“Going back to the corner where I first saw
you
Gonna camp in my sleeping bag I'm not
gonna move
Got some words on cardboard, got your
picture in my hand
Saying, "If you see this girl
can you tell her where I am?"
Some try to hand me money, they don't
understand
I'm not broke - I'm just a
broken-hearted man
I know it makes no sense but what
else can I do?
How can I move on when I'm still in
love with you?
'Cause if one day you wake up and
find that you're missing me
And your heart starts to wonder where
on this earth I could be
Thinking maybe you'll come back here
to the place that we'd meet
And you'll see me waiting for you on
the corner of the street
So I'm not moving, I'm not moving..”
“Leish? Leish?”
Aku langsung mem-pause lagu yang aku stel. Ternyata sedari tadi Ronnie
memanggil namaku tapi aku tidak mendengarnya. Bagaimana bisa aku mendengarnya
sedangkan aku sedang mendengarkan lagu lewat headset?
“Apaan sih?” Tanyaku. Moodku sangat buruk hari ini. Sejak pagi tadi hatiku
masih terasa sakit akibat kemarin. Tapi sebisa mungkin aku kuat menghadapinya.
Ini adalah pilihanku.
“Kau kenapa sih sejak pagi tadi kesal mulu?” Tanya Ronnie.
Aku menatap Ronnie kesal. Tumben dia perhatian padaku biasanya Ronnie
selalu mencuekkanku jika mood ku sedang tidak baik seperti ini.
“Kau tau Luke dan geng-nya?” Tanyaku.
Ronnie mengangguk.
“Aku sudah tidak mau berteman dengan mereka lagi.” Ucapku.
“Kenapa?” Tanya Ronnie.
Aku menarik nafas panjang. “Jika saja tidak ada nenek lampir itu, aku
tentu masih bisa berteman baik dengan Luke.” Jawabku.
“Lea? Sebenarnya sih aku juga tidak mau bergabung dengan mereka. Tidak
tau kenapa aku merasa takut sama Lea. Aku berharap Luke putus sama Lea. Gadis
itu sangat licik. Kau tidak ingin kan Luke kenapa-napa karena Lea?” Ucap
Ronnie.
Seandainya aku diberi izin untuk menangis maka aku akan menangis saat ini
juga. Luke. Aku sudah lelah dengan nama itu. Kemarin aku sudah marah-marah sama
Luke dan sepertinya Luke membenciku. Tapi ini yang terbaik. Aku tidak mau masuk
ke bagian hidupnya. Aku hanya bisa berharap Luke selalu baik-baik saja dan
tentunya bahagia dengan apa yang dipilihnya.
“Tapi kau masih ingin kan bercanda sama Luke?” Tanya Ronnie.
‘Iya!’ Teriakku dalam hati. Tapi aku sudah tidak tahan dengan semuanya.
Rasanya semuanya pada mendesakku untuk melupakan Luke karena itu pilihan yang
terbaik. Di dunia ini cowok bukan hanya Luke saja kan? Tapi bagaimana caranya
untuk bisa move on? Mendengarkan lagu
galau? Itu hanya bisa membuat hatiku semakin sakit.
“Aku yakin hubungan mereka akan berakhir dan Luke pasti ingin berteman
denganmu lagi.” Ucap Ronnie.
Apa yang dikatakan Ronnie benar. Aku hanya menunggu kapan waktu akan
memisahkan mereka. Tapi kapan? Bagaimana jika hubungan mereka semakin erat? Bagaimana
jika Luke berubah menjadi anak yang nakal hanya karena Lea?
***
Dua minggu.
Luke benar-benar serius. Dia terlalu sakit hati karena keinginanku untuk
tidak lagi berteman dengannya. Tapi aku iseng memperhatikan Luke dan dia tampak
baik-baik saja. Bahkan Luke jauh lebih baik ketimbang saat kami masih berteman.
Sialan! Tentu saja Luke terlihat baik-baik saja karena aku hanya sahabatnya,
bukan orang penting dalam hidupnya. Tapi Luke pernah mengatakan kalau dia tidak
ingin kehilanganku karena aku sudah menjadi bagian dari hidupnya. Oke.
Selama itulah aku menjadi sosok yang jauh lebih pendiam dibandingkan
sosok pendiam lamaku. Aku lebih banyak menghabiskan waktuku di perpustakaan.
Mungkin banyak orang yang heran padaku, kenapa aku tidak lagi berteman dengan
Luke. Hah! Biarkan saja! Aku tidak peduli! Seharusnya sejak awal aku memang
tidak mengenalinya. Tapi siapa yang bisa menduga jalan kisahku menjadi seperti
ini? Dan kenapa aku harus jatuh cinta pada Luke?
Aku dan Ronnie makan di kantin. Hanya kami berdua. Aku tidak melihat
Cassa. Aku perhatikan Michael jarang bertemu dengan Luke karena keduanya sibuk
dengan urusan masing-masing. Michael sama Cassa sedangkan Luke sama Lea. Kalau
Ashton dan Calum gabung sama teman-teman mereka yang lain.
Aku tersedak saat aku melihat sepasang kekasih yang terlihat mesra
memasuki kantin. Lea, gadis itu melingkarkan tangannya di lengan Luke. Ingin
rasanya aku muntah. Ronnie juga sama. Hey
hey hey you I don’t like your girlfriend! Tanpa sengaja mata kami
bertatapan. Cepat-cepat aku mengalihkan pandang. Aku takut jika Luke mengira
aku munafik, ucapan yang tidak sesuai dengan kata hatiku.
“Aku heran kenapa hanya gadis seperti Lea yang bisa mendapatkan cowok
yang tampan seperti Luke? Aku ingin sekali mendengar kisah idola sekolah yang
jatuh cinta sama sosok yang biasa-biasa saja.” Ucap Ronnie.
“Jangan bicarakan Luke lagi. Aku malas.” Ucapku.
“Baiklah.” Ucap Ronnie.
Dan pada ujungnya aku-lah yang tersakiti, bukan Luke.
***
Aku tiba di rumah. Rasanya ada yang
aneh. Aku membuka pintu gerbang lalu masuk ke dalam. Saat aku masuk ke dalam
rumah, aku dikagetkan oleh kejutan yang sangat tidak aku duga. Dad! Dad ada
disini! Dia tersenyum padaku. Untuk apa Dad menemuiku disini? Seharusnya aku
yang menemuinya.
“Dad! Harusnya aku yang menemui
Dad!” Ucapku.
“Bagaimana kabarmu?” Tanya Dad.
“Baik.” Jawabku.
Aku duduk di dekat Dad. Ada paman
dan Harry juga disini. Kenapa Dad tidak membawa istri barunya? Aku mulai
mencium bau-bau tidak enak. Pasti ada hal penting yang ingin Dad bicarakan
padaku. Tidak mungkin Dad kemari hanya untuk melepas rindu saja.
“Leish, Dad sudah pernah bilang
kalau Dad ingin kau kembali ke Perth.” Ucap Dad.
Dadaku terasa sesak mendengar ucapan
Dad. Sesulit itukah hidupku? Aku melihat wajah Dad yang penuh harap agar aku
mau kembali tinggal dengannya. Tapi aku belum siap Dad. Lebih tepatnya lagi aku
belum siap melupakan Luke. Sampai sekarang aku tidak bisa melupakannya walau
Luke sudah tidak menganggapku ada. Tapi rasanya amat bahagia melihat senyumnya,
tawanya, wajah bahagia dari jauh. Aku sudah bilang, jika tidak ada Luke, pasti
saat ini juga aku sudah berada di Perth.
“Maaf Dad aku belum siap.” Ucapku
jujur.
Dad memasang wajah kecewanya.
“Sampai kapan kau disini? Kau adalah anak Dad. Kau satu-satunya anak Dad. Dad
tidak ingin jauh darimu walau selama ini Dad sibuk dengan pekerjaan Dad.”
Ucapnya.
Dilema itu kembali menyerangku. Antara harus pergi dan jangan pergi.
Sungguh aku sangat bingung. Jadi apa yang harus aku lakukan? Demi Tuhan aku
tidak sanggup meninggalkan Luke! Aku selalu ingin memerhatikannya setiap saat.
Ya. Aku tidak bisa move on darinya. How can I move on when I'm still in love
with you? Meski aku bukan pacar Luke, tetapi aku tidak bisa
meninggalkannya.
“Pasti ada alasannya kan yang
membuatmu tidak ingin meninggalkan Sydney?” Tanya Dad.
Sabar Leish, kau harus bisa menahan
air matamu agar tidak jatuh. Iya, Dad! Luke is
the only reason why can’t I levae this city. Tapi untuk apa mempertahankan
perasaan bodoh itu? Siapa tau kan kalau aku kembali ke Perth aku bisa
melupakannya? Tapi sekali lagi aku masing bingung dan ragu.
“Dad, ku mohon beri aku waktu. Aku
janji akan tinggal bersama Dad, tapi tidak tau kapan.” Ucapku.
Akhirnya Dad mengangguk. Syukurlah
dia mau memahami perasaanku. Setelah itu aku meminta izin masuk ke dalam
kamarmu. Kalian tau kegiatan apa yang aku lakukan saat tiba di kamar? Yaitu
menangis. Aku menangis sambil memeluk guling. Tangisanku seperti anak kecil.
Rasanya sesak sekali, sesak sekali!
“Leish?”
Sialnya aku tidak mengunci dan
menutup pintu sehingga Harry bisa masuk ke dalam kamarmu. Tampaknya dia
prihatin akan keadaanku walau Harry tidak tau apa masalahku. Harry duduk di
tepi ranjangku sambil mengelus punggungku.
“Luke. Pasti karena Luke kan?” Tebak
Harry.
Terpaksa aku mengangguk.
“Aku ingat betul pertengkaran
kalian. Tapi aku tidak bisa ikut campur. Terakhir aku melihat Luke, dia marah
padamu. Bukan marah. Maksudku dia kecewa padamu. Kau tega memutus persahabatan
dengannya padahal Luke sangat menyayangimu.” Ucap Harry.
Aku menatap Harry. “Untuk apa
mempertahankan persahabatan kita jika aku terus saja merasakan kesakitan?”
Tanyaku dengan suara tinggi.
“Memangnya selama ini Luke jahat
padamu?” Tanya Harry.
“Jahat! Luke sangat jahat padaku!” Jawabku.
“Kenapa? Luke adalah anak yang baik
dan sopan.” Ucap Harry.
“Kau bilang Luke anak yang baik?
Luke sangat jahat Harry! Dia tega membuatku jatuh cinta padanya sedangkan Luke
sama sekali tidak mencintaiku. Selama ini aku kira dia menyimpan rasa padaku.
Luke pernah menciumku dan menatapku dengan tatapan yang tidak biasa. Terus,
Luke pacaran dengan gadis yang menginginkanku pergi dari hidupnya. Bukankah itu
sangat menyakitkan? Semuanya ingin aku melupakan Luke! Entah pacar Luke, juga
Dad! Dad menyuruhku melupakan Luke dengan cara memaksaku kembali tinggal di
Perth. Tapi aku mau! Aku mau tinggal di Perth lagi! Aku mau! Tapi aku tidak
bisa karena Luke! Aku tidak bisa meninggalkan Luke walau aku sudah
mengecewakannya! Tapi asal kau tau Harr, aku ingin sekali melupakan Luke dan
membuang perasaanku padanya. Tapi bagaimana? Kenapa Tuhan tidak mau menghapus
rasa cintaku pada Luke? Kenapa? Kenapa Tuhan ingin hidupku menderita karena
Luke?”
Suaraku hampir habis mengucapkan
kata demi kata yang tiba-tiba saja keluar dari mulutku. Dadaku semakin sesak.
Kemudian Harry memelukku. Aku menangis di pelukannya lalu tiba-tiba aku
teringat dengan pelukan Luke. Luke sialan! Luke sialan!
Harry melepaskan pelukannya. “Kau
bisa melupakan Luke, kau bisa melakukannya.” Ucap Harry.
“Caranya gimana? Aku lelah Harr.
Saat aku mencoba melupakannya, bayangannya semakin menjadi-jadi.” Ucapku
frustrasi.
Sepertinya Harry tampak bingung.
“Leish, kalau Luke menyayangimu dan tidak ingin kehilanganmu, kau harus
menyatakan perasaanmu pada Luke.” Ucapnya.
“Tapi gimana Harr? Aku sudah sangat
malu dan bersalah sama Luke. Aku sudah tidak sudi berhadapan dengannya.”
Ucapku.
“Aku tau kau adalah gadis yang
pintar. Kau bisa melakukannya dengan mudah. Sekarang ikuti saja kata hatimu.
Aku yakin sekali nantinya kau akan menemukan keputusan yang terbaik.” Ucap
Harry.
Menyatakan perasaan pada Luke? Yang
benar saja.
***
“Aku mau ke kamar mandi dulu.”
Seharusnya aku tidak sekolah dulu
hari ini. Seharusnya saat ini aku menangis di dalam kamarku. Akhirnya aku
memutuskan pergi ke kamar mandi untuk membasuh wajahku. Aku tiba di kamar
mandi. Sepi. Aku sengaja tidak mengajak Ronnie karena rasanya aku ingin
berlama-lama disini. Jam pertama Luke tidak ada. Hah! Untuk apa aku memikirkan
Luke? Dia sekolah atau tidak sekolah itu bukan urusanku!
Aku membasuh wajahku dengan air.
Segar. Aku bisa melihat dengan jelas wajahku di depan cermin yang sengaja di
taruh di dinding wastafel itu. Wajah yang sangat mengerikan. Di mataku masih
jelas bekas tangisan yang aku lakukan sejak kemarin. Aku menarik nafas
dalam-dalam lalu mengeluarkannya. Kau harus kuat Leish dan harus bisa
memutuskan suatu keputusan yang tepat agar kau tidak menyesal.
Saat aku membalikkan badan, refleks
aku menutup mulutku melihat apa yang aku lihat. Tepatnya di kamar mandi nomor
tiga. Aku kira pemandangan itu hanyalah fatamorgana karena aku terlalu banyak
pikiran. Tapi ternyata tidak! Apa yang aku lihat adalah suatu kenyataaan!
Sepertinya mereka tidak menyadari keberadaanku. Tapi mana peduli juga mereka
denganku?
Aku tersenyum sedih melihat Luke,
astaga dia nekat masuk ke toilet perempuan hanya karena… Lea! Aku bisa melihat
mereka dengan jelas disana. Luke dan Lea tampak asyik berciuman tanpa
memikirkan akibatnya. Hatiku terasa sakit melihat pemandangan itu, tapi anehnya
aku terus saja melihatnya. Luke benar-benar dibuat gila oleh Lea! Dan kemudian…
Demi Tuhan kenapa mereka berani melakukannya di sekolah? Bukankah mereka bebas
melakukan apapun di tempat selain sekolah?
Lea, gadis setan itu nekat membuka
bajunya dan hanya menyisakan pakaian dalam saja. Sementara Luke tetap
menggunakan bajunya. Bisa kulihat Luke yang bersemangat melakukan semua itu
pada Lea. Memegang pinggang Lea, mencium Lea.. Astaga… Stop! Mereka
melakukannya lebih parah lagi. Baik tangan Luke maupun tangan Lea semakin
berbahaya. Tangan mereka mulai beraksi di tempat-tempat yang tidak seharusnya
disentuh selain diri mereka sendiri. Aku tidak mau menjelaskannya disini karena
aku sangat jijik melihat mereka.
Ini pertama kalinya aku menyaksikan
adegan mengerikan seperti itu. Bahkan di film tidak separah seperti yang mereka
lakukan. Air mataku menetes. Haruskah aku menyatakan perasaanku pada Luke
sedangkan dia sudah menjadi gila seperti itu?
Aku memutuskan meninggalkan toilet.
Sangat sakit memang. Aku tak menyangka Luke akan menjadi seperti itu. Dia sudah
sangat parah saat bersama Lea.
Tapi aku harus menyatakan perasaanku
pada Luke karena aku sangat mencintai Luke bagaimanapun dia dan apapun yang dia
lakukan sekalipun itu buruk.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar