expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Jumat, 10 Juni 2016

Can't Have You ( Part 30 )



“Kau tidak bersemangat hari ini, apa kau sakit?” Tanya Ronnie.

            Aku bukannya sakit, tapi aku merasa gugup saat melihat Luke yang datang memasuki kelas. Apa yang harus aku lakukan saat mata kami bertatapan? Atau aku sengaja tidak melihatnya? Saat Luke menatapku, aku langsung menundukkan wajahku, pura-pura tidak mengenalnya. Aku harap Luke tidak menyapaku.

            “Hai Leish!”

            Sial. Aku terpaksa mengangkat wajahku dan menatap wajah Luke yang bagaikan malaikat. Dia tersenyum. Sebisa mungkin aku menganggap senyumnya itu adalah hal yang biasa.

            “Aku ingin bicara penting padamu. Kapan kita bisa bicara empat mata?” Tanyaku.

            Aku memang harus bicara dengan Luke agar Luke tidak terus menanyaiku kenapa aku memutuskan untuk menjauhinya. Menjauhi Luke? Kurasa walau Lea tidak memperingatiku aku memang harus menjauhi Luke agar perasaanku padanya tidak semakin bertambah parah. Percuma mengharapkan seseorang yang tidak akan bisa mencintai kita. Jadi aku memilih untuk mundur.

            “Nanti sore aku ke rumahmu. Lagipula sudah lama aku tidak ke rumahmu.” Ucap Luke.

            Aku mengangguk bertepatan dengan bunyi bel masuk. Mungkin sore nanti adalah pertemuan kita yang terakhir setelah itu kita tak akan lagi bisa saling sapa, tertawa, ngobrol seperti dulu. Jadi, apa ini merupakan pertanda kalau aku disruh kembali tinggal bersama Dad di Perth?

            Pelajaran yang membosankan. Aku tak sabaran menunggu bel pulang. Ronnie tampak diam dan membiarkanku sibuk dengan pikiranku. Sesekali aku melirik Luke. Aku menghela nafas panjang. Aku pasti bisa melakukannya. Aku melakukan ini juga karena Luke. Aku tidak ingin Luke disakiti oleh Lea. Entahlah mengapa rasanya aku harus melakukan suatu rencana untuk membuat Luke berhenti mencintai Lea walau aku tidak tau bagaimana caranya.

            Tenang saja Luk. Suatu hari nanti kau akan sadar bahwa aku-lah satu-satunya orang yang mencintaimu dengan tulus.

            Bel pulang berbunyi. Aku berlari keluar keras dan tiba di pintu gerbang. Aku masuk ke dalam bus. Biasanya Shawn yang mengajakku pulang bersama tapi aku tidak melihat Shawn. Baguslah. Aku tidak mau berhubungan dengan Shawn lagi. Aku takut jika ternyata Shawn menyukaiku.

            Setiba di rumah, aku mengambil makanan lalu aku bawa ke kamar. Kemudian aku menyetel lagu yang ada di ponselku. Hidupku memang sederhana, tidak ada yang istimewa kecuali saat aku bersama Luke, semuanya tampak istimewa. Setelah makan, aku diserang kantuk. Tapi sebentar lagi pukul empat sore. Persetan dengan Luke. Aku memutuskan untuk tidur dan tidak mau peduli dengan Luke yang akan datang ke rumahku.

***

            Luke’s POV

            Aku penasaran hal apa yang akan Aleisha katakan padaku. Suaranya terdengar serius. Aku memutuskan datang ke rumahnya lebih awal. Aku harap gadis itu tidak tidur. Setiba di rumah Aleisha, aku melihat Harry, dia tersenyum padaku lalu mengajakku masuk. Dugaanku benar. Aleisha sedang tidur. Harry menyuruhku memasuki kamar Aleisha tanpa menaruh curiga sedikitpun padaku.

            Perlahan, aku membuka pintu kamar Aleisha. Aku melihat ponselnya yang sibuk bernyanyi. Maksudku dia ketiduran sambil menyetel lagu. Aku mengambil ponselnya dan kaget melihat lock screen yang Aleisha pasang di ponselnya. Itu adalah fotoku! Entah darimana Aleisha menemukannya. Untunglah ponsel Aleisha tidak dipasang kode jadi aku bisa membukanya. Dan Aleisha memasang fotoku untuk wallpaper-nya. Fotoku ketika aku naik panggung pada saat konser Simple Plan.

            Aku tidak tau apa alasan Aleisha memasang fotoku disana, seharusnya dia memasang fotonya atau foto idolanya. Kemudian aku melihat tubuh Aleisha yang bergerak. Cepat-cepat aku mematikan lagu di ponselnya dan mengembalikan ponselnya di tempat semula. Aleisha tampak begitu cantik ketika tidur. Semakin hari dia terlihat semakin cantik. Aku rasa Aleisha sudah mulai percaya diri. Dia sudah mulai suka berdandan dan memilih baju yang tepat untuk dia pakai.

            Aku duduk tepat disamping Aleisha. Aku tersenyum sambil mengusap lembut rambutnya. Well, kita memang bersahabat tapi rasanya aneh. Aku tidak tau apa bentuk hubunganku dengan Aleisha tapi aku sangat menyayanginya. Aleisha sudah masuk ke dalam bagian hidupku dan jika dia hilang, maka sebagian diriku juga ikut hilang.

            “Leish?”

            Perlahan aku membangunkan Aleisha walau rasanya dosa membangunkan gadis itu yang sedang asyik tidur. Kemudian Aleisha membuka matanya. Dia terbangun dan sepertinya kaget akan kedatanganku.

            “Jam berapa sekarang?” Tanya Aleisha. Suaranya terdengar panik.

            Aku melihat jam di ponselku. “Jam tiga.” Jawabku.

            “Jam tiga? Ini jam tidur siangku! Kenapa kau semangat sekali datang ke rumahku?” Tanya Aleisha.

            Aku berusaha menahan tawaku. Bukannya menyeramkan, wajah Aleisha kelihatan lucu saat dia marah atau kesal. Aleisha mengambil bantal lalu dia memukulku dengan bantal itu. Aku pura-pura merasa sakit agar dia puas.

            “Jadi apa yang ingin kau katakan padaku?” Tanyaku.

            Aleisha terdiam. Entah mengapa jantungku berdebar-debar. Aku melihat perubahan wajahnya yang menandakan kalau dia sedang tidak baik. Tiba-tiba saja Aleisha memelukku. Aku membalas pelukannya. Jujur saja, aku sangat merindukan pelukan diantara kita. Pelukan yang terasa berbeda dari pelukan lainnya. Cukup lama Aleisha memelukku, lalu dia menatapku dengan serius.

            “Aku harap kau tidak kecewa dengan apa yang aku putuskan.” Ucap Aleisha.

            Kecewa? Memangnya Aleisha mau melakukan apa? Jangan-jangan.. Tidak! Aleisha tidak boleh kembali ke Perth karena gadis itu sudah berjanji untuk tidak akan meninggalkanku.

            “Kau mau kembali ke Perth?” Tanyaku.

            “Tidak.” Jawab Aleisha.
            Aku menjadi lega. “Lalu apa?” Tanyaku.

            Aleisha tidak menjawab pertanyaanku. Sebagai gantinya, dia meraih leherku lalu mencium bibirku. Tentu saja aku kaget. Tapi aku memilih untuk membalas ciumannya yang terasa aneh. Selama ini aku yang selalu mengawali ciuman kita, tapi sekarang Aleisha yang mengawalinya. Entah apa maksud dari ciuman itu. Kemudian, Aleisha melepaskan ciumannya. Aku tidak bisa menebak apa yang ada dipikirannya.

            Farewell kiss.” Ucap Aleisha pelan.

***

            Aku benar-benar tak menyangka Aleisha tega melakukan hal itu padaku. Katanya, dia tidak mau berteman lagi denganku. Entah bisikan apa yang membuatnya ingin memutuskan persahabatan kita. Dan.. Tadi Aleisha sempat menamparku karena aku menolak jika memang kita bukanlah sahabat lagi. Aleisha memang aneh. Aku tidak tau apa isi pikirannya. Intinya dia tidak mau berteman denganku lagi dan ekspresi wajahnya menandakan kalau dia marah padaku. Tapi salahku apa?

            Baiklah jika itu maumu. Aku tidak peduli. Jujur saja, tadi aku merasa sakit hati karena perbuatannya. Baru kali ini Aleisha semarah ini tanpa mau memberitahu padaku apa alasannya marah. Tapi pastinya dia memiliki alasan yang kuat namun Aleisha tidak mau mengatakannya.

            Setiba di rumah, aku melihat Lea yang sudah menungguku. Aku merasa berdosa karena tidak memberitahu padanya kalau aku harus pergi ke rumah Aleisha. Aku datang padanya dan Lea langsung mencium bibirku. Dia memang selalu seperti itu. No days without kiss. Aku sih mau-mau saja asalkan tidak berlebihan.

            “Kau darimana saja?” Tanya Lea.

            Alangkah bodohnya jika aku menjawab kalau aku dari rumah Aleisha. Nanti Lea curiga. “Aku dari rumah Michael.” Bohongku.

            Lea memegang pipiku dengan halus sambil menikmati wajahku. Aku heran dengan semua gadis yang pernah melihatku. Mereka mengira aku adalah sosok yang benar-benar membuat mereka gila. Tapi aku merasa kalau aku biasa-biasa saja. Aku sama seperti yang lain. Tentu aku tidak mau memikirkan soal penampilanku.

            “Ada masalah? Kau sepertinya punya masalah?” Tanya Lea.

            Aku menelan ludahku. “Aleisha.” Jawabku.

            “Aleisha? Ada apa dengannya?” Tanya Lea.

            Sungguh aku tidak mau mengingat kejadian tadi yang sukses membuatku benci pada Aleisha walau aku masih menyayangi Aleisha. Mungkin gadis itu butuh waktu sendiri.

            “Dia marah-marah padaku dan mengatakan kalau dia menyesal bertemu denganku.” Jawabku.

            Lea tersenyum. “Mungkin sudah seharusnya kalian berdua tidak menjadi sahabat lagi.” Ucapnya.

***

            Aleisha’s POV

            Lagi-lagi aku menangis. Harry khawatir padaku. Pasti ada hubungannya dengan Luke. Aku ingat betul kejadian tadi. Aku tidak bisa menahan emosiku sampai-sampai aku tega menamparnya. Aku tadi seperti orang gila yang tidak terkendali. Bukan, ini bukan salah Lea yang menyuruhku untuk menjauhi Luke, tapi salahku! Aku yang kesal dengannya kenapa Luke tega membuatku jatuh cinta padanya dan tidak bisa melupakannya. Aku tau ini salahku tapi aku tidak peduli.

            “Kenapa kau menciumku?” Tanya Luke.

            Aku menatap wajah Luke. Ingin rasanya aku menghancurkan wajah itu. Wajah yang tidak pernah berhenti hadir di pikiranku. Kenapa? Kenapa kau sangat jahat Luk? Kenapa kau tega menghancurkanku seperti ini walau kau tak bermaksud untuk menghancurkanku? Kenapa aku harus jatuh cinta dengan lelaki seperti dirimu? Air mataku menetes. Seharusnya air mata itu tidak menetes karena aku tidak mau menangis dihadapan Luke.

            “Kau kenapa Leish?” Tanya Luke.

            Dia memegang pundakku tapi aku langsung menghindar darinya. Pandanganku terlihat kabur tapi aku bisa melihat wajah Luke yang bingung.

            “Sebaiknya kau pergi dari tempat ini. Bukan hanya sekarang, tapi selama-lamanya! Kau harus pergi dari hidupku!” Bentakku.

            Luke mendekatiku. “Kau kenapa sih? Aku kan sahabatmu?” Tanyanya.

            Aku tersenyum sinis. “Sahabat? Aku menyesal jadi sahabatmu. Aku menyesal bertemu denganmu!” Bentakku.

            “Ayolah Leish, aku tidak mengerti apa yang kau ucapkan. Bisa tidak kau tenang dan jangan emosi seperti itu?” Tanya Luke.

            Tenang? Aku sudah sangat lelah dengan semuanya. Kau, Lea, semuanya! Kalian semua hanya ingin melihatku sakit! Dad dan Mom juga! Mereka asyik bertengkar tanpa memikirkan nasibku. Sakit rasanya, sakit.. Sakit sekali. Aku kira bersahabat dengan Luke walau dia sudah memiliki kekasih adalah suatu hal yang dapat mengobati lukaku, tapi sayangnya tidak. Gadis setanmu itu yang menginginkan aku pergi dari hidupmu! Oke. Lea benar. Aku memang harus meninggalkanmu.

            “Kau.. Kau memang tidak mau mengerti dengan apa yang aku ucapkan!” Ucapku.

            Baru saja Luke meraih wajahku mungkin dia ingin menciumku, aku langsung menampar pipinya dengan kasar. Tentu saja Luke kaget. Aku juga tidak tau kenapa aku berani menamparnya. Tapi hatiku sudah benar-benar sakit. Aku ingin Luke pergi dari hidupku, titik!

            “Kau kenapa sih harus ada di dunia ini? Kenapa aku harus mengenalmu? Aku capek!” Ucapku frustrasi.

            Luke terdiam. Mungkin dia masih kaget dengan apa yang aku lakukan. Kemudian dia mendekatiku dan menatapku dengan tatapan yang sulit aku tebak. “Jadi selama ini kehadiranku hanya bisa membuat masalahmu bertambah?” Tanya Luke.

            “Akhirnya kau sadar juga. Aku lelah berteman denganmu. Seharusnya aku tau diri sejak awal. Gadis sepertiku memang tidak pantas bergaul bersama orang-orang seperti kalian.” Ucapku.

            “Beritahu aku apa alasanmu marah-marah seperti ini! Tapi aku perhatikan kau tampak bahagia bersama kami.” Ucap Luke.

            Aku tersenyum sinis. “Aku sudah tidak bisa merasakan kebahagiaan lagi! Intinya kau harus pergi dan jangan pernah menyapaku! Aku capek denganmu! Aku capek!” Ucapku.

            “Leish, jujur saja aku tidak mengerti apa yang ada dipikiranmu. The truth is spelled out in your eyes, why don't you just reach out and make it clear to me? What are you telling me?” Tanya Luke.

            “Apakah belum jelas kalau aku ingin kau pergi dari hidupku?” Tanyaku.

            “Aku.. Aku tidak mengerti denganmu. Baiklah kalau itu mau-mu.” Ucap Luke lalu pergi meninggalkanku.

            Jangan pergi! Aku ingat betul kekecewaan yang Luke rasakan. Andaikan Luke tau apa yang aku rasakan ketika aku berada di dekatnya. Jika seandainya tadi aku menyatakan perasaanku yang sesungguhnya padanya… Tapi sekarang aku bukan temannya lagi. Sekarang aku tidak mengenalinya dan dia tidak mengenaliku.

            Baiklah. Aku sedikit lega mengeluarkan unek-unek yang aku rasakan akan kehadiran Luke disini. Aku mencintai Luke, sangat mencintainya tapi aku tau diri. Aku tidak pantas untuk Luke, bahkan menjadi sahabat Luke.

            Sekali lagi, ini bukan salah Lea. Tapi memang sudah seharusnya aku menjauhi Luke dan membuang jauh-jauh memoriku bersamanya, dan juga perasaan bodoh ini.

            Dear Luke Hemmings, I really really hate you! So please go away from my life! I’m tired to loving you. It’s very funny where you fall in love with someone that can’t you reach.

            Move on? Can I?

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar