expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Sabtu, 07 Maret 2015

We Love You Sivia ( Epilog )



Epilog

.

.

.

Pertungangan antara Rio dan Ify akan segera dilaksanakan. Di depan sana, sepasang kekasih tersenyum bahagia menyambut tamu yang datang, walau jumlah tamunya tidak terlalu banyak. Tapi, Rio dan Ify sangat bahagia.

Cakka, Agni, Gabriel, Alvin dan lainnya langsung berhenti bersuara ketika acara pertunangan itu segera dimulai. Agni yang paling serius sekaligus bahagia ketika melihat Rio memasangkan sebuah cicin indah pada jari manis Ify. Akhirnya, mereka bisa bersatu juga. Ia kira, lelaki yang barusan memasangkan cincin itu adalah Cakka.

“Hei Ag! Kita kapan ya kayak mereka?” Tanya Cakka menggoda Agni.

Kedua pipi Agni jadi memerah. “Terserah kamu deh. Aku ikut kamu saja.” Jawabnya.

Cakka tersenyum seraya mengacak-acak poni Agni yang tak beraturan. Tapi Agni tetap cantik aja kok. Bagaimanapun penampilan Agni, Cakka selalu berkata kalo Agni itu adalah gadis yang paling cantik yang pernah ia lihat.

Sementara Gabriel dan Alvin, sudah mulai baikan. Meski awalnya Gabriel marah besar terhadap Alvin, Gabriel sadar ternyata Alvin tidak bersalah. Seharusnya ia simpati pada Alvin karena Alvin telah kehilangan seseorang yang sangat dia cintai, yaitu Ibunya.

Kini, dalam waktu yang berdekatan, Alvin sudah kehilangan dua seseorang yang sangat berarti baginya. Pertama Ibunya, dan yang kedua Sivia. Awalnya, Alvin mengira meninggalnya Sivia itu tidak benar. Tapi dugaannya salah. Sivia telah meninggalkannya dan ia tak akan bisa lagi bertemu wajah cantik itu selama-lamanya. Kecuali di kehidupan selanjutnya.

“Hei! Bukannya itu tante Izza?” Tanya Gabriel.

Entah sejak kapan wanita itu berada di tempat ini. Gabriel melihat, mama kandung Rio itu menangis terharu ketika melihat putranya bahagia bersama seorang gadis yang sangat dicintai oleh putranya itu.

“Maafkan mama sayang. Mama telah meninggalkanmu. Mama juga menyesal karena tidak menemui Sivia untuk yang terakir kalinya. Mama sangat menyesal.” Kata Izza menahan tangis.

Rio tak berkomentar. Ia tak tau perasaan apa yang ia rasakan ketika melihat wanita yang melahirkannya ini menangis karena menyesal. Tapi Rio janji akan memaafkan Mamanya.

“Ma, mana Papa?” Tanya Rio.

Izza tersenyum pahit. “Kemarin Papa menyusul adik kamu. Mobil yang dikendarai Papa tertabrak truk yang tak bertanggung jawab. Tapi Mama sudah memaafkan Papa. Kamu juga harus memaafkan Papamu ya sayang.” Jelas Izza.

Rio hanya menangguk. Jujur, ia kaget mendengar penjelasan dari Mama. Namun, Rio malah tersenyum. Karena di hari yang bahagia ini, kesedihan tidak boleh hadir.

Tanpa sepengetahuannya, sepasang mata tersenyum ke arahnya. Melihatnya yang sedang bahagia. Sepasang mata itu ingin sekali memeluknya, karena ia sangat rindu dengan kakak satu-satunya.

“Via yakin, kakak bahagia bersama kak Ify. Disini, Via juga bahagia. Bersama Papa tentunya. Via udah maafin Papa kok..” Kata sepasang mata itu.

“Dan buat kalian, terimakasih atas cinta yang kalian beri. Aku sayang kalian!”

Tentu ‘kalian’ yang dimaksud adalah Gabriel dan Alvin. Karena cintanya pada Gabriel dan Alvin tak ada habisnya.

***

“Sivia..”

Betapa kagetnya Gabriel ketika mendengar suara seseorang yang dicarinya. Alvin! Ternyata cowok itu sudah kembali. Hahaha... Cowok itu tau kekasihnya sudah mati! Sekarang, apakah ia harus membunuh Alvin?

“Berhenti!” Kata Gabriel.

Alvin terheran dengan Gabriel. Tidak biasany Gabriel berkata kasar seperti itu. Terutama di saat suasana duka seperti ini!

“Yel, Sivia..”

“Kenapa? Hah? Lo senang kan Via mati? Lo senang kan?” Bentak Gabriel tanpa kendali.

“Senang? Maksud lo apa Yel?” Tanya Alvin tak mengerti.

Gabriel tersenyum sinis. “Lo jangan pura-pura! Apa lo nggak tau Vin, Sivia sekarat gara-gara elo! Lo tau nggak, Sivia nyebut-nyebut nama lo sampai dia menangis dan menjadi seperti ini! Kekasih macam apa lo! Tinggalin Sivia sekenanya. Lo nggak tau bagaimana rasanya hati Sivia ketika sadar kalo lo pergi meninggalkannya. Lo ha..”

“Stop Yel!”

Anehnya, Gabriel berubah menjadi diam. Ia melihat kedua mata Alvin yang berkaca-kaca. Dan entah mengapa, Gabriel merasa sedih melihat mata Alvin yang sepertinya ingin mengeluarkan air mata.

“Maafkan gue Maafkan gue. Gue tau gue salah. Meninggalkan Sivia tanpa memberitahunya. Sebenarnya, gue ingin sekali memberitahu Sivia. Tapi waktu itu, HP gue hancur saat gue mendengar berita bahwa... Bahwa..” Alvin memberhentikan perkataannya. Sementara Gabriel menunggu kelanjutannya dengan penuh tanda tanya. “Bahwa.. Mama gue.. Mama gue koma secara mendadak. Gue.. Gue..”

“Jangan dilanjutkan, jangan!” Kata Gabriel.

“Tak apa. Itu semua memang salah gue. Salah gue. Sekarang, gue udah kehilangan dua orang yang gue cintai. Gue pantas menerimanya.” Kata Alvin.

Cowok itu kini bersimpuh di samping batu nisan bertuliskan Sivia. Sebisa mungkin ia tahan agar air matanya tidak jatuh. Perlahan, Alvin mengusap lembut batu nisan itu, lalu ia cium dengan penuh rasa penyesalan.

“Maafkan aku Via, maafkan aku. Maafkan aku yang telah meninggalkanmu. Sekarang aku bisa merasakan sakit yang kamu rasakan. Maafkan aku.”

Sekali lagi, Alvin mencium batu nisan itu. Jika ada satu kesempatan lagi, ia berjanji akan menggunakan kesempatan itu sebaik-baiknya. Tapi sayang. Kesempatan itu nggak akan datang lagi. Tidak akan.

“Ja.. Jadi.. Nyokap lo..” Kata Gabriel hati-hati.

“Ya. Dia sudah meninggal. Sebelum dia meninggal, dia nyuruh gue menemuinya. Gue kira, dengan kehadiran gue disana bisa menyembuhkan penyakitnya. Tapi..”

“Sudah. Gue yang salah. Lo nggak salah Vin. Selama ini gue berprasangka buruk ke elo. Maafkan gue Vin.” Kata Gabriel.

Ya, Gabriel sadar bahwa Alvin tidak salah. Malah, ia sendiri yang mengaku kalo dirinya yang salah. Menuduh Alvin yang tidak-tidak, tanpa bukti yang nyata.

“Vin, siapa yang kasi tau lo kalo Via udah nggak ada?” Tanya Gabriel.

“Febby.” Jawab Alvin singkat.

Langit berubah menjadi gelap. Bukan karena pergantian waktu. Melainkan tertutupnya matahari oleh awan hitam yang gelap. Yang sebentar lagi akan menangis mengeluarkan air yang sangat dibutuhkan oleh manusia.

“I love you, Via. Maafkan atas segala yang pernah aku lakukan untukmu. Bahagia disana Via.” Kata Alvin.

Di sampingnya, Gabriel menambah ucapan Alvin. “Larat Vin. Bukan lo saja kali yang cinta sama Sivia. Gue juga. Artinya, kata ‘I’ tadi harus lo ganti dengan kata ‘we’. Paham nggak?”

Alvin tersenyum. “Masih bisa ya ternyata lo buat gue tertawa. Oke-oke. Via.. Bahagia disana ya. Jangan berbuat nakal di rumah Tuhan. And the last,  I want say four words to you. So please, listen my voice.”

Sebelum Alvin melanjutkan ucapannya, langit keburu menangis. Menjatuhkan air dingin yang kita ketahui bernama hujan.

“We love you, Sivia!” Sambungnya diikuti Gabriel.

Harapan mereka agar Sivia mendengar ucapan mereka. Walau mereka rasa itu mustahil. Tapi mereka yakin. Sivia pasti mendengar empat kata yang mereka ucapkan. Empat kata yang sangat berarti bagi mereka. Dan juga bagi Sivia tentunya.

***

END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar