Berkali-kali
aku membaca surat yang susah payah aku tulis. Surat yang isinya tentang
perasaanku pada Luke. Aku berharap Luke mau membacanya dan tidak membuangnya
sebelum dia membacanya. Bahasanya agak alay, tapi aku memang tidak bisa membuat
surat cinta yang bagus. Setelah ini akan aku taruh dimana agar Luke bisa
membacanya? Di tas-nya? Di lokernya? Kalau ada yang melihatku memasukkan surat
itu bagaimana? Pastinya aku sangat malu.
Di sekolah, aku diselimuti keraguan.
Terutama saat aku melirik Luke. Dia tampak bahagia disana. Aku teringat akan
kejadian kemarin. Itukah Luke? Aku tak menyangka Luke nekat melakukannya
bersama Lea di kamar mandi sekolah. Di sekolah saja sudah sangat buruk seperti
itu apalagi di luar sekolah? Aku bergidik ngeri memikirkan semua itu.
Aku memutuskan untuk memberikan
surat itu pada Calum atau Ashton. Aku bisa mempercayakan mereka. Akhirnya saat
keluar main aku mencari mereka. Ternyata mereka sedang makan di kantin. Aku
menjadi ragu untuk menemui mereka, dan disana ada Shawn juga. Shawn? Aku
tersenyum miris.
“Hai.” Sapaku kaku.
“Hai Leish! Tumben kau sapa kami.
Luke bilang kau sudah tidak mau berteman dengan kami. Memangnya kenapa?” Tanya
Calum.
Sebisa mungkin aku menahan sesak di
dadaku. “Entahlah tapi aku tidak menyimpan dendam atau marah pada kalian.”
Jawabku.
“Terus ada apa kau kemari?” Tanya
Ashton.
Aku terdiam sesaat. Lalu aku
memberikan mereka surat yang aku tulis dan Calum yang menerimanya dengan heran.
Calum hendak membuka surat itu tapi langsung aku cegah. Tentu saja dia tidak
boleh membukanya apalagi membacanya.
“Ini surat apa?” Tanya Calum.
“Tolong jangan dibuka. Itu surat
untuk Luke. Hanya Luke yang berhak membuka dan membacanya. Aku minta bantuanmu
untuk memberikan surat itu ke Luke. Kau mau kan Cal?” Ucapku dengan penuh
harap.
Belum sempat Calum menjawab, surat
itu langsung direbut oleh tangan seseorang. Aku kaget bukan main melihat siapa
sosok yang berdiri tepat disampingku. Luke! Parahnya cowok itu berhasil
mengambil surat yang memang ditujukan untuknya. Aku menjadi malu setengah mati.
Tanpa aku sadari, tatapan kami bertemu. Aku tidak bisa menebak maskud dari
tatapan Luke, lalu aku cepat-cepat pergi dari tempat itu sambil berusaha
menahan air mataku yang ingin jatuh.
***
Luke’s POV
Lama aku menatap surat itu dan aku
tidak berani membukanya. Surat itu adalah surat yang dibuat oleh Aleisha
untukku. Selama kami memutuskan untuk tidak menjadi sahabat lagi, selama itulah
aku tak pernah menemukan keceriaan di wajah Aleisha. Aleisha berubah total dan
aku berani bertaruh kalau dia tidak ingin jauh dariku. Pasti ada alasan yang
kuat baginya untuk tidak mau berteman lagi denganku.
Akhirnya aku membuka surat itu. Aku
harap surat itu yang akan menjadi jawaban dari kemisteriusan Aleisha yang
seakan-akan tidak mau mengatakan hal yang sebenarnya padaku. Aku membacanya
secara perlahan.
Dear
Luke,
Maaf
jika selama ini aku hanya bisa membuatmu sakit atau kecewa. Tapi aku bingung
harus berbuat apa. Aku sudah tidak tahan lagi dengan semua yang terjadi padaku.
Aku kira kepindahanku di Sydney akan memperbaiki semuanya, tapi dugaanku salah.
Awalnya aku mengira kau adalah malaikat penyelamatku, tapi ternyata aku salah.
Namaku
Aleisha dan aku sangat menyesal bertemu denganmu. Awalnya memang terasa indah,
hanya aku dan kau, kau sangat baik, kau mampu membuatku untuk tidak bisa
berhenti memikirkanmu. Tapi aku lelah dengan semuanya. Aku lelah memendam
perasaan yang tidak akan terwujud ini.
Iya
Luke, kalau kau ingin tau apa yang ada di pikiranku, simpel saja. Aku jatuh
cinta padamu. Rasa cinta itu berbuah semakin besar ketika kita semakin dekat.
Kau sangat perhatian padaku dan aku merasa sangat bahagia. Ingat saat di pantai
itu, aku tidak tau apa yang membuatmu menciumku tapi aku sangat senang walau
aku kaget dan tidak percaya. Tapi itukah yang disebut sahabat? Kenapa kau
menciumku seperti itu kalau kita hanya sebatas sahabat? Kenapa kau tega
membuatku semakin mencintaimu tanpa kau sadari?
Lama-lama
aku tidak tahan dengan perasaanku. Aku ingin sekali mengatakan yang sebenarnya
padamu, tapi aku ragu dan takut. Aku takut kalau kau tau perasaanku kau akan
membenciku dan tidak mau berteman denganku. Itulah yang membuatku memilih untuk
memendam perasaan ini.
Semuanya
baik-baik saja sampai Lea datang. Kau tentunya lebih memilih Lea dibanding aku.
Saat itu aku sakit sekali. Aku sakit melihat orang yang aku cintai bersama
orang lain. Tapi tak apa. Setidaknya kau dan aku masih berteman baik walau
tidak seperti dulu. Sebisa mungkin aku kuatkan diriku saat melihatmu bahagia
bersama Lea. Tapi tak apa. Aku baik-baik saja, sungguh.
Pernah
terbesit dipikiranku untuk melupakanmu dan berpindah mencintai lelaki lain. But how can I move on when I still in
love with you? Aku benar-benar tidak bisa
melupakanmu. Saat aku mencoba melupakanmu khusunya perasaanku ini, itu hanya
akan membuatku sakit. Karena itulah aku tetap dalam pendirianku untuk menjadi
sahabatmu walau menyakitkan. Walau sudah semestinya aku membuang perasaanku ini
karena aku tau gadis sepertiku tidak pantas mencintaimu.
Aku
ingat ucapanmu kalau kau tidak ingin aku meninggalkanmu. Untuk apa kau meminta
hal itu padaku? Aku hanya sahabatmu, bukan orang terpenting dalam hidupmu.
Masih banyak sahabat-sahabatmu kan selain aku?
Aku
memutuskan untuk menjauhimu karena aku tidak tahan dengan semua ini. Aku ingin
sendirian. Aku marah-marah padamu bukan karena kesalahanmu yang hadir di dalam
hidupku, tapi salahku sendiri. Salahku yang sudah jatuh cinta pada orang yang
sangat sulit aku raih, bahkan tidak bisa aku raih. Aku hanya berharap bisa
menghapus perasaanku padamu dan jatuh cinta dengan lelaki yang tepat.
Terakhir,
aku tidak tau apakah aku menyesal atau tidak karena jatuh cinta padamu. Tapi
kalau emosiku yang bicara, tentu aku sangat menyesal jatuh cinta padamu.
Intinya, aku mencintaimu dan jangan ambil pusing dengan surat ini. Tetaplah
mencintai Lea dan mempertahankan agar hubungan kalian selalu baik-baik saja,
oke? Tapi aku lega karena kau sudah membacanya jadi bebanku menjadi berkurang.
Oke, itu saja.
Salam
Aleisha,
gadis yang bodoh.
***
Pagi ini aku gugup, sangat gugup.
Aku tidak berani datang ke sekolah lalu masuk ke kelas. Nantinya aku akan
bertemu Luke. Aku yakin sekali Luke sudah membaca surat itu. Lalu bagaimana
tanggapannya? Akankah Luke mau memahami perasaanku dan putus dengan Lea demi
aku? Tapi rasanya mustahil. Sampai kapanpun aku tak akan bisa memiliki Luke.
Selama Dad di Sydney, Dad-lah yang
mengantarku sekolah. Dia menyewa mobil dan beberapa murid yang melihatku datang
ke sekolah menggunakan mobil menjadi heran. Mereka kira aku sudah punya pacar
anak orang kaya tapi ayolah, jangan berpikiran seperti itu. Aku bersama Dad dan
dia adalah Ayahku.
Setiba di kelas, aku menahan nafas
melihat Luke yang duduk manis di kursinya sambil membaca buku. Dia fokus ke
bacaannya sehingga tidak tau aku ada disini. Aku pun duduk di kursiku dan
disamping kursiku sudah ada Ronnie.
“Aku sudah mengirim surat ke Luke
tentang perasaanku.” Ucapku.
“Ohya? Aku tadi lihat Luke yang
tidak biasa.” Ucap Ronnie.
Jantungku menjadi berdebar-debar.
Ingin rasanya aku menemui Luke tapi sungguh aku tidak berani. Bahkan
mengirimnya pesan lewat twitter saja aku tidak berani. Aku kembali melirik
Luke. Dia masih setia dengan bacaannya. Entah apa yang dia baca.
“Luke pasti sudah membaca suratku.”
Ucapku.
“Kau berharap Luke mau membalas
perasaanmu kan?” Tanya Ronnie.
“I..Iya.” Jawabku gugup.
Ronnie tersenyum. “Aku yakin sekali
dia mau membalas perasaanmu. Luke juga mencintaimu.” Ucapnya.
“Yang benar saja? Kalau Luke
mencintaiku mana mungkin dia pacaran sama Lea?” Tanyaku.
Aku jadi takut jika seandainya Luke
memutusi hubungan Lea hanya karena aku, Lea akan marah dan dia akan berbuat
yang tidak-tidak dengan Luke. Sungguh aku sangat takut. Aku takut akan hal
buruk yang terjadi pada Luke hanya karena perasaanku ini.
Saat jam istirahat, aku tetap diam
di kelas. Kulihat Luke yang keluar kelas bersama Michael. Entah kemana tujuan
mereka. Tapi rasanya Luke tidak ada niat untuk menemuiku. Hah biarkan saja. Toh
aku lega karena Luke sudah tau tentang perasaanku ini. Kalaupun Luke cuek,
tidak apa-apa. Dia berhak cuek dan berhak memilih mana pilihannya yang terbaik.
Pulang sekolah, aku menunggu mobil
Dad di tempat yang sudah disediakan. Mungkin Dad lupa jam pulangku. Lama aku
menunggu, Dad belum juga datang sementara sekolah mulai sepi. Sialnya ponselku
mati jadi aku tidak bisa menghubungi Dad. Naik bus? Aku menggelengkan kepala.
Uangku sudah habis karena aku tau kalau Dad yang menjemputku jadi aku membawa
uang seadanya.
“Leish?” Tanya seseorang.
Aku membalikkan badan dan berusaha
menyembunyikan kekagetan yang aku rasakan. Luke! God! Aku sedang berhadapan dengannya. Aku sangat merindukan
suaranya yang memanggil namaku. Kenapa jam segini Luke belum pulang? Luke
berjalan mendekatiku sehingga jarak kami cukup dekat. Ingin rasanya aku
menangis karena hanya menangis yang bisa aku lakukan saat aku berhadapan dengan
Luke.
“Luke..” Ucapku kaku.
Luke tersenyum kecil. Namun senyuman
itu sangat berarti bagiku. “Aku sudah baca suratmu. Kau hanya bercanda kan
tentang surat itu?” Tanya Luke.
Deg. Lebih baik aku mati saja saat
ini juga. Kenapa? Kenapa Luke menganggap selama ini aku hanya bisa bercanda dan
tidak pernah serius? Tapi aku serius! Aku tidak pernah main-main dengan
perasaanku. Sial. Mataku menjadi kabur akibat air mata yang sebentar lagi akan
turun. Aku harus kuat, aku harus kuat.
“Apakah isi surat itu belum jelas?”
Tanyaku dengan suara bergetar.
Luke terdiam lalu meraih tanganku. “You’re my best friend. Apapun yang kau
inginkan, aku janji akan mengabulkannya. Tapi surat itu.. Aku yakin bukan kau
yang menulisnya.” Ucapnya.
“Aku yang menulisnya!” Ucapku dengan
nada tinggi. Oke. Sulit bagi Luke untuk peka. “Aku jatuh cinta padamu! Apakah
kurang jelas?” Tanyaku.
Aku menangis. Tapi biarlah. Aku
tidak peduli dikatakan sebagai gadis yang lemah hanya karena Luke. Aku tak
peduli. Aku menangis dan inilah tangisanku yang paling menyedihkan. Dadaku
benar-benar sesak. Bahkan saat orangtuaku bertengkar tidak sesesak ini. Apa
hanya karena perasaanku saja?
“Leish..” Ucap Luke.
Luke memelukku. Aku sangat
merindukan pelukannya. Ku mohon Luk, aku sakit sekali. Kenapa kau tidak mau
membuatku bahagia walau kedengarannya egois? Aku tau kau sangat mencintai Lea
tapi….
“Aku mencintaimu, Luke.. Aku tidak
tau kenapa aku bisa jatuh cinta padamu.” Tangisku.
Lama aku menangis di pelukan Luke,
Luke mengakhiri pelukan itu. “Aku.. Aku tidak menyangka jadi selama ini kau
menyimpan perasaan khusus padaku. Aku kira kau hanya bercanda tapi aku percaya
padamu. Kau mencintaiku.” Ucap Luke.
“Kau sudah percaya kan kalau aku
mencintaimu? Aku lega mengatakannya.” Ucapku.
Selanjutnya kami berdua sama-sama
diam. Aku tidak bisa menebak apa isi pikiran Luke. Tapi satu hal yang aku tau
bahwa Luke tidak akan pernah bisa mencintaiku seperti aku mencintainya. Aku
hanya sahabatnya.
“Luk, aku.. aku ingin memilikimu
walau terdengar egois. Aku..” Ucapku.
“Leish, kau adalah sahabatku. Aku
sangat menyayangimu. Kenapa kau tidak menikmatinya saja? Jangan pedulikan
hubunganku dengan Lea. Kau akan selalu menjadi sahabat baikku.” Ucap Luke.
“Tapi rasanya sakit Luk melihat
orang yang kau cintai bahagia bersama orang lain. Coba kalau kau berada di
posisiku, pasti sangat sakit kan?” Ucapku.
Luke terdiam.
“Sekarang jawab dengan jujur, kau
lebih ingin kehilangan Lea atau aku?” Tanyaku.
Luke tidak menjawab.
“Kau lebih memilih aku atau Lea?”
Tanyaku lagi.
Tapi Luke belum membuka suaranya.
Luke benar-benar bingung. Tapi apa susahnya sih menjawab pertanyaanku? Takut
kalau hatiku semakin sakit hanya karena kau lebih memilih Lea ketimbang aku?
“Maaf Leish, kita hanya bisa
berteman, oke?” Ucap Luke.
Kalimat yang singkat dan jelas namun
benar-benar membuatku ingin mengakhiri hidup. Baiklah kalau itu pilihanmu.
Pastinya Luke lebih memilih Lea dibanding aku. Mustahil Luke meninggalkan Lea
hanya karena gadis bodoh sepertiku. Mobil Dad menyelamatkanku. Aku tidak tau
kapan mobil Dad tiba di sekolah dan aku langsung masuk ke dalam sana.
“Maaf
Leish, kita hanya bisa berteman, oke?”
Cinta memang tidak harus memiliki.
Bisa saja aku mencintai seseorang yang tidak akan pernah bisa aku miliki karena
cinta tidak memandang apapun. Aku melihat Luke yang masih berdiri disana lalu
semakin mengecil karena mobil Dad yang meninggalkan sekolahku. Terimakasih.
Terimakasih atas kejujuranmu, Luk.
Tapi, apa maksud dari ciuman itu,
juga tatapan itu? Kalau Luke hanya menganggapku sebagai sahabat, kenapa dia
tega menciumku? Apa ciuman sudah menjadi tradisi hidup Luke? Andaikan saja aku
bisa membenci Luke….
“Kau tidak ada-apa?” Tanya Dad.
“Dad benar. Sudah seharusnya aku
berada di Perth.” Ucapku.
***
Luke’s POV
Kepalaku terasa sakit dan pusing
akibat kejadian tadi. Aleisha, aku tidak menyangka gadis itu benar-benar
mencintaiku. Seharusnya dia tidak boleh mencintaiku. Aleisha tidak boleh
mencintaiku. Aku bisa melihat kesakitan yang dia rasakan dan aku merasa sangat
berdosa. Tapi mau bagaimana lagi? Aku mencintai Lea dan mustahil jika aku
mencintai dua gadis sekaligus.
Aku mengambil suratnya. Isi surat
itu bukan candaan, tapi sebuah kenyataan. Kenapa Aleisha harus mencintaiku?
Kenapa? Entah mengapa perasaanku menjadi bimbang. Jujur saja, aku tidak bisa
memilih antara Lea atau Aleisha karena mereka sangat spesial di hatiku. Lea
memang lebih menarik dibanding Aleisha. Tapi Aleisha mampu membuatku merasa
nyaman saat aku berada di dekatnya dan aku senang melihat tawanya, suaranya,
senyumnya..
Aku benar-benar bimbang dan takut.
Takut kalau Aleisha meninggalkanku dan aku akan menyesal. Tapi aku juga tidak
ingin kehilangan Lea. Jadi, apa aku terlalu egois karena tidak bisa memilih
satu diantara keduanya yang terbaik walau aku sudah memilih Lea? Tapi Aleisha,
kenapa aku.. Kenapa seakan-akan aku juga ingin memilikinya?
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar