expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Jumat, 10 Juni 2016

Can't Have You ( Part 19 )



Luke’s POV

            Tadi itu sangat mengasyikkan. Aku dan Aleisha naik sepeda bersama. Rasanya aku seperti kembali menuju masa kecilku yang indah, saat aku masih belum mengetahui arti kehidupan, kesakitan ataupun penderitaan. Aku pulang ke rumah bersamaan dengan terbenamnya matahari. Lalu aku tak sengaja melihat mobil Dad yang terparkir di garasi. Jadi Dad sudah pulang? Entah mengapa perasaanku menjadi tidak enak.

            Perlahan, aku membuka knop pintu rumah. Baru saja aku membukanya, aku sangat kaget melihat ruang tamu yang berantakan. Tubuhku langsung bergetar hebat. Banyak pecahan kaca ataupun barang-barang yang tampak mengerikan berserakan di lantai. Dimana mereka? Dimana Mom dan Dad? Tiba-tiba aku mendengar teriakan hebat dari Mom. Tepatnya di ruang tengah. Cepat-cepat aku pergi kesana.

            Aku menyaksikan dua orang yang sangat aku cintai bertengkar dan yang mendominasi adalah teriakan Mom. Bisa aku lihat Mom yang berantakan. Dad juga. Dia terlihat seperti habis mabuk. Wajahnya tampak tua. Sebisa mungkin aku menahan sesak di dadaku. Bisa saja aku menangis melihat mereka yang tidak akur tapi aku berusaha menahan tangisku.

            “Lihat! Anak itu datang! Gara-gara anak itu aku jadi bangkrut!” Bentak Dad saat menyadari keberadaanku.

            Mom membelaku. “Itu bukan salah Luke! Itu salahmu!” Ucap Mom.

            “Itu salah kalian berdua! Seharusnya kalian pergi dari rumah ini!” Bentak Dad.

            Ini bukan pertama kalinya aku melihat mereka bertengkar dan menyalahkan satu sama lain. Akhirnya aku memutuskan masuk ke kamar lalu menguncinya kemudian aku memasang headset di telingaku. Lagu yang pertama kali aku mainkan adalah lagu yang pernah Aleisha nyanyikan, yaitu Sleepless Nights oleh Faber Drive. Lagu yang cocok denganku. Tentang sebuah rumah yang hancur.

            Will this ever end? Will this house be a home again?

If I had my way, I'd corner him and say..”

Aku berharap semua yang aku alami hanyalah mimpi buruk. Aku ingin keluargaku kembali seperti dulu, keluarga yang bahagia tanpa pertengkaran. Tapi bagaimana caranya? Bagaimana caraku agar bisa membuat mereka kembali mencintai satu sama lain?

***

            Aleisha’s POV

            “Luk! Kau baik-baik saja?”

            Pagi ini Luke terlihat buruk. Rambutnya berantakan. Aku kasihan padanya. Apa ada hubungannya dengan mantan Luke? Aku menatap Luke dengan ragu.

            “Aku baik-baik saja Leish. Jangan khawatirkan aku.” Jawab Luke.

            Suara Luke terdengar serak. Aku yakin sekali Luke sedang tidak baik-baik saja. Lalu aku tak sengaja menemukan luka yang cukup besar di tangan Luke bagian kiri. Bukan lengannya saja yang terlihat lebam, tapi di punggung tangan, telapak tangan dan jari-jari Luke membuatku ngeri. Terutama di jari-jari tangan kirinya yang nampak mengerikan. Kenapa Luke tidak memperbannya saja? Aku takut jari-jari itu tak akan berfungsi lagi dengan baik.

            “Kenapa tangan kirimu itu? Luk, aku akan mengambil perban.” Ucapku lalu masuk ke dalam kamar untuk mengambil perban dan obat.

            “Aku tidak apa-apa.” Ucap Luke saat aku kembali.

            Aku tidak mempedulikan ucapan Luke. Lalu aku melihat luka di tangan Luke yang terlihat semakin parah. Sebaiknya aku membawa Luke ke rumah sakit. Tapi aku dan dia harus sekolah. Setelah dipikir-pikir, akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke rumah sakit. Awalnya Luke menolak tapi akhirnya dia nurut saja. Aku baru sadar kalau Luke tidak membawa motor. Bagaimana cara dia membawa motor sedangkan tangan kirinya dalam keadaan seperti itu?

            Untunglah aku menemukan taksi di jalan raya jadi aku tidak perlu menelpon taksi. Aku melihat Luke yang mulai merasakan kesakitan. Luke kenapa sih? Tapi saat aku tanya dia selalu menjawab kalau dia baik-baik saja.

            “Tanganmu kenapa Luk?” Tanyaku.

            Luke tidak menjawab pertanyaanku. Dia menunduk sambil berusaha menahan rasa sakit di tangan kirinya. Tuhan.. Rasanya aku ingin menangis melihat keadaannya. Entah apa karena aku kurang peka atau bagaimana, ternyata luka di tangan kiri Luke benar-benar fatal. Kalau tidak cepat-cepat di tangani maka akan bertambah parah.

            “Luke! Jawab pertanyaanku! Tanganmu kenapa?” Tanyaku dengan suara yang lebih keras.

            Luke menoleh ke arahku. “Dad yang melakukannya padaku.” Jawabnya.

            “Apa? Kenapa bisa? Kau salah apa pada Ayahmu? Kenapa Ayahmu tega melukaimu?” Tanyaku tidak percaya.

            Because he hates me. He hates my mom too. He hates everyone.” Jawab Luke.

            Aku menatap Luke kasihan. Sudah aku duga. Keadaan rumah Luke sedang tidak baik. Aku tak menyangka hal itu bisa terjadi pada Luke. Kalau aku, meski orangtuaku bertengkar, tapi Dad sama sekali tak pernah melukai Mom atau melukaiku.

            “Luke.. Aku..” Ucapku.

            It’s ok. Yang aku butuhkan hanya kamu. Aku tak peduli dengan mereka. Aku tak peduli dengan rumah yang bagiku berubah menjadi neraka. Aku tak peduli.” Ucap Luke.

            Aku langsung merangkul Luke lalu menangis di bahu-nya. Luke pun menaruh dagunya di atas kepalaku kemudian dia merangkul-ku. Aku rasa kami berdua adalah korban broken home yang amat menyakitkan. Orangtua kami sangat jahat! Mereka tidak mau mengerti perasaan kami! Mereka sangat egois! Aku benci mereka!

            Setiba di rumah sakit, Luke langsung ditangani oleh dokter dan beberapa perawat. Aku menunggu dengan sabar. Aku membuka ponsel-ku. Ada satu pesan masuk dari Michael tapi aku memilih untuk tidak membalasnya. Setelah menunggu waktu yang cukup lama dan tentu saja berjuang menahan kelaparan, aku melihat Luke yang keluar dari ruang rawat. Tangan kirinya diperban, khusunya di bagian jari dan telapak tangannya. Aku berjalan mendekati Luke.

            “Apa kata dokter? Tanganmu baik-baik saja kan?” Tanyaku.

            “Ya, hanya saja tangan kiri-ku tidak bisa bekerja dengan maksimal seperti sebelumnya. Dad terlalu kasar padaku dan dia sangat bernafsu untuk melukaiku.” Jawab Luke.

            Tahan air matamu Leish, tahan.. Tapi kenapa harus tangan Luke yang sakit? Bagiku, tangan itu sangat berharga. Aku lebih memilih kehilangan kaki dibandingkan kehilangan tangan. Kemudian kami memutuskan untuk mencari makanan. Luke memintaku untuk datang ke tempat latihan band dan makan disana. Aku menurut saja.

            Setelah kami membeli makanan, kami pun pergi menuju tempat latihan band. Apa yang akan kita lakukan disini? Aku pun membuka makananku lalu memakannya. Sama hal-nya dengan Luke. Untunglah tangan kanannya tidak kenapa-napa jadi dia bisa makan menggunakan tangan kanannya walau susah juga karena tangan kirinya masih sakit dan sedang dalam proses pengobatan.

            “Sebenarnya aku ingin membawakan lagu untukmu. Aku ingin bermain piano untukmu. Tapi kurasa.. Kurasa aku sudah tidak bisa lagi bermain piano ataupun gitar.” Ucap Luke.

            Tentu saja aku kaget mendengar ucapan Luke. Tidak. Luke pasti sembuh dan tangan kirinya pasti bisa berfungsi lagi dengan baik. Bermain piano itu cukup mudah dan aku yakin sekali Luke pasti bisa melakukannya walau dengan keadaan seperti itu.

            “Tapi aku akan memainkannya untukmu saat ini juga.” Ucap Luke.

            Luke bangkit dari duduknya lalu dia menemukan piano namun tidak sebesar dengan piano yang ada di rumahnya. Kurasa itu bukan piano melainkan keyboard. Aku melihat Luke dengan tatapan sedih. Dia mulai menekan piano itu dan tangan kiri-nya… Sebaiknya tidak usah. Pasti terasa sakit.

            “Kau mau mendengarkannya kan?” Tanya Luke.

            Aku mengangguk pelan. Suara dentingan piano mulai terdengar. Luke benar-benar hebat! Dalam keadaannya yang seperti itu dia masih bisa bermain piano walau tidak sebagus seperti saat tangan kirinya tidak terluka seperti itu. Aku memejamkan mataku.

            They would yell, they would scream, they were fighting it out

She would hope, she would pray, she was waiting it out

Holding onto a dream

While she watches these walls fall down

Sharp words like knives, they were cutting her down

Shattered glass like the past, it's a memory now

Holding onto a dream

While she watches these walls fall down..”

Baru saja Luke menyanyikan lagu itu sudah membuat dadaku sesak. Dia menceritakan tentang kisahku bersama rumahku yang hancur walau Luke tidak tau kalau orangtuaku bertengkar dan karena itulah aku pindah ke Sydney untuk menghindari mereka.

Hey mum, hey dad, when did this end?

Where did you lose your happiness?

I'm here alone inside of this broken home

Who's right, who's wrong, who really cares?

The fault, the blame, the pain's still there

I'm here alone inside of this broken home, this broken home..”

Air mataku menetes dengan deras. Sedangkan Luke menyanyikan lagu itu dengan penuh penghayatan. Sebuah lagu yang benar-benar menyayat hati. Apalagi ditambah dengan suara Luke yang mampu membuat tubuhku bergemetar.

You've gotta let it go, you're losing all your hope

Nothing left to hold, locked out in the cold

You painted memories then washed out all the scenes

I'm stuck in between a nightmare and lost dreams


Hey mum, hey dad, when did this end?

Where did you lose your happiness?

I'm here alone inside of this broken home..



Hey mum, hey dad, when did this end?

Where did you lose your happiness?

I'm here alone inside of this broken home

Who's right, who's wrong, who really cares?

The fault, the blame, the pain's still there

I'm here alone inside of this broken home, this broken home..”

Setelah Luke selesai menyanyikan lagu itu, aku langsung memeluk Luke sambil menangis. Mungkin Luke heran padaku kenapa aku bisa menangis sekencang ini hanya karena lagu itu.

“Lagu yang bagus, Luk.” Ucapku.

Thanks. Aku yang menulisnya sendiri.” Ucap Luke.

“Benarkah? Kau sangat hebat. Sebenarnya.. Sebenarnya lagu itu sesuai dengan keadaanku.” Ucapku.

Luke menatapku dengan heran akan ucapanku itu. “Apa kau..” Ucap Luke lalu aku memotongnya.

“Ya. Orangtuaku sering bertengkar dan sekarang mereka sudah cerai. Karena itulah aku pindah ke Sydney. Aku tidak tahan dengan mereka maka aku memilih untuk menjauhi mereka.” Ucapku.

“Leish..” Lirih Luke.

Pelukan Luke semakin erat. Aku ingin aku selalu berada di pelukan itu. Rasanya seperti aku melupakan semua masalah yang aku alami. Bersama Luke, semuanya akan menjadi baik-baik saja meski kenyataannya tidak baik-baik saja. Karena yang paling aku butuhkan adalah senyumannya dan tentu saja kebahagiaan Luke. Aku tidak peduli bagaimana Luke atau kalau-kalau dia berubah, asalkan aku masih bisa melihatnya tersenyum bahagia. Itu saja. Aku bersumpah untuk selalu ada disamping Luke sekalipun itu menyakitkan. Sekalipun jika suatu saat nanti Luke akan menggandeng tangan gadis lain. Aku siap menghadapi semua itu.

Aku mencintaimu, Luk..

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar