expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Sabtu, 07 Maret 2015

The Missing Star ( Part 8 )



Trying To Friendly
.

            Pasca kejadian itu, Niall semakin penasaran dengan pemuda itu. Siapakah pemuda itu? Suaranya begitu merdu walau terdengar serak. Menurut Niall, pemuda itu-lah yang pantas menggantikan Austin. Wajahnya pun tidak kalah keren dari Austin. Bahkan Niall menyimpulkan bahwa pemuda itu sangatlah manis dan kalem.

            Satu lagi. Sepertinya pemuda itu suka menyendiri dan tidak suka bergaul dengan siapapun. Kalau memang benar, Niall menjadi kasian. Bagaimanapun juga, ia harus bisa berekenalan dengan pemuda itu. Tapi, kapan ia bisa bertemu dengan pemuda itu? Apa ia langsung masuk saja di ruang musik? Kalau pemuda itu marah gimana?

            “Kenapa tanganmu luka seperti itu?” Tanya Zayn yang melihat luka di tangan Niall.

            “Cuma kecelakaan kecil saja.” Jawab Niall.

            Tiba-tiba, Emma datang ke tempat itu. “Bagaimana Yell? Sudah mencari tau siapa sang pemain gitar itu?” Tanyanya.

            ‘Sang pemain gitar?’ Batin Zayn tidak paham.

            Sebelum menjawab, Niall tersenyum dulu sambil mem-flashback kejadian kemarin. “Dia adalah pengganti Austin yang tepat.” Ucapnya setengah mengigau.

            “Hah?” Ucap Emma, Zayn dan Liam secara bersamaan.

            Niall memandang mereka dengan tatapan aneh. “Ada apa sih? Kenapa kalian kaget seperti itu?” Tanyanya.

            “Siapa sang pemain gitar itu?” Tanya Zayn.

            “Aku tidak tau. Kemarin aku melihatnya memainkan gitar sendirian di ruang musik. Kebetulan dia juga menyanyikan lagu yang begitu indah dan suaranya sangat bagus.” Jawab Niall.

            “Mengapa kau bisa menyimpulan kalau orang itu bisa menggantikan Austin? Namanya saja kau belum tau.” Kata Liam.

            “Ya itu-kan hatiku yang berbicara. Aku yakin sekali dia adalah mahasiswa di kampus kita.” Kata Niall.

            Diantara keempatnya, Emma-lah yang sejak tadi memikirkan sesuatu. Sepertinya ia tau siapa sosok yang diceritakan Niall. “Bagaimana cirri-cirinya?” Tanyanya.

            Niall beralih menatap Emma. “Anaknya manis, kalem, mungkin pendiam dan tidak suka bergaul, rambutnya sedikit panjang dan sedikit bergelombang serta penampilannya yang begitu sederhana, tapi sangat membuatku kagum.” Jawabnya.

            Tiba-tiba kedua mata Emma melebar. Jangan-jangan dia! Satu-satunya mahasiswa yang setiap harinya menghabiskan waktu di dalam perpustakaan. Setiap Emma masuk ke perpustakaan, ia selalu melihat pemuda itu dan ciri-cirinya sama persis yang dikatakan Niall. Tapi Emma tidak tau siapa nama pemuda itu.

            “Kalau kau ingin tau, datang aja ke perpustakaan. Tapi ya, menurutku dia susah sekali diajak ngobrol. Tapi kau coba saja deh.” Ucap Emma.

***

            Sesuai petunjuk Emma, pagi itu Niall berjalan masuk ke dalam perpustakaan. Sebelumnya, ia pergi ke ruang musik dan mendapati ruang musik itu kosong. Kemungkinan besar pemuda yang dicarinya itu berada di perpustakaan.

            Selama ia berada di kampus-nya ini, baru kali ini Niall masuk ke dalam perpustakaan. Tapi ia tidak bisa membohongi dirinya sendiri bahwa perpustakaan ini sangatlah bersih dan nyaman. Niall melihat beberapa mahasiswa membaca buku disini. Beberapa dari mereka tidak sengaja menatapnya dan Niall membalas tatapan mereka dengan senyuman.

            Niall mencari dan mencari dan…. Tepat di bagian pojok perpustakaan, Niall menemukan orang yang dicarinya. Jadi benar apa kata Emma. Niall senang bukan main sekaligus ragu. Ragu apakah ia bisa berkenalan dengan pemuda yang terlihat kalem itu. Saat ini pemuda itu sedang membaca sebuah buku tebal yang dapat membuat perutnya mual.

            Tiba-tiba, ide terlintas di pikirannya. Mengapa tidak? Dengan langkah yang pelan, Niall berjalan mendekati pemuda itu.

            “Hai! Bisa bantu tidak?” Sapa Niall dengan ramah.

            Mendengar suara Niall, pemuda itu menoleh ke samping kiri seraya tersenyum ramah. Niall begitu terpesona dengan senyuman yang begitu manis itu, ditambah lagi dengan satu lesung pipit pemuda itu di bagian pipi kiri. Jika Emma ada disini, pasti gadis itu akan tergila-gila.

            “Boleh. Bantuan apa?” Jawab+Tanya pemuda itu.

            “Ng… Aku sedang ada tugas dari dosenku. Aku disuruh membuat ringkasan mengenai Ekonomi Pada Masa Ini. Masalahnya aku anti sekali yang namanya baca buku tapi ya mau bagaimana lagi. Aku kesini bingung dimana mencari bukunya yang berhubungan dengan masalah ekonomi. Jadi, apa kau bisa membantuku untuk mencari buku itu? Penulisnya bebas deh.” Jawab Niall dengan suara yang gugup.

            Entah bagaimana ekspresi pemuda itu saat selesai mendengar jawabannya. Dan Niall berharap pemuda itu tidak curiga padanya. Buku Ekonomi Pada Masa Ini? Memangnya ia anak ekonomi apa? Ia kan mengambil jurusan seni. Bodoh! Batin Niall.

            “Oh, tunggu sebentar ya.” Kata pemuda itu kemudian bangkit dan mencari buku yang dimaksud Niall. Niall menunggui pemuda itu dengan sabar.

            Beberapa menit kemudian, pemuda itu datang bersama dengan satu buah buku tebal yang baginya sangat mengerikan. “Kalau tidak suka baca buku yang tebal-tebal, cari saja diinternet. Kan lebih mudah.” Ucap pemuda itu lalu kembali duduk ditempatnya.

            Entah itu sindiran atau bukan. Niall melirik ke arah buku tebal yang judulnya saja sudah membuatnya ingin muntah. Rencana selanjutnya apa lagi? Bagaimana kalau ia mewawancarai pemuda itu tentang masalah ekonomi pada saat ini? Tapi kalau pemuda itu bukan anak ekonomi gimana? Lagipula, ngapain ia menanyakan ekonomi? Mengapa tidak seni saja?

            “Ng.. Kau di fakultas mana?” Tanya Niall takut-takut.

            Pemuda itu langsung menghentikan bacaannya. Mungkin dia tau apa tujuan Niall datang kemari. “Fakultas hukum.” Jawabnya singkat. Namun terdengar seperti tidak ramah. Benar kata Emma. Anak itu susah sekali diajak bicara.

            “Kau suka menghabiskan waktu di perpustakaan ya?” Tanya Niall lagi. Ia lawan semua rasa takutnya itu.

            “Ya, kenapa?”

            Niall begitu senang karena pemuda itu balik bertanya. Mungkin selanjutnya adalah obrolan yang mengasyikkan. “Tidak ada. Aku kagum denganmu. Jarang ada anak yang mau menghabiskan waktunya di perpustakaan.” Jawabnya.

            “Itu karena mereka tidak membutuhkan ilmu.” Ucap pemuda itu.

            “Ohya? Bukan hanya di perpustakaan saja kita mendapatkan ilmu. Dimanapun, kita bisa mendapatkan ilmu. Namaku Niall Horan. Kau bisa memanggilku Niall. Aku personil dari mantan boyband The Potatoes.” Ucap Niall sambil memperkenalkan diri.

            “Aku Harry Styles. Katanya kau mau mengerjakan tugasmu? Mau aku bantu?” Jawab+Tanya pemuda itu yang ternyata bernama Harry.

            Niall begitu bodoh mendapat tawaran bantuan dari pemuda yang bernama Harry itu. Nama yang bagus. Tidak jauh beda dengan nama Gary, salah satu personil The Invisible.

            “Oh tidak-tidak. Tadi aku hanya bercanda saja, hehe.. Maaf ya. Aku hanya ingin berkenalan denganmu. Karena aku perhatikan kau sangat misterius.” Ucap Niall dan berharap agar Harry tidak akan marah.

            “Oh.” Ucap Harry singkat lalu melanjutkan bacaan bukunya.

            “Kau tidak marah kan?” Tanya Niall memastikan.

            “Pertama-tama, perpustakaan adalah tempat dimana orang-orang membaca buku. Bukan untuk berbicara yang tidak jelas.” Ucap Harry.

            Harry memang cepat berubah. Tadi saat pertama kali melihat Harry, disana hanya ada keramahan yang terpancar. Dan sekarang yang ada hanyalah kekesalan dan tidak kesukaan. Tapi bukan namanya Niall kalau langsung putus asa. Sebisa mungkin Niall ramah pada Harry agar Harry bisa meresponnya dengan baik.

            “Oke. Kalau begitu, aku ingin kita ngobrol di lain tempat saja. Bagaimana?” Usul Niall.

            Yang ditanya tidak menjawab. Harry sibuk dengan bacaan bukunya dan merasa tuli dengan apa yang diucapkan Niall barusan. Niall menyimpulkan bahwa Harry tidak mau diajak bicara olehnya.

            “Oh ayolah! Aku sedang membutuhkan seorang teman sementara Liam, Louis dan Zayn tidak mau kuajak bicara. Mereka sibuk dengan urusan mereka.” Kata Niall memohon dengan sangat. Tampang innocent-nya mulai ia keluarkan.

            Entah sejak kapan Harry menatap wajah polos Niall dan ia tersenyum di balik bibirnya. “Baiklah. Besok saja ya. Kita ngorbol di kantin.” Kata Harry.

            “Oke! Thank banget ya!” Kata Niall senang.

            Melihat wajah senang Niall, Harry tersadar. Ia tersadar bahwa yang dilakukannya adalah salah. Tapi, bukankah setiap orang memiliki hak dan kehidupan masing-masing yang tidak bisa di atur oleh orang lain?

***

            “Sampai kapan kau begini terus?” Tanya pemuda itu dengan kesal.

            “Maaf. Aku tidak bisa. Aku terlalu mencintainya.” Jawab pemuda kedua yang tidak lain adalah sahabatnya.

            Pemuda pertama itu berusaha menarik nafas sedalam-dalamnya. Padahal ia sudah berjanji untuk merubah kebiasaan buruk, bahkan sangat buruk dari sahabatnya itu. Itu semua karena seseorang yang sangat ia bencikan. Sangat ia bencikan. Orang itu-lah yang membuat sahabatnya menjadi seperti ini.

            “Dengar ya, aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk mengubahmu. Cobalah melupakannya dan mencari cinta yang lain, cinta yang nyata, dan cinta yang sebenarnya.”

            Sahabat dari pemuda itu mengangguk pelan. Mau tidak mau, ia harus melupakan orang itu dan mencari cinta yang lain. Tapi bagaimana cara mencarinya?

            “Emma. Emma Lilian.” Ucap pemuda itu singkat.

***

            “Apa kau yakin dia adalah pengganti Austin yang tepat? Aku tau dia. Namanya Harry. Dia adalah mahasiswa teraneh disini. Langkahnya selalu nampak misterius.” Kata Zayn.

            “I know Zayn.. I know.. Tapi jika kau mendengar suara merdunya, kau akan terbang menembus langit ke-tujuh. Percayalah! Aku akan mencoba bersikap ramah padanya.” Kata Niall dengan hiperbola-nya.

            Zayn tidak bisa berkata apa-apa lagi. Jika itu yang terbaik ya mau bagaimana lagi? Asalkan ia bisa kembali seperti dulu lagi, saat Austin masih ada, dan saat The Potatoes masih ada.

            “Aku akan menemuinya sekarang ini! Kau mau ikut?” Tanya Niall dan dibalas gelengan oleh Zayn.

            Niall menjadi kecewa. “Kenapa?” Tanyanya.

            “Sebentar lagi aku ada jam kuliah. Ya sudah, semoga kau sukses mendapatkan hati Harry..” Goda Zayn lalu pergi meninggalkan Niall.

            Tidak lama Niall sampai di kantin dan ia tersenyum melihat Harry disana yang duduk di meja paling ujung. Apa Harry memang menyukai tempat yang ujung-ujung? Penampilan Harry sama seperti kemarin. Cukup sederhana namun dapat memikat gadis manapun.

            “Hai Harry!” Sapa Niall ceria. Ia pun duduk di samping kursi Harry.

            “Hai juga.” Jawab Harry datar.

            “Kau tidak membawa bukumu?” Tanya Niall.

            “Tidak. Aku sedang malas baca buku.” Jawab Harry.

            Sikap Harry berubah lagi! Kemarin dia sangat bersemangat membaca buku. Tapi sekarang? Harry benar-benar misterius dan Niall sangat suka dengan orang yang misterius seperti Harry.

            “Mengapa? Membaca kan sangat bermanfaat.” Tanya Niall.

            Sebelum menjawab, Harry sengaja melirik di sekeliling kantin yang mulai ramai. Disana ada beberapa gadis yang berbisik-bisik satu sama lain. Harry sadar bahwa Niall adalah seorang penyanyi terkenal yang tergabung dalam boyband yang dikenal dengan nama The Potatoes.

            “Hidup ini tidak hanya diisi oleh baca, baca dan baca. Kau mengerti kan maksudku?” Ucap Harry.

            “Ya.. Ya.. Aku mengerti. Selain membaca, hal apa yang kau sukai?”

            Niall sengaja menanyakan hal itu karena pertanyaan itu adalah sebuah pancingan. Siapa tau kan Harry menjawab bahwa hobinya adalah menyanyi dan keputusan Niall untuk mengajak Harry bergabung di grup-nya adalah keputusan yang tepat.

            “Belajar.” Jawab Harry singkat. Tipe orang yang suka menghemat bicara dan sangat tidak humoris dan tidak ceria. Sangat beda sekali dengan Niall.

            “Selain belajar apa lagi?” Tanya Niall.

            Harry menatap Niall dengan tatapan aneh. “Mengapa kau menanyakan hobiku terus? Apa pentingnya hobiku bagimu?” Tanyanya.

            Sesaat, Niall tertawa. “Tidak, tidak. Kan aku cuma nanya aja. Jadi, kita berdua sudah menjadi teman?” Kata Niall sambil mengulurkan tangan kanannya ke Harry.

            Harry menatap tangan Niall dengan bimbang, dan entah darimana ia menyambut tangan Niall dan mulai detik ini ia adalah teman Niall. Teman Niall.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar