Am I ok?
Sudah dua minggu aku tersiksa
seperti ini, pura-pura menganggap semuanya baik-baik saja. Akhir-akhir ini,
Luke jarang mengajakku bicara. Mungkin dia tidak enak dengan Lea. Aku tau
hubungan mereka semakin mesra dan mereka tidak takut memamerkan kemesraan mereka
di tempat umum. Tapi pasangan itu memang sempurna. Luke sangat tampan dan Lea
sangat cantik. Gimana Luke tidak betah dengan Lea? Gadis itu memiliki banyak
cara untuk membuat cowok betah dengannya.
Dua hari yang lalu aku meng-unfoll
instagram dan twitter Luke. Instagram yang paling parah. Aku sering menemukan
foto Luke dan Lea yang benar-benar membuatku menangis di instagram Luke. Well, aku merasa antara aku dengan Luke
bukanlah sahabat lagi. Tapi aku duluan yang mencoba menghindarinya kemudian
Luke yang menghindar dariku. Selain itu aku jarang bicara dengan Michael, Calum
dan Ashton. Kalau Cassa baru sering. Untunglah Cassa tidak curiga padaku kalau
aku sakit hati melihat kebahagiaan Luke dan Lea.
Selama di kelas, aku memutuskan
pindah duduk dan mencoba bergaul dengan temanku yang lain. Ada teman kelas-ku
yang sikapnya pendiam bernama Ronnie dan kami sudah berteman baik. Ronnie amat
baik padaku. Aku menyesal saat pertama tiba di sekolah tak pernah menyapanya
bahkan tak pernah menganggap kehadirannya di kelas itu. Dan aku baru tau kalau
Ronnie adalah salah satu dari sekian gadis yang mengagumi Luke habis-habisan.
Kata Ronnie, aku sangat beruntung bisa dekat dengan Luke, tapi tidak selamanya
karena sekarang Luke sudah bersama Lea.
Saat jam istirahat, aku dan Ronnie
memutuskan pergi ke kantin. Hal positif dari aku yang sudah tidak dekat dengan
Luke lagi yaitu anak-anak yang ada di sekolah ini sudah tak lagi menatapku
dengan tajam. Mereka mencuekkanku. Sekarang yang menjadi sasaran mereka adalah
Lea. Ada apa sih dengan mereka? Aku saja yang sudah sakit ini tak pernah
membenci Lea kecuali kalau dia menyakiti Luke.
“Leish, sebenarnya hubunganmu dengan
Luke apa sih?” Tanya Ronnie.
“Memangnya kenapa? Dia hanya
temanku.” Jawabku.
“Tapi saat aku perhatikan kalian
sangat dekat. Setiap hari kalian pulang-pergi bersama.” Ucap Ronnie.
Aku mendengus kesal. Sebuah kenangan
indah yang sulit dilupakan. Khususnya ciuman yang pernah aku lakukan bersama
Luke. Ngomong-ngomong, aku itu labil. Kadang aku bisa membenci Luke, tapi
sewaktu-waktu aku merindukannya lalu menangisinya. Sekarang aku netral. Antara
benci dan merindukannya. Tapi perasaan bodoh ini belum juga hilang. Hatiku
selalu miris saat melihat Luke masuk ke dalam kelas, lalu duduk sesekali
tertawa bersama Michael.
“Yap. Dan saat Lea datang aku bukan
teman Luke lagi.” Ucapku.
“Oh, pasti sangat menyakitkan ya?”
Ucap Ronnie.
“Ya.” Jawabku.
Tiba-tiba aku tak sengaja menemukan
sebuah pemandangan yang memaksa air mataku untuk turun. Siapa lagi jika bukan Luke
dan Lea? Mereka duduk di meja paling ujung sambil suap-suapan. Sesekali Luke
mengelap bekas makanan yang ada di mulut Lea.
“Mereka sempurna banget ya.” Batin
Ronnie. Ternyata Ronnie juga melihat pasangan itu dengan iri. “Luke ganteng dan
Lea cantik. Jadi jika kita ingin memiliki cowok yang ganteng, maka kita harus
cantik.” Tambahnya.
Mungkin saja yang dikatakan Ronnie
benar. Aku kan jelek jadi mana mungkin Luke menyukaiku walau Luke mengatakan
kalau aku cantik?
“Ronn, aku ingin menanyakan sesuatu
padamu, tapi kau harus menjawab dengan jujur.” Ucapku.
“Oke.” Ucap Ronnie.
“Menurutmu aku itu gimana? Apa aku
cantik atau jelek? Atau mungkin aku kegendutan?” Tanyaku.
Ronnie tersenyum mendengar
pertanyaanku. “Leish, kau adalah orang terbaik yang pernah aku kenal. Kau lucu.
Kau bisa membuat orang yang berada di sekitarmu tertawa. Kau tak pernah
menampakkan kesedihanmu. Kau cantik Leish, bukan hanya itu, kau juga manis.
Tubuhmu ideal. Aku malah tidak suka sama cewek yang tubuhnya kurus seperti Lea,
dia terlihat seperti mengalami gizi buruk.” Jawabnya.
Aku tertawa mendengar kalimat
terakhir yang diucapkan Ronnie. “Kau benar. Untuk apa cantik ataupun kaya jika
kita tidak bisa membahagiakan orang disekitar kita? Untuk apa cantik kalau
hanya bisa menarik perhatian cowok? Untuk apa cantik jika memiliki otak yang
bodoh dan tidak bisa melakukan apapun?” Ucapku.
“So,
kita harus bangga dengan apa yang kita miliki.” Ucap Ronnie.
Sungguh aku merasa nyaman berada di
dekat Ronnie. Tapi sayangnya Ronnie tidak terlalu menyukai band-band seperti
aku, dia lebih menyukai musik santai dan kalem.
***
“Leish..”
“Hmm..”
Aku merasakan genggaman tangannya
yang begitu hangat. Aku memejamkan mataku. Sore ini kami duduk berdua di
jembatan yang di bawahnya ada sungai yang besar. Aku tak sengaja menyandarkan
kepalaku tepat di bahunya.
“Aku ingin mengatakan sesuatu
padamu.”
“Apa itu?” Tanyaku.
Dia tersenyum. Demi Tuhan itu adalah
senyuman terbaik yang pernah aku lihat. Dan lesung pipit-nya itu semakin membuat
senyumnya menjadi sempurna. Aku tidak menyangka kalau aku bisa dekat dengannya
padahal selama ini aku hanya menganguminya dari jauh. Entah apa yang membuatnya
bisa dekat denganku.
“Aku.. Aku mencintaimu. Maukah kau
menjadi bagian dari hidupku?”
***
Mimpi sialan! Sudah tiga kali
berturut-turut aku memimpikan Luke yang tampak begitu baik denganku. Disana
hanya ada kami berdua, tidak ada siapa-siapa, bahkan si nenek sihir itu. Aku
mulai mencium bau-bau tidak enak dari Lea. Apalagi saat aku bertemu dengan
Cassa. Cassa selalu saja menceritakan keburukan Lea bahkan Cassa curiga kalau
sebenarnya Lea hanya memanfaatkan Luke.
Selain itu, aku merasa Luke berubah.
Dia seakan-akan menjadi sosok yang tidak aku kenal. Walau aku sudah tidak
memfollow akun media sosialnya, tapi aku tidak tahan untuk men-stalk
instagramnya. Aku tersenyum sedih melihat foto-foto Luke bersama Lea yang.. ah
sudahlah. Itukan kebahagiaan Luke meski dengan cara yang seperti itu.
Pagi ini terasa aneh. Rasanya aku
ingin menangis saja dan kurasa aku tak sanggup bertemu dengan Luke walau Luke
sudah tak lagi menyapaku. Seandainya sejak awal aku menyatakan perasaanku pada
Luke. Tapi sama saja. Aku sama-sama kehilangan Luke tapi jika aku menyatakan
perasaanku padanya, Luke bakal tau apa yang aku rasakan saat berada di
dekatnya. Tapi tak apa. Aku akan belajar untuk kuat menghadapi semuanya.
Aku melihatnya memasuki kelas. Aku
terus saja menatapnya sementara Luke sama sekali tak melirik ke arahku. Dia
menemui Michael dan dengan jahilnya Luke merebut makanan yang ada di meja
Michael.
“Sudah aku duga. Kau menyukai Luke.”
Ucap Ronnie tiba-tiba.
Aku tersenyum sedih. “Kau benar.”
Akhirnya aku mengaku juga. “Aku jatuh cinta pada Luke tapi Luke hanya
menganggapku sebagai sahabat.” Ucapku.
Ronnie menepuk bahuku pelan. “Yang
sabar saja ya. Aku yakin sekali hubungan mereka sebentar lagi akan hancur. Aku
kesal deh sama Lea. Kenapa banyak sekali gosip yang mengatakan kalau Lea bukan
cewek yang baik dan sebenarnya Lea itu hanya memanfaatkan Luke?” Ucapnya.
Ucapan Ronnie sama persis dengan apa
yang dikatakan Cassa. Tapi aku tidak mau berburuk sangka. So this is for Luke’s happiness. Aku hanya mengharapkan Luke selalu
bahagia dan tersenyum, itu saja meski aku tak akan pernah bisa memilikinya. Tak
usah mencoba melupakan Luke jika itu hanya bisa membuatku sakit. Aku yakin
sekali suatu saat nanti aku bisa
melupakan Luke dengan sendirinya di waktunya nanti.
“Kita diberi libur selama lima hari
karena sekolah akan mengadakan acara penting.” Ucap Ronnie.
“Ohya?” Aku jadi teringat Ayah. Aku
jadi ingin pulang ke Perth dan menemui Ayah. “Aku sangat bersemangat sekali.”
Ucapku.
“Kau mau liburan kemana?” Tanya
Ronnie.
Aku tersenyum. “Menemui Ayahku.”
Jawabku.
***
Yeah! I have five days to holiday!
Kemarin aku sudah menelpon Dad kalau
aku ingin menemuinya. Tentu saja Dad bersemangat akan kedatanganku. Sudah
berbulan-bulan aku tidak bertemu Dad. Hari ini juga aku akan pergi ke Perth.
Aku sudah berada di bandara sambil menunggu kapan pesawatku berangkat. Cukup
lama tapi memang begitulah. Aku membuka snack yang aku bawa dari rumah paman
lalu memakannya. Menunggu tak akan membosankan jika ada snack yang banyak. Aku
harap nantinya Dad tidak mengatakan kalau aku semakin gendut.
Aku harap dengan cara ini aku bisa
sedikit melupakan kesakitan yang aku rasakan selama aku berada di Sydney. Di
Perth, tentunya aku bisa tenang karena tidak ada Luke disana. Luke? Lima hari
tidak bertemu dengannya bisa membunuhku. Aku memang tidak ingin melihatnya tapi
jika aku tidak melihatnya aku bakal rindu sama dia meski aku yakin Luke tak
akan merindukanku. Aku rasa persahabatanku dengan mereka sudah berakhir dan
yang tersisa adalah aku yang hanya memandang Luke dari jauh tanpa harus
menyapanya.
Akhirnya pesawatku datang. Aku mengambil
tasku lalu berjalan menuju lorong yang akan menuntutku menuju pesawat yang aku
tumpangi. Ada banyak penumpang disini. Aku sudah terbiasa melakukan perjalanan
jauh tanpa ditemani siapapun.
Well,
setelah ini aku akan tidur sepuasnya di dalam pesawat.
***
“Dad!”
Aku langsung memeluk Dad. Dad tidak
berubah. Dia sama seperti Dad yang aku lihat terakhir kali. Dad tampak
merindukanku. Tapi rasanya ada yang hilang disini. Mom, ya. Bagaimana bisa aku
bertemu Mom sementara mereka sudah cerai? Tapi aneh juga ya kalau aku tidak
bisa bertemu Mom padahal aku itu anaknya sendiri. Aku pun masuk ke dalam mobil
Dad. Aku tak sabaran melihat rumah lamaku dan tentunya kamarku.
“Kau semakin cantik, Leish.” Puji
Dad.
Aku tersenyum malu mendengar pujian
Dad. “Apakah aku terlihat semakin gendut?” Tanyaku.
Dad tertawa. “Tidak. Kau tidak
gendut. Kau berlebihan sekali.” Jawab Dad.
Dad benar. Selama ini aku suka
melebih-lebihkan sesuatu dan tentu saja aku selalu merendahkan diri. Aku merasa
diriku jelek, bodoh, tak pantas atau apalah tapi sebenarnya itu semua salah.
“Jadi apakah kau sudah mendapatkan
pacar disana?” Tanya Dad.
Pacar? Batinku miris. Aku langsung
teringat dengan Luke. Aku tidak memberi kabar padanya ataupun ke lainnya
kecuali Ronnie kalau aku pulang ke Perth untuk menemui Ayah. Tapi apa peduli
juga mereka? Mereka seakan-akan tidak menganggapku ada. Terutama Luke. Semua
hal yang pernah dia lakukan padaku sudah terhapus dari memorinya padahal
memori-memori tentangnya sangat sulit aku hapus. Enak ya jadi Luke.
“Belum.” Jawabku jujur.
“Ayah kira kau sudah punya cowok. Di
Sydney kan ganteng-ganteng cowoknya. Atau kau sedang naksir seseorang disana?”
Tanya Dad.
Dad seakan-akan tau masalah yang aku
alami. Tapi aku lebih memilih untuk memendamnya sendiri. “Tidak. Aku lebih
mencintai idola-idolaku.” Jawabku. Tiba-tiba aku teringat dengan konser Simple
Plan. “Tau tidak Dad, aku sudah menonton konser Simple Plan dan itu benar-benar
ahhhh!! Bahkan Pierre sempat melirikku, untung aku tidak pingsan.” Ceritaku.
Konser yang amat menyenangkan dan
membuatku menangis, terutama saat Luke diajak ke panggung lalu membawakan lagu
yang liriknya menceritakan tentangku. Sometimes
I start to wonder was it just a lie? Apakah semua hal yang pernah kita
alami hanyalah sebuah kebohongan? Lalu apa maksud dari ciuman itu? Apa maksud
dari genggaman tangan itu? Lalu apa maksud saat kita melakukan kemah dan duduk
berdua dengan cara yang seperti itu?
Setiba di rumah, aku langsung
berlari menuju kamarku. Aku tersenyum haru. Aku sangat merindukan kamarku ini.
Bedanya di dinding kamarku bersih, tidak ada poster apapun jadi rasanya aneh.
Aku tak sengaja menemukan gitar yang tergeletak di samping ranjangku. Aku
mengambilnya lalu memetiknya. Gitar lamaku. Seharusnya aku bawa ke Sydney agar
aku tidak beli lagi. Tapi kalau aku tidak beli, maka aku tidak akan bertemu
Luke di toko musik itu. Luke lagi?
Tiba-tiba aku diserang rasa kantuk
walau aku puas tidur di pesawat. Sudah jam sembilan malam. Aku belum makan
malam tapi tak apalah. Akhirnya aku tertidur.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar