Luke’s POV
Tadi itu sangat mengasyikkan. Aku
dan Aleisha naik sepeda bersama. Rasanya aku seperti kembali menuju masa
kecilku yang indah, saat aku masih belum mengetahui arti kehidupan, kesakitan
ataupun penderitaan. Aku pulang ke rumah bersamaan dengan terbenamnya matahari.
Lalu aku tak sengaja melihat mobil Dad yang terparkir di garasi. Jadi Dad sudah
pulang? Entah mengapa perasaanku menjadi tidak enak.
Perlahan, aku membuka knop pintu
rumah. Baru saja aku membukanya, aku sangat kaget melihat ruang tamu yang
berantakan. Tubuhku langsung bergetar hebat. Banyak pecahan kaca ataupun
barang-barang yang tampak mengerikan berserakan di lantai. Dimana mereka?
Dimana Mom dan Dad? Tiba-tiba aku mendengar teriakan hebat dari Mom. Tepatnya
di ruang tengah. Cepat-cepat aku pergi kesana.
Aku menyaksikan dua orang yang
sangat aku cintai bertengkar dan yang mendominasi adalah teriakan Mom. Bisa aku
lihat Mom yang berantakan. Dad juga. Dia terlihat seperti habis mabuk. Wajahnya
tampak tua. Sebisa mungkin aku menahan sesak di dadaku. Bisa saja aku menangis
melihat mereka yang tidak akur tapi aku berusaha menahan tangisku.
“Lihat! Anak itu datang! Gara-gara
anak itu aku jadi bangkrut!” Bentak Dad saat menyadari keberadaanku.
Mom membelaku. “Itu bukan salah
Luke! Itu salahmu!” Ucap Mom.
“Itu salah kalian berdua! Seharusnya
kalian pergi dari rumah ini!” Bentak Dad.
Ini bukan pertama kalinya aku
melihat mereka bertengkar dan menyalahkan satu sama lain. Akhirnya aku
memutuskan masuk ke kamar lalu menguncinya kemudian aku memasang headset di telingaku. Lagu yang pertama
kali aku mainkan adalah lagu yang pernah Aleisha nyanyikan, yaitu Sleepless
Nights oleh Faber Drive. Lagu yang cocok denganku. Tentang sebuah rumah yang
hancur.
“Will
this ever end? Will this house be a home again?
If I had my way, I'd corner him and
say..”
Aku berharap semua yang aku alami hanyalah mimpi buruk. Aku ingin
keluargaku kembali seperti dulu, keluarga yang bahagia tanpa pertengkaran. Tapi
bagaimana caranya? Bagaimana caraku agar bisa membuat mereka kembali mencintai
satu sama lain?
***
Aleisha’s POV
“Luk! Kau baik-baik saja?”
Pagi ini Luke terlihat buruk.
Rambutnya berantakan. Aku kasihan padanya. Apa ada hubungannya dengan mantan
Luke? Aku menatap Luke dengan ragu.
“Aku baik-baik saja Leish. Jangan
khawatirkan aku.” Jawab Luke.
Suara Luke terdengar serak. Aku
yakin sekali Luke sedang tidak baik-baik saja. Lalu aku tak sengaja menemukan
luka yang cukup besar di tangan Luke bagian kiri. Bukan lengannya saja yang
terlihat lebam, tapi di punggung tangan, telapak tangan dan jari-jari Luke
membuatku ngeri. Terutama di jari-jari tangan kirinya yang nampak mengerikan.
Kenapa Luke tidak memperbannya saja? Aku takut jari-jari itu tak akan berfungsi
lagi dengan baik.
“Kenapa tangan kirimu itu? Luk, aku
akan mengambil perban.” Ucapku lalu masuk ke dalam kamar untuk mengambil perban
dan obat.
“Aku tidak apa-apa.” Ucap Luke saat
aku kembali.
Aku tidak mempedulikan ucapan Luke.
Lalu aku melihat luka di tangan Luke yang terlihat semakin parah. Sebaiknya aku
membawa Luke ke rumah sakit. Tapi aku dan dia harus sekolah. Setelah
dipikir-pikir, akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke rumah sakit. Awalnya Luke
menolak tapi akhirnya dia nurut saja. Aku baru sadar kalau Luke tidak membawa
motor. Bagaimana cara dia membawa motor sedangkan tangan kirinya dalam keadaan
seperti itu?
Untunglah aku menemukan taksi di
jalan raya jadi aku tidak perlu menelpon taksi. Aku melihat Luke yang mulai
merasakan kesakitan. Luke kenapa sih? Tapi saat aku tanya dia selalu menjawab
kalau dia baik-baik saja.
“Tanganmu kenapa Luk?” Tanyaku.
Luke tidak menjawab pertanyaanku.
Dia menunduk sambil berusaha menahan rasa sakit di tangan kirinya. Tuhan..
Rasanya aku ingin menangis melihat keadaannya. Entah apa karena aku kurang peka
atau bagaimana, ternyata luka di tangan kiri Luke benar-benar fatal. Kalau
tidak cepat-cepat di tangani maka akan bertambah parah.
“Luke! Jawab pertanyaanku! Tanganmu
kenapa?” Tanyaku dengan suara yang lebih keras.
Luke menoleh ke arahku. “Dad yang
melakukannya padaku.” Jawabnya.
“Apa? Kenapa bisa? Kau salah apa
pada Ayahmu? Kenapa Ayahmu tega melukaimu?” Tanyaku tidak percaya.
“Because
he hates me. He hates my mom too. He hates everyone.” Jawab Luke.
Aku menatap Luke kasihan. Sudah aku
duga. Keadaan rumah Luke sedang tidak baik. Aku tak menyangka hal itu bisa
terjadi pada Luke. Kalau aku, meski orangtuaku bertengkar, tapi Dad sama sekali
tak pernah melukai Mom atau melukaiku.
“Luke.. Aku..” Ucapku.
“It’s
ok. Yang aku butuhkan hanya kamu. Aku tak peduli dengan mereka. Aku tak
peduli dengan rumah yang bagiku berubah menjadi neraka. Aku tak peduli.” Ucap
Luke.
Aku langsung merangkul Luke lalu
menangis di bahu-nya. Luke pun menaruh dagunya di atas kepalaku kemudian dia
merangkul-ku. Aku rasa kami berdua adalah korban broken home yang amat menyakitkan. Orangtua kami sangat jahat!
Mereka tidak mau mengerti perasaan kami! Mereka sangat egois! Aku benci mereka!
Setiba di rumah sakit, Luke langsung
ditangani oleh dokter dan beberapa perawat. Aku menunggu dengan sabar. Aku
membuka ponsel-ku. Ada satu pesan masuk dari Michael tapi aku memilih untuk
tidak membalasnya. Setelah menunggu waktu yang cukup lama dan tentu saja
berjuang menahan kelaparan, aku melihat Luke yang keluar dari ruang rawat.
Tangan kirinya diperban, khusunya di bagian jari dan telapak tangannya. Aku
berjalan mendekati Luke.
“Apa kata dokter? Tanganmu baik-baik
saja kan?” Tanyaku.
“Ya, hanya saja tangan kiri-ku tidak
bisa bekerja dengan maksimal seperti sebelumnya. Dad terlalu kasar padaku dan
dia sangat bernafsu untuk melukaiku.” Jawab Luke.
Tahan air matamu Leish, tahan.. Tapi
kenapa harus tangan Luke yang sakit? Bagiku, tangan itu sangat berharga. Aku
lebih memilih kehilangan kaki dibandingkan kehilangan tangan. Kemudian kami
memutuskan untuk mencari makanan. Luke memintaku untuk datang ke tempat latihan
band dan makan disana. Aku menurut saja.
Setelah kami membeli makanan, kami
pun pergi menuju tempat latihan band. Apa yang akan kita lakukan disini? Aku
pun membuka makananku lalu memakannya. Sama hal-nya dengan Luke. Untunglah
tangan kanannya tidak kenapa-napa jadi dia bisa makan menggunakan tangan
kanannya walau susah juga karena tangan kirinya masih sakit dan sedang dalam
proses pengobatan.
“Sebenarnya aku ingin membawakan
lagu untukmu. Aku ingin bermain piano untukmu. Tapi kurasa.. Kurasa aku sudah
tidak bisa lagi bermain piano ataupun gitar.” Ucap Luke.
Tentu saja aku kaget mendengar
ucapan Luke. Tidak. Luke pasti sembuh dan tangan kirinya pasti bisa berfungsi
lagi dengan baik. Bermain piano itu cukup mudah dan aku yakin sekali Luke pasti
bisa melakukannya walau dengan keadaan seperti itu.
“Tapi aku akan memainkannya untukmu
saat ini juga.” Ucap Luke.
Luke bangkit dari duduknya lalu dia
menemukan piano namun tidak sebesar dengan piano yang ada di rumahnya. Kurasa
itu bukan piano melainkan keyboard. Aku melihat Luke dengan tatapan sedih. Dia
mulai menekan piano itu dan tangan kiri-nya… Sebaiknya tidak usah. Pasti terasa
sakit.
“Kau mau mendengarkannya kan?” Tanya
Luke.
Aku mengangguk pelan. Suara
dentingan piano mulai terdengar. Luke benar-benar hebat! Dalam keadaannya yang
seperti itu dia masih bisa bermain piano walau tidak sebagus seperti saat
tangan kirinya tidak terluka seperti itu. Aku memejamkan mataku.
“They
would yell, they would scream, they were fighting it out
She would hope, she would pray, she
was waiting it out
Holding onto a dream
While she watches these walls fall
down
Sharp words like knives, they were
cutting her down
Shattered glass like the past, it's a
memory now
Holding onto a dream
While she watches these walls fall
down..”
Baru saja Luke menyanyikan lagu itu sudah membuat dadaku sesak. Dia menceritakan
tentang kisahku bersama rumahku yang hancur walau Luke tidak tau kalau
orangtuaku bertengkar dan karena itulah aku pindah ke Sydney untuk menghindari
mereka.
“Hey mum, hey dad, when did this
end?
Where did you lose your happiness?
I'm here alone inside of this broken
home
Who's right, who's wrong, who really
cares?
The fault, the blame, the pain's
still there
I'm here alone inside of this broken
home, this broken home..”
Air mataku menetes dengan deras. Sedangkan Luke menyanyikan lagu itu dengan
penuh penghayatan. Sebuah lagu yang benar-benar menyayat hati. Apalagi ditambah
dengan suara Luke yang mampu membuat tubuhku bergemetar.
“You've gotta let it go, you're
losing all your hope
Nothing left to hold, locked out in
the cold
You painted memories then washed out
all the scenes
I'm stuck in between a nightmare and
lost dreams
Hey mum, hey dad, when did this end?
Where did you lose your happiness?
I'm here alone inside of this broken
home..
Hey mum, hey dad, when did this end?
Where did you lose your happiness?
I'm here alone inside of this broken
home
Who's right, who's wrong, who really
cares?
The fault, the blame, the pain's
still there
I'm here alone inside of this broken
home, this broken home..”
Setelah Luke selesai menyanyikan lagu itu, aku langsung memeluk Luke
sambil menangis. Mungkin Luke heran padaku kenapa aku bisa menangis sekencang
ini hanya karena lagu itu.
“Lagu yang bagus, Luk.” Ucapku.
“Thanks. Aku yang menulisnya
sendiri.” Ucap Luke.
“Benarkah? Kau sangat hebat. Sebenarnya.. Sebenarnya lagu itu sesuai
dengan keadaanku.” Ucapku.
Luke menatapku dengan heran akan ucapanku itu. “Apa kau..” Ucap Luke lalu
aku memotongnya.
“Ya. Orangtuaku sering bertengkar dan sekarang mereka sudah cerai. Karena
itulah aku pindah ke Sydney. Aku tidak tahan dengan mereka maka aku memilih
untuk menjauhi mereka.” Ucapku.
“Leish..” Lirih Luke.
Pelukan Luke semakin erat. Aku ingin aku selalu berada di pelukan itu.
Rasanya seperti aku melupakan semua masalah yang aku alami. Bersama Luke,
semuanya akan menjadi baik-baik saja meski kenyataannya tidak baik-baik saja.
Karena yang paling aku butuhkan adalah senyumannya dan tentu saja kebahagiaan
Luke. Aku tidak peduli bagaimana Luke atau kalau-kalau dia berubah, asalkan aku
masih bisa melihatnya tersenyum bahagia. Itu saja. Aku bersumpah untuk selalu
ada disamping Luke sekalipun itu menyakitkan. Sekalipun jika suatu saat nanti
Luke akan menggandeng tangan gadis lain. Aku siap menghadapi semua itu.
Aku mencintaimu, Luk..
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar