expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Jumat, 10 Juni 2016

Can't Have You ( Epilog )



Usiaku sudah dua puluh delapan tahun dan aku belum juga menikah. Mom mendesakku supaya aku menikah. Tapi entahlah. Aku belum siap menikah meski usiaku hampir mencapai tiga puluh tahun. Dua kakak perempuanku tentu saja sudah menikah. Aku belum menceritakan pada kalian kalau aku bahagia dengan keluarga baruku. Mom tiriku sangat menyayangiku, juga dua kakak perempuanku. Sekarang aku bekerja sebagai teknisi komputer di salah satu perusahaan ternama di Perth.

            Sebenarnya banyak pria yang melamarku, bahkan rekan kerjaku sendiri, tapi aku tolak. Aku tidak bisa mencintai pria manapun hanya karena masa lalu itu. Ah kenapa jadi membicarakan masa lalu itu? Sampai sekarang aku masih belum melupakannya. Luke, aku masih belum bisa melupakannya walau aku merasa baik-baik saja. Bagaimana kabar Luke? Sudahkah dia menikah? Memang sih aku ditakdirkan untuk tak akan bisa memilikinya dan aku harus menerimanya.

            Sore ini, aku melepas kepenatanku akibat setumpuk kerjaan yang membuatku lelah tepatnya di cafee yang letaknya tidak jauh dari perusahaan tempatku kerja. Tapi kata orang aku termasuk pekerja keras. Aku menyeruput kopi yang merupakan andalanku pada saat aku merasa lelah atau stress akibat pekerjaanku. Anehnya cafee yang selalu ramai ini kelihatan sepi. Hanya ada lima orang termasuk aku yang ada di cafee ini.

            “Maaf, apakah Anda Aleisha?” Tanya seseorang.

            Aku mengangkat wajahku. Alangkah kagetnya aku saat menatap siapa sosok yang berbicara tadi. Jantungku berdebar-debar. Aku tidak tau harus bagaimana. Kenapa? Kenapa aku dipertemukan lagi dengannya?

            “Kau Aleisha kan? Kau masih ingat tidak siapa aku? Aku Luke! Aku Luke Hemmings!” Ucap lelaki itu.

            Ya. Lelaki itu adalah Luke Hemmings dan aku sudah tanda dengannya. Luke benar-benar berubah tetapi dia tetap tampan. Aku jadi ingat masa-masa dimana saat aku masih bersahabat dengan Luke. Masa-masa yang sangat indah. Luke memutuskan untuk duduk di depanku. Mendadak aku malu. Tuhan.. Jika saja.. Jika saja aku berjodoh dengannya…

            “Luk, I can’t belive that we can meet again! I miss you so bad!” Ucapku.

            Luke tersenyum dan lesung pipitnya itu tidak berubah. “Tidak mungkin kau merindukanku padahal saat itu kau tega meninggalkanku.” Ucap Luke.

            Aku tersenyum malu sekaligus menimbulkan rasa sesak di dadaku. “Maafkan aku. Sebenarnya waktu itu aku tidak ingin meninggalkan Sydney. Aku.. Aku sudah lama menunggumu.. Aku..” Ucapku ragu.


            Baru saja aku mengatakan kalau ‘aku masih mencintaimu dan mengharapkanmu’ seorang bocah kecil datang ke arah Luke lalu Luke langsung memangku bocah itu. Demi Tuhan! Bocah itu sangat menggemaskan dan wajahnya mirip dengan….

            “ALEISHA!”

            Jantungku berdetak tak karuan saat mendengar suara itu. Seorang wanita yang wajahnya sudah tidak asing lagi. Astaga! Bukankah dia…

            “Aku Cassa! Kau Leish kan? Ya Tuhan aku tak menyangka bisa bertemu denganmu disini.” Ucap Cassa.

            Cassa memelukku. Sepertinya dia sangat bahagia bertemu denganku. Aku pun bahagia bertemu dengannya. Setelah itu Cassa melirik ke Luke, juga bocah tadi. Perasaanku menjadi tidak enak.

            “Ini Jimmy. Dia adalah putra pertamaku.” Ucap Cassa.

            Aku menatap Jimmy yang tampak malu melihatku. Tapi kenapa Jimmy berada di pangkuan Luke sambil bergulat manja di lengan Luke? Jangan-jangan….

            “Kami memutuskan untuk menikah lima tahun yang lalu. Aku juga tidak tau kenapa aku bisa jatuh cinta dengan Cassa. Tapi Cassa adalah Ibu yang hebat bagi Jimmy. Sekarang Cassa sedang hamil tiga bulan. Doakan supaya anak kami perempuan.” Jelas Luke dengan santai.

            Tidak tau apa yang aku rasakan. J.. Jadi Luke sudah menikah? Dengan Cassa? Sebisa mungkin aku tersenyum. Mereka adalah keluarga yang bahagia. Sedangkan aku… Jadi selama ini… Bukankah tadi aku hendak mengatakan kalau aku masih mencintai Luke dan mengharapkannya? Dan Luke sudah menikah dengan Cassa bahkan sudah punya anak? Aku berusaha menyembunyikan wajah sedihku serta menahan sesak di dadaku.

            “Bagaimana dengan dirimu? Kau pasti sudah punya anak kan?” Tanya Cassa.

            Aku memaksakan diri untuk tersenyum. “Tidak. Tapi sebentar lagi aku akan menikah.” Bohongku.

            Menikah? Aku menertawai diriku sendiri. Hahahaha.. Untuk apa kau mempertahankan perasaan itu? Untuk apa? Bukankah kau sudah tau kalau kau tak akan bisa memiliki Luke? Aku ingin menangis. Tapi alangkah jahatnya aku jika menangis dihadapan mereka.

            “Kami pergi dulu ya. Aku dan Cassa tinggal di Sydney. Ini kartu namaku jadi kau bisa menghubungiku kapanpun kau mau.” Ucap Luke.

            Aku menerima kartu nama itu dengan tangan yang bergemetar.

            “Ingat ya Leish kalau kau menikah jangan lupa undang kami.” Ucap Cassa.

            Mereka pergi dan kini aku sendirian. Perasaan yang nyaris aku lupakan itu kembali hadir saat aku bertemu dengan Luke. Tapi kenapa? Kenapa aku harus bertemu lagi dengan Luke jika itu hanya bisa membuatku sakit?

            KENAPA AKU HARUS BERTEMU LUKE JIKA ITU HANYA BISA MEMBUATKU SAKIT?

***
THE END!

Can't Have You ( Part 33 )



Ini keputusan finalku. Ya. Aku sudah membicarakan ke Dad kalau aku mau tinggal bersamanya di Perth. Sebentar lagi aku akan meninggalkan Sydney dan melupakan semua kenangan yang ada di Kota ini. Kemarin malam Dad kembali ke Perth karena dia banyak memiliki urusan disana. Jadi aku akan kembali ke Perth seorang diri. Aku berjanji untuk tidak menyesali keputusanku.

            Well, itu keputusan terbaikmu. Aku mendukungmu. Tapi jangan lupakan aku ya.” Ucap Ronnie.

            Saat ini kami berdua makan di kantin. Sedih memang meninggalkan Sydney. Tapi Perth adalah kota kelahiranku dan aku harus kembali kesana. Mengenai Luke, aku mencoba untuk tidak peduli dengannya walau rasanya sakit. Luke hanya menganggap aku sebagai temannya. Oke. Aku terima. Tadi aku melihat Luke yang memasuki kelas dan dia terlihat cuek. Baguslah. Artinya Luke tidak kepikiran dengan surat ataupun perasaanku padanya.

            “Kau sudah siap melupakan Luke?” Tanya Ronnie.

            Aku tersenyum samar. “Aku tidak akan melupakannya. Melainkan aku akan melupakan perasaanku padanya.” Jawabku.

            “Tapi Leish, kalau kau tidak ikhlas, lebih baik kau tetap tinggal di Sydney. Aku takut jika kau tidak bisa melupakan Luke, maksudku melupakan perasaanmu padanya kau akan menjadi gila di Perth nanti.” Ucap Ronnie.

            “Aku berjanji untuk tidak akan menjadi gila.” Ucapku.

            Aku baru sadar di kantin ini ada Luke yang posisinya tidak jauh dariku. Tentu saja dia bersama Lea. Tapi disana ada Calum dan Ashton. Tiba-tiba mata kami bertatapan. Aku harap itu tatapan kami yang terakhir. Aku dan Luke memang serin bertatapan seperti itu lalu aku memalingkan pandang ke arah lain. Membuang perasaanku pada Luke?

***

            Luke’s POV

            “Kau tidak apa-apa?” Tanya Calum.

            Karena kejadian kemarin, hari ini aku tidak enak badan. Suhu tubuhku cukup tinggi tapi aku memaksakan diri untuk sekolah. Tadi saat di kantin aku tidak sengaja bertatapan dengan Aleisha. Aleisha, kasihan dia. Andai saja aku tidak mengenal Lea, pastinya aku akan membuatnya bahagia. Aku akan menjadikan Aleisha sebagai satu-satunya gadis yang ada di hatiku. Pasti dia sangat senang.

            “Kurasa aku terkena demam.” Jawabku.

            “Benar. Kau sedang tidak baik.” Ucap Michael.

            Aku dan tiga sahabatku sedang duduk di dalam kamarku. Tapi Michael lebih memilih bermain game. Aku memang punya banyak game di komputerku sehingga Michael sering masuk ke kamarku tanpa seizinku lalu bermain game sepuasnya. Kembali aku kepikiran dengan Aleisha. Ingin sekali aku menemuinya. Tapi aku tidak berani. Aku sudah sangat berdosa padanya.

            “Kau sedang memikirkan apa? Kenapa kau tidak cerita saja ke kami?” Tanya Ashton.

            Aku menghela nafas panjang. Haruskah aku menceritakan kebimbangan yang aku rasakan? Sejak kemarin aku tidak bisa berhenti memikirkan Aleisha, bahkan Lea aku abaikan. Jadi apa yang harus aku lakukan? Haruskan aku meninggalkan Lea demi Aleisha?

            “Kau ingat surat yang Aleisha kasih padamu?” Tanyaku pada Calum.

            “Iya. Memangnya kenapa? Isinya apa?” Tanya Calum.

            “Ternyata selama ini Aleisha mencintaiku.” Ucapku.

            “APA?!” Tanya Calum dan Ashton kaget.

            “APA?!” Tanya Michael. Dia ketinggalan beberapa detik lalu cepat-cepat duduk di dekatku.

            “Diam-diam Aleisha mencintaiku, tapi dia memilih untuk memendamnya karena tidak ingin persahabatan kami menjadi rusak hanya karena cinta. Saat aku pacaran dengan Lea, hatinya sangat hancur tapi Aleisha tidak ingin menampakkan wajah sedihnya. Dia adalah gadis yang kuat. Aku kagum padanya.” Jelasku.

            “Aku tak menyangka ternyata Leish mencintaimu. Terus bagaimana?” Tanya Calum.

            Calum saja bingung apalagi aku. “Aku tidak tau Cal. Aku bingung. Aku mencintai Lea dan tidak ingin kehilangannya, tapi aku juga membutuhkan Aleisha. Selama aku bersamanya, aku merasa nyaman dan tentunya bahagia. Aku tidak ingin kehilangan Aleisha.” Ucapku.

            “Itu artinya kau mencintai Aleisha.” Ucap Michael.

            Aku terdiam. Benarkah? Apa aku mencintai Aleisha? Tapi bukankah aku mencintai Lea? Kenapa cinta itu membingungkan dan rumit? Tapi antara Lea dan Aleisha, yang lebih baik bagiku adalah Aleisha. Dia berbeda dari gadis lainnya.

            “Sekarang, mana yang lebih membuatmu bahagia, Lea atau Aleisha?” Tanya Ashton.

            “Aleisha.” Jawabku jujur.

            “Nah berarti kau memilih Aleisha dibanding Lea. Jujur saja, aku lebih suka kau bersama Leish dibanding Lea. Leish adalah gadis yang baik, ramah, dan tidak liar. Maksudku dia itu bisa menjaga dirinya dan bukan gadis yang tidak baik. Bukan maksudku menyindir Lea, tapi itu penilaianku.” Ucap Ashton.

            Lea memang agak liar. Dia selalu bisa membuat nafsuku agar aku melakukan hal-hal yang tidak boleh dilakukan. Selama aku pacaran dengan Lea, dia tidak bisa membuatku tersenyum, maksudku seperti apa yang telah Aleisha lakukan saat aku bersamanya. Aku takut jika aku mempertahankan hubunganku dengan Lea, maka pergaulanku akan semakin buruk. Aku rasa aku sudah menjadi anak yang tidak baik.

            “Aku bingung Ash. Aku akan memikirkannya nanti.” Ucapku.

            Michael menepuk bahuku. “Pilihlah keputusan yang tepat dan jangan pernah menyesali keputusan yang sudah kau buat.” Ucapnya.

***

            Aleisha’s POV

            Besok aku akan meninggalkan Sydney untuk selama-lamanya. Paman sudah mengurusi kepindahanku jadi hari ini aku tidak sekolah. Jadi, setelah ini aku sudah tidak bisa melihat Luke lagi? Aku tertawa samar. Ya. Aku tak akan bisa lagi melihat Luke. Aku harap Luke mau menerima kepergianku, pastinya dia tidak akan sedih karena ada Lea yang bisa membahagiakannya.

            Malam ini adalah malam terakhirku di Sydney. Besok aku pergi ke bandara jam sembilan pagi. Aku sudah memberikan salam perpisahan pada Ronnie. Aku jadi teringat dengan Cassa dan sahabat Luke lainnya, dan juga Shawn. Aku tidak memberitahu mereka kalau aku akan kembali ke Perth. Biarlah. Aku tidak peduli. Jika aku bertemu mereka, itu hanya akan membuatku menangis dan ragu. Aku tidak ingin hanya karena bertemu mereka membuatku ragu akan keputusan yang aku buat.

            Aku iseng membuka twitter. Aku menulis tweet singkat yaitu: Goodbye. Semoga mereka tidak curiga. Lalu apa yang membuatku membuka profil Luke. Aku tersenyum sedih melihat ava baru Luke yang tidak pernah tidak tampan. Sudah tiga hari Luke tidak menulis tweet dan dia hanya mengganti ava saja.

            Malam semakin larut. Aku pun tertidur dan berharap tak akan ada tangisan untuk esoknya.

***

            Luke’s POV

            Cukup lama aku memandangi fotoku dengannya yang aku ambil tiga bulan yang lalu. Foto terbaikku kurasa. Dia terlihat sangat cantik dengan wajah naturalnya. Aku tersenyum. Di malam yang indah ini, aku tersadar akan sosok yang memang harus aku cintai. Bukan Lea, melainkan Aleisha. Ya, Aleisha! Dia adalah gadis yang aku cintai dan aku sangat mencintainya. Aku sudah lama memikirkan tentang perasaanku dan jawabannya adalah Aleisha.

            Aku mencintai Aleisha dan aku tidak ingin kehilangannya. Tapi kenapa aku baru sadar sekarang kalau aku mencintainya? Kenapa tidak dari dulu saja agar Aleisha tidak merasakan kesakitan? Aku akan membuat kejutan untuknya besok. Tadi Aleisha tidak sekolah. Entahlah apakah dia sakit atau apa. Aku harap Aleisha baik-baik saja.

            Mengenai soal Lea, aku sudah putus dengannya tadi sore dan Lea menerimanya. Tapi wajah gadis itu menandakan ketidaksukaan. Katanya karena Aleisha aku memutuskan hubungan ini. Aku tentu tidak mengatakan hal itu. Namun pada akhirnya Lea mau menerima keputusanku. Aku harap dia tidak akan berbuat macam-macam pada Aleisha. Sedaritadi aku terus saja tersenyum sambil melihat foto Aleisha.

            Aku membuka twitter. Iseng saja. Lalu tiba-tiba aku menemukan tweet Aleisha. Dia menulis: “Goodbye” Apa maksudnya itu? Perasaanku menjadi tidak enak. Memangnya Aleisha mau kemana? Kenapa Aleisha menulis tweet seperti itu? Aku memutuskan mengirimnya pesan. Tapi sepertinya Aleisha sudah tidur. Lalu aku menelponnya. Sial. Nomornya tidak aktif. Barangkali Aleisha sudah mengganti nomor ponselnya.

            Perasaanku semakin tidak enak. Rasanya aku ingin pergi ke rumah Aleisha saat ini juga. Aku ingin memeluknya dan mengatakan kalau aku juga mencintainya. Seharusnya aku sadar sejak awal kalau Aleisha adalah orang yang tepat untuk aku cintai. Aleisha adalah satu-satunya orang yang bisa membuatku tersenyum. Selama aku bersamanya, tak pernah sedikitpun aku merasa sedih, bahkan memikirkan Lea. Sedangkan saat aku kembali bersama Lea, aku tidak bisa berhenti memikirkan Aleisha, terutama pada saat dia memutuskan untuk mengakhiri persahabatan kami.

            Akhirnya aku tertidur walau tidak nyenyak. Aku harap besok Aleisha mau memaafkanku dan hubungan kami kembali baik seperti dulu. Besok aku akan menemuinya, tenang saja Leish, besok aku akan menemuimu.

***

            Aleisha’s POV

            “Kau sedang menunggu siapa?” Tanya Harry.

            Taksi yang akan membawaku ke bandara sudah tiba tapi kenapa hatiku menjadi ragu? Mengapa saat aku terbangun muncul rasa ketidakrelaan meninggalkan Sydney? Dan siapa sosok yang aku tunggu? Luke? Aku tertawa samar. Aku sudah tidak mau melihatnya lagi. Aku sudah mengikhlaskan Luke bahagia bersama Lea. Keluarga baru sudah menungguku disana. Aku tidak sabaran bertemu dengan Mom baruku dan dua kakak perempuanku. Semoga mereka mau menerimaku. Lucu kan kalau aku tidak betah tinggal bersama mereka aku kabur lagi terus menimbulkan masalah lagi?

            Kulihat taksi sudah siap dan barang-barangku sudah dimasukkan di bagasi olehnya. Aku tersenyum pada pamanku yang selama ini memberiku tempat tinggal atau lebih tepatnya lagi memberiku sebuah tempat pelarian dari rumahku yang sebenarnya karena aku sudah tidak tahan lagi dengan rumahku. Ayolah, tetaplah tersenyum dan lupakan semuanya. Kau adalah gadis yang kuat. Ayo, kau harus bisa!

            Perlahan, aku membuka pintu taksi. Rasanya cukup susah membukanya jika ada sebagian hatimu yang tidak ikhlas untuk melakukan semua ini. Aku menarik nafas dalam-dalam. Sekali lagi, kukuatkan hatiku untuk melakukan keputusanku ini, meninggalkan Kota yang awalnya terasa indah namun berakhir dengan luka, kesakitan yang parah.

            “Aleisha!”

            Aku memejamkan mata tatkala mendengar suara itu. Suara yang terdengar indah di telingaku. Suara yang sudah seharusnya aku lupakan. Ah mungkin aku terlalu memikirkannya. Tidak mungkin dia ada disini.

            “Aleisha!”

            Lagi-lagi ku dengar suara itu. Aku sudah masuk di taksi dan merapatkan jaket yang aku gunakan. Ya, aku siap meninggalkan semua ini, aku siap meninggalkan semua kenangan-kenangan yang aku buat di tempat ini. Bukan hanya itu saja, aku juga harus melupakannya, menguburnya dalam-dalam.

            “Leish, tolong jangan pergi, ku mohon..”

            Suara itu nyata! Aku menoleh ke arah jendela taksi dan kaget dengan apa yang aku lihat. Sosok pemuda bermata biru yang selalu membuatku nyaman, tersenyum gila, bahagia, namun mampu membuat hatiku hancur dalam sekejap. Mengapa dia ada disini?

            “Jangan pergi..” Ucapnya lagi.

            Luke! Jeritku. Kenapa Luke ada disini? Kenapa Luke kemari? Luke jahat! Dadaku menjadi sesak melihatnya lagi. Luke memang jahat! Dia membuat perasaanku menjadi bimbang. Padahal aku sudah memutuskan untuk membuang perasaan sialan ini.

            “Kau mau kemana Leish? Tolong jangan pergi.” Ucap Luke.

            Si supir taksi menjadi bingung. Tapi dia belum menjalankan taksinya sementara aku mulai mengeluarkan air mata. Aku bisa melihat wajah Luke dengan jelas. Tentu saja Luke tidak menampakkan wajah bahagianya, melainkan wajah sedihnya. Sedih karena aku sudah tidak tinggal di Sydney lagi? Hah!

            “Kenapa kau kemari Luk?” Tanyaku.

            “Aku kesini hanya ingin mengatakan kalau aku mencintaimu.” Jawab Luke.

            Aku tertawa. Bohong! Mana mungkin Luke mencintaiku. Dia hanya bisa membuatku sakit. Lalu bagaimana dengan Lea? Apa kau lantarkan gadis yang kau cintai hanya karena gadis bodoh sepertiku?

            “Maaf Luk, aku akan kembali ke Perth dan tinggal bersama keluarga baruku.” Ucapku.

            “Tidak! Kau tidak boleh pergi! Kau sudah berjanji untuk tidak meninggalkanku!” Ucap Luke.

            Aku tersenyum sinis. “Persetan dengan janji itu! Ayo pak jalankan taksinya. Temanku itu sudah gila.” Ucapku.

            Taksi pun berjalan namun Luke tidak mau menyerah. Dia malah mengejar taksi itu dan berusaha agar sejajar dengan taksi yang aku tumpangi.

            “Ku mohon Leish jangan tinggalkan aku. Aku mencintaimu dan aku baru sadar sekarang. Kaulah gadis yang aku cintai, bukan Lea. Aku sudah tidak peduli lagi dengan Lea. Jadi jangan pergi, ku mohon. Beri aku kesempatan. Jangan tinggalkan aku!” Ucap Luke. Suaranya terdengas putus-putus.

            Aku memejamkan mataku. Tidak. Aku tidak boleh terpengaruh oleh kata-kata manisnya itu. Keputusan tetaplah keputusan. Aku ditakdirkan untuk meninggalkannya dan sampai kapanpun aku tak akan pernah bisa memilikinya. Laju taksi semakin cepat tatkala memasuki jalan raya. Aku menatap Luke dari kejauhan. Dia yang tadi berusaha mengejarku langsung menghentikan lariannya sambil tertunduk dan mengatur nafasnya.

            Ini yang terbaik untuk kita.

            Maafkan aku Luke.

            Aku harap dengan jalan yang aku pilih aku bisa menemukan seseorang yang memang ditakdirkan untukku.

            Maafkan aku Luke.

            Selamat tinggal.
***

            Luke’s POV

            Aku pulang dengan hati yang hancur. Aku duduk di sofa sambil tertunduk. Aleisha, dia benar-benar meninggalkanku. Aleisha tidak mau mendengar penjelasanku. Barangkali dia tidak percaya kalau aku mencintainya sedangkan pada saat Aleisha mengungkapkan perasaannya padaku, aku mengatakan kita hanya bisa berteman. Aku memang bodoh, sangat bodoh. Sekarang aku sudah kehilangannya.

            “Bagaimana?” Tanya Cassa.

            Calum, Ashton, Michael dan Cassa sejak pagi tadi sudah ada di rumahku. Mereka mendukung keputusanku untuk mengungkapkan isi hatiku yang sebenarnya pada Aleisha. Namun sayangnya, Aleisha pergi dan tidak akan pernah kembali.

            “Aleisha pergi.” Jawabku.

            “Kemana dia?” Tanya Michael.

            “Dia kembali ke Perth.” Jawabku.

            “Apa?” Teriak Cassa. Gadis itu mengambil ponselnya. Sepertinya Cassa ingin menelpon Aleisha. Percuma saja. Nomor Aleisha tidak aktif.

            Cassa membanting ponselnya. “Aleisha kenapa sih? Dia kan mencintaimu tapi kenapa dia pergi? Seharusnya Aleisha senang karena kau mencintainya juga.” Ucap Cassa.

            Tiba-tiba aku diserang sesak nafas. Aku kesulitan bernafas, sungguh. Aku memutuskan masuk ke dalam kamar lalu menguncinya. Aku tidak peduli dengan teman-temanku. Seharusnya mereka membiarkanku sendiri. Aku menyandarkan punggungku ke pintu kamarku sambil berusaha mengembalikan nafasku yang normal. Aleisha. Kenapa gadis itu memilih untuk pergi? Kenapa?

            Titik-titik air menetes di atas lantai kamarku. Aku menangis. Sekali ini saja aku menangis dan aku tidak malu menangis seperti ini karena aku menangisi Aleisha. Kemudian aku mengambil surat yang Aleisha tulis. Aku tersenyum sedih. Jika Aleisha benar-benar mencintaiku, tidak mungkin dia meninggalkanku. Tapi karena sikapku yang seperti ini, sudah sangat jelas Aleisha memilih meninggalkanku. Aku sudah sangat jahat padanya. Aku terlambat mencintainya. Aku mencintai Aleisha ketika dia meninggalkanku.

            “Maaf Leish, kita hanya bisa berteman, oke?”

            Kenapa? Kenapa aku tega mengatakan kalimat seperti itu? Jelaslah hatinya sangat hancur hanya karena kalimat itu. Maafkan aku. Aku sangat bodoh. Maafkan aku.

            Rasanya ingin mati saat ini juga. Bisakah Tuhan mencabut nyawaku sekarang?

***

            Now Playing: 5 Seconds of Summer – Amnesia

            ( Denger lagu ini biar kebaperannya bertambah :”v )

           
I drove by all the places we used to hang out getting wasted

I thought about our last kiss, how it felt, the way you tasted

And even though your friends tell me you're doing fine

Are you somewhere feeling lonely even though he's right beside you?

When he says those words that hurt you, do you read the ones I wrote you?

Sometimes I start to wonder, was it just a lie?

If what we had was real, how could you be fine?

'Cause I'm not fine at all



I remember the day you told me you were leaving

I remember the make-up running down your face

And the dreams you left behind you didn't need them

Like every single wish we ever made

I wish that I could wake up with amnesia

And forget about the stupid little things

Like the way it felt to fall asleep next to you

And the memories I never can escape

'Cause I'm not fine at all


The pictures that you sent me they're still living in my phone

I'll admit I like to see them, I'll admit I feel alone

And all my friends keep asking why I'm not around

It hurts to know you're happy, yeah, it hurts that you've moved on

It's hard to hear your name when I haven't seen you in so long

It's like we never happened, was it just a lie?

If what we had was real, how could you be fine?

'Cause I'm not fine at all



I remember the day you told me you were leaving

I remember the make-up running down your face

And the dreams you left behind you didn't need them

Like every single wish we ever made

I wish that I could wake up with amnesia

And forget about the stupid little things

Like the way it felt to fall asleep next to you

And the memories I never can escape



If today I woke up with you right beside me

Like all of this was just some twisted dream

I'd hold you closer than I ever did before

And you'd never slip away

And you'd never hear me say



I remember the day you told me you were leaving

I remember the make-up running down your face

And the dreams you left behind you didn't need them

Like every single wish we ever made

I wish that I could wake up with amnesia

And forget about the stupid little things

Like the way it felt to fall asleep next to you

And the memories I never can escape

'Cause I'm not fine at all

No, I'm really not fine at all

Tell me this is just a dream

'Cause I'm really not fine at all..”

***