Ini keputusan
finalku. Ya. Aku sudah membicarakan ke Dad kalau aku mau tinggal bersamanya di
Perth. Sebentar lagi aku akan meninggalkan Sydney dan melupakan semua kenangan
yang ada di Kota ini. Kemarin malam Dad kembali ke Perth karena dia banyak
memiliki urusan disana. Jadi aku akan kembali ke Perth seorang diri. Aku
berjanji untuk tidak menyesali keputusanku.
“Well,
itu keputusan terbaikmu. Aku mendukungmu. Tapi jangan lupakan aku ya.” Ucap
Ronnie.
Saat ini kami berdua makan di
kantin. Sedih memang meninggalkan Sydney. Tapi Perth adalah kota kelahiranku
dan aku harus kembali kesana. Mengenai Luke, aku mencoba untuk tidak peduli
dengannya walau rasanya sakit. Luke hanya menganggap aku sebagai temannya. Oke.
Aku terima. Tadi aku melihat Luke yang memasuki kelas dan dia terlihat cuek.
Baguslah. Artinya Luke tidak kepikiran dengan surat ataupun perasaanku padanya.
“Kau sudah siap melupakan Luke?” Tanya
Ronnie.
Aku tersenyum samar. “Aku tidak akan
melupakannya. Melainkan aku akan melupakan perasaanku padanya.” Jawabku.
“Tapi Leish, kalau kau tidak ikhlas,
lebih baik kau tetap tinggal di Sydney. Aku takut jika kau tidak bisa melupakan
Luke, maksudku melupakan perasaanmu padanya kau akan menjadi gila di Perth
nanti.” Ucap Ronnie.
“Aku berjanji untuk tidak akan
menjadi gila.” Ucapku.
Aku baru sadar di kantin ini ada
Luke yang posisinya tidak jauh dariku. Tentu saja dia bersama Lea. Tapi disana
ada Calum dan Ashton. Tiba-tiba mata kami bertatapan. Aku harap itu tatapan
kami yang terakhir. Aku dan Luke memang serin bertatapan seperti itu lalu aku
memalingkan pandang ke arah lain. Membuang perasaanku pada Luke?
***
Luke’s POV
“Kau tidak apa-apa?” Tanya Calum.
Karena kejadian kemarin, hari ini
aku tidak enak badan. Suhu tubuhku cukup tinggi tapi aku memaksakan diri untuk
sekolah. Tadi saat di kantin aku tidak sengaja bertatapan dengan Aleisha.
Aleisha, kasihan dia. Andai saja aku tidak mengenal Lea, pastinya aku akan
membuatnya bahagia. Aku akan menjadikan Aleisha sebagai satu-satunya gadis yang
ada di hatiku. Pasti dia sangat senang.
“Kurasa aku terkena demam.” Jawabku.
“Benar. Kau sedang tidak baik.” Ucap
Michael.
Aku dan tiga sahabatku sedang duduk
di dalam kamarku. Tapi Michael lebih memilih bermain game. Aku memang punya banyak game di komputerku sehingga Michael
sering masuk ke kamarku tanpa seizinku lalu bermain game sepuasnya. Kembali aku
kepikiran dengan Aleisha. Ingin sekali aku menemuinya. Tapi aku tidak berani.
Aku sudah sangat berdosa padanya.
“Kau sedang memikirkan apa? Kenapa
kau tidak cerita saja ke kami?” Tanya Ashton.
Aku menghela nafas panjang. Haruskah
aku menceritakan kebimbangan yang aku rasakan? Sejak kemarin aku tidak bisa
berhenti memikirkan Aleisha, bahkan Lea aku abaikan. Jadi apa yang harus aku
lakukan? Haruskan aku meninggalkan Lea demi Aleisha?
“Kau ingat surat yang Aleisha kasih
padamu?” Tanyaku pada Calum.
“Iya. Memangnya kenapa? Isinya apa?”
Tanya Calum.
“Ternyata selama ini Aleisha
mencintaiku.” Ucapku.
“APA?!” Tanya Calum dan Ashton
kaget.
“APA?!” Tanya Michael. Dia
ketinggalan beberapa detik lalu cepat-cepat duduk di dekatku.
“Diam-diam Aleisha mencintaiku, tapi
dia memilih untuk memendamnya karena tidak ingin persahabatan kami menjadi
rusak hanya karena cinta. Saat aku pacaran dengan Lea, hatinya sangat hancur
tapi Aleisha tidak ingin menampakkan wajah sedihnya. Dia adalah gadis yang
kuat. Aku kagum padanya.” Jelasku.
“Aku tak menyangka ternyata Leish
mencintaimu. Terus bagaimana?” Tanya Calum.
Calum saja bingung apalagi aku. “Aku
tidak tau Cal. Aku bingung. Aku mencintai Lea dan tidak ingin kehilangannya,
tapi aku juga membutuhkan Aleisha. Selama aku bersamanya, aku merasa nyaman dan
tentunya bahagia. Aku tidak ingin kehilangan Aleisha.” Ucapku.
“Itu artinya kau mencintai Aleisha.”
Ucap Michael.
Aku terdiam. Benarkah? Apa aku
mencintai Aleisha? Tapi bukankah aku mencintai Lea? Kenapa cinta itu
membingungkan dan rumit? Tapi antara Lea dan Aleisha, yang lebih baik bagiku
adalah Aleisha. Dia berbeda dari gadis lainnya.
“Sekarang, mana yang lebih membuatmu
bahagia, Lea atau Aleisha?” Tanya Ashton.
“Aleisha.” Jawabku jujur.
“Nah berarti kau memilih Aleisha
dibanding Lea. Jujur saja, aku lebih suka kau bersama Leish dibanding Lea.
Leish adalah gadis yang baik, ramah, dan tidak liar. Maksudku dia itu bisa
menjaga dirinya dan bukan gadis yang tidak baik. Bukan maksudku menyindir Lea,
tapi itu penilaianku.” Ucap Ashton.
Lea memang agak liar. Dia selalu
bisa membuat nafsuku agar aku melakukan hal-hal yang tidak boleh dilakukan.
Selama aku pacaran dengan Lea, dia tidak bisa membuatku tersenyum, maksudku
seperti apa yang telah Aleisha lakukan saat aku bersamanya. Aku takut jika aku
mempertahankan hubunganku dengan Lea, maka pergaulanku akan semakin buruk. Aku
rasa aku sudah menjadi anak yang tidak baik.
“Aku bingung Ash. Aku akan
memikirkannya nanti.” Ucapku.
Michael menepuk bahuku. “Pilihlah
keputusan yang tepat dan jangan pernah menyesali keputusan yang sudah kau
buat.” Ucapnya.
***
Aleisha’s POV
Besok aku akan meninggalkan Sydney
untuk selama-lamanya. Paman sudah mengurusi kepindahanku jadi hari ini aku
tidak sekolah. Jadi, setelah ini aku sudah tidak bisa melihat Luke lagi? Aku
tertawa samar. Ya. Aku tak akan bisa lagi melihat Luke. Aku harap Luke mau
menerima kepergianku, pastinya dia tidak akan sedih karena ada Lea yang bisa
membahagiakannya.
Malam ini adalah malam terakhirku di
Sydney. Besok aku pergi ke bandara jam sembilan pagi. Aku sudah memberikan
salam perpisahan pada Ronnie. Aku jadi teringat dengan Cassa dan sahabat Luke
lainnya, dan juga Shawn. Aku tidak memberitahu mereka kalau aku akan kembali ke
Perth. Biarlah. Aku tidak peduli. Jika aku bertemu mereka, itu hanya akan
membuatku menangis dan ragu. Aku tidak ingin hanya karena bertemu mereka
membuatku ragu akan keputusan yang aku buat.
Aku iseng membuka twitter. Aku
menulis tweet singkat yaitu: Goodbye.
Semoga mereka tidak curiga. Lalu apa yang membuatku membuka profil Luke. Aku
tersenyum sedih melihat ava baru Luke yang tidak pernah tidak tampan. Sudah
tiga hari Luke tidak menulis tweet dan dia hanya mengganti ava saja.
Malam semakin larut. Aku pun
tertidur dan berharap tak akan ada tangisan untuk esoknya.
***
Luke’s POV
Cukup lama aku memandangi fotoku
dengannya yang aku ambil tiga bulan yang lalu. Foto terbaikku kurasa. Dia
terlihat sangat cantik dengan wajah naturalnya. Aku tersenyum. Di malam yang
indah ini, aku tersadar akan sosok yang memang harus aku cintai. Bukan Lea,
melainkan Aleisha. Ya, Aleisha! Dia adalah gadis yang aku cintai dan aku sangat
mencintainya. Aku sudah lama memikirkan tentang perasaanku dan jawabannya
adalah Aleisha.
Aku mencintai Aleisha dan aku tidak
ingin kehilangannya. Tapi kenapa aku baru sadar sekarang kalau aku
mencintainya? Kenapa tidak dari dulu saja agar Aleisha tidak merasakan kesakitan?
Aku akan membuat kejutan untuknya besok. Tadi Aleisha tidak sekolah. Entahlah
apakah dia sakit atau apa. Aku harap Aleisha baik-baik saja.
Mengenai soal Lea, aku sudah putus
dengannya tadi sore dan Lea menerimanya. Tapi wajah gadis itu menandakan
ketidaksukaan. Katanya karena Aleisha aku memutuskan hubungan ini. Aku tentu
tidak mengatakan hal itu. Namun pada akhirnya Lea mau menerima keputusanku. Aku
harap dia tidak akan berbuat macam-macam pada Aleisha. Sedaritadi aku terus
saja tersenyum sambil melihat foto Aleisha.
Aku membuka twitter. Iseng saja.
Lalu tiba-tiba aku menemukan tweet Aleisha. Dia menulis: “Goodbye” Apa maksudnya itu? Perasaanku menjadi tidak enak.
Memangnya Aleisha mau kemana? Kenapa Aleisha menulis tweet seperti itu? Aku memutuskan
mengirimnya pesan. Tapi sepertinya Aleisha sudah tidur. Lalu aku menelponnya.
Sial. Nomornya tidak aktif. Barangkali Aleisha sudah mengganti nomor ponselnya.
Perasaanku semakin tidak enak.
Rasanya aku ingin pergi ke rumah Aleisha saat ini juga. Aku ingin memeluknya
dan mengatakan kalau aku juga mencintainya. Seharusnya aku sadar sejak awal
kalau Aleisha adalah orang yang tepat untuk aku cintai. Aleisha adalah
satu-satunya orang yang bisa membuatku tersenyum. Selama aku bersamanya, tak
pernah sedikitpun aku merasa sedih, bahkan memikirkan Lea. Sedangkan saat aku
kembali bersama Lea, aku tidak bisa berhenti memikirkan Aleisha, terutama pada
saat dia memutuskan untuk mengakhiri persahabatan kami.
Akhirnya aku tertidur walau tidak
nyenyak. Aku harap besok Aleisha mau memaafkanku dan hubungan kami kembali baik
seperti dulu. Besok aku akan menemuinya, tenang saja Leish, besok aku akan
menemuimu.
***
Aleisha’s POV
“Kau sedang menunggu siapa?” Tanya
Harry.
Taksi yang akan membawaku ke bandara
sudah tiba tapi kenapa hatiku menjadi ragu? Mengapa saat aku terbangun muncul
rasa ketidakrelaan meninggalkan Sydney? Dan siapa sosok yang aku tunggu? Luke?
Aku tertawa samar. Aku sudah tidak mau melihatnya lagi. Aku sudah mengikhlaskan
Luke bahagia bersama Lea. Keluarga baru sudah menungguku disana. Aku tidak
sabaran bertemu dengan Mom baruku dan dua kakak perempuanku. Semoga mereka mau
menerimaku. Lucu kan kalau aku tidak betah tinggal bersama mereka aku kabur
lagi terus menimbulkan masalah lagi?
Kulihat taksi sudah siap dan
barang-barangku sudah dimasukkan di bagasi olehnya. Aku tersenyum pada pamanku
yang selama ini memberiku tempat tinggal atau lebih tepatnya lagi memberiku
sebuah tempat pelarian dari rumahku yang sebenarnya karena aku sudah tidak tahan
lagi dengan rumahku. Ayolah, tetaplah tersenyum dan lupakan semuanya. Kau
adalah gadis yang kuat. Ayo, kau harus bisa!
Perlahan, aku membuka pintu taksi.
Rasanya cukup susah membukanya jika ada sebagian hatimu yang tidak ikhlas untuk
melakukan semua ini. Aku menarik nafas dalam-dalam. Sekali lagi, kukuatkan
hatiku untuk melakukan keputusanku ini, meninggalkan Kota yang awalnya terasa
indah namun berakhir dengan luka, kesakitan yang parah.
“Aleisha!”
Aku memejamkan mata tatkala
mendengar suara itu. Suara yang terdengar indah di telingaku. Suara yang sudah
seharusnya aku lupakan. Ah mungkin aku terlalu memikirkannya. Tidak mungkin dia
ada disini.
“Aleisha!”
Lagi-lagi ku dengar suara itu. Aku
sudah masuk di taksi dan merapatkan jaket yang aku gunakan. Ya, aku siap
meninggalkan semua ini, aku siap meninggalkan semua kenangan-kenangan yang aku
buat di tempat ini. Bukan hanya itu saja, aku juga harus melupakannya,
menguburnya dalam-dalam.
“Leish, tolong jangan pergi, ku
mohon..”
Suara itu nyata! Aku menoleh ke arah
jendela taksi dan kaget dengan apa yang aku lihat. Sosok pemuda bermata biru
yang selalu membuatku nyaman, tersenyum gila, bahagia, namun mampu membuat
hatiku hancur dalam sekejap. Mengapa dia ada disini?
“Jangan pergi..” Ucapnya lagi.
Luke! Jeritku. Kenapa Luke ada
disini? Kenapa Luke kemari? Luke jahat! Dadaku menjadi sesak melihatnya lagi.
Luke memang jahat! Dia membuat perasaanku menjadi bimbang. Padahal aku sudah
memutuskan untuk membuang perasaan sialan ini.
“Kau mau kemana Leish? Tolong jangan
pergi.” Ucap Luke.
Si supir taksi menjadi bingung. Tapi
dia belum menjalankan taksinya sementara aku mulai mengeluarkan air mata. Aku
bisa melihat wajah Luke dengan jelas. Tentu saja Luke tidak menampakkan wajah
bahagianya, melainkan wajah sedihnya. Sedih karena aku sudah tidak tinggal di
Sydney lagi? Hah!
“Kenapa kau kemari Luk?” Tanyaku.
“Aku kesini hanya ingin mengatakan
kalau aku mencintaimu.” Jawab Luke.
Aku tertawa. Bohong! Mana mungkin
Luke mencintaiku. Dia hanya bisa membuatku sakit. Lalu bagaimana dengan Lea?
Apa kau lantarkan gadis yang kau cintai hanya karena gadis bodoh sepertiku?
“Maaf Luk, aku akan kembali ke Perth
dan tinggal bersama keluarga baruku.” Ucapku.
“Tidak! Kau tidak boleh pergi! Kau
sudah berjanji untuk tidak meninggalkanku!” Ucap Luke.
Aku tersenyum sinis. “Persetan
dengan janji itu! Ayo pak jalankan taksinya. Temanku itu sudah gila.” Ucapku.
Taksi pun berjalan namun Luke tidak
mau menyerah. Dia malah mengejar taksi itu dan berusaha agar sejajar dengan
taksi yang aku tumpangi.
“Ku mohon Leish jangan tinggalkan
aku. Aku mencintaimu dan aku baru sadar sekarang. Kaulah gadis yang aku cintai,
bukan Lea. Aku sudah tidak peduli lagi dengan Lea. Jadi jangan pergi, ku mohon.
Beri aku kesempatan. Jangan tinggalkan aku!” Ucap Luke. Suaranya terdengas
putus-putus.
Aku memejamkan mataku. Tidak. Aku
tidak boleh terpengaruh oleh kata-kata manisnya itu. Keputusan tetaplah
keputusan. Aku ditakdirkan untuk meninggalkannya dan sampai kapanpun aku tak
akan pernah bisa memilikinya. Laju taksi semakin cepat tatkala memasuki jalan
raya. Aku menatap Luke dari kejauhan. Dia yang tadi berusaha mengejarku
langsung menghentikan lariannya sambil tertunduk dan mengatur nafasnya.
Ini yang terbaik untuk kita.
Maafkan aku Luke.
Aku harap dengan jalan yang aku
pilih aku bisa menemukan seseorang yang memang ditakdirkan untukku.
Maafkan aku Luke.
Selamat tinggal.
***
Luke’s POV
Aku pulang dengan hati yang hancur.
Aku duduk di sofa sambil tertunduk. Aleisha, dia benar-benar meninggalkanku.
Aleisha tidak mau mendengar penjelasanku. Barangkali dia tidak percaya kalau
aku mencintainya sedangkan pada saat Aleisha mengungkapkan perasaannya padaku,
aku mengatakan kita hanya bisa berteman. Aku memang bodoh, sangat bodoh.
Sekarang aku sudah kehilangannya.
“Bagaimana?” Tanya Cassa.
Calum, Ashton, Michael dan Cassa
sejak pagi tadi sudah ada di rumahku. Mereka mendukung keputusanku untuk
mengungkapkan isi hatiku yang sebenarnya pada Aleisha. Namun sayangnya, Aleisha
pergi dan tidak akan pernah kembali.
“Aleisha pergi.” Jawabku.
“Kemana dia?” Tanya Michael.
“Dia kembali ke Perth.” Jawabku.
“Apa?” Teriak Cassa. Gadis itu
mengambil ponselnya. Sepertinya Cassa ingin menelpon Aleisha. Percuma saja.
Nomor Aleisha tidak aktif.
Cassa membanting ponselnya. “Aleisha
kenapa sih? Dia kan mencintaimu tapi kenapa dia pergi? Seharusnya Aleisha
senang karena kau mencintainya juga.” Ucap Cassa.
Tiba-tiba aku diserang sesak nafas.
Aku kesulitan bernafas, sungguh. Aku memutuskan masuk ke dalam kamar lalu
menguncinya. Aku tidak peduli dengan teman-temanku. Seharusnya mereka
membiarkanku sendiri. Aku menyandarkan punggungku ke pintu kamarku sambil
berusaha mengembalikan nafasku yang normal. Aleisha. Kenapa gadis itu memilih
untuk pergi? Kenapa?
Titik-titik air menetes di atas
lantai kamarku. Aku menangis. Sekali ini saja aku menangis dan aku tidak malu
menangis seperti ini karena aku menangisi Aleisha. Kemudian aku mengambil surat
yang Aleisha tulis. Aku tersenyum sedih. Jika Aleisha benar-benar mencintaiku,
tidak mungkin dia meninggalkanku. Tapi karena sikapku yang seperti ini, sudah
sangat jelas Aleisha memilih meninggalkanku. Aku sudah sangat jahat padanya.
Aku terlambat mencintainya. Aku mencintai Aleisha ketika dia meninggalkanku.
“Maaf
Leish, kita hanya bisa berteman, oke?”
Kenapa? Kenapa aku tega mengatakan
kalimat seperti itu? Jelaslah hatinya sangat hancur hanya karena kalimat itu.
Maafkan aku. Aku sangat bodoh. Maafkan aku.
Rasanya ingin mati saat ini juga.
Bisakah Tuhan mencabut nyawaku sekarang?
***
Now Playing:
5 Seconds of Summer – Amnesia
( Denger
lagu ini biar kebaperannya bertambah :”v )
“I
drove by all the places we used to hang out getting wasted
I thought about our last kiss, how it felt, the way you tasted
And even though your friends tell me you're doing fine
Are you somewhere feeling lonely even though he's right beside you?
When he says those words that hurt you, do you read the ones I wrote you?
Sometimes I start to wonder, was it just a lie?
If what we had was real, how could you be fine?
'Cause I'm not fine at all
I remember the day you told me you were leaving
I remember the make-up running down your face
And the dreams you left behind you didn't need them
Like every single wish we ever made
I wish that I could wake up with amnesia
And forget about the stupid little things
Like the way it felt to fall asleep next to you
And the memories I never can escape
'Cause I'm not fine at all
The pictures that you sent me they're still living in my phone
I'll admit I like to see them, I'll admit I feel alone
And all my friends keep asking why I'm not around
It hurts to know you're happy, yeah, it hurts that you've moved on
It's hard to hear your name when I haven't seen you in so long
It's like we never happened, was it just a lie?
If what we had was real, how could you be fine?
'Cause I'm not fine at all
I remember the day you told me you were leaving
I remember the make-up running down your face
And the dreams you left behind you didn't need them
Like every single wish we ever made
I wish that I could wake up with amnesia
And forget about the stupid little things
Like the way it felt to fall asleep next to you
And the memories I never can escape
If today I woke up with you right beside me
Like all of this was just some twisted dream
I'd hold you closer than I ever did before
And you'd never slip away
And you'd never hear me say
I remember the day you told me you were leaving
I remember the make-up running down your face
And the dreams you left behind you didn't need them
Like every single wish we ever made
I wish that I could wake up with amnesia
And forget about the stupid little things
Like the way it felt to fall asleep next to you
And the memories I never can escape
'Cause I'm not fine at all
No, I'm really not fine at all
Tell me this is just a dream
'Cause I'm really not fine at all..”
***