Epilog
.
.
.
Pertungangan antara
Rio dan Ify akan segera dilaksanakan. Di depan sana, sepasang kekasih tersenyum
bahagia menyambut tamu yang datang, walau jumlah tamunya tidak terlalu banyak.
Tapi, Rio dan Ify sangat bahagia.
Cakka, Agni,
Gabriel, Alvin dan lainnya langsung berhenti bersuara ketika acara pertunangan
itu segera dimulai. Agni yang paling serius sekaligus bahagia ketika melihat
Rio memasangkan sebuah cicin indah pada jari manis Ify. Akhirnya, mereka bisa
bersatu juga. Ia kira, lelaki yang barusan memasangkan cincin itu adalah Cakka.
“Hei Ag! Kita kapan
ya kayak mereka?” Tanya Cakka menggoda Agni.
Kedua pipi Agni
jadi memerah. “Terserah kamu deh. Aku ikut kamu saja.” Jawabnya.
Cakka tersenyum
seraya mengacak-acak poni Agni yang tak beraturan. Tapi Agni tetap cantik aja
kok. Bagaimanapun penampilan Agni, Cakka selalu berkata kalo Agni itu adalah
gadis yang paling cantik yang pernah ia lihat.
Sementara Gabriel
dan Alvin, sudah mulai baikan. Meski awalnya Gabriel marah besar terhadap
Alvin, Gabriel sadar ternyata Alvin tidak bersalah. Seharusnya ia simpati pada
Alvin karena Alvin telah kehilangan seseorang yang sangat dia cintai, yaitu
Ibunya.
Kini, dalam waktu
yang berdekatan, Alvin sudah kehilangan dua seseorang yang sangat berarti
baginya. Pertama Ibunya, dan yang kedua Sivia. Awalnya, Alvin mengira
meninggalnya Sivia itu tidak benar. Tapi dugaannya salah. Sivia telah
meninggalkannya dan ia tak akan bisa lagi bertemu wajah cantik itu
selama-lamanya. Kecuali di kehidupan selanjutnya.
“Hei! Bukannya itu
tante Izza?” Tanya Gabriel.
Entah sejak kapan
wanita itu berada di tempat ini. Gabriel melihat, mama kandung Rio itu menangis
terharu ketika melihat putranya bahagia bersama seorang gadis yang sangat
dicintai oleh putranya itu.
“Maafkan mama
sayang. Mama telah meninggalkanmu. Mama juga menyesal karena tidak menemui
Sivia untuk yang terakir kalinya. Mama sangat menyesal.” Kata Izza menahan
tangis.
Rio tak
berkomentar. Ia tak tau perasaan apa yang ia rasakan ketika melihat wanita yang
melahirkannya ini menangis karena menyesal. Tapi Rio janji akan memaafkan
Mamanya.
“Ma, mana Papa?”
Tanya Rio.
Izza tersenyum
pahit. “Kemarin Papa menyusul adik kamu. Mobil yang dikendarai Papa tertabrak
truk yang tak bertanggung jawab. Tapi Mama sudah memaafkan Papa. Kamu juga
harus memaafkan Papamu ya sayang.” Jelas Izza.
Rio hanya
menangguk. Jujur, ia kaget mendengar penjelasan dari Mama. Namun, Rio malah
tersenyum. Karena di hari yang bahagia ini, kesedihan tidak boleh hadir.
Tanpa
sepengetahuannya, sepasang mata tersenyum ke arahnya. Melihatnya yang sedang bahagia.
Sepasang mata itu ingin sekali memeluknya, karena ia sangat rindu dengan kakak
satu-satunya.
“Via yakin, kakak
bahagia bersama kak Ify. Disini, Via juga bahagia. Bersama Papa tentunya. Via
udah maafin Papa kok..” Kata sepasang mata itu.
“Dan buat kalian,
terimakasih atas cinta yang kalian beri. Aku sayang kalian!”
Tentu ‘kalian’ yang
dimaksud adalah Gabriel dan Alvin. Karena cintanya pada Gabriel dan Alvin tak
ada habisnya.
***
“Sivia..”
Betapa kagetnya Gabriel ketika mendengar suara seseorang
yang dicarinya. Alvin! Ternyata cowok itu sudah kembali. Hahaha... Cowok itu
tau kekasihnya sudah mati! Sekarang, apakah ia harus membunuh Alvin?
“Berhenti!” Kata Gabriel.
Alvin terheran dengan Gabriel. Tidak biasany Gabriel
berkata kasar seperti itu. Terutama di saat suasana duka seperti ini!
“Yel, Sivia..”
“Kenapa? Hah? Lo senang kan Via mati? Lo senang kan?”
Bentak Gabriel tanpa kendali.
“Senang? Maksud lo apa Yel?” Tanya Alvin tak mengerti.
Gabriel tersenyum sinis. “Lo jangan pura-pura! Apa lo nggak
tau Vin, Sivia sekarat gara-gara elo! Lo tau nggak, Sivia nyebut-nyebut nama lo
sampai dia menangis dan menjadi seperti ini! Kekasih macam apa lo! Tinggalin
Sivia sekenanya. Lo nggak tau bagaimana rasanya hati Sivia ketika sadar kalo lo
pergi meninggalkannya. Lo ha..”
“Stop Yel!”
Anehnya, Gabriel berubah menjadi diam. Ia melihat kedua
mata Alvin yang berkaca-kaca. Dan entah mengapa, Gabriel merasa sedih melihat
mata Alvin yang sepertinya ingin mengeluarkan air mata.
“Maafkan gue Maafkan gue. Gue tau gue salah. Meninggalkan
Sivia tanpa memberitahunya. Sebenarnya, gue ingin sekali memberitahu Sivia.
Tapi waktu itu, HP gue hancur saat gue mendengar berita bahwa... Bahwa..” Alvin
memberhentikan perkataannya. Sementara Gabriel menunggu kelanjutannya dengan
penuh tanda tanya. “Bahwa.. Mama gue.. Mama gue koma secara mendadak. Gue..
Gue..”
“Jangan dilanjutkan, jangan!” Kata Gabriel.
“Tak apa. Itu semua memang salah gue. Salah gue.
Sekarang, gue udah kehilangan dua orang yang gue cintai. Gue pantas menerimanya.”
Kata Alvin.
Cowok itu kini bersimpuh di samping batu nisan
bertuliskan Sivia. Sebisa mungkin ia tahan agar air matanya tidak jatuh.
Perlahan, Alvin mengusap lembut batu nisan itu, lalu ia cium dengan penuh rasa
penyesalan.
“Maafkan aku Via, maafkan aku. Maafkan aku yang telah
meninggalkanmu. Sekarang aku bisa merasakan sakit yang kamu rasakan. Maafkan
aku.”
Sekali lagi, Alvin mencium batu nisan itu. Jika ada satu
kesempatan lagi, ia berjanji akan menggunakan kesempatan itu sebaik-baiknya. Tapi
sayang. Kesempatan itu nggak akan datang lagi. Tidak akan.
“Ja.. Jadi.. Nyokap lo..” Kata Gabriel hati-hati.
“Ya. Dia sudah meninggal. Sebelum dia meninggal, dia
nyuruh gue menemuinya. Gue kira, dengan kehadiran gue disana bisa menyembuhkan
penyakitnya. Tapi..”
“Sudah. Gue yang salah. Lo nggak salah Vin. Selama ini
gue berprasangka buruk ke elo. Maafkan gue Vin.” Kata Gabriel.
Ya, Gabriel sadar bahwa Alvin tidak salah. Malah, ia
sendiri yang mengaku kalo dirinya yang salah. Menuduh Alvin yang tidak-tidak,
tanpa bukti yang nyata.
“Vin, siapa yang kasi tau lo kalo Via udah nggak ada?”
Tanya Gabriel.
“Febby.” Jawab Alvin singkat.
Langit berubah menjadi gelap. Bukan karena pergantian
waktu. Melainkan tertutupnya matahari oleh awan hitam yang gelap. Yang sebentar
lagi akan menangis mengeluarkan air yang sangat dibutuhkan oleh manusia.
“I love you, Via. Maafkan atas segala yang pernah aku
lakukan untukmu. Bahagia disana Via.” Kata Alvin.
Di sampingnya, Gabriel menambah ucapan Alvin. “Larat Vin.
Bukan lo saja kali yang cinta sama Sivia. Gue juga. Artinya, kata ‘I’ tadi
harus lo ganti dengan kata ‘we’. Paham nggak?”
Alvin tersenyum. “Masih bisa ya ternyata lo buat gue
tertawa. Oke-oke. Via.. Bahagia disana ya. Jangan berbuat nakal di rumah Tuhan.
And the last, I want say four words to
you. So please, listen my voice.”
Sebelum Alvin melanjutkan ucapannya, langit keburu
menangis. Menjatuhkan air dingin yang kita ketahui bernama hujan.
“We love you, Sivia!” Sambungnya diikuti Gabriel.
Harapan mereka agar Sivia mendengar ucapan mereka. Walau
mereka rasa itu mustahil. Tapi mereka yakin. Sivia pasti mendengar empat kata
yang mereka ucapkan. Empat kata yang sangat berarti bagi mereka. Dan juga bagi
Sivia tentunya.
***
END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar