Are We Out of The Woods?
.
Keajaiban apa ini? Batin Harry dalam
hati setelah mendapat kabar bahwa biaya uang muka rumah sakit sudah terlunasi.
Namun saat Harry bertanya kepada resepsionis, si resepsionis tidak mau
memberitahu siapa yang melunasinya. Bahkan memberitahu laki-laki atau perempuan
pun tidak.
Ya sudah, tidak apa-apa. Yang
penting sudah terlunasi dan hatinya bisa menjadi tenang. Harry pun berjalan
menuju ruang rawat Ele. Disana Ele sedang tertidur puas dengan banyak perban.
Perlahan, Harry mendekati Ele.
“Aku sayang kamu, El. Kamulah
satu-satunya keluargaku. Cepat sembuh ya..” Ucap Harry dengan suaranya yang
serak.
Memang, Harry merasa tidak memiliki
keluarga. Ia merasa tidak memiliki kakek, nenek, paman ataupun bibi. Harry
merasa hidupnya sendirian. Ya, hanya sendiri. Tidak terasa satu tetes air
matanya turun dan Harry tidak bisa mencegahnya. Setelah ini, ia berjanji untuk
bekerja keras demi kesembuhan Ele dan demi melunasi semua hutang-hutang itu
dalam waktu yang dekat ini. Kedengarannya mustahil, namun Harry yakin ia bisa
melakukannya.
Tanpa sepengetahuannya, di luar sana
Louis menatap dua adik-kakak itu dengan penuh senyuman. Selama ini dugaannya
salah. Harry memang baik meski kadang-kadang tidak bisa mengendalikan emosi,
sama sepertinya. Harry bukanlah kaki tangan Luke yang ingin menghancurkan The
Potatoes atau lebih tepatnya The Black and White. Kalaupun iya, Louis sudah
tidak peduli lagi.
Niatnya untuk mengajak Harry gabung
ke dalam bandnya sudah bulat dan Niall girang mendengarnya. Zayn dan Liam juga senang
dan setuju. Tinggal Harry-nya saja yang mau atau tidak. Tapi Louis benari
bertauruh bahwa Harry mau menerima.
Satu hal yang tidak Harry ketahui.
Dia-lah yang melunasi biaya rumah sakit Ele dan semoga Harry tidak marah. Louis
melakukan itu untuk menembus kesalahannya kemarin. Louis pun memberanikan diri
untuk masuk ke dalam dan tidak peduli bagaimana ekspresi Harry saa melihat
kedatangannya.
“Hai!” Sapa Louis kaku.
Harry menyadari kedatangan Louis dan
ia bingung bagaimana cara menghadapi Louis untuk yang kedua kalinya. “Hai
juga.” Jawab Harry datar. Ia lebih memilih menyibukkan diri untuk membelai
rambut Ele.
“Ng.. Aku hanya ingin meminta maaf
soal kemarin.” Ucap Louis yang merasa dicuekkan oleh Harry.
Harry pun menatap Louis. “Seharusnya
aku yang minta maaf, bukan kau.” Ucapnya.
“Tidak. Aku yang salah.” Ucap Louis.
Harry tidak bisa berkata apapun. Ia
kembali dengan aktivitas sebelumnya yaitu membelai rambut Ele. Melihat hal itu,
senyum mulai menghiasi wajah Louis. Ia begitu bahagia melihat Harry dengan
penuh kasih sayang merawat Ele. Beruntung Ele memiliki kakak seperti Harry.
“Ng.. Aku pergi dulu ya.” Ucap Louis
karena merasa tidak nyaman berada di tempat ini.
Louis pun meninggalkan ruangan itu tanpa menunggu balasan Harry. Namun belum
saja ia melangkahkan kakinya, ia mendengar suara lirih Harry.
“Terimakasih..”
***
“Jadi, masalahmu dengan Harry sudah selesai?” Tanya Liam.
Di pagi hari yang cerah itu, mereka sedang duduk santai di rumah Louis.
Udara di pagi itu sangat sejuk dan nyaman. Louis tidak bisa menjawab pertanyaan
dari Liam. Sejujurnya, belum sepenuhnya ia mempercayai Harry, meski ia mau jika
Harry bergabung ke dalam grupnya. Pikirannya juga tertuju pada Ele dan kondisi
gadis itu. Semoga Harry bisa menjaganya dengan baik.
“Sudah.”
Itu bukan suara Louis, melainkan suara Niall. Louis menatap Niall tidak
suka. Anak itu sok tau sekali! Batinnya. Louis memang sudah tidak kesal lagi
dengan Harry dan sudah meminta maaf. Satu masalah terselesaikan. Tidak tau
kedepannya nanti.
“Baguslah. Jadi benar kita akan mengajak Harry untuk bergabung dengan
kita? Aku sudah membicarakannya dengan Anson. Tapi dia tidak percaya sebelum melihat
penampilan kali. Anson mengatakan bahwa kita lebih baik berempat.” Ucap Liam.
“Itu terserah kau. Kalau aku sih mau-mau aja. Masalahku dengan Harry
sudah selesai dan aku berusaha mempercayainya bahwa dia tidak ada hubungannya
dengan Luke ataupun kaki tangan Luke.” Kata Louis.
Liam langsung menatap Niall. “Aku sudah tau apa jawabnmu.” Ucapnya.
Namun sepertinya Niall sedang memikirkan masalah lain. “Aku sudah pernah
mengajaknya.” Ucapnya.
“Lalu?” Tanya Zayn.
Sebisa mungkin Niall menyembunyikan wajah sedihnya. “Dan dia menolak. Dia
tidak mau bergabung dengan kita.” Ucapnya.
“Itu kan dulu. Aku yakin sekali kalau kau mengajaknya sekarang, dia pasti
mau. Lihat saja nasibnya. Kalau dia menyia-nyiakan kesempatan bagus ini, dia
akan menyesal untuk selama-lamanya.” Ucap Louis.
Ucapan Louis ada benarnya. Mungkin saat Niall bertanya di perpustakaan
itu, mood Harry sedang buruk. Jika ia lebih berbicara baik-baik pada Harry,
kemungkinan besar Harry mau menerima ajakannya itu untuk bergabung dengannya.
“Setelah ini kita akan pergi ke rumah Anson dan akan membicarakan grup
kita yang sebentar lagi akan bangkit. Ku harap kau bisa mengajak Harry. Jika
tidak, Anson tidak akan memberik kesempatan lagi untuk kita.” Kata Liam.
Niall paham dengan apa yang diucapkan Liam. “Baiklah. Sekarang aku akan
menemui Harry di rumah sakit. Setelah itu kita langsung pergi ke rumah Anson.”
Ucapnya.
***
Kondisi Ele sudah membaik. Hanya saja kaki kanan Ele benar-benar tidak
bisa berfungsi lagi. Awalnya, Ele sedih dan merasa putus asa mengetahui keadaan
kaki kanannya. Tapi berkat nasehat yang diberikan Harry, Ele menjadi mengerti
dan siap dengan keadaannya yang sekarang.
“Ele harus berterimakasih kepada orang yang mau membiayai Ele.” Ucap Ele.
“Aku juga.” Ucap Harry.
Tiba-tiba Ele teringat dengan Louis. Jangan-jangan, Louis yang melakukan
semua ini. Louis yang membiayai pengobatannya. Ah sudahlah. Yang penting
kondisinya semakin baik dan ia semakin cepat pulang ke rumah karena ia sangat
merindukan kamarnya.
“Kak, bagaimana dengan hutang yang lain? Dan bagaimana dengan kuliah
kakak?” Tanya Ele.
Harry menghela nafas panjang. “Masalah hutang belum bisa kakak lunaskan.
Dan masalah kuliah, kakak sudah berhenti kuliah meski kakak sudah diberi satu
kesempatan lagi.” Jawabnya.
“Lho? Kenapa? Kakak sudah bosan belajar?” Tanya Ele dan hanya dibalas
anggukan Harry.
Sementara itu, di luar pintu kamar Ele, Niall ragu apakah ia masuk ke
dalam atau tidak. Hidupnya memang penuh keraguan. Ayolah Yell! Kau harus bisa!
Niall pun masuk ke dalam dengan ( tentu saja ) jantung yang berdebar-debar.
Sudah lama ia tidak melihat Harry.
“Hai Yell!” Sapa Harry ramah.
Karena keramahan Harry, Niall jadi tidak ragu lagi. Ia pun berubah
menjadi Niall yang seperti biasanya. Niall yang selalu ceria dan suka usil kepada
siapa saja.
“Baik-baik. Aku begitu sedih mendengar kabar tentang adikmu. Semoga
adikmu cepat sembuh.” Kata Niall.
“Amin.” Ucap Harry.
Suasana semakin hangat. Dengan semangat Niall menceritakan hal-hal ceria
kepada Harry. Ele yang sudah terbangun dari tidurnya ikutan tertawa. Ternyata
Niall anaknya periang juga dan mudah membuatnya tertawa. Ele jadi lupa kalau
sekarang ia sedang berada di rumah sakit.
“Ng.. Ada sesuatu yang ingin aku tanyakan.” Ucap Niall yang mulai
kelihatan serius.
“Apa?” Tanya Harry.
“Ini.. Ini tentang band kami.” Jawab Niall dan berharap Harry bisa
mengerti dengan ucapannya.
Sesaat, Niall memerhatikan ekspresi wajah Harry. Namun ekspresi Harry
masih seperti tadi dan tidak berubah sedikitpun. Jantungnya kembali
berdebar-debar. Ku mohon Harr! Batin Niall. Louis sudah mau menerima Harry
untuk masuk ke dalam bandnya dan sekarang tinggal Harry-nya apakah mau atau
tidak.
“Ada apa dengan band kalian?” Tanya Harry.
Ternyata Harry tidak paham juga, atau dia sengaja? “Louis sudah mau
menerimamu masuk ke dalam band. Dia sudah tidak membencimu lagi. Masalah kalian
kan sudah selesai?”
Mendengar nama ‘Louis’, Ele jadi rindu dengan pemuda itu. Kapan Louis
menjenguknya? Tapi, bagaimana jika Louis mengetahui keadaannya yang sangat
buruk ini? Apa Louis masih mau menjadi temannya?
Sementara Harry, dia tertawa kecil. “Aku tidak tau apakah masalahku
dengan Louis selesai atau tidak. Tapi aku bersyukur dia sudah tidak lagi
membenciku.” Ucapnya.
Louis pernah membenci Harry? Tanya Ele bingung. Memangnya Louis dan Harry
sudah lama saling mengenal? Atau mungkin Harry lebih dulu mengenal Louis
dibanding dirinya?
“Jadi, apa kau mau bergabung dengan kami?” Tanya Niall takut-takut.
Terdiam sesaat. Kemudian Harry menjawab. “Untuk apa aku bergabung dengan
kalian? Kalian berempat sudah sangat hebat. Kalau aku masuk kesana, band kalian
pasti hancur hanya karena aku dan aku tidak mau hal itu terjadi.”
“Tidak Harr. Kau sangat hebat dan kami sangat membutuhkan kehadiranmu.
Hanya kau yang bisa menggantikan Austin. Percayalah padaku Harr.” Ucap Niall.
“Maaf Niall. Aku tidak bisa. Aku tidak bakat menyanyi. Apalagi ber-grup.
Aku bernyanyi hanya untuk diriku saja.”
“Tapi Harr, kau sangat berbakat! Liam dan Zayn benar-benar kagum padamu
walau mereka belum tau bagaimana suaramu. Ayolah Harr. Kalau kau menerima,
sekarang ini juga kita akan membicarakannya bersama Anson yang dulunya adalah
manager kami. Anson juga penasaran denganmu.”
“Kenapa harus aku?” Tanya Harry.
Niall tersenyum. “Karena kau istimewa. Kau berbeda dari yang lainnya. Ku
mohon Harr, ini kesempatan besarmu. Kalau kau sudah menjadi seorang bintang,
semuanya akan terasa lebih mudah.”
Harry bingung mau berbicara apalagi. Niall memang keras kepala dan ia
tidak bisa menolak keinginan Niall. Tapi kali ini, ia harus menolak! Harus!
“Maaf Niall. Sekali lagi aku tidak bisa. Maaf.” Ucap Harry dengan suara
pelan.
Mendengar suara pelan Harry, Niall menjadi sedih dan merasa egois. Ya, ia
egois. Selama ini ia memaksa Harry tanpa memikirkan bagaimana perasaan Harry.
Ia egois. Sangat egois. Jadi, jawabannya adalah tidak? Apa ia berani mendatangi
ketiga sahabatnya tanpa Harry?
“Baiklah. Aku tidak akan memaksamu lagi. Maafkan aku.” Ucap Niall lalu
pergi meninggalkan Harry dengan hati yang sangat hancur.
Melihat kepergian Niall yang tidak biasa itu, Ele langsung bicara. “Kak,
kenapa kakak tega membuatnya seperti itu?” Tanyanya.
Harry tersenyum lemah. “Itu bukan tawaran biasa El. Itu adalah tawaran
untuk bergabung dengan bandnya yang dulu sangat terkenal! Aku tau diri El. Enak
sekali jika aku menerima padahal aku sama sekali tidak berbakat seperti
mereka.” Ucapnya.
“Tapi, kenapa tidak dijalani saja? Siapa tau itu bisa merubah nasib kita.
Ayolah kak! Kejar Niall dan katakan bahwa kakak siap ikut bergabung dengan
bandnya. Ayolah kak, ini demi kita!”
Harry menjadi bimbang. Apa benar ia akan mengejar Niall dan mengubah
pikirannya? Bukannya ini adalah kesempatan besarnya dan jika ia sia-siakan, ia
akan menyesal untuk selama-lamanya? Apa yang harus ia lakukan? Dengan satu
tarikan nafasnya, Harry pun telah menemukan satu keputusan yang ia yakini
adalah keputusan terbaiknya.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar