Part 22
.
.
.
Di sampingnya kini
ada Agni. Cakka merasa nyaman jika ada Agni di sampingnya. Begitu pula dengan
Agni. Berada dekat dengan Cakka membuat hatinya merasakan kenyamanan serta
kebahagiaan. Apakah.. Apakah semua ini akan abadi?
“Kka..” Ucap Agni.
Cakka nggak
menjawab. Ia malah asyki bersama gitar kesayangannya. Agni merasa seperti
dikacangin. Ia pun pura-pura ngambek agar Cakka memerhatikannya.
“Yeee.. Pura-pura
ngambek. Dasar lo! Sama saja seperti dulu.” Kata Cakka tertawa seraya
mengacak-acak poni Agni.
“Ih, jangan
diacak-acakain dong, Kka.” Kata Agni pura-pura marah.
Keduanya tertawa.
Tawa dalam kebahagiaa. Memang, ada saatnya kita bersedih, dan ada saatnya kita
tertawa. Sepi rasanya hidup ini jika tak ada tawa yang mewarnai dan menceriakan
hari-hari kita.
Drtdrtdrt...
Ponsel Cakka
berbunyi. Sebuah nomor asing memiscallnya. Cakka pun menekan tombol hijau di
ponselnya.
“Iya.. Iya.. Ada
apa ini? Siapa? Kok bicaranya panik sekali? Apa? Baik. Secepatnya aku akan
kesana.”
Klik.
“Kita harus ke
rumah sakit Ag. Lo telpon Ify ya.” Kata Cakka buru-buru.
Agni hanya
mengangguk tanpa bertanya lebih lanjut.
***
Beberapa menit yang lalu...
Alangkah kagetnya
Gabriel dan Febby ketika mendapati Rio yang tergeletak tak sadarkan diri di
dekat sofa, dan Sivia yang seperti mayat hidup meminta bantuan. Astaga! Apa
jangan-jangan kedua adik kakak itu...
“Lo mikir apa sih
Yel? Jangan sampai deh mikir yang itu-itu..” Kata Febby.
“Feb.. Yel.. kakak
gu.. gue..” Lirih Sivia.
“Kakak lo kenapa
Vi? Kenapa dia bisa..”
“Cepat bawa ke
rumah sakit! Vi, lo telpon teman kakak lo deh.” Seru Gabriel seraya membantu
Rio untuk bangun.
***
@Rumah Sakit
Kata dokter,
kondisi Rio baik-baik saja. Hanya saja ada beban berat yang ada di pikiran Rio
sehingga Rio menjadi frustrasi dan berakhir tragis seperti ini. Cakka, Agni dan
Ify sudah tiba di rumah sakit. Kali ini, Ify sangat khawatir dengan kondisi Rio.
Ia takut sesuatu yang buruk terjadi dengan Rio.
“Dok, apa kami bisa
masuk ke dalam?” Tanya Cakka.
“Biarkan dia tenang
dulu.” Jawab dokter itu.
Sivia yang sempat
panik dan shock kini berhasil di tenangkan oleh Gabriel. Sedaritadi Gabriel
mendekap erat tubuh Sivia. Tentunya Sivia merasa bahagia karena ia sangat
merindukan pelukan ini.
“Fy, apa semua ini
karena..” Kata Agni.
“Jangan bicara, Ag.
Gue terlalu sedih mendengar lo bicara.” Kata Ify.
Hampir sejaman
mereka menunggu sebuah kepastian. Sivia yang kondisinya terlalu lelah kini
tertidur lelap dipelukan Gabriel. Gabriel sama sekali nggak merasakan capek
atau apa. Yang ia rasakan hanyalah kebahagiaan yang tak ada bandingnya.
Seorang dokter
menemui mereka. “Apakah salah satu diantara kalian ada yang bernama Ify?”
Tanyanya.
Ify terenyak. “Saya
dok.” Jawabnya.
“Baik. Kamu boleh
melihat keadaan Rio karena Rio sangat membutuhkanmu.”
***
Kedua matanya
terasa berat jika ia buka. Perlahan, namun dengan hati-hati ia buka matanya. Ia
baru sadar kalo ia berada di rumah sakit dengan kondisi yang menyedihkan.
Seseorang masuk ke
dalam kamarnya. Orang itu sempat tersenyum melihatnya. Tapi, bukan senyuman
bahagia yang dia tunjukka. Melainkan senyum kesedihan.
“Ri.. Rio.. Kamu..
Kamu nggak papa kan?” Tanya Ify pelan.
Rio hanya tersenyum
lemah. “Aku nggak papa. Kamu jangan khawatir.” Jawabnya.
“Mmm..” Ify ragu
untuk bertanya. “Mmm.. Kok kamu bisa seperti ini?” Tanyanya akhirnya.
Rio nggak langsung
menjawab. Ia malah menatap lekat wajah manis Ify yang tiap harinya selalu hadir
menghiasi hidupnya. Ify. Seorang bidadari yang secara tiba-tiba masuk ke dalam
hidupnya serta membawakan perubahan besar dalam hidupnya.
“Fy.. Aku.. Aku..”
“Aku tau, Yo. Kita
nggak akan pernah bersatu. Aku tau. Tapi, kamu harus janji. Kamu nggak boleh
kayak gini. Tetaplah menjadi seorang Rio yang ceria dan bersemangat. Dan aku
yakin kamu pasti bisa melakukannya. Aku yakin sekali.”
Sepertinya Rio
mulai paham dan mengerti apa yang Ify ucapkan. Hei Yo! Ify saja tegar
menghadapi semua ini. Lha elo? Padahal dia cewek Yo.. Dan lo cowok...
“I.. Iya Fy.
Maafkan aku.” Kata Rio.
Ify tersenyum.
“Kamu nggak salah kok.”
Suasana berubah
menjadi hening dan sepi. Baik Rio maupun Ify, terdiam dalam pikiran
masing-masing. Pastinya, yang mereka pikirkan sama. Tiba-tiba, setetes demi
setetes air mata membasahi pipi Ify. Ajaibnya, air mata itu juga menetes
membasahi wajah Rio.
Di luar, Agni dan
Cakka juga ikutan sedih menyaksikan semuanya. Sungguh. Cakka nggak tega melihat
Ify dan Rio seperti itu. Jujur, andaikata tidak ada surat wasiat itu serta
Cakka mencintai Ify dengan tulus, ia rela melepaskan Ify demi kebahagiaan Rio.
Karena Cakka tau, Rio ditakdirkan hanya untuk Ify. Begitu pula sebaliknya.
“Aku.. Aku balik
dulu ya, Yo. Jaga dirimu.”
Sebelum bangkit
dari tempatnya, Ify mencium pipi Rio dengan penuh cinta. Dan Rio merasa bahagia
dengan ciuman sesaat itu. Dalam hati ia berujar akan membalas ciuman itu.
Suatu hari nanti.
***
“Gue harus
mengakhiri semua ini. Harus!” Kata Cakka tiba-tiba yang membuat Agni mendadak
kaget.
“Ma.. Maksud lo?”
Tanya Agni.
“Nggak ada salahnya
kan nggak memenuhi surat wasiat orang yang udah meninggal?” Cakka balik nanya.
“Tapi Kka..”
“Ag, kita balikan
lagi. Lo dan gue mulai sekarang resmi menjadi sepasang kekasih.”
Agni tau saat ini
pikiran Cakka nggak bisa dikontrol. Cakka memang begitu. Kalo dia sedang
tertekan, pasti bawaannya keras kepala dan cepat marah. Agni memilih untuk
tidak membantah.
“Oke. Lebih baik
kita pulang saja. Tugas kuliahku banyak yang belum aku selesaikan. Ayo!”
Hikmahnya, Agni
senang ketika Cakka mengucapkan kata ‘aku’ dan ‘kamu’, bukan kata ‘lo’ dan
‘gue’.
***
Beberapa hari
setelah kejadian itu, Rio lebih suka berdiam diri di rumah. Ia akan mengubah
cara hidupnya. Memang sulit untuk melupakan Ify. Tapi Rio berjanji untuk
melakukannya.
Pelan-pelan, Rio
membuka pintu kamar Sivia. Ia tersenyum melihat sang adik tertidur manis
seperti putri tidur. Sungguh sangat berdosa karena ia hampir melupakan Sivia
karena masalah yang dialaminya. Rio pun mengecup kening Sivia.
Cowok itu beralih
menuju meja belajar Sivia. Disana ada selembar kertas yang tampak misterius.
Karena penasaran, Rio mengambil kertas itu dan membacanya.
Belum mencapai satu
paragraf, darah Rio seakan berhenti mengalir. Rasanya seperti beku. Dadanya
sesak ketika membaca kalimat pertama yang ditulis adiknya itu.
“Tuhan.. Kapan Kau mencabut nyawaku? Aku lelah Tuhan
hidup bersama kanker sialan ini”
***
Pagi ini berbeda
dari pagi lainnya. Pagi ini tak begitu cerah. Matahari enggan menampakkan
sinarnya. Biasanya, matahari dengan ganasnya menampakkan sinar sehingga hawa
panas menyerang di tempat ini.
Seorang cowok duduk
bersila di teras rumah. Cowok itu terdiam sambil mengatur nafasnya yang
sedaritadi tak karuan. Apa sebenarnya yang dipikirkan cowok itu? Entahlah.
“Kak..” Lirih
seseorang yang pelan-pelan mendekatinya.
Cowok yang tak lain
adalah Rio itu menatap orang yang baru saja datang dengan tatapan yang tajam.
Yang ditatap hanya bisa diam dan pasrah. Takut? Jelas!
“Kak, maafkan Via
kak. Via..”
“Sudah! Gue nggak
mau dengar suara lo lagi!” Kata Rio ketus.
Sivia tertunduk. Ia
ingin menangis. Tapi ia berusaha menahan tangisannya. Entah mengapa Rio
bisa-bisanya membaca tulisannya sehingga Rio tau bahwa ia terkena penyakit
kanker yang teramat parah. Tentu saja Rio marah karena ia tidak bercerita dari
awal.
“Lo mau bunuh diri
lo sendiri? Dasar cewek lemah! Lo takut sekali yang namanya cobaan. Kenapa lo
nggak cerita ke gue soal penyakit lo? Kenapa lo lebih memilih
menyembunyikannya? Bodoh! Lo kira kanker itu penyakit flu? Lo kira kanker itu
seperti penyakit batuk atau deman?”
Lagi-lagi Sivia
menunduk. Memang ia pantas mendapat amarah dari Rio. Bagus! Biarkan semua orang
marah padanya agar jika ia telah tiada, orang-orang itu tak akan bersedih.
Termasuk kakaknya! Dan Sivia sadar kepergian Alvin secara tiba-tiba membuatnya
tenang karena toh jika ia udah nggak ada Alvin nggak bakal menangisinya.
Sedang Gabriel?
Sivia udah nggak peduli lagi dengan cowok itu. Rasa sakit yang dideritanya
mengalahkan rasa cintanya pada Gabriel, juga Alvin. Mungkin...
“Vi, gue kecewa
sama lo.”
Setelah mengucapkan
kalimat pendek itu, Rio meninggalkan rumahnya lalu entah pergi kemana. Sivia
tersenyum kecil. Ia mengira Rio tidak marah dan malah kasian padanya serta
mendukungnya agar ia kuat dan lekas sembuh.
Untunglah. Rio
marah padanya dan ia tersenyum senang karena penderitaannya bertambah. Kini,
tak ada satupun orang yang menyayanginya. Tak ada.
Sivia tau sekarang
tempat yang terbaik untuknya lalu cepat-cepat ia pergi ke tempat itu. Mungkin
saja tempat itu adalah tempat terakhir kali ia kunjungi di dunia ini.
***
“Yel, gue.. Gue
merasa ada yang aneh dengan hari ini.” Kata Febby ketika ia tak sengaja bertemu
Gabriel.
“Gue rasa, perasaan
lo aja kali yang lagi nggak normal.” Jawab Gabriel.
Febby cemberut.
“Ini seriusan Yel! Argh! Lo nggak akan ngerti deh. Ng.. Gue mau pergi ke danau
aja. Mau ikut?”
“Ngapain kesana?
Sorry. Gue lagi ada janji sama Shilla.”
“Yee.. Pacar lo
urusin! Nggak tau juga ya. Hati nurani gue nyuruh gue pergi kesana. Ya udah,
gue pergi dulu. Bye!”
“Bye!”
Gabriel menatap
kepergian Febby. Gue merasa ada yang aneh
dengan hari ini. Aneh? Benarkah hari ini sangat aneh? Nggak tau kenapa,
Gabriel jadi kepikiran dengan Sivia. Gadis itu selalu saja membuatnya khawatir.
Dan, pencariannya belum juga berhasil. Alvin bak ditelan bumi dan ia susah
untuk mencarinya.
Tiba-tiba, kedua
matanya menatap seseorang yang seperti sedang stres. Orang itu berjalan dan
terus berjalan seperti tak tau kemana arahnya pergi. Aneh! Tak di sangkanya,
orang itu menoleh ke arahnya seraya mendekatinya. Dan entah mengapa bulu kuduk
Gabriel merinding. Seriusan! Hari ini emang hari yang aneh. Benar apa yang
dikatakan Sivia.
“Gue mau cerita
sesuatu ke elo, dan lo harus denger baik-baik.” Kata orang itu pelan. Namun ada
suara kesedihan disana.
***
Di ruang keluarga,
Cakka menatap layar TV nya dengan tak minta. Kalian tau apa yang dia tonton?
Kartun Spongebob! Pastinya, suasana hati Cakka lagi nggak baik. Agni.. Agni..
dan Agni yang ia pikirkan dari kemarin. Ayahnya tau kalo ia nggak bisa
meninggalkan Agni. Ayahnya paham apa yang ia rasakan. Namun, apa boleh buat?
Mira, adik bungsu
dari Mamanya tiba-tiba saja sudah ada di rumahnya. Wajah Mira tampak serius.
Dengan gesitnya Mira mematikan TV yang ditonton Cakka. Dasar anak kecil! Batin
Mira.
“Ngapain tante
kesini?” Tanya Cakka malas.
“Jangan marah gitu
dong. Tante kesini cuma mau ngasih tau kamu hal penting.” Jawab Mira.
“Hal penting apa?
Acara pertunangan gue dengan Ify? Hahaha.. Jangan harap nyawa gue masih ada.
Hahaha..”
Mira hanya
menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakukan keponakannya. “Tidak! Ini bukan
tentang pertunangan tak penting kalian!”
Pertunangan tak
penting? Apa maksudnya?
“Maksud tante apa?”
Tanya Cakka nggak mengerti.
“Dengar. Tante
kesini cuma mau ngasih tau kamu hal penting yang harus kamu tau dan hal penting
itu adalah... Berhubungan dengan surat wasiat itu! Sepertinya tante salah
mengartikan dan...”
Jantung Cakka
serasa berhenti berdetak. Surat wasiat itu salah? Apa ia.. Apa ia dan Agni
bisa...
“Ternyata, surat
wasiat itu masih ada sambungannya. Ini, bacalah.”
Cakka menerima
selembar kertas dari tangan Mira. Perlahan, Cakka membukanya. Jujur, ia takut
membacanya. Dan... Ketika ia membacanya....
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar