“Kau tidak
bersemangat hari ini, apa kau sakit?” Tanya Ronnie.
Aku bukannya sakit, tapi aku merasa
gugup saat melihat Luke yang datang memasuki kelas. Apa yang harus aku lakukan
saat mata kami bertatapan? Atau aku sengaja tidak melihatnya? Saat Luke
menatapku, aku langsung menundukkan wajahku, pura-pura tidak mengenalnya. Aku
harap Luke tidak menyapaku.
“Hai Leish!”
Sial. Aku terpaksa mengangkat
wajahku dan menatap wajah Luke yang bagaikan malaikat. Dia tersenyum. Sebisa
mungkin aku menganggap senyumnya itu adalah hal yang biasa.
“Aku ingin bicara penting padamu.
Kapan kita bisa bicara empat mata?” Tanyaku.
Aku memang harus bicara dengan Luke
agar Luke tidak terus menanyaiku kenapa aku memutuskan untuk menjauhinya.
Menjauhi Luke? Kurasa walau Lea tidak memperingatiku aku memang harus menjauhi
Luke agar perasaanku padanya tidak semakin bertambah parah. Percuma
mengharapkan seseorang yang tidak akan bisa mencintai kita. Jadi aku memilih
untuk mundur.
“Nanti sore aku ke rumahmu. Lagipula
sudah lama aku tidak ke rumahmu.” Ucap Luke.
Aku mengangguk bertepatan dengan
bunyi bel masuk. Mungkin sore nanti adalah pertemuan kita yang terakhir setelah
itu kita tak akan lagi bisa saling sapa, tertawa, ngobrol seperti dulu. Jadi,
apa ini merupakan pertanda kalau aku disruh kembali tinggal bersama Dad di
Perth?
Pelajaran yang membosankan. Aku tak
sabaran menunggu bel pulang. Ronnie tampak diam dan membiarkanku sibuk dengan
pikiranku. Sesekali aku melirik Luke. Aku menghela nafas panjang. Aku pasti
bisa melakukannya. Aku melakukan ini juga karena Luke. Aku tidak ingin Luke
disakiti oleh Lea. Entahlah mengapa rasanya aku harus melakukan suatu rencana
untuk membuat Luke berhenti mencintai Lea walau aku tidak tau bagaimana
caranya.
Tenang saja Luk. Suatu hari nanti
kau akan sadar bahwa aku-lah satu-satunya orang yang mencintaimu dengan tulus.
Bel pulang berbunyi. Aku berlari
keluar keras dan tiba di pintu gerbang. Aku masuk ke dalam bus. Biasanya Shawn
yang mengajakku pulang bersama tapi aku tidak melihat Shawn. Baguslah. Aku
tidak mau berhubungan dengan Shawn lagi. Aku takut jika ternyata Shawn
menyukaiku.
Setiba di rumah, aku mengambil
makanan lalu aku bawa ke kamar. Kemudian aku menyetel lagu yang ada di
ponselku. Hidupku memang sederhana, tidak ada yang istimewa kecuali saat aku
bersama Luke, semuanya tampak istimewa. Setelah makan, aku diserang kantuk.
Tapi sebentar lagi pukul empat sore. Persetan dengan Luke. Aku memutuskan untuk
tidur dan tidak mau peduli dengan Luke yang akan datang ke rumahku.
***
Luke’s POV
Aku penasaran hal apa yang akan
Aleisha katakan padaku. Suaranya terdengar serius. Aku memutuskan datang ke
rumahnya lebih awal. Aku harap gadis itu tidak tidur. Setiba di rumah Aleisha,
aku melihat Harry, dia tersenyum padaku lalu mengajakku masuk. Dugaanku benar.
Aleisha sedang tidur. Harry menyuruhku memasuki kamar Aleisha tanpa menaruh
curiga sedikitpun padaku.
Perlahan, aku membuka pintu kamar
Aleisha. Aku melihat ponselnya yang sibuk bernyanyi. Maksudku dia ketiduran
sambil menyetel lagu. Aku mengambil ponselnya dan kaget melihat lock screen yang Aleisha pasang di
ponselnya. Itu adalah fotoku! Entah darimana Aleisha menemukannya. Untunglah
ponsel Aleisha tidak dipasang kode jadi aku bisa membukanya. Dan Aleisha
memasang fotoku untuk wallpaper-nya. Fotoku ketika aku naik panggung pada saat
konser Simple Plan.
Aku tidak tau apa alasan Aleisha
memasang fotoku disana, seharusnya dia memasang fotonya atau foto idolanya.
Kemudian aku melihat tubuh Aleisha yang bergerak. Cepat-cepat aku mematikan
lagu di ponselnya dan mengembalikan ponselnya di tempat semula. Aleisha tampak
begitu cantik ketika tidur. Semakin hari dia terlihat semakin cantik. Aku rasa
Aleisha sudah mulai percaya diri. Dia sudah mulai suka berdandan dan memilih
baju yang tepat untuk dia pakai.
Aku duduk tepat disamping Aleisha. Aku
tersenyum sambil mengusap lembut rambutnya. Well,
kita memang bersahabat tapi rasanya aneh. Aku tidak tau apa bentuk hubunganku
dengan Aleisha tapi aku sangat menyayanginya. Aleisha sudah masuk ke dalam
bagian hidupku dan jika dia hilang, maka sebagian diriku juga ikut hilang.
“Leish?”
Perlahan aku membangunkan Aleisha
walau rasanya dosa membangunkan gadis itu yang sedang asyik tidur. Kemudian
Aleisha membuka matanya. Dia terbangun dan sepertinya kaget akan kedatanganku.
“Jam berapa sekarang?” Tanya
Aleisha. Suaranya terdengar panik.
Aku melihat jam di ponselku. “Jam
tiga.” Jawabku.
“Jam tiga? Ini jam tidur siangku!
Kenapa kau semangat sekali datang ke rumahku?” Tanya Aleisha.
Aku berusaha menahan tawaku.
Bukannya menyeramkan, wajah Aleisha kelihatan lucu saat dia marah atau kesal.
Aleisha mengambil bantal lalu dia memukulku dengan bantal itu. Aku pura-pura
merasa sakit agar dia puas.
“Jadi apa yang ingin kau katakan
padaku?” Tanyaku.
Aleisha terdiam. Entah mengapa jantungku
berdebar-debar. Aku melihat perubahan wajahnya yang menandakan kalau dia sedang
tidak baik. Tiba-tiba saja Aleisha memelukku. Aku membalas pelukannya. Jujur
saja, aku sangat merindukan pelukan diantara kita. Pelukan yang terasa berbeda
dari pelukan lainnya. Cukup lama Aleisha memelukku, lalu dia menatapku dengan
serius.
“Aku harap kau tidak kecewa dengan
apa yang aku putuskan.” Ucap Aleisha.
Kecewa? Memangnya Aleisha mau
melakukan apa? Jangan-jangan.. Tidak! Aleisha tidak boleh kembali ke Perth
karena gadis itu sudah berjanji untuk tidak akan meninggalkanku.
“Kau mau kembali ke Perth?” Tanyaku.
“Tidak.” Jawab Aleisha.
Aku menjadi lega. “Lalu apa?”
Tanyaku.
Aleisha tidak menjawab pertanyaanku.
Sebagai gantinya, dia meraih leherku lalu mencium bibirku. Tentu saja aku
kaget. Tapi aku memilih untuk membalas ciumannya yang terasa aneh. Selama ini
aku yang selalu mengawali ciuman kita, tapi sekarang Aleisha yang mengawalinya.
Entah apa maksud dari ciuman itu. Kemudian, Aleisha melepaskan ciumannya. Aku
tidak bisa menebak apa yang ada dipikirannya.
“Farewell
kiss.” Ucap Aleisha pelan.
***
Aku benar-benar tak menyangka
Aleisha tega melakukan hal itu padaku. Katanya, dia tidak mau berteman lagi
denganku. Entah bisikan apa yang membuatnya ingin memutuskan persahabatan kita.
Dan.. Tadi Aleisha sempat menamparku karena aku menolak jika memang kita
bukanlah sahabat lagi. Aleisha memang aneh. Aku tidak tau apa isi pikirannya.
Intinya dia tidak mau berteman denganku lagi dan ekspresi wajahnya menandakan
kalau dia marah padaku. Tapi salahku apa?
Baiklah jika itu maumu. Aku tidak
peduli. Jujur saja, tadi aku merasa sakit hati karena perbuatannya. Baru kali
ini Aleisha semarah ini tanpa mau memberitahu padaku apa alasannya marah. Tapi
pastinya dia memiliki alasan yang kuat namun Aleisha tidak mau mengatakannya.
Setiba di rumah, aku melihat Lea
yang sudah menungguku. Aku merasa berdosa karena tidak memberitahu padanya
kalau aku harus pergi ke rumah Aleisha. Aku datang padanya dan Lea langsung
mencium bibirku. Dia memang selalu seperti itu. No days without kiss. Aku sih mau-mau saja asalkan tidak
berlebihan.
“Kau darimana saja?” Tanya Lea.
Alangkah bodohnya jika aku menjawab
kalau aku dari rumah Aleisha. Nanti Lea curiga. “Aku dari rumah Michael.”
Bohongku.
Lea memegang pipiku dengan halus
sambil menikmati wajahku. Aku heran dengan semua gadis yang pernah melihatku.
Mereka mengira aku adalah sosok yang benar-benar membuat mereka gila. Tapi aku
merasa kalau aku biasa-biasa saja. Aku sama seperti yang lain. Tentu aku tidak
mau memikirkan soal penampilanku.
“Ada masalah? Kau sepertinya punya
masalah?” Tanya Lea.
Aku menelan ludahku. “Aleisha.”
Jawabku.
“Aleisha? Ada apa dengannya?” Tanya
Lea.
Sungguh aku tidak mau mengingat
kejadian tadi yang sukses membuatku benci pada Aleisha walau aku masih
menyayangi Aleisha. Mungkin gadis itu butuh waktu sendiri.
“Dia marah-marah padaku dan
mengatakan kalau dia menyesal bertemu denganku.” Jawabku.
Lea tersenyum. “Mungkin sudah
seharusnya kalian berdua tidak menjadi sahabat lagi.” Ucapnya.
***
Aleisha’s POV
Lagi-lagi aku menangis. Harry
khawatir padaku. Pasti ada hubungannya dengan Luke. Aku ingat betul kejadian
tadi. Aku tidak bisa menahan emosiku sampai-sampai aku tega menamparnya. Aku
tadi seperti orang gila yang tidak terkendali. Bukan, ini bukan salah Lea yang
menyuruhku untuk menjauhi Luke, tapi salahku! Aku yang kesal dengannya kenapa
Luke tega membuatku jatuh cinta padanya dan tidak bisa melupakannya. Aku tau
ini salahku tapi aku tidak peduli.
“Kenapa
kau menciumku?” Tanya Luke.
Aku menatap
wajah Luke. Ingin rasanya aku menghancurkan wajah itu. Wajah yang tidak pernah
berhenti hadir di pikiranku. Kenapa? Kenapa kau sangat jahat Luk? Kenapa kau
tega menghancurkanku seperti ini walau kau tak bermaksud untuk menghancurkanku?
Kenapa aku harus jatuh cinta dengan lelaki seperti dirimu? Air mataku menetes.
Seharusnya air mata itu tidak menetes karena aku tidak mau menangis dihadapan
Luke.
“Kau
kenapa Leish?” Tanya Luke.
Dia
memegang pundakku tapi aku langsung menghindar darinya. Pandanganku terlihat
kabur tapi aku bisa melihat wajah Luke yang bingung.
“Sebaiknya
kau pergi dari tempat ini. Bukan hanya sekarang, tapi selama-lamanya! Kau harus
pergi dari hidupku!” Bentakku.
Luke
mendekatiku. “Kau kenapa sih? Aku kan sahabatmu?” Tanyanya.
Aku
tersenyum sinis. “Sahabat? Aku menyesal jadi sahabatmu. Aku menyesal bertemu
denganmu!” Bentakku.
“Ayolah
Leish, aku tidak mengerti apa yang kau ucapkan. Bisa tidak kau tenang dan
jangan emosi seperti itu?” Tanya Luke.
Tenang?
Aku sudah sangat lelah dengan semuanya. Kau, Lea, semuanya! Kalian semua hanya
ingin melihatku sakit! Dad dan Mom juga! Mereka asyik bertengkar tanpa
memikirkan nasibku. Sakit rasanya, sakit.. Sakit sekali. Aku kira bersahabat
dengan Luke walau dia sudah memiliki kekasih adalah suatu hal yang dapat
mengobati lukaku, tapi sayangnya tidak. Gadis setanmu itu yang menginginkan aku
pergi dari hidupmu! Oke. Lea benar. Aku memang harus meninggalkanmu.
“Kau..
Kau memang tidak mau mengerti dengan apa yang aku ucapkan!” Ucapku.
Baru
saja Luke meraih wajahku mungkin dia ingin menciumku, aku langsung menampar
pipinya dengan kasar. Tentu saja Luke kaget. Aku juga tidak tau kenapa aku
berani menamparnya. Tapi hatiku sudah benar-benar sakit. Aku ingin Luke pergi
dari hidupku, titik!
“Kau
kenapa sih harus ada di dunia ini? Kenapa aku harus mengenalmu? Aku capek!”
Ucapku frustrasi.
Luke
terdiam. Mungkin dia masih kaget dengan apa yang aku lakukan. Kemudian dia
mendekatiku dan menatapku dengan tatapan yang sulit aku tebak. “Jadi selama ini
kehadiranku hanya bisa membuat masalahmu bertambah?” Tanya Luke.
“Akhirnya
kau sadar juga. Aku lelah berteman denganmu. Seharusnya aku tau diri sejak
awal. Gadis sepertiku memang tidak pantas bergaul bersama orang-orang seperti
kalian.” Ucapku.
“Beritahu
aku apa alasanmu marah-marah seperti ini! Tapi aku perhatikan kau tampak
bahagia bersama kami.” Ucap Luke.
Aku
tersenyum sinis. “Aku sudah tidak bisa merasakan kebahagiaan lagi! Intinya kau
harus pergi dan jangan pernah menyapaku! Aku capek denganmu! Aku capek!”
Ucapku.
“Leish,
jujur saja aku tidak mengerti apa yang ada dipikiranmu. The truth is spelled out in your
eyes, why don't you just reach out and make it clear to me? What are you
telling me?” Tanya Luke.
“Apakah
belum jelas kalau aku ingin kau pergi dari hidupku?” Tanyaku.
“Aku..
Aku tidak mengerti denganmu. Baiklah kalau itu mau-mu.” Ucap Luke lalu pergi
meninggalkanku.
Jangan pergi! Aku ingat betul
kekecewaan yang Luke rasakan. Andaikan Luke tau apa yang aku rasakan ketika aku
berada di dekatnya. Jika seandainya tadi aku menyatakan perasaanku yang
sesungguhnya padanya… Tapi sekarang aku bukan temannya lagi. Sekarang aku tidak
mengenalinya dan dia tidak mengenaliku.
Baiklah. Aku sedikit lega
mengeluarkan unek-unek yang aku rasakan akan kehadiran Luke disini. Aku
mencintai Luke, sangat mencintainya tapi aku tau diri. Aku tidak pantas untuk
Luke, bahkan menjadi sahabat Luke.
Sekali lagi, ini bukan salah Lea.
Tapi memang sudah seharusnya aku menjauhi Luke dan membuang jauh-jauh memoriku
bersamanya, dan juga perasaan bodoh ini.
Dear
Luke Hemmings, I really really hate
you! So please go away from my life! I’m tired to loving you. It’s very funny
where you fall in love with someone that can’t you reach.
Move
on? Can I?
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar