expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Jumat, 10 Juni 2016

Can't Have You ( Part 22 )



Aleisha’s POV

            Semenjak Luke pacaran dengan Lea, aku semakin dekat dengan Shawn. Dia sering menemuiku dan seakan-akan berusaha untuk menghilangkan rasa sakit yang aku alami karena Luke. Tapi percuma saja. Shawn bukan Luke dan Shawn tak akan pernah bisa menjadi Luke. Selama di kelas, aku hanya bisa diam dan berbicara singkat dengan Luke. Saat Luke mengajakku ke kantin, aku malah menolak. Gila apa aku ke kantin berdua dengannya sedangkan Luke sudah memiliki pacar yang sudah menjadi Ratu di sekolah ini.

            Sudah satu minggu mereka pacaran dan selama itulah aku terus menahan rasa sakit yang aku rasakan. Aku menyibukkan diri mengerjakan sesuatu yang dapat membuatku melupakan Luke ataupun berkhayal bisa berbulan madu dengan idola-idolaku. Tapi aku tidak bisa. Ketika aku mencoba menjauhkan Luke dari pikiranku, wajah Luke semakin menjadi-jadi dan itu semakin membuatku sakit. Jadi tidak ada gunanya bersusah payah melupakan Luke.

            Saat ini aku berada di perpustakaan dan duduk di meja paling ujung seakan-akan aku sedang bersembunyi dari musuh. Aku mencoba membaca novel yang aku temukan di rak buku. Tapi sayangnya aku tidak ada nafsu membacanya. Kalimat-kalimat yang ada di novel itu berubah menjadi rentetan nama Luke. Am I crazy? Yes! I am crazy because I love him.

            Aku beralih menatap buku dan pulpen-ku. Aku mencoba menulis sesuatu yang kurasa akan berbuah menjadi lirik lagu.

 “You didn’t mean to kiss me, I didn’t mean to fall in love, you never meant to hurt me, we never meant for it to mean this much..”

            Berkali-kali aku membaca tulisanku yang kurasa aneh dan tidak tepat. Lalu aku memikirkan lirik yang lain. Memang sih kalau suasana hatiku sedang tidak baik aku suka menulis kalimat-kalimat yang sedih.

            “Hush hush now, I wanted to keep you, forever next to me, you know that I still do, and all I wanted was to believe..”

            “Leish?”

            Jantungku berdetak kencang saat mendengar suara itu. Aku menoleh ke samping dan aku bisa melihat ada Luke disini. Cepat-cepat aku menutup buku yang berisi lirik yang tadi aku tulis. Buku itu aku sembunyikan di belakang tubuhku.

            “Kau menyembunyikan sesuatu dariku.” Ucap Luke.

            Aku menatap Luke dengan heran dan berusaha menahan air mataku. Kenapa Luke bisa ada disini? Seharusnya dia bersama Lea, bukan bersamaku. Aku takut kalau Lea melihat kami berdua dia akan marah padaku dan mengatakan kalau aku adalah penganggu hubungan orang. Lebih baik aku merasa tersakiti daripada menjadi pengganggu hubungan orang.

            Luke duduk di kursi yang ada di dekatku. “Hei. Sikapmu berubah saat Lea datang kemari. Kau seakan-akan menjauhiku.” Ucapnya.

            Sebisa mungkin aku tersenyum dan menganggap semuanya baik-baik saja. “Memangnya kenapa? Lucu tau kalau kau lebih mengabiskan waktu bersamaku ketimbang Lea.” Ucapku dengan nada suara terdengar lucu.

            “Jadi kau menjauhiku karena kau tidak ingin hal buruk terjadi antara aku dengan Lea?” Tanya Luke.

            Luke memang ganteng, tapi dia bodoh dan tidak peka! Teriakku dalam hati.

            “Anak pintar. Kau sudah tau kan jadi tidak ada salahnya aku memilih menjauhimu. Tapi tenang saja. Aku tidak akan meninggalkanmu. Aku tetap menyapamu, marah-marah padamu, mengerjaimu walau semua itu tidak seperti dulu sebelum Lea datang kemari.” Ucapku.

            Luke terdiam, lalu dia memegang tanganku. Mau-mu apa sih Luk? “Maafkan aku Leish. Tidak seharusnya aku menjadi temanmu. Aku rasa kau seperti kehilangan seseorang yang berarti untukmu.” Ucapnya.

            Dia sedikit peka juga, oke. “Jadi apa yang harus aku lakukan? Melupakanmu?” Tanyaku.

            “Tidak, bukan itu maksudku. Kau tetap sahabatku. Tapi jangan seperti berusaha menghindariku karena Lea. Bersikaplah seperti kau adalah sahabatku, bagaimana?” Ucap Luke.

            Aku mengangguk karena tidak tau apa yang harus aku katakan ke Luke. Luke pun berdiri, sepertinya dia akan kembali ke kelas atau menemui Lea tentu saja.

            “Pulang sekolah nonton di bioskop yuk? Aku sudah memberitahu ke Michael, Calum, Ashton dan Cassa. Ohya, kau boleh mengajak Shawn. Kurasa kau cocok dengan Shawn. Kalau begitu aku pergi ya, dah Leish..” Ucap Luke lalu pergi meninggalkanku.

            Aku? Cocok dengan Shawn? Aku tersenyum sedih. Seandainya begitu, aku ingin jatuh cinta dengan Shawn tapi aku tidak bisa. Isi otakku hanyalah Luke, Luke dan Luke. Bisa-bisa aku kehilangan akal dan menjadi orang gila sungguhan. Kemudian aku melanjutkan lirik yang tadi sempat terhenti karena kedatangan Luke. Aku mulai menggerakkan pensil-ku di atas buku.

            “So go on, live your life, so go on, say goodbye, so many questions but I don’t ask why, so this time I won’t even try..”

            Tes.. Tes…

            Air mataku menetes membahasi tulisan itu.

***

            “Leish!”

            Sebenarnya aku malas ikut dengan mereka menonton bioskop. Walau aku suka film, tapi aku malas menonton bersama mereka. Tidak ada Cassa lagi disini. Itu tadi suara Lea. Dia langsung memelukku. Aneh. Seharusnya Lea tidak menyukaiku, tapi tak apa. Artinya aku harus hati-hati kalau tidak aku akan membuat kepercayaan Lea padaku hilang.

            “Sepertinya kalian sudah menjadi teman yang baik.” Ucap Calum.

            Aku memaksakan diri untuk tersenyum. Aku ingin membalas ucapan Calum tapi keduluan Lea. “Dia sudah menjadi temanku, benar kan Leish?” Tanyanya.

            Aku hanya mengangguk. Lalu tiba-tiba Luke berbisik padaku. “Kenapa kau tidak mengajak Shawn?” Tanyanya.

            Aku menarik nafas dalam-dalam sebelum menjawabnya. “Dia sedang berciuman dengan pacarnya.” Jawabku.

            “Hah? Tidak mungkin Shawn memiliki pacar.” Ucap Luke.

            Kebetulan Lea membawa mobil jadi kami tidak perlu naik motor. Luke duduk di depan dengan Lea. Aku baru tau kalau Luke ternyata sudah bisa menyetir. Kalau begini caranya, untuk apa aku ikut? Seharusnya aku biarkan mereka berdua tanpa ada yang menganggu. Tapi untunglah ada Calum, Michael dan Ashton. Kalau seandainya mereka tidak ada aku bersumpah langsung pulang ke rumah.

            Setelah tiba, kami langsung berlari ke area bioskop. Kami melihat jadwal film disana. Lea ingin menonton film yang berjudul “Refrain” ( tau kan film Refrain yang pemerannya Afgan sama Maudy Ayunda? Anggap aja itu film barat :v ). Refrain? Aku belum pernah menontonnya. Aku harap film itu adalah film action, bukan film yang bisa bikin dada sesak.

            Setelah membeli tiket dan popcorn, kami duduk di kursi yang paling depan. Aku berada diantara Luke dan Michael walau sebenarnya aku tidak mau duduk di samping Luke. Sebentar lagi film dimulai. Aku harap film-nya tidak sedih.

            Film itu pun di putar. Apa? Mengapa baru tiba di awal film itu menceritakan tentang sepasang sahabat yang sudah berteman sejak kecil dan mereka tidak bisa dipisahkan satu sama lain? Rasanya aku ingin kabur dari tempat ini. Tapi sebisa mungkin aku tahan. Film itu terus berputar dan hatiku bagaikan diiris pisau melihat Niki yang adalah pemeran utama cewek jatuh cinta dengan cowok bernama Oliver terus aku merasa si sahabat Niki yang bernama Nata cemburu gitu melihat Niki sama cowok lain. Astaga….

            Padahal Niki sama Nata itu cocok walau menurutku si Oliver lebih ganteng daripada si Nata *ehgantenganafganding*. Terus pas mau selesai, aku sempat meneteskan air mata saat Niki sadar kalau cowok yang selalu ada untuknya itu adalah Nata bukan Oliver. Tapi sayangnya Nata pergi meninggalkan Niki untuk kuliah. Jadi apakah aku nantinya akan seperti Nata yang meninggalkan Niki? Jadi apakah aku akan meninggalkan Luke?

            Tapi sepertinya mereka akan dipertemukan lagi. Niki berusaha mencari Nata di Austria-tempat Nata kuliah- dan pada akhirnya Niki melihat Nata yang sedang bermain piano. Disana Nata terlihat sangat tampan dengan jas hitam-nya sambil bermain piano. Suaranya juga sangat indah, lagu yang dia nyanyikan juga sedih. Lalu akhirnya mereka bertemu. Endingnya bahagia. Tapi aku tidak yakin dengan ending-ku apakah aku bahagia atau tidak.

            Setelah itu kami keluar dari bioskop dan mencari makanan. Aku masih terlihat cengeng karena film itu. Seharusnya aku tidak menonton film itu walau akhirannya bahagia.

            “Si Alesh masih nangis.” Ucap Michael.

            Aku menatap Michael dengan kesal. “Namaku Aleisha, bukan Alesh!” Bantahku. Lalu aku tak sengaja bertatapan dengan Luke. Aku menggigit bibir bawahku. “Luk, aku pulang dulu ya.” Ucapku.

            Luke menatapku heran. “Kenapa? Mumpung kita ada disini, mumpung kau ditraktir makan gratis.” Tanya Luke.

            “Tapi aku tidak enak makan. Aku capek. Aku pulang dulu ya.” Ucapku.

            Tanpa menunggu respon Luke, aku langsung meninggalkan mereka. Film tadi mampu membuatku menangis seperti anak kecil, ditambah dengan Luke, tangisanku menjadi semakin jelas. Bahkan sekarang aku sedang menangis. Lalu tiba-tiba saja ada sebuah tangan yang menarik tanganku. Tangan itu adalah tangan Luke. Aku menutup mulutku menggunakan tanganku yang lain.

            “Kau aneh. Kenapa kau menangis? Apa karena film tadi?” Tanya Luke.

            Saat aku hendak menjawab pertanyaan Luke, aku tidak sengaja melihat sosok cowok yang sudah tidak asing lagi bagiku. Shawn! Shawn memang malaikat penyelamat bagiku. Dia selalu ada untukku saat aku benar-benar bingung dengan keadaan yang aku alami.

            “Shawn!” Teriakku.

            Shawn menoleh dan sedikit kaget denganku. Lalu dia berlari menemuiku. “Kau kenapa?” Tanya Shawn. Lalu dia melirik Luke. “Kau apakah Aleisha sampai dia menangis seperti itu?” Tanyanya dengan suara yang tinggi.

            Luke nampak diam. Entah apa yang sedang dia pikirkan. Kemudian dia melepaskan tangannya. Cepat-cepat aku menarik tangan Shawn dan meninggalkan tempat itu.

            “Kau tidak apa-apa?” Tanya Shawn.

            “Ya, aku tidak apa-apa.” Jawabku.

            “Bohong. Pasti karena Luke. Aku tau Leish kalau kau menyukai Luke tapi kau tidak mau mengungkapkan perasaanmu karena Luke adalah sahabatmu, juga Luke sudah memiliki pacar.” Ucap Shawn.

            Aku menyesal ikut dengan Shawn, tapi ini lebih baik dibanding saat aku bersama Luke. Shawn amat mudah menebak isi hatiku. Aku kagum padanya. Jika saja aku bisa mencintai Shawn…

            Shawn pun mengantarku pulang setelah aku menolak makan siang dengannya.

***

            Luke’s POV

            Aku kembali setelah melihat Aleisha pergi bersama Shawn. Jujur saja, hatiku sakit melihatnya menangis seperti itu. Aku bingung dengannya dan aku tidak bisa menebak apa isi otaknya. Tiba-tiba saja dia menangis. Film yang tadi kami tonton cukup sedih. Kurasa film itu menceritakan kisah kami. Tapi aku sama sekali tidak menyimpan rasa pada Aleisha, tidak tau dengan Aleisha. Ku harap gadis itu tidak menyimpan sedikitpun perasaan padaku.

            “Hei apa yang terjadi dengan Aleisha? Dimana dia?” Tanya Calum.

            “Dia pergi bersama Shawn.” Jawabku.

            “Shawn? Sudah aku duga. Aleisha menyukai Shawn.” Ucap Ashton.

            Kemungkinan besar Aleisha menyukai Shawn begitu pula sebaliknya. Dengan adanya Shawn, Shawn pasti bisa menggantikan posisi-ku. Shawn akan banyak memiliki waktu bersama Aleisha jadi Aleisha tidak kesepian lagi.

            “Kuharap begitu.” Ucapku pelan.

            “Hmm.. Sebaiknya kita bertiga berpisah darimu. Kami tidak enak menganggu kebersamaan kalian.” Ucap Michael.

            Baik aku maupun Lea tertawa. Aku meraih tangan Lea lalu mengajak Lea mencari tempat makanan karena perut kami sangat lapar.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar