expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Jumat, 10 Juni 2016

Can't Have You ( Part 31 )



           “Going back to the corner where I first saw you

Gonna camp in my sleeping bag I'm not gonna move

Got some words on cardboard, got your picture in my hand

Saying, "If you see this girl can you tell her where I am?"

Some try to hand me money, they don't understand

I'm not broke - I'm just a broken-hearted man

I know it makes no sense but what else can I do?

How can I move on when I'm still in love with you?



'Cause if one day you wake up and find that you're missing me

And your heart starts to wonder where on this earth I could be

Thinking maybe you'll come back here to the place that we'd meet

And you'll see me waiting for you on the corner of the street

So I'm not moving, I'm not moving..”

“Leish? Leish?”

Aku langsung mem-pause lagu yang aku stel. Ternyata sedari tadi Ronnie memanggil namaku tapi aku tidak mendengarnya. Bagaimana bisa aku mendengarnya sedangkan aku sedang mendengarkan lagu lewat headset?

“Apaan sih?” Tanyaku. Moodku sangat buruk hari ini. Sejak pagi tadi hatiku masih terasa sakit akibat kemarin. Tapi sebisa mungkin aku kuat menghadapinya. Ini adalah pilihanku.

“Kau kenapa sih sejak pagi tadi kesal mulu?” Tanya Ronnie.

Aku menatap Ronnie kesal. Tumben dia perhatian padaku biasanya Ronnie selalu mencuekkanku jika mood ku sedang tidak baik seperti ini.

“Kau tau Luke dan geng-nya?” Tanyaku.

Ronnie mengangguk.

“Aku sudah tidak mau berteman dengan mereka lagi.” Ucapku.

“Kenapa?” Tanya Ronnie.

Aku menarik nafas panjang. “Jika saja tidak ada nenek lampir itu, aku tentu masih bisa berteman baik dengan Luke.” Jawabku.

“Lea? Sebenarnya sih aku juga tidak mau bergabung dengan mereka. Tidak tau kenapa aku merasa takut sama Lea. Aku berharap Luke putus sama Lea. Gadis itu sangat licik. Kau tidak ingin kan Luke kenapa-napa karena Lea?” Ucap Ronnie.

Seandainya aku diberi izin untuk menangis maka aku akan menangis saat ini juga. Luke. Aku sudah lelah dengan nama itu. Kemarin aku sudah marah-marah sama Luke dan sepertinya Luke membenciku. Tapi ini yang terbaik. Aku tidak mau masuk ke bagian hidupnya. Aku hanya bisa berharap Luke selalu baik-baik saja dan tentunya bahagia dengan apa yang dipilihnya.

“Tapi kau masih ingin kan bercanda sama Luke?” Tanya Ronnie.

‘Iya!’ Teriakku dalam hati. Tapi aku sudah tidak tahan dengan semuanya. Rasanya semuanya pada mendesakku untuk melupakan Luke karena itu pilihan yang terbaik. Di dunia ini cowok bukan hanya Luke saja kan? Tapi bagaimana caranya untuk bisa move on? Mendengarkan lagu galau? Itu hanya bisa membuat hatiku semakin sakit.

“Aku yakin hubungan mereka akan berakhir dan Luke pasti ingin berteman denganmu lagi.” Ucap Ronnie.

Apa yang dikatakan Ronnie benar. Aku hanya menunggu kapan waktu akan memisahkan mereka. Tapi kapan? Bagaimana jika hubungan mereka semakin erat? Bagaimana jika Luke berubah menjadi anak yang nakal hanya karena Lea?

***

Dua minggu.

Luke benar-benar serius. Dia terlalu sakit hati karena keinginanku untuk tidak lagi berteman dengannya. Tapi aku iseng memperhatikan Luke dan dia tampak baik-baik saja. Bahkan Luke jauh lebih baik ketimbang saat kami masih berteman. Sialan! Tentu saja Luke terlihat baik-baik saja karena aku hanya sahabatnya, bukan orang penting dalam hidupnya. Tapi Luke pernah mengatakan kalau dia tidak ingin kehilanganku karena aku sudah menjadi bagian dari hidupnya. Oke.

Selama itulah aku menjadi sosok yang jauh lebih pendiam dibandingkan sosok pendiam lamaku. Aku lebih banyak menghabiskan waktuku di perpustakaan. Mungkin banyak orang yang heran padaku, kenapa aku tidak lagi berteman dengan Luke. Hah! Biarkan saja! Aku tidak peduli! Seharusnya sejak awal aku memang tidak mengenalinya. Tapi siapa yang bisa menduga jalan kisahku menjadi seperti ini? Dan kenapa aku harus jatuh cinta pada Luke?

Aku dan Ronnie makan di kantin. Hanya kami berdua. Aku tidak melihat Cassa. Aku perhatikan Michael jarang bertemu dengan Luke karena keduanya sibuk dengan urusan masing-masing. Michael sama Cassa sedangkan Luke sama Lea. Kalau Ashton dan Calum gabung sama teman-teman mereka yang lain.

Aku tersedak saat aku melihat sepasang kekasih yang terlihat mesra memasuki kantin. Lea, gadis itu melingkarkan tangannya di lengan Luke. Ingin rasanya aku muntah. Ronnie juga sama. Hey hey hey you I don’t like your girlfriend! Tanpa sengaja mata kami bertatapan. Cepat-cepat aku mengalihkan pandang. Aku takut jika Luke mengira aku munafik, ucapan yang tidak sesuai dengan kata hatiku.

“Aku heran kenapa hanya gadis seperti Lea yang bisa mendapatkan cowok yang tampan seperti Luke? Aku ingin sekali mendengar kisah idola sekolah yang jatuh cinta sama sosok yang biasa-biasa saja.” Ucap Ronnie.

“Jangan bicarakan Luke lagi. Aku malas.” Ucapku.

“Baiklah.” Ucap Ronnie.

Dan pada ujungnya aku-lah yang tersakiti, bukan Luke.

***

            Aku tiba di rumah. Rasanya ada yang aneh. Aku membuka pintu gerbang lalu masuk ke dalam. Saat aku masuk ke dalam rumah, aku dikagetkan oleh kejutan yang sangat tidak aku duga. Dad! Dad ada disini! Dia tersenyum padaku. Untuk apa Dad menemuiku disini? Seharusnya aku yang menemuinya.

            “Dad! Harusnya aku yang menemui Dad!” Ucapku.

            “Bagaimana kabarmu?” Tanya Dad.

            “Baik.” Jawabku.

            Aku duduk di dekat Dad. Ada paman dan Harry juga disini. Kenapa Dad tidak membawa istri barunya? Aku mulai mencium bau-bau tidak enak. Pasti ada hal penting yang ingin Dad bicarakan padaku. Tidak mungkin Dad kemari hanya untuk melepas rindu saja.

            “Leish, Dad sudah pernah bilang kalau Dad ingin kau kembali ke Perth.” Ucap Dad.

            Dadaku terasa sesak mendengar ucapan Dad. Sesulit itukah hidupku? Aku melihat wajah Dad yang penuh harap agar aku mau kembali tinggal dengannya. Tapi aku belum siap Dad. Lebih tepatnya lagi aku belum siap melupakan Luke. Sampai sekarang aku tidak bisa melupakannya walau Luke sudah tidak menganggapku ada. Tapi rasanya amat bahagia melihat senyumnya, tawanya, wajah bahagia dari jauh. Aku sudah bilang, jika tidak ada Luke, pasti saat ini juga aku sudah berada di Perth.

            “Maaf Dad aku belum siap.” Ucapku jujur.

            Dad memasang wajah kecewanya. “Sampai kapan kau disini? Kau adalah anak Dad. Kau satu-satunya anak Dad. Dad tidak ingin jauh darimu walau selama ini Dad sibuk dengan pekerjaan Dad.” Ucapnya.

Dilema itu kembali menyerangku. Antara harus pergi dan jangan pergi. Sungguh aku sangat bingung. Jadi apa yang harus aku lakukan? Demi Tuhan aku tidak sanggup meninggalkan Luke! Aku selalu ingin memerhatikannya setiap saat. Ya. Aku tidak bisa move on darinya. How can I move on when I'm still in love with you? Meski aku bukan pacar Luke, tetapi aku tidak bisa meninggalkannya.

            “Pasti ada alasannya kan yang membuatmu tidak ingin meninggalkan Sydney?” Tanya Dad.

            Sabar Leish, kau harus bisa menahan air matamu agar tidak jatuh. Iya, Dad! Luke is the only reason why can’t I levae this city. Tapi untuk apa mempertahankan perasaan bodoh itu? Siapa tau kan kalau aku kembali ke Perth aku bisa melupakannya? Tapi sekali lagi aku masing bingung dan ragu.

            “Dad, ku mohon beri aku waktu. Aku janji akan tinggal bersama Dad, tapi tidak tau kapan.” Ucapku.

            Akhirnya Dad mengangguk. Syukurlah dia mau memahami perasaanku. Setelah itu aku meminta izin masuk ke dalam kamarmu. Kalian tau kegiatan apa yang aku lakukan saat tiba di kamar? Yaitu menangis. Aku menangis sambil memeluk guling. Tangisanku seperti anak kecil. Rasanya sesak sekali, sesak sekali!

            “Leish?”

            Sialnya aku tidak mengunci dan menutup pintu sehingga Harry bisa masuk ke dalam kamarmu. Tampaknya dia prihatin akan keadaanku walau Harry tidak tau apa masalahku. Harry duduk di tepi ranjangku sambil mengelus punggungku.

            “Luke. Pasti karena Luke kan?” Tebak Harry.

            Terpaksa aku mengangguk.

            “Aku ingat betul pertengkaran kalian. Tapi aku tidak bisa ikut campur. Terakhir aku melihat Luke, dia marah padamu. Bukan marah. Maksudku dia kecewa padamu. Kau tega memutus persahabatan dengannya padahal Luke sangat menyayangimu.” Ucap Harry.

            Aku menatap Harry. “Untuk apa mempertahankan persahabatan kita jika aku terus saja merasakan kesakitan?” Tanyaku dengan suara tinggi.

            “Memangnya selama ini Luke jahat padamu?” Tanya Harry.

            “Jahat! Luke sangat jahat padaku!” Jawabku.

            “Kenapa? Luke adalah anak yang baik dan sopan.” Ucap Harry.

            “Kau bilang Luke anak yang baik? Luke sangat jahat Harry! Dia tega membuatku jatuh cinta padanya sedangkan Luke sama sekali tidak mencintaiku. Selama ini aku kira dia menyimpan rasa padaku. Luke pernah menciumku dan menatapku dengan tatapan yang tidak biasa. Terus, Luke pacaran dengan gadis yang menginginkanku pergi dari hidupnya. Bukankah itu sangat menyakitkan? Semuanya ingin aku melupakan Luke! Entah pacar Luke, juga Dad! Dad menyuruhku melupakan Luke dengan cara memaksaku kembali tinggal di Perth. Tapi aku mau! Aku mau tinggal di Perth lagi! Aku mau! Tapi aku tidak bisa karena Luke! Aku tidak bisa meninggalkan Luke walau aku sudah mengecewakannya! Tapi asal kau tau Harr, aku ingin sekali melupakan Luke dan membuang perasaanku padanya. Tapi bagaimana? Kenapa Tuhan tidak mau menghapus rasa cintaku pada Luke? Kenapa? Kenapa Tuhan ingin hidupku menderita karena Luke?”

            Suaraku hampir habis mengucapkan kata demi kata yang tiba-tiba saja keluar dari mulutku. Dadaku semakin sesak. Kemudian Harry memelukku. Aku menangis di pelukannya lalu tiba-tiba aku teringat dengan pelukan Luke. Luke sialan! Luke sialan!

            Harry melepaskan pelukannya. “Kau bisa melupakan Luke, kau bisa melakukannya.” Ucap Harry.

            “Caranya gimana? Aku lelah Harr. Saat aku mencoba melupakannya, bayangannya semakin menjadi-jadi.” Ucapku frustrasi.

            Sepertinya Harry tampak bingung. “Leish, kalau Luke menyayangimu dan tidak ingin kehilanganmu, kau harus menyatakan perasaanmu pada Luke.” Ucapnya.

            “Tapi gimana Harr? Aku sudah sangat malu dan bersalah sama Luke. Aku sudah tidak sudi berhadapan dengannya.” Ucapku.

            “Aku tau kau adalah gadis yang pintar. Kau bisa melakukannya dengan mudah. Sekarang ikuti saja kata hatimu. Aku yakin sekali nantinya kau akan menemukan keputusan yang terbaik.” Ucap Harry.

            Menyatakan perasaan pada Luke? Yang benar saja.

***

            “Aku mau ke kamar mandi dulu.”

            Seharusnya aku tidak sekolah dulu hari ini. Seharusnya saat ini aku menangis di dalam kamarku. Akhirnya aku memutuskan pergi ke kamar mandi untuk membasuh wajahku. Aku tiba di kamar mandi. Sepi. Aku sengaja tidak mengajak Ronnie karena rasanya aku ingin berlama-lama disini. Jam pertama Luke tidak ada. Hah! Untuk apa aku memikirkan Luke? Dia sekolah atau tidak sekolah itu bukan urusanku!

            Aku membasuh wajahku dengan air. Segar. Aku bisa melihat dengan jelas wajahku di depan cermin yang sengaja di taruh di dinding wastafel itu. Wajah yang sangat mengerikan. Di mataku masih jelas bekas tangisan yang aku lakukan sejak kemarin. Aku menarik nafas dalam-dalam lalu mengeluarkannya. Kau harus kuat Leish dan harus bisa memutuskan suatu keputusan yang tepat agar kau tidak menyesal.

            Saat aku membalikkan badan, refleks aku menutup mulutku melihat apa yang aku lihat. Tepatnya di kamar mandi nomor tiga. Aku kira pemandangan itu hanyalah fatamorgana karena aku terlalu banyak pikiran. Tapi ternyata tidak! Apa yang aku lihat adalah suatu kenyataaan! Sepertinya mereka tidak menyadari keberadaanku. Tapi mana peduli juga mereka denganku?

            Aku tersenyum sedih melihat Luke, astaga dia nekat masuk ke toilet perempuan hanya karena… Lea! Aku bisa melihat mereka dengan jelas disana. Luke dan Lea tampak asyik berciuman tanpa memikirkan akibatnya. Hatiku terasa sakit melihat pemandangan itu, tapi anehnya aku terus saja melihatnya. Luke benar-benar dibuat gila oleh Lea! Dan kemudian… Demi Tuhan kenapa mereka berani melakukannya di sekolah? Bukankah mereka bebas melakukan apapun di tempat selain sekolah?

            Lea, gadis setan itu nekat membuka bajunya dan hanya menyisakan pakaian dalam saja. Sementara Luke tetap menggunakan bajunya. Bisa kulihat Luke yang bersemangat melakukan semua itu pada Lea. Memegang pinggang Lea, mencium Lea.. Astaga… Stop! Mereka melakukannya lebih parah lagi. Baik tangan Luke maupun tangan Lea semakin berbahaya. Tangan mereka mulai beraksi di tempat-tempat yang tidak seharusnya disentuh selain diri mereka sendiri. Aku tidak mau menjelaskannya disini karena aku sangat jijik melihat mereka.

            Ini pertama kalinya aku menyaksikan adegan mengerikan seperti itu. Bahkan di film tidak separah seperti yang mereka lakukan. Air mataku menetes. Haruskah aku menyatakan perasaanku pada Luke sedangkan dia sudah menjadi gila seperti itu?

            Aku memutuskan meninggalkan toilet. Sangat sakit memang. Aku tak menyangka Luke akan menjadi seperti itu. Dia sudah sangat parah saat bersama Lea.

            Tapi aku harus menyatakan perasaanku pada Luke karena aku sangat mencintai Luke bagaimanapun dia dan apapun yang dia lakukan sekalipun itu buruk.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar