Part 15
.
.
.
Alunan lagu Bruno
Mars yang berjudul When I Was Your Man mengalun di kamarnya. Namun, sang
pemilik kamar itu nggak konsen dengan lagunya. Pikirannya tertuju pada sebuah
keributan. Siapa lagi kalo bukan Mama dan Papa?
Rio menghela nafas
panjang. Masalah yang dialaminya semakin bertambah banyak. Kepalanya menjadi
pusing memikirkan semua masalah itu.
Selanjutnya,
terdengar suara Sivia yang bergetar. Rio merasa kasian dengan adik
sematawayangnya itu. Tampaknya Sivia sedang meluapkan amarahnya. Lalu, suara
Ayah yang keras mengalahkan teriakan Sivia.
“Jaga mulutmu anak
haram!”
Sakit sekali
rasanya mendengar kalimat yang diucapkan oleh Ayahnya sendiri. Ingin sekali Rio
menemui Ayah dan langsung menghajarnya.
Ketika pertengkaran
mulai reda, Rio mencoba mengecek kamar Sivia. Siapa tau kan adiknya itu
menangis dan butuh pelukannya.
“ASTAGA VIAA !!!”
Jantung Rio serasa
mau copot melihat keadaan Sivia yang mengenaskan. Darah segar menyirami lantai
kamar Sivia. Cepat-cepat Rio membantu Sivia untuk duduk.
“Vi.. Lo kenapa?”
Tanya Rio khawatir.
Sivia nggak
menjawab. Air matanyalah yang menjawab pertanyaan Rio. Segera Rio mengatar
Sivia ke kamar mandi yang udah dibangun di kamar Sivia. Setelah membaik, Rio
membaringkan Sivia di kasur.
“Apa yang terjadi
dengan lo? Apa Papa memukul lo?” Tanya Rio.
Percuma Rio
bertanya panjang lebar kali tinggi(?). Sivia nggak merespon omongan Rio. Ohya,
Rio kan belum tau tentang penyakitnya. Bi Nah juga nggak akan membertitahu
kepada Rio.
Sepertinya Rio
mulai emosi karena omongannya tidak dirsepon oleh Sivia. “Vi, lo kenapa? Jawab!
Apa lo nggak anggap gue sebagai kakak lo? Ayo jawab!” Kata Rio sedikit
membentak.
Namun, ia salah
bertindak. Tangisan Sivia semakin parah. Nafas Sivia tersengal-sengal. Ayo kak,
ayo! Bentak gue lagi! Ayo! Biar derita gue lengap.
“Besok kita ke
dokter.” Kata Rio dingin lalu meninggalkan Sivia.
Belum sempat ia
memegang ganggang pintu, Sivia berkata, “Nggak perlu. Gue nggak butuh dokter!”
Katanya ketus.
Rio menatap Sivia
tajam. “Terserah.”
***
Rasa
ketidaknyamanan menyelimuti malam ini. Jam dinding hampir menunjukkan pukul
sepuluh malam, dan ia belum juga tidur. Cowok bernama Alvin itu merasakan ada
hal ganjil. Apa itu? Ia sendiri tidak tau. Tapi entah mengapa hatinya merasa
tidak tenang.
“Argh, Vin! Lo
kenapa sih? Apa yang lo pikirkan? Sivia? Dia kan udah jadi pacar lo. Jadi, apa
yang lo khawatirin?” Kata Alvin.
Jangan-jangan, ada
sesuatu lagi yang terjadi dengan Sivia. Alvin segera mengambil ponselnya dan
mencari nama ‘MyLove Via’ di kontaknya.
Tut.. Tut.. Tut...
Telpon diangkat,
tetapi disebrang sana tidak ada suara. Kemudian orang disebrang sana memutuskan
panggilan. Alvin mengulang lagi. Ia memencet tombol hijau. Namun, operator
bilang nomor yang Anda tuju tidak dapat dihubungi.
“Via.. Lo kenapa?”
***
Kedua matanya belum
juga terpejam. Rasa sakit di kepalanya serta paru-parunya yang sedikit sesak
membuatnya insomnia. Sivia menangis lirih. Tangisan lembut yang tentunya
membuat semua orang yang melihatnya ikut menangis.
“Sa.. Sakit..”
Lirih Sivia.
‘Gapai sebuah jemariku rangkul aku..’
Ponselnya
berdering. Hmm, malam-malam gini ada juga yang menelponnya. Dengan malas, Sivia
meraih ponselnya yang berada tak jauh dari tempat tidurnya.
Alvin’s calling...
Terpaksa Sivia
mengangkat. Namun ia sadar. Suaranya yang parau pasti membuat Alvin
mengkhawatirkannya. Sivia langsung memutuskan panggilan dan mematikan
ponselnya.
“Maaf Vin, aku lagi
nggak mau diganggu.” Kata Sivia.
Tapi, samanya aja kan
membuat Alvin nggak tenang jika ia mendadak memutuskan panggilan tanpa sebab?
***
Pagi yang buruk.
Sangat buruk. Dimulai dari Mama Papanya yang nggak ada di rumah. Bau nasi
goreng mengacaukan pikirannya. Perutnya asyik berbunyi demi menunggu makanan datang.
Lagi-lagi Sivia memaksakan diri untuk sekolah.
“Bi, Mama sama Papa
nggak ada ya?” Tanya Sivia.
Bi Nah mengangguk
lemah.
“Nggak papa kok Bi.
Biarkan saja mereka. Mereka bukan orangtua yang baik. Bibilah Mama Via yang
sebenarnya karena Bibi begitu sayang merawat Sivia tanpa mengeluh sedikitpun.
Via bangga punya Bibi.” Kata Sivia.
Bi Nah tersenyum
kecil. “Iya, Non. Makasih. Bibi hanya melakukan tugas. Ohya, gimana dengan
kondisimu? Bibi liat kamu jarang ke dokter.”
“Via udah baikan
kok.” Kata Sivia berbohong.
Sialnya, percakapan
mereka didengar oleh Rio. Kondisi Sivia? Jarang ke dokter? Pertanyaan itulah
yang membuat Rio jadi penasaran.
Setelah selesai
sarapan, Sivia pamit sama Bi Nah. “Bi, di luar udah ada Gabriel. Via berangkat
dulu ya.”
“Iya.” Jawab Bi
Nah. “Hati-hati di jalan.” Sambungnya.
“Bi, ada apa dengan
Sivia?” Tanya Rio yang tiba-tiba udah ada di dekat Bi Nah.
Kini, Bi Nah
menjadi bingung. Antara melanggar janji Sivia atau demi keselamatan Sivia.
***
“Mukamu pucat. Ada
apa Vi?” Tanya Gabriel. Mereka udah sampai di sekolah.
Sivia mencoba
tersenyum. “Aku nggak papa. Semaleman aku begadang. Makanya kantung mataku
kayak gini.”
Gabriel tertawa
lalu mengacak-acak poni Sivia. “Makanya, jangan begadang. Udah tau besok
sekolah. Kalo gitu, aku ke kelas dulu ya. See you..”
Sivia masuk ke
dalam kelasnya, tentu saja Febby langsung berteriak heboh. Tuh cewek nggak
pernah apa sekali nggak heboh.
“Hei, Vi! Aduh..
Kenapa muka lo pucet amat?” Tanya Febby.
Jawaban sama yang
ia berikan kepada Gabriel. Febby mengangguk-angguk paham. Tapi eh, Sivia kan
jarang begadang. Kok tumben ya Sivia begadang?
“Kenapa lo bisa
begadang? Kan nggak ada peer sekarang.” Kata Febby.
“Ng.. Cuma pengen
aja, hehe..”
Febby nggak yakin
dengan jawaban Sivia. Pasti Sivia sedang ada masalah. Apa karena kedua orangtua
Sivia yang hubungannya belakang-belakang ini nggak baik? Ya, bisa jadi.
***
Drtdrtdrt...
Message From :
MyLove Apiin
Aq ke skulmu y skrg sambil jmpt km pulang (:
Bisa gawat jika
Alvin datang kesini! Batin Sivia. Sivia pun mencari alasan masuk akal agar
Alvin nggak ke sekolahnya.
Message To : MyLove
Apiin
Maaf Vin, aq lg ada tugas jd ntr pulang sore n aq nnti
pulangx sm kak Rio. Maaf ya..
Tidak ada balasan
dari Alvin. Ya semoga saja Alvin nggak ke sekolahnya sekarang. Duh.. Aksi
keplaygirlnya mulai ada nih..
“Pulang yuk!” Kata
Gabriel semangat.
***
SMA Value tampak
sepi. Ada satu dua anak yang masih menunggu jemputan di luar gerbang. Seorang
cowok berkacamata hitam yang penampilannya keliatan keren mencari-cari sesosok
cewek yang dicarinya.
Ya, pasti Sivia
masih ada di sekolah! Tapi eh, Sivia ngapain aja di sekolah? Latihan basket?
Ada kek siang-siang bolong main basket.
Alvin mengedarkan
pandangannya ke seluruh penjuru sekolah. Sivia kemana? Ini kan udah sore. Apa
Sivia udah pulang duluan?
“Hei!” Kata sebuah
suara yang berhasil mengagetkannya.
Seorang gadis
cantik yang tak asing lagi baginya. Ya, Shilla, mantannya. Shilla tersenyum
bahagia melihat kedatangan mantannya itu.
“Cari siapa?” Tanya
Shilla.
“Mmm.. Sivia, ya..
Sivia. Mmm.. Lo liat nggak Sivia disini?”
Shilla sengaja
mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru sekolah. Lalu ia kembali menatap
Alvin.
“Sivia? Bukannya
tadi dia pulang sama pacarnya?”
“Hah?”
***
Agni memeluk Novel
keluaran Inggris terbaru. Novel itu baru dibelinya tadi siang. Hmm.. Sekalian
menambah perbendaharaan bahasa inggrisnya.
Sambil
menyenandungkan lagu Lonely, Agni
berjalan di pinggir jalan raya. Untung suasananya nggak terlalu panas. Kalo
panas, bisa-bisa gosong ia nanti.
“Aw!”
Seseorang
menabraknya. Hampir saja Agni terjatuh kalo saja orang itu tak menjaga tubuhnya
agar ia tidak jatuh. Tangan orang itu kini memegang pinggang Agni.
“Cakka!” Kata Agni
kaget. Astaga! Mengapa ia bisa bertemu dengan mantannya ini?
Pandangan mereka
bertemu. Cukup lama, dan rasa-rasa itu kembali ada. Rasanya seperti ketika
mereka bertemu pertama kali. Dimulai dari Cakka yang nggak sengaja menabrak
Agni.
***
Seorang cewek tomboi berjalan girang. Tampaknya ia sedang
senang-senangnya. Ada selembar foto yang berlukisan cowok tampan idaman
sekolahnya.
“Ah, Kka! Lo bikin gue gila aja. Kenapa sih lo itu
ganteng? Bingung gue.” Kata Agni tersenyum sendiri.
“Tapi, apa Cakka suka ya sama cewek tomboi kayak gue? Tau
ah! Yang penting gue udah dapetin tuh fotonya.”
Agni berlari sambil lompat-lompat kayak anak kecil. Ada
anak yang melihatnya sambil tertawa. Anak SMA kok kelakukannya kayak anak kecil
sih?
BUUKK!!
“Aduh..”
Awalnya Agni merasakan bertabrakan dengan sesosok tubuh
yang kokoh. Kepalanya sedikit pusing karena menabrak dada orang itu. Matanya ia
pejamkan. Tak terjadi apa-apa. Oh, apa sekarang waktunya membuka mata?
Tapi kok seperti ada yang memegang pinggangnya ya? Agni
jadi bergidik ngeri. Jangan-jangan ada cowok nggak bener nih yang macam-macam
dengannya.
“Lo nggak papa?” Tanya suara cowok yang ternyata yang
ditabraknya tadi.
Perlahan, Agni membuka mata karena merasa tak asing lagi
dengan suara cowok itu. Matanya pun terbuka dan...
‘OMG! Cakka! Mimpi apa gue semalem?’ Jerit Agni dalam
hati.
Dengan takut, Agni memandangi wajah Cakka yang juga
sedang memandanginya. Pandangan keduanya bertemu, dan itu membuat pipi Agni
sukse berwarna merah.
***
Dan itu membuat
pipi Agni sukse berwarna merah. Kejadian ini mengingatkannya pada kejadian
tujuh tahun yang lalu. Oh.. Mengapa.. Mengapa...
“Sorry.” Kata Cakka
dingin dan segera meninggalkan Agni.
Ingin sekali Agni
mengejar Cakka. Tapi seperti ada sesuatu yang menghalanginya. Oh.. Andaikan
kita seperti dulu, Kka..
***
Malam menemaninya
hingga ia sampai di mall city ini #namanya ngarang#. Tak tau kenapa ia bisa
sampai di tempat ini. Alasannya sih ia ingin membeli sesuatu. Tapi, buat apa
jauh-jauh ke mall kalo barang yang ia butuhkan terjual nggak jauh dari tempat
tinggalnya?
Ia berjalan dan
berhenti di sebuah tempat bernama coffe cream. Disana terjual berbagai aneka
kopi. Mungkin ia bisa mencicipi hangatnya kopi dan bisa membuat beban
pikirannya berkurang.
Namun.. Ketika ia
tau... Ketika ia melihat sebuah pemandangan yang...
Yang...
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar