expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Sabtu, 07 Maret 2015

We Love You Sivia ( Part 17 )



Part 17

.

.

.

Kedua matanya sedari tadi menatap seorang lelaki yang bernama Cakka. Tampaknya, Cakka sedang aneh hari ini. Lho? Kenapa dia nggak ajak Ify? Dugaannya semakin kuat. Diam-diam ia mengikuti kemana Cakka pergi.

“Lo mau kemana?” Tanya Rio.

Cewek yang ternyata adalah Agni itu menoleh ke belakang. Disana ada Rio yang wajahnya berbeda dari biasanya. Wajahnya tampak memancarkan aura kebencian. Jangan-jangan...

“Lo mau ikutin tuh orang?” Rio menunjuk ke arah Cakka yang semakin mengecil dari kejauhan.

Benar! Rio pasti sudah tau tentang hubungan Cakka dengan Ify. Tapi, Rio belum sepenuhnya tau. Tentu perjodohan itu tidak diketahuinya.

“Lo.. Lo tau..”

“Ya. CakFy, ckck..”

Agni menghela nafas panjang. Akankah ia menceritakan tentang perjodohan antara Cakka dengan Ify? Akankah ia menceritakan permintaan almarhum Mama Cakka?

“Mmm..” Agni bingung mau bicara apa.

“Gue nggak nyangka. Ternyata Cakka seperti itu. Dia nggak nyadar udah membuat dua hati yang terluka.” Kata Rio.

Tentu Agni tau siapa dua hati yang terluka itu. Ia dan Rio. Karena Agni udah menyimpulkan bahwa Rio naksir sama Ify. Mustahil bila hati Rio tidak sakit jika naksir Ify. Tapi ada yang kurang.

“Tiga, Yo. Bukan dua.” Tambah Agni.

Tiga? Sesaat Rio terdiam dan sedikit kaget. Tiga? Yang jelas bukan Cakka karena Cakka sangat bahagia bersama Ify. Atau mungkin... Ify? Astaga! Buang Yo, buang! Ify nggak mungkin suka kamu. Kalo suka, kenapa mesti pacaran sama si Cakka? Lantas, gerangan siapa yang di maksud Agni? Apakah ada orang lain yang masuk selain mereka berempat?

“Jangan geer.” Kata Agni setengah tertawa lalu pergi meninggalkan Rio. Tugasnya belum selesai.

“Hei!” Teriak Rio kesal.

Ya, jangan terlalu berharap. Jangan terlalu berharap yang impossible. Tapi, bukannya sebuah harapan itu kebanyakan yang impossible?

***

“It’s gotta be you... Only you...

I’ts gotta be you... Only you...”

Lelaki yang tak lain adalah Cakka itu menoleh kebelakang dan melihat Agni yang sedang melanjutkan nyanyiannya. Suara Agni lumayan bagus. Dulu, sewaktu SMA Agni sering mengikuti lomba nyanyi. Bermain musik pun ia mahir.

“It’s gotta be you... Only you..”

Agni mendekati Cakka seraya duduk di samping Cakka. Sungguh, hati dan jiwanya terasa damai ketika berada dekat dengan Cakka.

“Mau apa lo disini?” Bentak Cakka.

Agni tau Cakka akan marah padanya. Tapi Agni mencoba bersabar dan berusaha agar tidak menangis saat Cakka membentaknya.

“Gue.. Ini kan tempat kita berdua.” Jawab Agni berusaha tenang.

Sementara Cakka mendengus kesal. “Itu dulu. Sekarang beda. Sana pergi! Gue nggak mau liat wajah lo lagi.” Ucapnya.

“Why? Why you hate me? Are there my fault to you?”

“Gue bukan Inggris. Tapi Indonesia.”

Agni terkekeh pelan. “Yo wis, gue pergi aja. Tapi hati-hati lho kalo lo lama-lama diem di tempat ini. Takutnya lo balik naksir ke gue, hihi..”

Memang. Tempat ini adalah tempatnya dengan Agni. Mereka berdua sering mengunjungi tempat ini. Akhirnya, Agni pergi meninggalkan Cakka dan Cakka sama sekali tidak menghadangnya.

Dia masih bisa tersenyum, tertawa dan bercanda...

***

Sejak kejadian saat latihan basket itu, Sivia mulai mengubah gaya hidupnya. Ia lebih suka menyendiri dan nggak banyak omong. Sivia lebih keliatan sebagai cewek kutubuku. Ia juga memutuskan memakai kacamata.

Banyak yang penasaran dengan perubahan sikap Sivia. Febby mencoba mengembalikan Sivia menjadi Sivia yang dulu. Tapi hasilnya.. Nggak sama sekali membawa perubahan. Rio sendiri saja nggak tau alasan Sivia mengubah sikap. Cowok itu malah cuek-cuek aja. Mungkin karena banyak masalah yang dialaminya dan Sivia memaklumi semua itu.

“Hei!”

Sivia sedang membaca buku. Ada sebuah suara yang mengagetkannya. Pricilla? Sivia tau mengapa Pricilla datang kemari.

“Lo secara resmi dikeluarin dari tim karena lo nggak pernah ikut latihan. Ohya, gue sekarang yang jadi kapten. Lo tau nggak, semua orang pada kecewa sama lo. Kecewa!” Kata Pricilla.

Ya, semuanya kecewa padanya. Sebisa mungkin Sivia menahan air mata. Memang hobinya belakang-belakangan ini adalah menangis.

“Lo cengeng amat sih?” Ejek Pricilla seraya merebut buku bacaan yang dibaca Sivia.

Sivia terenyak. Jangan! Jangan baca buku itu! Tapi untunglah, Pricilla tidak membacanya dan langsung membuang buku itu.

“Pengen jadi dokter kanker?”

Sivia terdiam. Matanya melihat sedih buku yang keseluruhannya hampir rusak karena ulah Pricilla tadi.

“Gue dukung cita-cita lo.”

Setelah itu Pricilla meninggalkan Sivia. Sivia sedikit tersenyum. Mungkin dengan jalan ini ia dan Pricilla nggak akan bermusuhan. Ia tidak mau ada orang yang membencinya.

Karena ia ingin sekali meninggalkan dunia ini tanpa ada orang yang membencinya.

***

Sepertinya, Rio mulai penasaran dengan perubahan adiknya. Maka, sore itu ia memutuskan untuk masuk ke dalam kamar Sivia. Ternyata, kamar itu kosong. Sivia tidak ada disana. Mungkin Sivia sedang berada di kamar mandi.

Saat ia berjalan mendekati kasur, Rio merasa menginjak sesuatu. Sesuatu yang terasa geli jika dinjak. Rio pun menunduk. Dan.. Alangkah kagetnya ia ketika menemukan sehelai rambut hitam yang ia yakini adalah rambut Sivia. Perasaannya jadi nggak enak.

“Kak..”

Baru saja Sivia keluar dari kamar mandi. Wajahnya agak pucat. Rio memerhatikan wajah Sivia seakan-akan menyimpulkan sesuatu.

“Vi.. Lo kenapa? Belakang-belakangan ini sikap lo aneh deh.” Tanya Rio penasaran.

“Gue nggak papa kok kak.” Jawab Sivia.

“Tapi.. Lo aneh. Lo banyak berubah. Gue denger lo dikeluarkan dari tim. Sebenarnya, ada apa sih? Cerita ke gue kalo lo lagi ada masalah. Apa semua ini ada hubungannya dengan dua orang jahat itu?”

Sivia tau siapa yang dimaksud ‘dua orang jahat’ oleh Rio. Siapa lagi kalo bukan Mama dan Papa? Kalo mereka emang beneran cerai ya nggak papa. Toh sebentar lagi ia akan meninggalkan dunia ini dan melupakan segalanya. Duh, kok pesimis banget ya? Emangnya, mati itu enak?

“Nggak ada hubungannya dengan siapapun. Via sendiri yang mau berubah. Via sekarang bukan Via yang dulu. Via emang sengaja keluar dari tim.” Jawab Sivia.

Rio menaikkan alisnya. “Why? Ada hobby baru lagi?” Tanyanya.

“Bisa jadi kak. Ya udah, Via mau istirahat dulu.”

“Eh, di bawah ada tamu tuh!”

“Siapa?”

***

Jika Tuhan masih mengizinkan aku untuk hidup, maka aku berusaha untuk bertahan

Tapi, aku ingin sekali cepat-cepat meninggalkan dunia ini

Karena aku nggak sanggup lagi untuk bertahan

Banyak sekali cobaan, rintangan, derita yang aku terima

Tapi, jika aku telah pergi, akankah aku rela berpisah bersama dua lelaki yang sangat aku cintai ini?

***

Sudah berapa lamakah ia tidak bertemu wajah itu? Wajah yang sangat ia rindukan. Sudah ia katakan dan akui. Semenit pun jika ia tidak bertemu wajah itu, rasa rindulah yang menyerangnya.

“Gue nggak tau kalo lo dan Gabriel sudah pacaran.” Bisik Rio di telinga Sivia.

Sivia nggak menanggapi omongan Rio. Ia malah menatap wajah Gabriel dengan sejuta kerinduan. Oh Vi, apa yang lo lakukan? Lo telah melakukan sebuah kesalahan. Kenapa sih lo nggak bisa milih salah satu dari keduanya? Kenapa lo nggak bisa Vi?

“Hai sayang! Apa kabar?” Sapa Gabriel.

“Baik.” Jawab Sivia singkat. Padahal sejatinya ia tidak baik.

“Ehem, gue keluar dulu ya. Ada sesuatu yang harus gue urus. Yel, jaga Via ya..” Kata Rio seraya meninggalkan Sivia dan Gabriel.

Suasana menjadi hening. Ingin sekali Sivia berteriak sambil memeluk Gabriel. Tapi... Ia merasakan ada yang menghambat semua itu.

“Mm Vi, jalan-jalan yuk!” Kata Gabriel akhirnya.

***

“Sakit Kka..” Kata Ify merasa tangannya ditarik kasar oleh Cakka.

Sore itu, Cakka seperti ingin menyakiti Ify. Tak tau kenapa. Intinya, Cakka sekarang sedang nggak baik. Alias pikirannya lagi nggak jernih. Dan Ify sebagai pelampiasannya.

“Diam lo!” Bentak Cakka.

Ify terdiam. Seperti ingin menangis. Sungguh, hatinya sakit. Sangat sakit. Bukan hanya karena statusnya sebagai kekasih Cakka. Ada sesuatu yang membuat hatinya ingin berontak. Yaitu perasaan rindu dengan seseorang. Seseorang yang telah lama dicintainya.

“Denger. Lo dan gue adalah sepasang kekasih. Kalo lo nggak mau gue bentak, lo harus nurutin semua kemauan gue. Termasuk jauhi cowok yang lo suka!”

Ify memberanikan diri untuk melawan. “Gue udah melakukannya Kka. Gue udah jauhi Rio. Sekarang, mau lo apa? Akan gue turuti!”

Wah, wah.. Tumben seorang Ify berkata dengan sedikit kasar. Hei! Ify dulu dengan Ify sekarang itu beda. Ify bisa aja berubah menjadi Ify yang dulu. Sekarang inilah waktunya untuk ia berubah.

Giliran Cakka yang terdiam. Kka! Kenapa lo tiba-tiba marah-marah nggak jelas ke Ify? Semua ini bukan salah Ify, Kka.. Inget, bukan salah Ify...

“Kka, gue akan terus berusaha mencintai lo dan melupakan Rio. Walau itu nggak mungkin. Karena gue ingin sekali membahagiakan Mama lo..”

***

Malam yang indah menyelimuti sepasang kekasih yang saling mencintai itu. Sivia dan Gabriel duduk berhadapan di dalam ayunan. Gabriel menggenggam tangan Sivia agar tangan mungil itu tidak kedinginan. Dan Sivia merasakan kehangatan dari genggaman tangan itu.

Tiba-tiba Sivia teringat Alvin. Ya, pacar keduanya! Dari tadi, Alvin memiscallnya. Tapi tidak ia angkat. Oh, betapa jahatnya ia! Sivia, kau jahat!

“Vi, kamu kok berubah sih?” Tanya Gabriel.

Sebelum menjawab pertanyaan Gabriel, Sivia menarik nafas dalam-dalam. “Ak.. Aku nggak berubah kok Yel. Cuma..”

“Cuma apa? Kamu keluar dari tim! Apa kamu disuruh sama si Pricil itu?”

Sivia menggeleng. “Nggak. Bukan karena kak Pricilla atau siapapun. Itu kemauanku saja. Aku emang keluar dari tim karena keinginanku sendiri.”

“Dan alasannya?”

Alasan? Tentu tak semudah itu Sivia menceritakan ke Gabriel. Cukup Bi Nah aja yang tau. Kalo Gabriel bisa tau, ntar tuh cowok khawatir lagi. Dan Sivia nggak mau hal itu terjadi.

“Without a reason. Sudahlah Yel, jangan bahas yang itu. Sebaiknya kita menikmati keindahan malam ini.”

Terpaksa Gabriel mengangguk dan mengeratkan genggamannya.

“Tau nggak Yel? Ini adalah malam terindah yang pernah ada.” Kata Sivia dan sukses membuat Gabriel tersenyum bahagia.

Dua insan itu terlihat sangat bahagia. Sangat bahagia. Saking bahagianya, mereka nggak tau ada sepasang mata yang melihat dengan ditemani sejuta kecemburuan yang tinggi(?). Sepasang mata itu makin lama makin nggak tahan juga. Ia ingin sekali mengeluarkan emosinya.

“Gue tau lo nggak bisa mencintai gue. Gue tau..”

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar