Trying To Friendly
.
Pasca kejadian itu, Niall semakin
penasaran dengan pemuda itu. Siapakah pemuda itu? Suaranya begitu merdu walau
terdengar serak. Menurut Niall, pemuda itu-lah yang pantas menggantikan Austin.
Wajahnya pun tidak kalah keren dari Austin. Bahkan Niall menyimpulkan bahwa
pemuda itu sangatlah manis dan kalem.
Satu lagi. Sepertinya pemuda itu
suka menyendiri dan tidak suka bergaul dengan siapapun. Kalau memang benar,
Niall menjadi kasian. Bagaimanapun juga, ia harus bisa berekenalan dengan
pemuda itu. Tapi, kapan ia bisa bertemu dengan pemuda itu? Apa ia langsung
masuk saja di ruang musik? Kalau pemuda itu marah gimana?
“Kenapa tanganmu luka seperti itu?”
Tanya Zayn yang melihat luka di tangan Niall.
“Cuma kecelakaan kecil saja.” Jawab
Niall.
Tiba-tiba, Emma datang ke tempat
itu. “Bagaimana Yell? Sudah mencari tau siapa sang pemain gitar itu?” Tanyanya.
‘Sang pemain gitar?’ Batin Zayn
tidak paham.
Sebelum menjawab, Niall tersenyum
dulu sambil mem-flashback kejadian kemarin. “Dia adalah pengganti Austin yang
tepat.” Ucapnya setengah mengigau.
“Hah?” Ucap Emma, Zayn dan Liam
secara bersamaan.
Niall memandang mereka dengan
tatapan aneh. “Ada apa sih? Kenapa kalian kaget seperti itu?” Tanyanya.
“Siapa sang pemain gitar itu?” Tanya
Zayn.
“Aku tidak tau. Kemarin aku
melihatnya memainkan gitar sendirian di ruang musik. Kebetulan dia juga
menyanyikan lagu yang begitu indah dan suaranya sangat bagus.” Jawab Niall.
“Mengapa kau bisa menyimpulan kalau
orang itu bisa menggantikan Austin? Namanya saja kau belum tau.” Kata Liam.
“Ya itu-kan hatiku yang berbicara.
Aku yakin sekali dia adalah mahasiswa di kampus kita.” Kata Niall.
Diantara keempatnya, Emma-lah yang
sejak tadi memikirkan sesuatu. Sepertinya ia tau siapa sosok yang diceritakan
Niall. “Bagaimana cirri-cirinya?” Tanyanya.
Niall beralih menatap Emma. “Anaknya
manis, kalem, mungkin pendiam dan tidak suka bergaul, rambutnya sedikit panjang
dan sedikit bergelombang serta penampilannya yang begitu sederhana, tapi sangat
membuatku kagum.” Jawabnya.
Tiba-tiba kedua mata Emma melebar.
Jangan-jangan dia! Satu-satunya mahasiswa yang setiap harinya menghabiskan
waktu di dalam perpustakaan. Setiap Emma masuk ke perpustakaan, ia selalu
melihat pemuda itu dan ciri-cirinya sama persis yang dikatakan Niall. Tapi Emma
tidak tau siapa nama pemuda itu.
“Kalau kau ingin tau, datang aja ke
perpustakaan. Tapi ya, menurutku dia susah sekali diajak ngobrol. Tapi kau coba
saja deh.” Ucap Emma.
***
Sesuai petunjuk Emma, pagi itu Niall
berjalan masuk ke dalam perpustakaan. Sebelumnya, ia pergi ke ruang musik dan
mendapati ruang musik itu kosong. Kemungkinan besar pemuda yang dicarinya itu
berada di perpustakaan.
Selama ia berada di kampus-nya ini,
baru kali ini Niall masuk ke dalam perpustakaan. Tapi ia tidak bisa membohongi
dirinya sendiri bahwa perpustakaan ini sangatlah bersih dan nyaman. Niall
melihat beberapa mahasiswa membaca buku disini. Beberapa dari mereka tidak
sengaja menatapnya dan Niall membalas tatapan mereka dengan senyuman.
Niall mencari dan mencari dan….
Tepat di bagian pojok perpustakaan, Niall menemukan orang yang dicarinya. Jadi
benar apa kata Emma. Niall senang bukan main sekaligus ragu. Ragu apakah ia
bisa berkenalan dengan pemuda yang terlihat kalem itu. Saat ini pemuda itu
sedang membaca sebuah buku tebal yang dapat membuat perutnya mual.
Tiba-tiba, ide terlintas di
pikirannya. Mengapa tidak? Dengan langkah yang pelan, Niall berjalan mendekati
pemuda itu.
“Hai! Bisa bantu tidak?” Sapa Niall
dengan ramah.
Mendengar suara Niall, pemuda itu
menoleh ke samping kiri seraya tersenyum ramah. Niall begitu terpesona dengan
senyuman yang begitu manis itu, ditambah lagi dengan satu lesung pipit pemuda
itu di bagian pipi kiri. Jika Emma ada disini, pasti gadis itu akan
tergila-gila.
“Boleh. Bantuan apa?” Jawab+Tanya
pemuda itu.
“Ng… Aku sedang ada tugas dari
dosenku. Aku disuruh membuat ringkasan mengenai Ekonomi Pada Masa Ini.
Masalahnya aku anti sekali yang namanya baca buku tapi ya mau bagaimana lagi.
Aku kesini bingung dimana mencari bukunya yang berhubungan dengan masalah
ekonomi. Jadi, apa kau bisa membantuku untuk mencari buku itu? Penulisnya bebas
deh.” Jawab Niall dengan suara yang gugup.
Entah bagaimana ekspresi pemuda itu
saat selesai mendengar jawabannya. Dan Niall berharap pemuda itu tidak curiga
padanya. Buku Ekonomi Pada Masa Ini? Memangnya ia anak ekonomi apa? Ia kan
mengambil jurusan seni. Bodoh! Batin Niall.
“Oh, tunggu sebentar ya.” Kata
pemuda itu kemudian bangkit dan mencari buku yang dimaksud Niall. Niall
menunggui pemuda itu dengan sabar.
Beberapa menit kemudian, pemuda itu
datang bersama dengan satu buah buku tebal yang baginya sangat mengerikan.
“Kalau tidak suka baca buku yang tebal-tebal, cari saja diinternet. Kan lebih
mudah.” Ucap pemuda itu lalu kembali duduk ditempatnya.
Entah itu sindiran atau bukan. Niall
melirik ke arah buku tebal yang judulnya saja sudah membuatnya ingin muntah.
Rencana selanjutnya apa lagi? Bagaimana kalau ia mewawancarai pemuda itu
tentang masalah ekonomi pada saat ini? Tapi kalau pemuda itu bukan anak ekonomi
gimana? Lagipula, ngapain ia menanyakan ekonomi? Mengapa tidak seni saja?
“Ng.. Kau di fakultas mana?” Tanya
Niall takut-takut.
Pemuda itu langsung menghentikan
bacaannya. Mungkin dia tau apa tujuan Niall datang kemari. “Fakultas hukum.”
Jawabnya singkat. Namun terdengar seperti tidak ramah. Benar kata Emma. Anak
itu susah sekali diajak bicara.
“Kau suka menghabiskan waktu di
perpustakaan ya?” Tanya Niall lagi. Ia lawan semua rasa takutnya itu.
“Ya, kenapa?”
Niall begitu senang karena pemuda
itu balik bertanya. Mungkin selanjutnya adalah obrolan yang mengasyikkan.
“Tidak ada. Aku kagum denganmu. Jarang ada anak yang mau menghabiskan waktunya
di perpustakaan.” Jawabnya.
“Itu karena mereka tidak membutuhkan
ilmu.” Ucap pemuda itu.
“Ohya? Bukan hanya di perpustakaan
saja kita mendapatkan ilmu. Dimanapun, kita bisa mendapatkan ilmu. Namaku Niall
Horan. Kau bisa memanggilku Niall. Aku personil dari mantan boyband The
Potatoes.” Ucap Niall sambil memperkenalkan diri.
“Aku Harry Styles. Katanya kau mau
mengerjakan tugasmu? Mau aku bantu?” Jawab+Tanya pemuda itu yang ternyata
bernama Harry.
Niall begitu bodoh mendapat tawaran
bantuan dari pemuda yang bernama Harry itu. Nama yang bagus. Tidak jauh beda
dengan nama Gary, salah satu personil The Invisible.
“Oh tidak-tidak. Tadi aku hanya
bercanda saja, hehe.. Maaf ya. Aku hanya ingin berkenalan denganmu. Karena aku
perhatikan kau sangat misterius.” Ucap Niall dan berharap agar Harry tidak akan
marah.
“Oh.” Ucap Harry singkat lalu
melanjutkan bacaan bukunya.
“Kau tidak marah kan?” Tanya Niall
memastikan.
“Pertama-tama, perpustakaan adalah
tempat dimana orang-orang membaca buku. Bukan untuk berbicara yang tidak
jelas.” Ucap Harry.
Harry memang cepat berubah. Tadi
saat pertama kali melihat Harry, disana hanya ada keramahan yang terpancar. Dan
sekarang yang ada hanyalah kekesalan dan tidak kesukaan. Tapi bukan namanya
Niall kalau langsung putus asa. Sebisa mungkin Niall ramah pada Harry agar
Harry bisa meresponnya dengan baik.
“Oke. Kalau begitu, aku ingin kita
ngobrol di lain tempat saja. Bagaimana?” Usul Niall.
Yang ditanya tidak menjawab. Harry
sibuk dengan bacaan bukunya dan merasa tuli dengan apa yang diucapkan Niall
barusan. Niall menyimpulkan bahwa Harry tidak mau diajak bicara olehnya.
“Oh ayolah! Aku sedang membutuhkan
seorang teman sementara Liam, Louis dan Zayn tidak mau kuajak bicara. Mereka
sibuk dengan urusan mereka.” Kata Niall memohon dengan sangat. Tampang innocent-nya
mulai ia keluarkan.
Entah sejak kapan Harry menatap
wajah polos Niall dan ia tersenyum di balik bibirnya. “Baiklah. Besok saja ya.
Kita ngorbol di kantin.” Kata Harry.
“Oke! Thank banget ya!” Kata Niall
senang.
Melihat wajah senang Niall, Harry
tersadar. Ia tersadar bahwa yang dilakukannya adalah salah. Tapi, bukankah
setiap orang memiliki hak dan kehidupan masing-masing yang tidak bisa di atur
oleh orang lain?
***
“Sampai
kapan kau begini terus?” Tanya pemuda itu dengan kesal.
“Maaf.
Aku tidak bisa. Aku terlalu mencintainya.” Jawab pemuda kedua yang tidak lain
adalah sahabatnya.
Pemuda
pertama itu berusaha menarik nafas sedalam-dalamnya. Padahal ia sudah berjanji
untuk merubah kebiasaan buruk, bahkan sangat buruk dari sahabatnya itu. Itu
semua karena seseorang yang sangat ia bencikan. Sangat ia bencikan. Orang
itu-lah yang membuat sahabatnya menjadi seperti ini.
“Dengar
ya, aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk mengubahmu. Cobalah
melupakannya dan mencari cinta yang lain, cinta yang nyata, dan cinta yang
sebenarnya.”
Sahabat
dari pemuda itu mengangguk pelan. Mau tidak mau, ia harus melupakan orang itu
dan mencari cinta yang lain. Tapi bagaimana cara mencarinya?
“Emma.
Emma Lilian.” Ucap pemuda itu singkat.
***
“Apa kau yakin dia adalah pengganti
Austin yang tepat? Aku tau dia. Namanya Harry. Dia adalah mahasiswa teraneh
disini. Langkahnya selalu nampak misterius.” Kata Zayn.
“I know Zayn.. I know.. Tapi jika
kau mendengar suara merdunya, kau akan terbang menembus langit ke-tujuh.
Percayalah! Aku akan mencoba bersikap ramah padanya.” Kata Niall dengan
hiperbola-nya.
Zayn tidak bisa berkata apa-apa
lagi. Jika itu yang terbaik ya mau bagaimana lagi? Asalkan ia bisa kembali
seperti dulu lagi, saat Austin masih ada, dan saat The Potatoes masih ada.
“Aku akan menemuinya sekarang ini!
Kau mau ikut?” Tanya Niall dan dibalas gelengan oleh Zayn.
Niall menjadi kecewa. “Kenapa?”
Tanyanya.
“Sebentar lagi aku ada jam kuliah.
Ya sudah, semoga kau sukses mendapatkan hati Harry..” Goda Zayn lalu pergi
meninggalkan Niall.
Tidak lama Niall sampai di kantin
dan ia tersenyum melihat Harry disana yang duduk di meja paling ujung. Apa
Harry memang menyukai tempat yang ujung-ujung? Penampilan Harry sama seperti
kemarin. Cukup sederhana namun dapat memikat gadis manapun.
“Hai Harry!” Sapa Niall ceria. Ia
pun duduk di samping kursi Harry.
“Hai juga.” Jawab Harry datar.
“Kau tidak membawa bukumu?” Tanya
Niall.
“Tidak. Aku sedang malas baca buku.”
Jawab Harry.
Sikap Harry berubah lagi! Kemarin
dia sangat bersemangat membaca buku. Tapi sekarang? Harry benar-benar misterius
dan Niall sangat suka dengan orang yang misterius seperti Harry.
“Mengapa? Membaca kan sangat
bermanfaat.” Tanya Niall.
Sebelum menjawab, Harry sengaja
melirik di sekeliling kantin yang mulai ramai. Disana ada beberapa gadis yang
berbisik-bisik satu sama lain. Harry sadar bahwa Niall adalah seorang penyanyi
terkenal yang tergabung dalam boyband yang dikenal dengan nama The Potatoes.
“Hidup ini tidak hanya diisi oleh
baca, baca dan baca. Kau mengerti kan maksudku?” Ucap Harry.
“Ya.. Ya.. Aku mengerti. Selain
membaca, hal apa yang kau sukai?”
Niall sengaja menanyakan hal itu
karena pertanyaan itu adalah sebuah pancingan. Siapa tau kan Harry menjawab bahwa
hobinya adalah menyanyi dan keputusan Niall untuk mengajak Harry bergabung di
grup-nya adalah keputusan yang tepat.
“Belajar.” Jawab Harry singkat. Tipe
orang yang suka menghemat bicara dan sangat tidak humoris dan tidak ceria.
Sangat beda sekali dengan Niall.
“Selain belajar apa lagi?” Tanya
Niall.
Harry menatap Niall dengan tatapan
aneh. “Mengapa kau menanyakan hobiku terus? Apa pentingnya hobiku bagimu?”
Tanyanya.
Sesaat, Niall tertawa. “Tidak,
tidak. Kan aku cuma nanya aja. Jadi, kita berdua sudah menjadi teman?” Kata
Niall sambil mengulurkan tangan kanannya ke Harry.
Harry menatap tangan Niall dengan
bimbang, dan entah darimana ia menyambut tangan Niall dan mulai detik ini ia
adalah teman Niall. Teman Niall.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar