expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Sabtu, 07 Maret 2015

The Missing Star ( Part 16 )



Are We Out of The Woods?
.

            Keajaiban apa ini? Batin Harry dalam hati setelah mendapat kabar bahwa biaya uang muka rumah sakit sudah terlunasi. Namun saat Harry bertanya kepada resepsionis, si resepsionis tidak mau memberitahu siapa yang melunasinya. Bahkan memberitahu laki-laki atau perempuan pun tidak.

            Ya sudah, tidak apa-apa. Yang penting sudah terlunasi dan hatinya bisa menjadi tenang. Harry pun berjalan menuju ruang rawat Ele. Disana Ele sedang tertidur puas dengan banyak perban. Perlahan, Harry mendekati Ele.

            “Aku sayang kamu, El. Kamulah satu-satunya keluargaku. Cepat sembuh ya..” Ucap Harry dengan suaranya yang serak.

            Memang, Harry merasa tidak memiliki keluarga. Ia merasa tidak memiliki kakek, nenek, paman ataupun bibi. Harry merasa hidupnya sendirian. Ya, hanya sendiri. Tidak terasa satu tetes air matanya turun dan Harry tidak bisa mencegahnya. Setelah ini, ia berjanji untuk bekerja keras demi kesembuhan Ele dan demi melunasi semua hutang-hutang itu dalam waktu yang dekat ini. Kedengarannya mustahil, namun Harry yakin ia bisa melakukannya.

            Tanpa sepengetahuannya, di luar sana Louis menatap dua adik-kakak itu dengan penuh senyuman. Selama ini dugaannya salah. Harry memang baik meski kadang-kadang tidak bisa mengendalikan emosi, sama sepertinya. Harry bukanlah kaki tangan Luke yang ingin menghancurkan The Potatoes atau lebih tepatnya The Black and White. Kalaupun iya, Louis sudah tidak peduli lagi.

            Niatnya untuk mengajak Harry gabung ke dalam bandnya sudah bulat dan Niall girang mendengarnya. Zayn dan Liam juga senang dan setuju. Tinggal Harry-nya saja yang mau atau tidak. Tapi Louis benari bertauruh bahwa Harry mau menerima.

            Satu hal yang tidak Harry ketahui. Dia-lah yang melunasi biaya rumah sakit Ele dan semoga Harry tidak marah. Louis melakukan itu untuk menembus kesalahannya kemarin. Louis pun memberanikan diri untuk masuk ke dalam dan tidak peduli bagaimana ekspresi Harry saa melihat kedatangannya.

            “Hai!” Sapa Louis kaku.

            Harry menyadari kedatangan Louis dan ia bingung bagaimana cara menghadapi Louis untuk yang kedua kalinya. “Hai juga.” Jawab Harry datar. Ia lebih memilih menyibukkan diri untuk membelai rambut Ele.

            “Ng.. Aku hanya ingin meminta maaf soal kemarin.” Ucap Louis yang merasa dicuekkan oleh Harry.

            Harry pun menatap Louis. “Seharusnya aku yang minta maaf, bukan kau.” Ucapnya.

            “Tidak. Aku yang salah.” Ucap Louis.

            Harry tidak bisa berkata apapun. Ia kembali dengan aktivitas sebelumnya yaitu membelai rambut Ele. Melihat hal itu, senyum mulai menghiasi wajah Louis. Ia begitu bahagia melihat Harry dengan penuh kasih sayang merawat Ele. Beruntung Ele memiliki kakak seperti Harry.

            “Ng.. Aku pergi dulu ya.” Ucap Louis karena merasa tidak nyaman berada di tempat ini.

Louis pun meninggalkan ruangan itu tanpa menunggu balasan Harry. Namun belum saja ia melangkahkan kakinya, ia mendengar suara lirih Harry.

“Terimakasih..”

***

“Jadi, masalahmu dengan Harry sudah selesai?” Tanya Liam.

Di pagi hari yang cerah itu, mereka sedang duduk santai di rumah Louis. Udara di pagi itu sangat sejuk dan nyaman. Louis tidak bisa menjawab pertanyaan dari Liam. Sejujurnya, belum sepenuhnya ia mempercayai Harry, meski ia mau jika Harry bergabung ke dalam grupnya. Pikirannya juga tertuju pada Ele dan kondisi gadis itu. Semoga Harry bisa menjaganya dengan baik.

“Sudah.”

Itu bukan suara Louis, melainkan suara Niall. Louis menatap Niall tidak suka. Anak itu sok tau sekali! Batinnya. Louis memang sudah tidak kesal lagi dengan Harry dan sudah meminta maaf. Satu masalah terselesaikan. Tidak tau kedepannya nanti.

“Baguslah. Jadi benar kita akan mengajak Harry untuk bergabung dengan kita? Aku sudah membicarakannya dengan Anson. Tapi dia tidak percaya sebelum melihat penampilan kali. Anson mengatakan bahwa kita lebih baik berempat.” Ucap Liam.

“Itu terserah kau. Kalau aku sih mau-mau aja. Masalahku dengan Harry sudah selesai dan aku berusaha mempercayainya bahwa dia tidak ada hubungannya dengan Luke ataupun kaki tangan Luke.” Kata Louis.

Liam langsung menatap Niall. “Aku sudah tau apa jawabnmu.” Ucapnya.

Namun sepertinya Niall sedang memikirkan masalah lain. “Aku sudah pernah mengajaknya.” Ucapnya.

“Lalu?” Tanya Zayn.

Sebisa mungkin Niall menyembunyikan wajah sedihnya. “Dan dia menolak. Dia tidak mau bergabung dengan kita.” Ucapnya.

“Itu kan dulu. Aku yakin sekali kalau kau mengajaknya sekarang, dia pasti mau. Lihat saja nasibnya. Kalau dia menyia-nyiakan kesempatan bagus ini, dia akan menyesal untuk selama-lamanya.” Ucap Louis.

Ucapan Louis ada benarnya. Mungkin saat Niall bertanya di perpustakaan itu, mood Harry sedang buruk. Jika ia lebih berbicara baik-baik pada Harry, kemungkinan besar Harry mau menerima ajakannya itu untuk bergabung dengannya.

“Setelah ini kita akan pergi ke rumah Anson dan akan membicarakan grup kita yang sebentar lagi akan bangkit. Ku harap kau bisa mengajak Harry. Jika tidak, Anson tidak akan memberik kesempatan lagi untuk kita.” Kata Liam.

Niall paham dengan apa yang diucapkan Liam. “Baiklah. Sekarang aku akan menemui Harry di rumah sakit. Setelah itu kita langsung pergi ke rumah Anson.” Ucapnya.

***

Kondisi Ele sudah membaik. Hanya saja kaki kanan Ele benar-benar tidak bisa berfungsi lagi. Awalnya, Ele sedih dan merasa putus asa mengetahui keadaan kaki kanannya. Tapi berkat nasehat yang diberikan Harry, Ele menjadi mengerti dan siap dengan keadaannya yang sekarang.

“Ele harus berterimakasih kepada orang yang mau membiayai Ele.” Ucap Ele.

“Aku juga.” Ucap Harry.

Tiba-tiba Ele teringat dengan Louis. Jangan-jangan, Louis yang melakukan semua ini. Louis yang membiayai pengobatannya. Ah sudahlah. Yang penting kondisinya semakin baik dan ia semakin cepat pulang ke rumah karena ia sangat merindukan kamarnya.

“Kak, bagaimana dengan hutang yang lain? Dan bagaimana dengan kuliah kakak?” Tanya Ele.

Harry menghela nafas panjang. “Masalah hutang belum bisa kakak lunaskan. Dan masalah kuliah, kakak sudah berhenti kuliah meski kakak sudah diberi satu kesempatan lagi.” Jawabnya.

“Lho? Kenapa? Kakak sudah bosan belajar?” Tanya Ele dan hanya dibalas anggukan Harry.

Sementara itu, di luar pintu kamar Ele, Niall ragu apakah ia masuk ke dalam atau tidak. Hidupnya memang penuh keraguan. Ayolah Yell! Kau harus bisa! Niall pun masuk ke dalam dengan ( tentu saja ) jantung yang berdebar-debar. Sudah lama ia tidak melihat Harry.

“Hai Yell!” Sapa Harry ramah.

Karena keramahan Harry, Niall jadi tidak ragu lagi. Ia pun berubah menjadi Niall yang seperti biasanya. Niall yang selalu ceria dan suka usil kepada siapa saja.

“Baik-baik. Aku begitu sedih mendengar kabar tentang adikmu. Semoga adikmu cepat sembuh.” Kata Niall.

“Amin.” Ucap Harry.

Suasana semakin hangat. Dengan semangat Niall menceritakan hal-hal ceria kepada Harry. Ele yang sudah terbangun dari tidurnya ikutan tertawa. Ternyata Niall anaknya periang juga dan mudah membuatnya tertawa. Ele jadi lupa kalau sekarang ia sedang berada di rumah sakit.

“Ng.. Ada sesuatu yang ingin aku tanyakan.” Ucap Niall yang mulai kelihatan serius.

“Apa?” Tanya Harry.

“Ini.. Ini tentang band kami.” Jawab Niall dan berharap Harry bisa mengerti dengan ucapannya.

Sesaat, Niall memerhatikan ekspresi wajah Harry. Namun ekspresi Harry masih seperti tadi dan tidak berubah sedikitpun. Jantungnya kembali berdebar-debar. Ku mohon Harr! Batin Niall. Louis sudah mau menerima Harry untuk masuk ke dalam bandnya dan sekarang tinggal Harry-nya apakah mau atau tidak.

“Ada apa dengan band kalian?” Tanya Harry.

Ternyata Harry tidak paham juga, atau dia sengaja? “Louis sudah mau menerimamu masuk ke dalam band. Dia sudah tidak membencimu lagi. Masalah kalian kan sudah selesai?”

Mendengar nama ‘Louis’, Ele jadi rindu dengan pemuda itu. Kapan Louis menjenguknya? Tapi, bagaimana jika Louis mengetahui keadaannya yang sangat buruk ini? Apa Louis masih mau menjadi temannya?

Sementara Harry, dia tertawa kecil. “Aku tidak tau apakah masalahku dengan Louis selesai atau tidak. Tapi aku bersyukur dia sudah tidak lagi membenciku.” Ucapnya.

Louis pernah membenci Harry? Tanya Ele bingung. Memangnya Louis dan Harry sudah lama saling mengenal? Atau mungkin Harry lebih dulu mengenal Louis dibanding dirinya?

“Jadi, apa kau mau bergabung dengan kami?” Tanya Niall takut-takut.

Terdiam sesaat. Kemudian Harry menjawab. “Untuk apa aku bergabung dengan kalian? Kalian berempat sudah sangat hebat. Kalau aku masuk kesana, band kalian pasti hancur hanya karena aku dan aku tidak mau hal itu terjadi.”

“Tidak Harr. Kau sangat hebat dan kami sangat membutuhkan kehadiranmu. Hanya kau yang bisa menggantikan Austin. Percayalah padaku Harr.” Ucap Niall.

“Maaf Niall. Aku tidak bisa. Aku tidak bakat menyanyi. Apalagi ber-grup. Aku bernyanyi hanya untuk diriku saja.”

“Tapi Harr, kau sangat berbakat! Liam dan Zayn benar-benar kagum padamu walau mereka belum tau bagaimana suaramu. Ayolah Harr. Kalau kau menerima, sekarang ini juga kita akan membicarakannya bersama Anson yang dulunya adalah manager kami. Anson juga penasaran denganmu.”

“Kenapa harus aku?” Tanya Harry.

Niall tersenyum. “Karena kau istimewa. Kau berbeda dari yang lainnya. Ku mohon Harr, ini kesempatan besarmu. Kalau kau sudah menjadi seorang bintang, semuanya akan terasa lebih mudah.”

Harry bingung mau berbicara apalagi. Niall memang keras kepala dan ia tidak bisa menolak keinginan Niall. Tapi kali ini, ia harus menolak! Harus!

“Maaf Niall. Sekali lagi aku tidak bisa. Maaf.” Ucap Harry dengan suara pelan.

Mendengar suara pelan Harry, Niall menjadi sedih dan merasa egois. Ya, ia egois. Selama ini ia memaksa Harry tanpa memikirkan bagaimana perasaan Harry. Ia egois. Sangat egois. Jadi, jawabannya adalah tidak? Apa ia berani mendatangi ketiga sahabatnya tanpa Harry?

“Baiklah. Aku tidak akan memaksamu lagi. Maafkan aku.” Ucap Niall lalu pergi meninggalkan Harry dengan hati yang sangat hancur.

Melihat kepergian Niall yang tidak biasa itu, Ele langsung bicara. “Kak, kenapa kakak tega membuatnya seperti itu?” Tanyanya.

Harry tersenyum lemah. “Itu bukan tawaran biasa El. Itu adalah tawaran untuk bergabung dengan bandnya yang dulu sangat terkenal! Aku tau diri El. Enak sekali jika aku menerima padahal aku sama sekali tidak berbakat seperti mereka.” Ucapnya.

“Tapi, kenapa tidak dijalani saja? Siapa tau itu bisa merubah nasib kita. Ayolah kak! Kejar Niall dan katakan bahwa kakak siap ikut bergabung dengan bandnya. Ayolah kak, ini demi kita!”

Harry menjadi bimbang. Apa benar ia akan mengejar Niall dan mengubah pikirannya? Bukannya ini adalah kesempatan besarnya dan jika ia sia-siakan, ia akan menyesal untuk selama-lamanya? Apa yang harus ia lakukan? Dengan satu tarikan nafasnya, Harry pun telah menemukan satu keputusan yang ia yakini adalah keputusan terbaiknya.


***




Tidak ada komentar:

Posting Komentar