Part 17
.
.
.
Kedua matanya
sedari tadi menatap seorang lelaki yang bernama Cakka. Tampaknya, Cakka sedang
aneh hari ini. Lho? Kenapa dia nggak ajak Ify? Dugaannya semakin kuat.
Diam-diam ia mengikuti kemana Cakka pergi.
“Lo mau kemana?”
Tanya Rio.
Cewek yang ternyata
adalah Agni itu menoleh ke belakang. Disana ada Rio yang wajahnya berbeda dari
biasanya. Wajahnya tampak memancarkan aura kebencian. Jangan-jangan...
“Lo mau ikutin tuh
orang?” Rio menunjuk ke arah Cakka yang semakin mengecil dari kejauhan.
Benar! Rio pasti
sudah tau tentang hubungan Cakka dengan Ify. Tapi, Rio belum sepenuhnya tau.
Tentu perjodohan itu tidak diketahuinya.
“Lo.. Lo tau..”
“Ya. CakFy, ckck..”
Agni menghela nafas
panjang. Akankah ia menceritakan tentang perjodohan antara Cakka dengan Ify?
Akankah ia menceritakan permintaan almarhum Mama Cakka?
“Mmm..” Agni
bingung mau bicara apa.
“Gue nggak nyangka.
Ternyata Cakka seperti itu. Dia nggak nyadar udah membuat dua hati yang terluka.”
Kata Rio.
Tentu Agni tau
siapa dua hati yang terluka itu. Ia dan Rio. Karena Agni udah menyimpulkan
bahwa Rio naksir sama Ify. Mustahil bila hati Rio tidak sakit jika naksir Ify.
Tapi ada yang kurang.
“Tiga, Yo. Bukan
dua.” Tambah Agni.
Tiga? Sesaat Rio
terdiam dan sedikit kaget. Tiga? Yang
jelas bukan Cakka karena Cakka sangat bahagia bersama Ify. Atau mungkin... Ify?
Astaga! Buang Yo, buang! Ify nggak mungkin suka kamu. Kalo suka, kenapa mesti
pacaran sama si Cakka? Lantas, gerangan siapa yang di maksud Agni? Apakah ada
orang lain yang masuk selain mereka berempat?
“Jangan geer.” Kata
Agni setengah tertawa lalu pergi meninggalkan Rio. Tugasnya belum selesai.
“Hei!” Teriak Rio
kesal.
Ya, jangan terlalu
berharap. Jangan terlalu berharap yang impossible.
Tapi, bukannya sebuah harapan itu kebanyakan yang impossible?
***
“It’s gotta be you... Only you...
I’ts gotta be you... Only you...”
Lelaki yang tak
lain adalah Cakka itu menoleh kebelakang dan melihat Agni yang sedang
melanjutkan nyanyiannya. Suara Agni lumayan bagus. Dulu, sewaktu SMA Agni
sering mengikuti lomba nyanyi. Bermain musik pun ia mahir.
“It’s gotta be you... Only you..”
Agni mendekati
Cakka seraya duduk di samping Cakka. Sungguh, hati dan jiwanya terasa damai
ketika berada dekat dengan Cakka.
“Mau apa lo
disini?” Bentak Cakka.
Agni tau Cakka akan
marah padanya. Tapi Agni mencoba bersabar dan berusaha agar tidak menangis saat
Cakka membentaknya.
“Gue.. Ini kan
tempat kita berdua.” Jawab Agni berusaha tenang.
Sementara Cakka
mendengus kesal. “Itu dulu. Sekarang beda. Sana pergi! Gue nggak mau liat wajah
lo lagi.” Ucapnya.
“Why? Why you hate
me? Are there my fault to you?”
“Gue bukan Inggris.
Tapi Indonesia.”
Agni terkekeh
pelan. “Yo wis, gue pergi aja. Tapi hati-hati lho kalo lo lama-lama diem di
tempat ini. Takutnya lo balik naksir ke gue, hihi..”
Memang. Tempat ini
adalah tempatnya dengan Agni. Mereka berdua sering mengunjungi tempat ini.
Akhirnya, Agni pergi meninggalkan Cakka dan Cakka sama sekali tidak menghadangnya.
Dia masih bisa tersenyum, tertawa dan bercanda...
***
Sejak kejadian saat
latihan basket itu, Sivia mulai mengubah gaya hidupnya. Ia lebih suka
menyendiri dan nggak banyak omong. Sivia lebih keliatan sebagai cewek kutubuku.
Ia juga memutuskan memakai kacamata.
Banyak yang
penasaran dengan perubahan sikap Sivia. Febby mencoba mengembalikan Sivia
menjadi Sivia yang dulu. Tapi hasilnya.. Nggak sama sekali membawa perubahan.
Rio sendiri saja nggak tau alasan Sivia mengubah sikap. Cowok itu malah
cuek-cuek aja. Mungkin karena banyak masalah yang dialaminya dan Sivia
memaklumi semua itu.
“Hei!”
Sivia sedang
membaca buku. Ada sebuah suara yang mengagetkannya. Pricilla? Sivia tau mengapa
Pricilla datang kemari.
“Lo secara resmi
dikeluarin dari tim karena lo nggak pernah ikut latihan. Ohya, gue sekarang
yang jadi kapten. Lo tau nggak, semua orang pada kecewa sama lo. Kecewa!” Kata
Pricilla.
Ya, semuanya kecewa
padanya. Sebisa mungkin Sivia menahan air mata. Memang hobinya
belakang-belakangan ini adalah menangis.
“Lo cengeng amat
sih?” Ejek Pricilla seraya merebut buku bacaan yang dibaca Sivia.
Sivia terenyak.
Jangan! Jangan baca buku itu! Tapi untunglah, Pricilla tidak membacanya dan
langsung membuang buku itu.
“Pengen jadi dokter
kanker?”
Sivia terdiam.
Matanya melihat sedih buku yang keseluruhannya hampir rusak karena ulah
Pricilla tadi.
“Gue dukung
cita-cita lo.”
Setelah itu
Pricilla meninggalkan Sivia. Sivia sedikit tersenyum. Mungkin dengan jalan ini
ia dan Pricilla nggak akan bermusuhan. Ia tidak mau ada orang yang membencinya.
Karena ia ingin
sekali meninggalkan dunia ini tanpa ada orang yang membencinya.
***
Sepertinya, Rio
mulai penasaran dengan perubahan adiknya. Maka, sore itu ia memutuskan untuk
masuk ke dalam kamar Sivia. Ternyata, kamar itu kosong. Sivia tidak ada disana.
Mungkin Sivia sedang berada di kamar mandi.
Saat ia berjalan
mendekati kasur, Rio merasa menginjak sesuatu. Sesuatu yang terasa geli jika
dinjak. Rio pun menunduk. Dan.. Alangkah kagetnya ia ketika menemukan sehelai
rambut hitam yang ia yakini adalah rambut Sivia. Perasaannya jadi nggak enak.
“Kak..”
Baru saja Sivia
keluar dari kamar mandi. Wajahnya agak pucat. Rio memerhatikan wajah Sivia
seakan-akan menyimpulkan sesuatu.
“Vi.. Lo kenapa?
Belakang-belakangan ini sikap lo aneh deh.” Tanya Rio penasaran.
“Gue nggak papa kok
kak.” Jawab Sivia.
“Tapi.. Lo aneh. Lo
banyak berubah. Gue denger lo dikeluarkan dari tim. Sebenarnya, ada apa sih?
Cerita ke gue kalo lo lagi ada masalah. Apa semua ini ada hubungannya dengan
dua orang jahat itu?”
Sivia tau siapa
yang dimaksud ‘dua orang jahat’ oleh Rio. Siapa lagi kalo bukan Mama dan Papa?
Kalo mereka emang beneran cerai ya nggak papa. Toh sebentar lagi ia akan
meninggalkan dunia ini dan melupakan segalanya. Duh, kok pesimis banget ya?
Emangnya, mati itu enak?
“Nggak ada hubungannya
dengan siapapun. Via sendiri yang mau berubah. Via sekarang bukan Via yang
dulu. Via emang sengaja keluar dari tim.” Jawab Sivia.
Rio menaikkan
alisnya. “Why? Ada hobby baru lagi?” Tanyanya.
“Bisa jadi kak. Ya
udah, Via mau istirahat dulu.”
“Eh, di bawah ada
tamu tuh!”
“Siapa?”
***
Jika Tuhan masih mengizinkan aku untuk hidup, maka aku
berusaha untuk bertahan
Tapi, aku ingin sekali cepat-cepat meninggalkan dunia ini
Karena aku nggak sanggup lagi untuk bertahan
Banyak sekali cobaan, rintangan, derita yang aku terima
Tapi, jika aku telah pergi, akankah aku rela berpisah
bersama dua lelaki yang sangat aku cintai ini?
***
Sudah berapa
lamakah ia tidak bertemu wajah itu? Wajah yang sangat ia rindukan. Sudah ia
katakan dan akui. Semenit pun jika ia tidak bertemu wajah itu, rasa rindulah
yang menyerangnya.
“Gue nggak tau kalo
lo dan Gabriel sudah pacaran.” Bisik Rio di telinga Sivia.
Sivia nggak
menanggapi omongan Rio. Ia malah menatap wajah Gabriel dengan sejuta kerinduan.
Oh Vi, apa yang lo lakukan? Lo telah melakukan sebuah kesalahan. Kenapa sih lo
nggak bisa milih salah satu dari keduanya? Kenapa lo nggak bisa Vi?
“Hai sayang! Apa
kabar?” Sapa Gabriel.
“Baik.” Jawab Sivia
singkat. Padahal sejatinya ia tidak baik.
“Ehem, gue keluar
dulu ya. Ada sesuatu yang harus gue urus. Yel, jaga Via ya..” Kata Rio seraya
meninggalkan Sivia dan Gabriel.
Suasana menjadi
hening. Ingin sekali Sivia berteriak sambil memeluk Gabriel. Tapi... Ia
merasakan ada yang menghambat semua itu.
“Mm Vi, jalan-jalan
yuk!” Kata Gabriel akhirnya.
***
“Sakit Kka..” Kata
Ify merasa tangannya ditarik kasar oleh Cakka.
Sore itu, Cakka
seperti ingin menyakiti Ify. Tak tau kenapa. Intinya, Cakka sekarang sedang
nggak baik. Alias pikirannya lagi nggak jernih. Dan Ify sebagai pelampiasannya.
“Diam lo!” Bentak
Cakka.
Ify terdiam.
Seperti ingin menangis. Sungguh, hatinya sakit. Sangat sakit. Bukan hanya
karena statusnya sebagai kekasih Cakka. Ada sesuatu yang membuat hatinya ingin
berontak. Yaitu perasaan rindu dengan seseorang. Seseorang yang telah lama
dicintainya.
“Denger. Lo dan gue
adalah sepasang kekasih. Kalo lo nggak mau gue bentak, lo harus nurutin semua
kemauan gue. Termasuk jauhi cowok yang lo suka!”
Ify memberanikan
diri untuk melawan. “Gue udah melakukannya Kka. Gue udah jauhi Rio. Sekarang,
mau lo apa? Akan gue turuti!”
Wah, wah.. Tumben
seorang Ify berkata dengan sedikit kasar. Hei! Ify dulu dengan Ify sekarang itu
beda. Ify bisa aja berubah menjadi Ify yang dulu. Sekarang inilah waktunya
untuk ia berubah.
Giliran Cakka yang
terdiam. Kka! Kenapa lo tiba-tiba marah-marah nggak jelas ke Ify? Semua ini
bukan salah Ify, Kka.. Inget, bukan salah Ify...
“Kka, gue akan
terus berusaha mencintai lo dan melupakan Rio. Walau itu nggak mungkin. Karena
gue ingin sekali membahagiakan Mama lo..”
***
Malam yang indah
menyelimuti sepasang kekasih yang saling mencintai itu. Sivia dan Gabriel duduk
berhadapan di dalam ayunan. Gabriel menggenggam tangan Sivia agar tangan mungil
itu tidak kedinginan. Dan Sivia merasakan kehangatan dari genggaman tangan itu.
Tiba-tiba Sivia
teringat Alvin. Ya, pacar keduanya! Dari tadi, Alvin memiscallnya. Tapi tidak
ia angkat. Oh, betapa jahatnya ia! Sivia, kau jahat!
“Vi, kamu kok
berubah sih?” Tanya Gabriel.
Sebelum menjawab pertanyaan
Gabriel, Sivia menarik nafas dalam-dalam. “Ak.. Aku nggak berubah kok Yel.
Cuma..”
“Cuma apa? Kamu
keluar dari tim! Apa kamu disuruh sama si Pricil itu?”
Sivia menggeleng.
“Nggak. Bukan karena kak Pricilla atau siapapun. Itu kemauanku saja. Aku emang
keluar dari tim karena keinginanku sendiri.”
“Dan alasannya?”
Alasan? Tentu tak
semudah itu Sivia menceritakan ke Gabriel. Cukup Bi Nah aja yang tau. Kalo
Gabriel bisa tau, ntar tuh cowok khawatir lagi. Dan Sivia nggak mau hal itu
terjadi.
“Without a reason.
Sudahlah Yel, jangan bahas yang itu. Sebaiknya kita menikmati keindahan malam
ini.”
Terpaksa Gabriel
mengangguk dan mengeratkan genggamannya.
“Tau nggak Yel? Ini
adalah malam terindah yang pernah ada.” Kata Sivia dan sukses membuat Gabriel tersenyum
bahagia.
Dua insan itu
terlihat sangat bahagia. Sangat bahagia. Saking bahagianya, mereka nggak tau
ada sepasang mata yang melihat dengan ditemani sejuta kecemburuan yang
tinggi(?). Sepasang mata itu makin lama makin nggak tahan juga. Ia ingin sekali
mengeluarkan emosinya.
“Gue tau lo nggak
bisa mencintai gue. Gue tau..”
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar