expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Sabtu, 07 Maret 2015

We Love You Sivia ( Part 22 )



Part 22

.

.

.

Di sampingnya kini ada Agni. Cakka merasa nyaman jika ada Agni di sampingnya. Begitu pula dengan Agni. Berada dekat dengan Cakka membuat hatinya merasakan kenyamanan serta kebahagiaan. Apakah.. Apakah semua ini akan abadi?

“Kka..” Ucap Agni.

Cakka nggak menjawab. Ia malah asyki bersama gitar kesayangannya. Agni merasa seperti dikacangin. Ia pun pura-pura ngambek agar Cakka memerhatikannya.

“Yeee.. Pura-pura ngambek. Dasar lo! Sama saja seperti dulu.” Kata Cakka tertawa seraya mengacak-acak poni Agni.

“Ih, jangan diacak-acakain dong, Kka.” Kata Agni pura-pura marah.

Keduanya tertawa. Tawa dalam kebahagiaa. Memang, ada saatnya kita bersedih, dan ada saatnya kita tertawa. Sepi rasanya hidup ini jika tak ada tawa yang mewarnai dan menceriakan hari-hari kita.

Drtdrtdrt...

Ponsel Cakka berbunyi. Sebuah nomor asing memiscallnya. Cakka pun menekan tombol hijau di ponselnya.

“Iya.. Iya.. Ada apa ini? Siapa? Kok bicaranya panik sekali? Apa? Baik. Secepatnya aku akan kesana.”

Klik.

“Kita harus ke rumah sakit Ag. Lo telpon Ify ya.” Kata Cakka buru-buru.

Agni hanya mengangguk tanpa bertanya lebih lanjut.

***

Beberapa menit yang lalu...

Alangkah kagetnya Gabriel dan Febby ketika mendapati Rio yang tergeletak tak sadarkan diri di dekat sofa, dan Sivia yang seperti mayat hidup meminta bantuan. Astaga! Apa jangan-jangan kedua adik kakak itu...

“Lo mikir apa sih Yel? Jangan sampai deh mikir yang itu-itu..” Kata Febby.

“Feb.. Yel.. kakak gu.. gue..” Lirih Sivia.

“Kakak lo kenapa Vi? Kenapa dia bisa..”

“Cepat bawa ke rumah sakit! Vi, lo telpon teman kakak lo deh.” Seru Gabriel seraya membantu Rio untuk bangun.

***

@Rumah Sakit

Kata dokter, kondisi Rio baik-baik saja. Hanya saja ada beban berat yang ada di pikiran Rio sehingga Rio menjadi frustrasi dan berakhir tragis seperti ini. Cakka, Agni dan Ify sudah tiba di rumah sakit. Kali ini, Ify sangat khawatir dengan kondisi Rio. Ia takut sesuatu yang buruk terjadi dengan Rio.

“Dok, apa kami bisa masuk ke dalam?” Tanya Cakka.

“Biarkan dia tenang dulu.” Jawab dokter itu.

Sivia yang sempat panik dan shock kini berhasil di tenangkan oleh Gabriel. Sedaritadi Gabriel mendekap erat tubuh Sivia. Tentunya Sivia merasa bahagia karena ia sangat merindukan pelukan ini.

“Fy, apa semua ini karena..” Kata Agni.

“Jangan bicara, Ag. Gue terlalu sedih mendengar lo bicara.” Kata Ify.

Hampir sejaman mereka menunggu sebuah kepastian. Sivia yang kondisinya terlalu lelah kini tertidur lelap dipelukan Gabriel. Gabriel sama sekali nggak merasakan capek atau apa. Yang ia rasakan hanyalah kebahagiaan yang tak ada bandingnya.

Seorang dokter menemui mereka. “Apakah salah satu diantara kalian ada yang bernama Ify?” Tanyanya.

Ify terenyak. “Saya dok.” Jawabnya.

“Baik. Kamu boleh melihat keadaan Rio karena Rio sangat membutuhkanmu.”

***

Kedua matanya terasa berat jika ia buka. Perlahan, namun dengan hati-hati ia buka matanya. Ia baru sadar kalo ia berada di rumah sakit dengan kondisi yang menyedihkan.

Seseorang masuk ke dalam kamarnya. Orang itu sempat tersenyum melihatnya. Tapi, bukan senyuman bahagia yang dia tunjukka. Melainkan senyum kesedihan.

“Ri.. Rio.. Kamu.. Kamu nggak papa kan?” Tanya Ify pelan.

Rio hanya tersenyum lemah. “Aku nggak papa. Kamu jangan khawatir.” Jawabnya.

“Mmm..” Ify ragu untuk bertanya. “Mmm.. Kok kamu bisa seperti ini?” Tanyanya akhirnya.

Rio nggak langsung menjawab. Ia malah menatap lekat wajah manis Ify yang tiap harinya selalu hadir menghiasi hidupnya. Ify. Seorang bidadari yang secara tiba-tiba masuk ke dalam hidupnya serta membawakan perubahan besar dalam hidupnya.

“Fy.. Aku.. Aku..”

“Aku tau, Yo. Kita nggak akan pernah bersatu. Aku tau. Tapi, kamu harus janji. Kamu nggak boleh kayak gini. Tetaplah menjadi seorang Rio yang ceria dan bersemangat. Dan aku yakin kamu pasti bisa melakukannya. Aku yakin sekali.”

Sepertinya Rio mulai paham dan mengerti apa yang Ify ucapkan. Hei Yo! Ify saja tegar menghadapi semua ini. Lha elo? Padahal dia cewek Yo.. Dan lo cowok...

“I.. Iya Fy. Maafkan aku.” Kata Rio.

Ify tersenyum. “Kamu nggak salah kok.”

Suasana berubah menjadi hening dan sepi. Baik Rio maupun Ify, terdiam dalam pikiran masing-masing. Pastinya, yang mereka pikirkan sama. Tiba-tiba, setetes demi setetes air mata membasahi pipi Ify. Ajaibnya, air mata itu juga menetes membasahi wajah Rio.

Di luar, Agni dan Cakka juga ikutan sedih menyaksikan semuanya. Sungguh. Cakka nggak tega melihat Ify dan Rio seperti itu. Jujur, andaikata tidak ada surat wasiat itu serta Cakka mencintai Ify dengan tulus, ia rela melepaskan Ify demi kebahagiaan Rio. Karena Cakka tau, Rio ditakdirkan hanya untuk Ify. Begitu pula sebaliknya.

“Aku.. Aku balik dulu ya, Yo. Jaga dirimu.”

Sebelum bangkit dari tempatnya, Ify mencium pipi Rio dengan penuh cinta. Dan Rio merasa bahagia dengan ciuman sesaat itu. Dalam hati ia berujar akan membalas ciuman itu.

Suatu hari nanti.

***

“Gue harus mengakhiri semua ini. Harus!” Kata Cakka tiba-tiba yang membuat Agni mendadak kaget.

“Ma.. Maksud lo?” Tanya Agni.

“Nggak ada salahnya kan nggak memenuhi surat wasiat orang yang udah meninggal?” Cakka balik nanya.

“Tapi Kka..”

“Ag, kita balikan lagi. Lo dan gue mulai sekarang resmi menjadi sepasang kekasih.”

Agni tau saat ini pikiran Cakka nggak bisa dikontrol. Cakka memang begitu. Kalo dia sedang tertekan, pasti bawaannya keras kepala dan cepat marah. Agni memilih untuk tidak membantah.

“Oke. Lebih baik kita pulang saja. Tugas kuliahku banyak yang belum aku selesaikan. Ayo!”

Hikmahnya, Agni senang ketika Cakka mengucapkan kata ‘aku’ dan ‘kamu’, bukan kata ‘lo’ dan ‘gue’.

***

Beberapa hari setelah kejadian itu, Rio lebih suka berdiam diri di rumah. Ia akan mengubah cara hidupnya. Memang sulit untuk melupakan Ify. Tapi Rio berjanji untuk melakukannya.

Pelan-pelan, Rio membuka pintu kamar Sivia. Ia tersenyum melihat sang adik tertidur manis seperti putri tidur. Sungguh sangat berdosa karena ia hampir melupakan Sivia karena masalah yang dialaminya. Rio pun mengecup kening Sivia.

Cowok itu beralih menuju meja belajar Sivia. Disana ada selembar kertas yang tampak misterius. Karena penasaran, Rio mengambil kertas itu dan membacanya.

Belum mencapai satu paragraf, darah Rio seakan berhenti mengalir. Rasanya seperti beku. Dadanya sesak ketika membaca kalimat pertama yang ditulis adiknya itu.

“Tuhan.. Kapan Kau mencabut nyawaku? Aku lelah Tuhan hidup bersama kanker sialan ini”

***

Pagi ini berbeda dari pagi lainnya. Pagi ini tak begitu cerah. Matahari enggan menampakkan sinarnya. Biasanya, matahari dengan ganasnya menampakkan sinar sehingga hawa panas menyerang di tempat ini.

Seorang cowok duduk bersila di teras rumah. Cowok itu terdiam sambil mengatur nafasnya yang sedaritadi tak karuan. Apa sebenarnya yang dipikirkan cowok itu? Entahlah.

“Kak..” Lirih seseorang yang pelan-pelan mendekatinya.

Cowok yang tak lain adalah Rio itu menatap orang yang baru saja datang dengan tatapan yang tajam. Yang ditatap hanya bisa diam dan pasrah. Takut? Jelas!

“Kak, maafkan Via kak. Via..”

“Sudah! Gue nggak mau dengar suara lo lagi!” Kata Rio ketus.

Sivia tertunduk. Ia ingin menangis. Tapi ia berusaha menahan tangisannya. Entah mengapa Rio bisa-bisanya membaca tulisannya sehingga Rio tau bahwa ia terkena penyakit kanker yang teramat parah. Tentu saja Rio marah karena ia tidak bercerita dari awal.

“Lo mau bunuh diri lo sendiri? Dasar cewek lemah! Lo takut sekali yang namanya cobaan. Kenapa lo nggak cerita ke gue soal penyakit lo? Kenapa lo lebih memilih menyembunyikannya? Bodoh! Lo kira kanker itu penyakit flu? Lo kira kanker itu seperti penyakit batuk atau deman?”

Lagi-lagi Sivia menunduk. Memang ia pantas mendapat amarah dari Rio. Bagus! Biarkan semua orang marah padanya agar jika ia telah tiada, orang-orang itu tak akan bersedih. Termasuk kakaknya! Dan Sivia sadar kepergian Alvin secara tiba-tiba membuatnya tenang karena toh jika ia udah nggak ada Alvin nggak bakal menangisinya.

Sedang Gabriel? Sivia udah nggak peduli lagi dengan cowok itu. Rasa sakit yang dideritanya mengalahkan rasa cintanya pada Gabriel, juga Alvin. Mungkin...

“Vi, gue kecewa sama lo.”

Setelah mengucapkan kalimat pendek itu, Rio meninggalkan rumahnya lalu entah pergi kemana. Sivia tersenyum kecil. Ia mengira Rio tidak marah dan malah kasian padanya serta mendukungnya agar ia kuat dan lekas sembuh.

Untunglah. Rio marah padanya dan ia tersenyum senang karena penderitaannya bertambah. Kini, tak ada satupun orang yang menyayanginya. Tak ada.

Sivia tau sekarang tempat yang terbaik untuknya lalu cepat-cepat ia pergi ke tempat itu. Mungkin saja tempat itu adalah tempat terakhir kali ia kunjungi di dunia ini.

***

“Yel, gue.. Gue merasa ada yang aneh dengan hari ini.” Kata Febby ketika ia tak sengaja bertemu Gabriel.

“Gue rasa, perasaan lo aja kali yang lagi nggak normal.” Jawab Gabriel.

Febby cemberut. “Ini seriusan Yel! Argh! Lo nggak akan ngerti deh. Ng.. Gue mau pergi ke danau aja. Mau ikut?”

“Ngapain kesana? Sorry. Gue lagi ada janji sama Shilla.”

“Yee.. Pacar lo urusin! Nggak tau juga ya. Hati nurani gue nyuruh gue pergi kesana. Ya udah, gue pergi dulu. Bye!”

“Bye!”

Gabriel menatap kepergian Febby. Gue merasa ada yang aneh dengan hari ini. Aneh? Benarkah hari ini sangat aneh? Nggak tau kenapa, Gabriel jadi kepikiran dengan Sivia. Gadis itu selalu saja membuatnya khawatir. Dan, pencariannya belum juga berhasil. Alvin bak ditelan bumi dan ia susah untuk mencarinya.

Tiba-tiba, kedua matanya menatap seseorang yang seperti sedang stres. Orang itu berjalan dan terus berjalan seperti tak tau kemana arahnya pergi. Aneh! Tak di sangkanya, orang itu menoleh ke arahnya seraya mendekatinya. Dan entah mengapa bulu kuduk Gabriel merinding. Seriusan! Hari ini emang hari yang aneh. Benar apa yang dikatakan Sivia.

“Gue mau cerita sesuatu ke elo, dan lo harus denger baik-baik.” Kata orang itu pelan. Namun ada suara kesedihan disana.

***

Di ruang keluarga, Cakka menatap layar TV nya dengan tak minta. Kalian tau apa yang dia tonton? Kartun Spongebob! Pastinya, suasana hati Cakka lagi nggak baik. Agni.. Agni.. dan Agni yang ia pikirkan dari kemarin. Ayahnya tau kalo ia nggak bisa meninggalkan Agni. Ayahnya paham apa yang ia rasakan. Namun, apa boleh buat?

Mira, adik bungsu dari Mamanya tiba-tiba saja sudah ada di rumahnya. Wajah Mira tampak serius. Dengan gesitnya Mira mematikan TV yang ditonton Cakka. Dasar anak kecil! Batin Mira.

“Ngapain tante kesini?” Tanya Cakka malas.

“Jangan marah gitu dong. Tante kesini cuma mau ngasih tau kamu hal penting.” Jawab Mira.

“Hal penting apa? Acara pertunangan gue dengan Ify? Hahaha.. Jangan harap nyawa gue masih ada. Hahaha..”

Mira hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakukan keponakannya. “Tidak! Ini bukan tentang pertunangan tak penting kalian!”

Pertunangan tak penting? Apa maksudnya?

“Maksud tante apa?” Tanya Cakka nggak mengerti.

“Dengar. Tante kesini cuma mau ngasih tau kamu hal penting yang harus kamu tau dan hal penting itu adalah... Berhubungan dengan surat wasiat itu! Sepertinya tante salah mengartikan dan...”

Jantung Cakka serasa berhenti berdetak. Surat wasiat itu salah? Apa ia.. Apa ia dan Agni bisa...

“Ternyata, surat wasiat itu masih ada sambungannya. Ini, bacalah.”

Cakka menerima selembar kertas dari tangan Mira. Perlahan, Cakka membukanya. Jujur, ia takut membacanya. Dan... Ketika ia membacanya....

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar