expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Sabtu, 07 Maret 2015

The Missing Star ( Part 10 )



That’s Very Bad
.

            Malam hari yang begitu gelap itu, pemuda itu berjalan seorang diri. Otot-ototnya sangatlah lelah dan perlu istirahat. Ia berharap ia sudah tiba di rumah. Tetapi jarak rumahnya cukup jauh dari tempatnya yang sekarang ini.

            Telinganya mendengar sebuah bunyi yang tak biasa. Pemuda itu terdiam sesaat. Perasaannya mulai tidak enak. Ia merasa ada seseorang yang mengikutinya.

            “Sudah lama kita tidak bertemu.” Ucap sebuah suara.

            Pemuda itu kaget bukan main ketika mendengar suara yang sudah tidak asing lagi baginya. Si pemilik suara itu berjalan mendekatinya dan kini sudah jelas terlihat di depannya.

            “Karena kau, Austin menjadi tersiksa.” Ucap suara itu.

            Pemuda itu tersenyum sinis. “Justu karena kau, Austin menjadi sakit dan tidak normal! Harusnya kau sadar bahwa perbuatanmu itu salah!”

            Si pemilik suara itu membalas senyuman pemuda itu dengan senyuman yang tidak kalah sinisnya. “Dia sudah mati, dan kau yang akan menjadi sasaran selanjutnya. Kecuali.. Kecuali jika kau menjauhi ‘mereka’.”

            Tentu saja pemuda itu tau apa maksud dari kata ‘mereka’ itu. “Aku tidak tau. Tapi jika kau mau tobat, aku bersedia memaafkanmu.”

            “Tidak! Aku tidak akan tobat! Aku terlalu sakit karena Austin dan kau adalah penyebabnya! Lihat saja. Sesuatu yang tidak kau duga akan terjadi. Sebentar lagi.”

            Setelah mengucapkan kalimat itu, si pemilik suara itu pun menghilang di balik kegelapan malam. Sementara si pemuda itu menyaksikan bayangan si pemilik suara itu sambil berusaha menghela nafas dalam-dalam.

            Ia hanya ingin menyelesaikan semua masalah ini tanpa adanya dendam. Austin sudah tiada dan ia kira masalahnya akan selesai. Tetapi dugaannya salah. Justru masalahnya bertambah semakin besar dan dendam semakin menjadi-jadi. Apa dirinya yang salah? Austin sangat dekat sekali dengan orang tadi dan memiliki hubungan rahasia yang istimewa. Sudah berkali-kali ia mencari cara untuk menyembuhkan penyakit Austin tetapi gagal-gagal saja. Ia kira Emma akan menyembuhkannya tetapi dugaannya ternyata salah.

            Mungkin karena kebencian dan kesakitan orang itu pada Austin yang telah menghianatinya dan akhirnya orang itu memutuskan untuk mengakhiri hidup Austin. Ya! Orang tadi-lah yang membunuh Austin. Pemuda itu sangat tidak percaya bahwa Austin mati karena orang itu. Seharusnya ia yang mati, bukan Austin. Jika ia membiarkan Austin terus bersama orang itu, mungkin semuanya tidak akan menjadi seperti ini. Ia bisa hidup dengan tenang tanpa ada masalah. Tapi ya karena Austin adalah sahabatnya dan ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk menyembuhkan penyakit Austin dengan cara menjauhkan Austin dari orang licik itu.

            Dan satu hal yang paling ia khawatirkan. Yaitu adiknya. Entahlah tapi yang jelas, sasaran selanjutnya adalah adiknya.

***

            Mendengar bunyi pintu terbuka, Ele langsung berlari keluar dan melihat kakaknya disana dengan wajah yang begitu lelah. Tumben kakaknya pulang malam begini. Sejak pagi tadi kakaknya sudah tidak ada di rumah. Apa kakaknya sedang bekerja?

            “Kakak baru darimana saja?” Tanya Ele.

            Kakaknya itu tersenyum. “Tidak ada.” Jawabnya seperti sedang menyembunyikan sesuatu.

            Baru saja kakaknya melewatinya, Ele langsung menahannya dengan kata-kata yang membuat kakaknya kaget. “Nilai kakak C! Kenapa bisa begitu? Kenapa nilai-nilai kakak menurun? Kalau beasiswa itu hilang gimana?”

            Kakaknya pun membalikkan badan. “Aku sudah lelah kuliah. Aku mau berhenti kuliah dan bekerja saja. Percuma kuliah!” Ucapnya.

            Ele langsung melebarkan matanya. “Kenapa? Cita-cita kakak kan menjadi pengacara? Kalau kakak memilih untuk bekerja, itu sangat sulit kak. Pekerjaan kakak juga tidak tetap. Kadang-kadang kakak bekerja sebagai pelayan restoran, kadang-kadang bekerja di pom bensin, kadang-kadang bekerja…”

            “Sudahlah El, itu kan keputusanku dan kau harus menerimanya. Aku ingat ucapanmu yang mengatakan bahwa semua orang itu memiliki hak dan kehidupan. Aku sudah membebaskanmu sekarang dan tidak melarangmu dekat dengan Louis.”

            Mendengar nama ‘Louis’, kedua pipi Ele memerah. “Ya sudahlah kak. Jadi, selama ini kakak kuliah karena terpaksa? Selama ini kakak berkutat dengan jutaan buku atas dasar terpaksa?”

            Kakaknya itu tersenyum lemah. “Mungkin saja.” Jawabnya lalu masuk ke dalam kamar.

            Melihat punggung kakaknya yang begitu lelah, Ele menjadi kasihan. Ia sangat kasihan dengan kakaknya itu. Sekaligus penasaran apa sih yang dilakukan oleh kakaknya itu. Mengapa kakaknya berlagak seperti orang yang misterius?

***

            “Pagi Lou! Bagaimana perayaan kemarin?” Sapa Emma ceria. Pagi itu, Emma tampak cantik dan segar.

            Louis yang sedang memainkan ponselnya langsung mengangkat wajahnya. “Buruk. Sangat buruk.” Jawabnya.

            “Mengapa?” Tanya Emma penasaran.

            “Karena Harry, juga The Invisible.” Jawab Louis.

            Tentu saja Emma begitu tertartik dengan topik yang dibicarakan Louis. Jadi, perayaan kemarin ada hubungannya dengan Harry? Memangnya sejak kapan Louis mengenal Harry? Apa Harry ikut serta dalam perayaan itu?

            “Kemarin Harry ikut dalam acara kami dan aku sangat tidak suka. Lalu sesampai di tempat tujuan, disana ada Luke. Aku yakin sekali semua ini ada hubungannya dengan Harry. Jika Harry tidak ikut, pasti kejadiannya tidak akan hancur seperti kemarin.” Jelas Louis.

            Emma mendengar penjelasan Louis dengan seksama. “Apa kau yakin? Tidak mungkin Harry mengenal Luke dan tidak ada hubungannya antara Harry dengan Luke. Kau tau kan Harry itu siapa? Dia adalah mahasiswa terdiam disini dan tidak suka bergaul. Tapi anehnya mengapa dia terpikat dengan rayuan basi Niall.”

            “Aku yakin sekali Harry tidak seperti yang kau bayangkan.” Ucap Louis.

            Cowok itu memang hobi mencurigai orang lain dan sasarannya kali ini adalah Harry. Sediam-diamnya Harry, Louis yakin sekali Harry sedang memasang sebuah topeng seperti yang di pasang oleh Luke. Jadi, apa lebih baik ia mengintograsi Harry? Siapa tau Harry dibalik semua ini. Siapa tau Harry ada hubungannya dengan kematian Austin.

            “Dengar-dengar, Harry ya yang akan menggantikan Austin?” Tanya Emma.

            Sudah berkali-kali Louis mendengar kalimat bodoh itu. Harry menggantikan Austin.. Harry menggantikan Austin.. Perutnya serasa ingin muntah. Memangnya, sebegitu hebat-nya-kah Harry sehingga bisa menggantikan Austin dengan mudah? Oke. Kemarin itu memang luar biasa menakjubkan. Belum saja menjadi seorang bintang, Harry sudah banyak digandrungi gadis-gadis. Tapi itu kan hanya kebetulan saja.

            “Aku tidak tau. Tapi aku tidak mau ada pengganti Austin.” Jawab Louis.

            “Kenapa? Niall bilang suara Harry oke kok dan cocok mengganti Austin.”

            Louis menatap Emma dengan tajam. “Memangnya kau pernah mendengar suaranya? Jangan percaya apa yang diucapkan Niall!”

            “Hmm.. Oke-oke. Aku tidak mau membuatmu semaki panas lagi. Kita ke lain topik aja ya. Hmmm.. Bagaimana hubunganmu dengan Ele?”

            Seketika itu juga darah Louis menurun saat Emma menyebut nama ‘Ele’, benar-benar hebat. Hanya Ele-lah yang mampu merubah suasana hatinya menjadi baik.

            “Aku tidak tau. Tapi…”

            “Tapi apa?”

            “Mungkin aku jatuh cinta dengannya.”

***

            Entah sejak kapan kejadian buruk kemarin itu sampai di media dan menjadi trend topic di twitter. Ada juga yang membuat hastag #ThePotatoesVsTheInvisible atau #LouisVsLuke. Niall yang sedaritadi bermain twitter menggeleng-gelengkan kepalanya. Dan ia juga merasa sakit hati membaca beberapa mention berisi ejekan yang ditujukan padanya.

            “Aku tidak tau apa yang ada di otak Louis. Aku baca tweet-nya, dia mengumpat terus sambil menyebut nama ‘Harry’ dan ‘Luke’. Memangnya salah Harry apa?” Ucap Zayn.

            “Aku juga tidak tau. Menurutku Harry cukup polos dan tidak bisa disalahkan. Masa’ hanya karena kehadiran Harry, Luke pun juga ada disana?”

            “Ya. Tapi aku sudah sangat muak dengan The Invisible, terutama Luke. Mereka yang merebut fans kami. Coba bayangkan, jumlah followers-ku banyak yang hilang. Sekali-kali-lah kita mengadakan konser dengan lagu baru.” Kata Zayn.

            Niall berpikir sesaat lalu mengangguk. “Aku akan membuat sebuah lagu.” Ucapnya sambil tersenyum.

***

            Harry menatap lurus ke depan jalan raya yang cukup padat. Ia duduk di bawah sinar matahari yang begitu menyengat. Udara yang buruk dan polusi yang tercemar membuatnya sulit untuk bernafas. Sebenarnya, apa yang ia tunggu?

            Tadi ia di telpon oleh dosennya. Mengapa ia tidak hadir di acara yang penting. Harry mengatakan bahwa ia sedang sakit dan tidak bisa menghadiri acara itu, padahal acaranya itu sangat-lah penting dan sangat ia tunggu-tunggu. Tapi itu dulu.

            “Lagi nunggu ayam jantan bertelur?” Tanya sebuah suara yang tidak lain adalah Niall.

            “Sejak kapan kau kesini?” Tanya Harry heran.

            Niall tersenyum sambil mendekati Harry. “Sejak tadi aku memperhatikan gerak-gerikmu. Kenapa kau tidak kuliah? Padahal Mr. Alex mencarimu tadi. Kau kan anak kesayangannya. Dan kenapa kau memilih diam di tempat yang buruk ini? Mengapa tidak di perpustakaan saja?”

            “Aku kehabisan uang.” Ucap Harry jujur.

            Mendengar suara Harry yang begitu pelan dan sedikit bergetar, Niall jadi kasihan. Apakah Harry se-miskin itu? Sebenarnya apa pekerjaan orangtua Harry?

            “Apa orangtuamu tidak pernah membiayaimu?” Tanya Niall.

            Harry tidak langsung menjawab dan Niall merasa bersalah. “Orangtuaku sudah tidak ada. Aku sendiri yang membiayai hidupku.” Jawabnya.

            Hati Niall pun menjadi sedih sekaligus sakit. Sekarang, Harry sudah menjadi temannya. Bahkan mungkin sahabatnya. “Aku akan meminjamkanmu uang.” Kata Niall.

            Harry menatap Niall dengan ragu. “Tidak terimakasih. Aku sedang mencoba hidup mandiri.” Ucapnya.

            “Tapi kan antara satu orang dengan orang yang lain sama-sama saling membutuhkan. Aku juga membutuhkanmu.” Kata Niall bijak.

            “Ya aku tau. Tapi aku belum terlalu membutuhkan uang yang banyak jadi aku tidak perlu meminta bantuanmu.”

            Bagi Niall, ternyata Harry cukup keras kepala juga dan memiliki pendirian yang kukuh. Tapi ia begitu salut dengan Harry. Harry sedang mencoba untuk hidup mandiri tanpa bantuan orang lain. Kalau ia menjadi Harry, ia yakin sekali kalau ia tidak akan sekuat Harry.

            “Teman-mu itu sangat membenciku ya?” Tanya Harry.

            “Siapa? Louis?”

            “Ya. Tadi aku tidak sengaja berpapasan dengannya dan dia menatapku dengan penuh kebencian. Padahal aku tidak pernah mengenalinya.”

            “Louis kan memang begitu. Dia mengira kau ada hubungannya dengan Luke.” Ucap Niall.

            Mendengar ucapan Niall, ekspresi Harry seketika itu juga langsung berubah menjadi tegang. Tetapi ia berusaha menyembunyikan ketegangan itu. “Apa Louis akrab dengan Luke?” Tanya Harry.

            “Tidak. Mereka adalah musuh bebuyutan. Louis sangat membenci Luke, begitu pula sebaliknya.” Jawab Niall.

            “Terus, mengapa Louis mengira aku ada hubungannya dengan Luke?” Tanya Harry.

            “Entahlah. Aku juga bingung.” Jawab Niall sambil menatap jalan raya yang begitu bising di depan sana.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar