That’s Very Bad
.
Malam hari yang begitu gelap itu,
pemuda itu berjalan seorang diri. Otot-ototnya sangatlah lelah dan perlu
istirahat. Ia berharap ia sudah tiba di rumah. Tetapi jarak rumahnya cukup jauh
dari tempatnya yang sekarang ini.
Telinganya mendengar sebuah bunyi
yang tak biasa. Pemuda itu terdiam sesaat. Perasaannya mulai tidak enak. Ia
merasa ada seseorang yang mengikutinya.
“Sudah lama kita tidak bertemu.”
Ucap sebuah suara.
Pemuda itu kaget bukan main ketika
mendengar suara yang sudah tidak asing lagi baginya. Si pemilik suara itu
berjalan mendekatinya dan kini sudah jelas terlihat di depannya.
“Karena kau, Austin menjadi
tersiksa.” Ucap suara itu.
Pemuda itu tersenyum sinis. “Justu
karena kau, Austin menjadi sakit dan tidak normal! Harusnya kau sadar bahwa
perbuatanmu itu salah!”
Si pemilik suara itu membalas
senyuman pemuda itu dengan senyuman yang tidak kalah sinisnya. “Dia sudah mati,
dan kau yang akan menjadi sasaran selanjutnya. Kecuali.. Kecuali jika kau
menjauhi ‘mereka’.”
Tentu saja pemuda itu tau apa maksud
dari kata ‘mereka’ itu. “Aku tidak tau. Tapi jika kau mau tobat, aku bersedia
memaafkanmu.”
“Tidak! Aku tidak akan tobat! Aku
terlalu sakit karena Austin dan kau adalah penyebabnya! Lihat saja. Sesuatu
yang tidak kau duga akan terjadi. Sebentar lagi.”
Setelah mengucapkan kalimat itu, si
pemilik suara itu pun menghilang di balik kegelapan malam. Sementara si pemuda
itu menyaksikan bayangan si pemilik suara itu sambil berusaha menghela nafas
dalam-dalam.
Ia hanya ingin menyelesaikan semua
masalah ini tanpa adanya dendam. Austin sudah tiada dan ia kira masalahnya akan
selesai. Tetapi dugaannya salah. Justru masalahnya bertambah semakin besar dan
dendam semakin menjadi-jadi. Apa dirinya yang salah? Austin sangat dekat sekali
dengan orang tadi dan memiliki hubungan rahasia yang istimewa. Sudah
berkali-kali ia mencari cara untuk menyembuhkan penyakit Austin tetapi
gagal-gagal saja. Ia kira Emma akan menyembuhkannya tetapi dugaannya ternyata
salah.
Mungkin karena kebencian dan
kesakitan orang itu pada Austin yang telah menghianatinya dan akhirnya orang
itu memutuskan untuk mengakhiri hidup Austin. Ya! Orang tadi-lah yang membunuh
Austin. Pemuda itu sangat tidak percaya bahwa Austin mati karena orang itu.
Seharusnya ia yang mati, bukan Austin. Jika ia membiarkan Austin terus bersama
orang itu, mungkin semuanya tidak akan menjadi seperti ini. Ia bisa hidup
dengan tenang tanpa ada masalah. Tapi ya karena Austin adalah sahabatnya dan ia
sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk menyembuhkan penyakit Austin dengan
cara menjauhkan Austin dari orang licik itu.
Dan satu hal yang paling ia
khawatirkan. Yaitu adiknya. Entahlah tapi yang jelas, sasaran selanjutnya
adalah adiknya.
***
Mendengar bunyi pintu terbuka, Ele
langsung berlari keluar dan melihat kakaknya disana dengan wajah yang begitu
lelah. Tumben kakaknya pulang malam begini. Sejak pagi tadi kakaknya sudah
tidak ada di rumah. Apa kakaknya sedang bekerja?
“Kakak baru darimana saja?” Tanya
Ele.
Kakaknya itu tersenyum. “Tidak ada.”
Jawabnya seperti sedang menyembunyikan sesuatu.
Baru saja kakaknya melewatinya, Ele
langsung menahannya dengan kata-kata yang membuat kakaknya kaget. “Nilai kakak
C! Kenapa bisa begitu? Kenapa nilai-nilai kakak menurun? Kalau beasiswa itu
hilang gimana?”
Kakaknya pun membalikkan badan. “Aku
sudah lelah kuliah. Aku mau berhenti kuliah dan bekerja saja. Percuma kuliah!”
Ucapnya.
Ele langsung melebarkan matanya.
“Kenapa? Cita-cita kakak kan menjadi pengacara? Kalau kakak memilih untuk
bekerja, itu sangat sulit kak. Pekerjaan kakak juga tidak tetap. Kadang-kadang
kakak bekerja sebagai pelayan restoran, kadang-kadang bekerja di pom bensin,
kadang-kadang bekerja…”
“Sudahlah El, itu kan keputusanku
dan kau harus menerimanya. Aku ingat ucapanmu yang mengatakan bahwa semua orang
itu memiliki hak dan kehidupan. Aku sudah membebaskanmu sekarang dan tidak
melarangmu dekat dengan Louis.”
Mendengar nama ‘Louis’, kedua pipi
Ele memerah. “Ya sudahlah kak. Jadi, selama ini kakak kuliah karena terpaksa?
Selama ini kakak berkutat dengan jutaan buku atas dasar terpaksa?”
Kakaknya itu tersenyum lemah.
“Mungkin saja.” Jawabnya lalu masuk ke dalam kamar.
Melihat punggung kakaknya yang
begitu lelah, Ele menjadi kasihan. Ia sangat kasihan dengan kakaknya itu.
Sekaligus penasaran apa sih yang dilakukan oleh kakaknya itu. Mengapa kakaknya
berlagak seperti orang yang misterius?
***
“Pagi Lou! Bagaimana perayaan
kemarin?” Sapa Emma ceria. Pagi itu, Emma tampak cantik dan segar.
Louis yang sedang memainkan
ponselnya langsung mengangkat wajahnya. “Buruk. Sangat buruk.” Jawabnya.
“Mengapa?” Tanya Emma penasaran.
“Karena Harry, juga The Invisible.”
Jawab Louis.
Tentu saja Emma begitu tertartik
dengan topik yang dibicarakan Louis. Jadi, perayaan kemarin ada hubungannya
dengan Harry? Memangnya sejak kapan Louis mengenal Harry? Apa Harry ikut serta
dalam perayaan itu?
“Kemarin Harry ikut dalam acara kami
dan aku sangat tidak suka. Lalu sesampai di tempat tujuan, disana ada Luke. Aku
yakin sekali semua ini ada hubungannya dengan Harry. Jika Harry tidak ikut,
pasti kejadiannya tidak akan hancur seperti kemarin.” Jelas Louis.
Emma mendengar penjelasan Louis
dengan seksama. “Apa kau yakin? Tidak mungkin Harry mengenal Luke dan tidak ada
hubungannya antara Harry dengan Luke. Kau tau kan Harry itu siapa? Dia adalah
mahasiswa terdiam disini dan tidak suka bergaul. Tapi anehnya mengapa dia
terpikat dengan rayuan basi Niall.”
“Aku yakin sekali Harry tidak
seperti yang kau bayangkan.” Ucap Louis.
Cowok itu memang hobi mencurigai
orang lain dan sasarannya kali ini adalah Harry. Sediam-diamnya Harry, Louis
yakin sekali Harry sedang memasang sebuah topeng seperti yang di pasang oleh
Luke. Jadi, apa lebih baik ia mengintograsi Harry? Siapa tau Harry dibalik
semua ini. Siapa tau Harry ada hubungannya dengan kematian Austin.
“Dengar-dengar, Harry ya yang akan
menggantikan Austin?” Tanya Emma.
Sudah berkali-kali Louis mendengar
kalimat bodoh itu. Harry menggantikan Austin.. Harry menggantikan Austin..
Perutnya serasa ingin muntah. Memangnya, sebegitu hebat-nya-kah Harry sehingga
bisa menggantikan Austin dengan mudah? Oke. Kemarin itu memang luar biasa
menakjubkan. Belum saja menjadi seorang bintang, Harry sudah banyak digandrungi
gadis-gadis. Tapi itu kan hanya kebetulan saja.
“Aku tidak tau. Tapi aku tidak mau
ada pengganti Austin.” Jawab Louis.
“Kenapa? Niall bilang suara Harry
oke kok dan cocok mengganti Austin.”
Louis menatap Emma dengan tajam. “Memangnya
kau pernah mendengar suaranya? Jangan percaya apa yang diucapkan Niall!”
“Hmm.. Oke-oke. Aku tidak mau
membuatmu semaki panas lagi. Kita ke lain topik aja ya. Hmmm.. Bagaimana
hubunganmu dengan Ele?”
Seketika itu juga darah Louis
menurun saat Emma menyebut nama ‘Ele’, benar-benar hebat. Hanya Ele-lah yang
mampu merubah suasana hatinya menjadi baik.
“Aku tidak tau. Tapi…”
“Tapi apa?”
“Mungkin aku jatuh cinta dengannya.”
***
Entah sejak kapan kejadian buruk
kemarin itu sampai di media dan menjadi trend topic di twitter. Ada juga yang
membuat hastag #ThePotatoesVsTheInvisible atau #LouisVsLuke. Niall yang
sedaritadi bermain twitter menggeleng-gelengkan kepalanya. Dan ia juga merasa
sakit hati membaca beberapa mention berisi ejekan yang ditujukan padanya.
“Aku tidak tau apa yang ada di otak
Louis. Aku baca tweet-nya, dia mengumpat terus sambil menyebut nama ‘Harry’ dan
‘Luke’. Memangnya salah Harry apa?” Ucap Zayn.
“Aku juga tidak tau. Menurutku Harry
cukup polos dan tidak bisa disalahkan. Masa’ hanya karena kehadiran Harry, Luke
pun juga ada disana?”
“Ya. Tapi aku sudah sangat muak
dengan The Invisible, terutama Luke. Mereka yang merebut fans kami. Coba
bayangkan, jumlah followers-ku banyak yang hilang. Sekali-kali-lah kita mengadakan
konser dengan lagu baru.” Kata Zayn.
Niall berpikir sesaat lalu
mengangguk. “Aku akan membuat sebuah lagu.” Ucapnya sambil tersenyum.
***
Harry menatap lurus ke depan jalan
raya yang cukup padat. Ia duduk di bawah sinar matahari yang begitu menyengat.
Udara yang buruk dan polusi yang tercemar membuatnya sulit untuk bernafas.
Sebenarnya, apa yang ia tunggu?
Tadi ia di telpon oleh dosennya.
Mengapa ia tidak hadir di acara yang penting. Harry mengatakan bahwa ia sedang
sakit dan tidak bisa menghadiri acara itu, padahal acaranya itu sangat-lah
penting dan sangat ia tunggu-tunggu. Tapi itu dulu.
“Lagi nunggu ayam jantan bertelur?”
Tanya sebuah suara yang tidak lain adalah Niall.
“Sejak kapan kau kesini?” Tanya
Harry heran.
Niall tersenyum sambil mendekati
Harry. “Sejak tadi aku memperhatikan gerak-gerikmu. Kenapa kau tidak kuliah?
Padahal Mr. Alex mencarimu tadi. Kau kan anak kesayangannya. Dan kenapa kau
memilih diam di tempat yang buruk ini? Mengapa tidak di perpustakaan saja?”
“Aku kehabisan uang.” Ucap Harry
jujur.
Mendengar suara Harry yang begitu
pelan dan sedikit bergetar, Niall jadi kasihan. Apakah Harry se-miskin itu?
Sebenarnya apa pekerjaan orangtua Harry?
“Apa orangtuamu tidak pernah
membiayaimu?” Tanya Niall.
Harry tidak langsung menjawab dan
Niall merasa bersalah. “Orangtuaku sudah tidak ada. Aku sendiri yang membiayai
hidupku.” Jawabnya.
Hati Niall pun menjadi sedih
sekaligus sakit. Sekarang, Harry sudah menjadi temannya. Bahkan mungkin
sahabatnya. “Aku akan meminjamkanmu uang.” Kata Niall.
Harry menatap Niall dengan ragu.
“Tidak terimakasih. Aku sedang mencoba hidup mandiri.” Ucapnya.
“Tapi kan antara satu orang dengan
orang yang lain sama-sama saling membutuhkan. Aku juga membutuhkanmu.” Kata
Niall bijak.
“Ya aku tau. Tapi aku belum terlalu
membutuhkan uang yang banyak jadi aku tidak perlu meminta bantuanmu.”
Bagi Niall, ternyata Harry cukup
keras kepala juga dan memiliki pendirian yang kukuh. Tapi ia begitu salut
dengan Harry. Harry sedang mencoba untuk hidup mandiri tanpa bantuan orang
lain. Kalau ia menjadi Harry, ia yakin sekali kalau ia tidak akan sekuat Harry.
“Teman-mu itu sangat membenciku ya?”
Tanya Harry.
“Siapa? Louis?”
“Ya. Tadi aku tidak sengaja
berpapasan dengannya dan dia menatapku dengan penuh kebencian. Padahal aku
tidak pernah mengenalinya.”
“Louis kan memang begitu. Dia
mengira kau ada hubungannya dengan Luke.” Ucap Niall.
Mendengar ucapan Niall, ekspresi
Harry seketika itu juga langsung berubah menjadi tegang. Tetapi ia berusaha menyembunyikan
ketegangan itu. “Apa Louis akrab dengan Luke?” Tanya Harry.
“Tidak. Mereka adalah musuh
bebuyutan. Louis sangat membenci Luke, begitu pula sebaliknya.” Jawab Niall.
“Terus, mengapa Louis mengira aku
ada hubungannya dengan Luke?” Tanya Harry.
“Entahlah. Aku juga bingung.” Jawab
Niall sambil menatap jalan raya yang begitu bising di depan sana.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar