Part 19
.
.
.
Tampak jelas bekas
tangisan pada kedua matanya. Semalam, Sivia menangis, menangis dan menangis.
Memikirkan kejadian yang kemarin malam ia alami. Ia putus dengan Gabriel?
Secepat itukah? Apa ia dan Gabriel juga putus persahabatan?
Tidak! Meski ia
bukan kekasih Gabriel lagi, ia tetap menjadi sahabat baik Gabriel. Ya, semoga
Gabriel masih menerimanya dan menganggapnya ada. Intinya, semoga Gabriel nggak
marah lagi dengannya.
C’mon Vi! Masih ada
Alvin yang selalu menyayangi lo. Sivia yakin. Alvin lah cinta yang selama ini
ia cari. Bukan Gabriel atau yang lainnya.
“Pagi Vi!” Sapa
Febby semangat.
“Pagi juga.” Balas
Sivia.
Febby memerhatikan
penampilan sahabatnya itu. “Hmm.. Kucel amat lo. Eh, lo.. lo udah putus ya sama
Gabriel?”
“I.. Iya.” Jawab
Sivia.
“Karena lo
selingkuh kan?”
“I.. Iya.”
Febby tersenyum.
“Nggak papa Vi. Lo bukan cewek playgirl kok. Gue tau lo sangat mencintai Alvin
dan Gabriel, dan lo nggak bisa milih yang mana yang terbaik diantara keduanya.”
Febby emang sahabat
terbaiknya. Dia selalu mendukung apapun yang Sivia lakukan. Walau perbuatan
Sivia salah, Febby nggak marah. Febby selalu memperbaiki kesalahan yang
dilakukannya.
“Tapi sekarang gue
udah putuskan suatu pilihan.” Kata Sivia.
“Ohya?”
“Ya. Alvin. Dia
cinta gue yang sebenarnya. Bukan Gabriel.”
“Yakin?”
“Iya Febby..”
Mereka tertawa
bersama setelah bercakapan tentang tema yang diatas tadi. Keduanya melewati
lapangan utama yang agak ramai. Eh, kok ramai ya di lapangan basket? Ada apa
disana? Sivia menelan ludah. Basket? Sejak kapan terakhir ia menyentuh bola
orange yang menjadi favoritnya?
Karena penasaran,
Sivia dan Febby berlari menuju lapangan basket. Dan ternyata... Sesuatu yang
nggak mereka duga sedang terjadi di depan mata keduanya. Sesuatu yang...
“Shill, lo mau kan
jadi pacar gue?” Tanya seorang cowok yang tak lain adalah Gabriel. Sudah sejak
tadi Gabriel menanyakan hal itu, tapi Shilla sama saja speechless sejak awal
Gabriel menembaknya.
“Terima! Terima!
Terima!” Teriak murid-murid yang menontonnya.
Sementara Sivia,
cewek itu nggak bisa berbuat apapun melihat Gabriel dengan senyuman terbaik
yang pernah ia lihat menembak seorang cewek yang tak lain adalah Shilla. Ini..
Ini mimpi buruk kan? Ini mimpi buruk kan?
Entah mengapa Sivia
benci melihat semua itu. Benci melihat Gabriel menembak Shilla. Tapi kan Vi,
Gabriel itu bukan siapa-siapa lo. Ingat Vi, Gabriel berhak memilih gadis yang
dia sukai. Siapapun gadis itu.
Tapi... Mengapa
hatinya terasa sakit dan perih? Padahal, ia sudah memiliki Alvin. Apa.. Apa ia
salah memutuskan? Apa cinta sebenarnya adalah Gabriel? Kalaupun jawabannya
Gabriel, semuanya terlambat. Gabriel sudah memutuskan siapa gadis yang dia
pilih. Dan tentunya bukan dia.
“Ng.. I.. Iya. Gu..
Gue mau kok jadi pacar lo.” Jawab Shilla walau ia masih bingung.
Semuanya bersorak.
Kecuali Sivia dan Febby. Sementara Gabriel bernafas lega. Jujur, ia nggak tau
mengapa ia menembak Shilla secepat ini. Apa ini yang disebut dengan
pelampiasan? Apa Shilla yang sebagai pelampiasannya?
“Thanks sayang..”
Kata Gabriel senang seraya mengecup kening Shilla.
Sivia nggak tahan.
Ia nggak sanggup menyaksikan semua itu. Sivia pun berlari meninggalkan tempat
itu diikuti Febby. Sialnya, Gabriel sempat melihat kepergian Sivia.
‘Bahagia bersama
Alvin, Vi. Dia cowok yang pantas buat lo. Asal lo tau Vi, gue nggak akan marah
sama lo. Satu lagi. Selama-lamanya gue tetap mencintai lo. No matter happen.’
***
Febby berusaha
sekuat mungkin untuk menghibur Sivia. Ya, kini Sivia sedang menangis
tersedu-sedu. Siapa lagi kalo bukan karena kejadian tadi?
“Sudahlah Vi,
ikhlaskan saja.” Hibur Febby.
“Hiks.. I.. Iya
Feb.. Gu.. Gue ikhlas kok..” Tangis Sivia.
“Kalo gitu, lo
jangan nangis. Hmm.. Ke kantin aja yuk. Gue lapar. Mumpung nggak ada guru yang
ngajar. Kan guru-guru pada rapat.”
***
@Universitas Value
Di kantin, Rio
fokus dengan laptopnya. Apa yang sedang dilakukannya? Entahlah. Hanya Rio yang
tau. Yang penting nggak ada hubungannya dengan tugas kuliah.
Biasanya, Cakka
selalu mengganggunya dengan ucapannya yang kocak dan kadang nyebelin. Tapi
sekarang, Cakka nggak lagi mengganggunya. Sejak kematian Mama Cakka, Cakka
lebih sering murung dan jarang menemuinya.
Lama-lama, Rio jadi
kangen dengan Cakka. Hei! Bukannya ia benci sama Cakka? Cakka yang membuat
semua menjadi seperti ini. Gara-gara Cakka, Agni merasa tersakiti, juga ia. Dan
mungkin... Ify. Ah, nggak mungkin. Ify nggak mungkin menyukainya.
Sampai sekarang,
Rio penasaran dengan alasan Cakka yang tiba-tiba memutusi Agni dan lebih
memilih Ify. Pasti ada alasan lain yang lebih masuk akal. Sebenarnya Rio ingin
tau alasan itu. Hanya saja Cakka tak mau memberitahu. Mungkin itu yang membuat
Rio membenci Cakka.
“Hai Yo!” Sapa
Agni.
“Hai juga.” Balas
Rio lesu.
Agni duduk di
samping Rio serta memerhatikan Rio. “Lo lagi apa? Kok nggak ada semangatnya
sih? Lagi mikirin bidadari lo itu?”
Baru saja Agni
datang langsung mengeluarkan banyak pertanyaan. Ohya, Agni sekarang sudah mulai
bisa melupakan Cakka. Walau yah, hatinya terus membantah semua yang ia lakukan
yang berhubungan dengan Cakka.
“Bidadari? Siapa?”
Tanya Rio.
Agni memukul
jidatnya. “Please deh Yo.. Ify! Lo udah lupa sama Ify?”
Rio terdiam. Lalu,
ia tersenyum mengingat pertemuannya dengan Ify. Ketika Ify menangis dan ia
memeluknya. Oh.. Andai hari itu bisa terulang kembali...
“Cieee.. Bener
kan..” Goda Agni.
“Hehe.. Bisa jadi.
Mmm.. Ag..” Rio menyetop pembicaraan. Kayaknya dia mau bicara serius ini. “Lo..
Lo tau nggak alasan Cakka mutusin lo dan milih Ify sebagai penggantinya?”
Lanjutnya.
Inilah pertanyaan
yang selalu dihindari Agni. Agni bingung mau jawab apa. Jika ia membertitahu
kejadian yang sebenarnya, mungkin Rio bisa mengerti dan nggak marah lagi sama
Cakka.
“Ng.. Gue nggak
tau.” Jawab Agni. Wajahnya pun berubah menjadi mendung.
“Bohong! Lo pasti
tau kan? Ayo! Kasih tau gue!” Desak Rio.
“Gu.. Gue nggak tau
Rio..” Kata Agni.
“Hmm.. Baiklah.
Sepertinya gue harus melakukan sesuatu.” Kata Rio misterius.
Dan Agni udah
merasakan bau-bau tak enak dari Rio.
***
@SMA Value
Sivia udah nggak
sedih lagi. Ia mencoba tersenyum menghadapi kenyataan. Biarkan saja Vi Gabriel
bersama Shilla. Kamu harus ikhlas merelakan Gabriel.
“Alvin mana?
Katanya dia mau jemput lo?” Tanya Febby.
Benar juga! Alvin
nggak dateng-dateng. Sivia pun memiscall Alvin. Namun, yang terjadi
selanjutnya...
Nomor Alvin nggak
aktif. Padahal, kemarin aktif kok. Ada apa dengan Alvin? Sivia merasakan suatu
keganjilan.
“Gimana? Lo pulang
sama gue aja ya?”
Sivia mengangguk
pasrah. Alvin... Lo dimana?
***
Untuk merayakan
hari jadian mereka, Gabriel mengajak Shilla makan siang di salah satu rumah
makan yang terkenal di Jakarta. Tentu Shilla girang bukan main. Ia kira, ini
hanyalah mimpi. Tapi ini nyata! Ia adalah kekasih dari Gabriel.
Setelah sampai di
tempat tujuan, Gabriel dan Shilla mencari tempat yang nyaman. Tepatnya di meja
ujung paling belakang. Disana mereka bisa melihat kolam ikan koi yang ikannya
gede-gede. Ah, so sweet banget deh mereka berdua.
“Mm, Yel.. Thanks
ya atas segalanya.” Kata Shilla.
Gabriel tersenyum.
“Nggak usah terimakasih. Lo pantas mendapatkannya.” Ucapnya.
“Mmm.. Ini.. Ini
sungguhan kan? Mak.. Maksud gue, lo benar-benar mencintai gue?”
Gabriel mengangguk.
“Jangan pake lo gue deh. Pake aku kamu aja. Gimana?”
Pesanan mereka
telah diantar. Keduanya makan dengan lahap. Pembicaraan dipotong dulu ya..
Hehe... Kan kalo lagi lapar nggak bisa ditahan.
“Mmm.. Kamu.. Kamu
putus sama Via?” Tanya Shilla pelan ketika makanan yang ia pesan. Mau nambah
lagi nggak Shill? Hehe...
“Iya. Dia kan
pacarnya Alvin.” Jawab Gabriel acuh tak acuh.
Shilla tersenyum.
“Oke-oke. Jadi kamu udah nggak cinta lagi kan sama Via?”
‘Masih!’ Jerit
Gabriel dalam hati. Tapi ia nggak mau mengakuinya. Bisa-bisa Shilla ngamuk dan
merasa dipermainkan olehnya.
“Tentu aja tidak.
Karena cuma Shilla aja yang ada di hati Gabriel..”
Pipi Shilla menjadi
merah. “Ih.. Kamu bisa gombal juga ya..”
Keduanya tertawa.
Sesaat, Gabriel melupakan Sivia. Ya, walau ia masih mencintai Sivia, nggak ada
salahnya juga kan untuk melupakan cewek itu?
Di tempat yang
sama, seorang cowok dengan wajah panik dan pucat langsung berlari meninggalkan
rumah makan itu. Ada hal penting yang harus ia lakukan.
“Mom, aku akan
segera menemuimu! Secepatnya!”
***
Dengan langkah gontai,
Sivia berusaha mencapai kamarnya. Untunglah, suasana rumah sedang sepi.
Yaiyalah! Mama dan Papa entah pergi kemana. Dan Sivia nggak peduli dengan dua
orang itu.
Pelan-pelan, Sivia
mengambil HPnya. Ia coba memiscall Alvin. Hasilnya sama saja. Nomor Alvin nggak
aktif. Kalo Alvin ganti nomer, pasti Alvin udah memberitahunya sejak tadi. Apa
jangan-jangan...
Tidak! Buang semua
pikiran negatif itu. Alvin nggak mungkin meninggalkannya. Tidak! Alvin sangat
mencintainya dan berjanji nggak akan meninggalkannya. Lalu, mengapa Alvin
seperti ditelan bumi? Mengapa Alvin-sampai sekarang tidak menghubunginya?
Cepat-cepat Sivia
memiscall Febby.
“Feb, temani gue ke
rumah Alvin! Sekarang juga lo ke rumah gue!”
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar