entah perasaan apa yang dirasakan
Paul saat mendengar suara Harry. Baginya, Harry bukanlah orang biasa. Mungkin
Harry sedang menyamar untuk membantunya.
“Ayo Paul bernanyilah bersamaku! Kau
tau kan lagu-lagu The Potatoes?” Tanya Harry.
“Ya. Aku sangat mengidolakannya!”
Jawab Paul semangat.
Tidak terasa waktu berjalan begitu
cepat dan usaha mereka tidak sia-sia. Keduanya mendapat uang yang cukup banyak.
Orang-orang pada menyukai lagu yang dinyanyikan Harry dan merespon dengan baik.
Ada juga beberapa gadis yang fangirling melihat gaya Harry dan meminta Harry
untuk mengulangi lagunya.
“Wah, terimakasih ya kak!” Kata Paul
ceria. Ia menerima sebagian uang hasil dari kerja mereka.
“Sama-sama Paul. Terimakasih ya. Aku
jadi bisa makan hari ini.” Kata Harry.
Paul menatap Harry dengan heran.
“Memangnya kakak sama sepertiku?” Tanyanya.
Harry tersenyum. “Iya. Kakak sedang
butuh uang banyak. Adikku sedang dirawat di rumah sakit. Kalau begitu, kakak
pergi dulu ya.”
Setelah meninggalkan Paul, Harry
menyadari bahwa sekarang hampir jam dua siang. Tepatnya jam setengah dua. Hah? Betapa
cepatnya waktu berganti dan ia belum mendapatkan uang sebanyak sepuluh juta!
Apa lebih baik ia meminjam ke Niall? Betapa malunya tapi jika ia melakukan itu
walau dulu Niall pernah menawarinya.
Ternyata, menyanyi dapat melupakan
segalanya. Harry sadar akan hal itu. Teringat dengan peristiwa di ruang musik
bersama Niall, ia begitu tidak sadar menyanyikan lagu Little Things dan
Fireproof. Akhirnya Harry memutuskan untuk kembali ke rumah sakit dan pasrah
akan segalanya. Ya, kali ini ia benar-benar pasrah.
***
“SIALAN !!!”
Baru saja Louis menerima pesan dari
nomor yang tidak dikenalnya, tapi Louis yakin sekali itu adalah nomor Luke.
Disana tertulis, “KAU MAU TAU SIAPA YANG MENABRAK GADIS YANG KAU CINTAI ITU?
JAWABANNYA ADALAH: LUKE ( THE INVISIBLE )” Apa maunya sih orang itu? Louis
tidak habis pikir mengapa teganya Luke mencederai Ele. Apa Luke melakukannya
karenanya?
“Siapa pemilik nomor itu?” Tanya
Niall heran.
Louis tidak langsung menjawab.
Pemuda itu sedang berusaha untuk mengendalikan emosinya. “Aku yakin sekali Luke
yang mengirim pesan itu. Tapi, mengapa harus Ele? Ele kan adik kandungnya
Harry!”
Tiba-tiba Niall menemukan suatu kesimpulan.
“Jangan-jangan Luke sedang ada masalah dengan Harry dan Ele-lah yang menjadi
korbannya! Kau tidak ada sangkut pautnya dengan masalah ini karena Luke tidak
tau kalau kau mencintai Ele. Dia terlalu sibuk dengan bandnya. Lou, aku kasihan
dengan Harry. Mungkin katamu benar. Harry ada hubungannya dengan Luke. Tapi
bukan hubungan persahabatan, melainkan bermusuhan!”
Kesimpulan Niall sedikit masuk akal.
Dan entah mengapa Louis menjadi kasihan dengan Harry. Kemarin itu, ia
benar-benar menyesal karena telah menambah kesedihan Harry. Louis sadar bahwa
dirinya salah. Ia salah! Harry sendiri dan dia butuh bantuan. Tiba-tiba Louis
teringat sesuatu.
“Yell, ayo kita ajak Harry untuk
gabung di band kita!”
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar