Ah, sial!
Ciuman yang aku lakukan bersama Luke kemarin masih terasa di bibirku. Aku tidak
bisa melupakan kejadian kemarin yang sangat tidak aku duga. Tapi itu bukan
salahku yang memulainya, melainkan salah Luke! Dia yang memulainya dan terkesan
memaksaku agar aku mau dicium olehnya. Tapi mana ada sih gadis yang menolak
ciuman Luke. Hanya gadis bodoh saja yang menolak ciuman Luke.
Seperti biasa. Aku sarapan bersama
paman dan kak Harry. Sepertinya Harry merasa heran akan sikapku yang tidak
seperti biasanya. Tapi dia memilih untuk diam. Aku pun diam sambil mengunyah
makananku. Hmmm.. Kira-kira Luke datang tidak ya? Biasanya kan dia yang
mengantarku sekolah. Setelah selesai sarapan, aku mencium tangan paman lalu
berjalan keluar dengan jantung yang sedikit berdebar-debar.
Well,
sepertinya Luke tidak datang. Entah mengapa aku agak kecewa. Mungkin karena
kejadian kemarin dia tidak datang ke rumahku. Aku menarik nafas dalam-dalam.
Mau tidak mau aku harus naik angkutan umum. Akhirnya aku berjalan menuju jalan
raya untuk mencegat bus kota. Menyebalkan memang tapi jika aku tidak mau maka
aku tidak bisa berangkat sekolah. Bisa saja sih aku menelpon taksi tapi aku
malas.
“Leish?”
Shawn! Batinku. Asyik ada tumpangan
gratis. Shawn membuka helm-nya sambil menatapku dengan heran. Mungkin
dipikirannya, dia mengira Luke tidak bisa mengantarku ke sekolah sedangkan dia
tau kalau Luke selalu mengantarku ke sekolah. Aku langsung naik ke motor Shawn
tanpa harus meminta izin pada Shawn.
“Where’s
Luke?” Tanya Shawn.
“I
don’t know.” Jawabku.
Motornya pun melaju dengan kencang.
Aku agak kaget karena Shawn mengendarai motor dengan kencang tidak seperti
Luke. Alhasil aku refleks memeluk pinggang Shawn karena ketakutan dan
membenamkan wajahku di punggungnya. Setelah tiba di sekolah, kali ini aku
mendapat tatapan aneh dari teman-temanku. Aneh karena aku bukannya datang
bersama Luke, melainkan datang bersama Shawn. Shawn pun pergi menuju tempat
parkiran.
“Thanks
ya.” Ucapku.
Shawn tersenyum. “Sama-sama. Kalau
kau butuh tumpangan telpon aku aja.” Ucapnya.
Aku tertawa. Lalu secara tidak
sengaja aku melihat seorang cowok yang sudah tidak asing lagi bagiku. Luke? Aku
tidak salah lihat kan? Luke sedang menatapku dengan tatapan entahlah. Aku
mendengus kesal. Masa hanya karena kejadian kemarin dia tidak mau mengantarku
ke sekolah?
“Ayo ke kelas!” Ajak Shawn sambil
menarik tanganku.
***
Luke’s POV
Ini memang salahku. Sepertinya
Aleisha benar-benar marah padaku karena kejadian kemarin. Aku memilih untuk
tidak ke rumahnya dan membiarkannya berangkat sendirian. Aku memang bodoh.
Seharusnya aku minta maaf padanya tapi aku hanya bisa menjauhinya seperti ini.
Tepat di parkiran, aku melihat
Aleisha yang datang bersama Shawn. Dia tampak bahagia disana. Aku jadi teringat
dengan ucapannya tentang Shawn. Dia mengatakan bagaimana kalau dia jatuh cinta
dengan Shawn. Aku kira ucapannya hanya candaan tapi kurasa itu benar.
Sepertinya Aleisha menyukai Shawn. Tiba-tiba saja Aleisha menatapku. Dia tidak
tersenyum sama sekali atau mendekatiku. Dia menatapku sebentar lagi pergi
bersama Shawn.
Kurasa aku harus melepasnya. Tidak
mungkin gadis itu selalu bersamaku walau aku inginnya begitu. Jujur saja, aku
tidak bisa hidup tanpanya. Aku ingin Aleisha selalu berada di sampingku karena
hanya dia satu-satunya orang yang bisa membuatku tersenyum. Tapi sepertinya
hubungan kami tak akan menjadi baik. Persahabatan kami sepertinya hancur.
Akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke kelas dan tentu saja aku akan diam tanpa
melirik ke Aleisha.
***
Aleisha’s POV
Ini sangat membunuhku! Aku dan Luke
benar-benar bagaikan orang yang tak saling kenal mengenal. Tadi Michael
mengajak kami ke kantin tetapi aku dan Luke menolak. Luke pergi entah kemana
sedangkan aku diam di kelas. Kalau begini caranya, antara aku dengan Luke tidak
akan menjadi seperti dulu lagi. Aku akan sendiri dan hanya bisa melihat Luke
dari kejauhan. Sungguh aku tidak mau hal itu terjadi. Jadi apa aku harus bicara
duluan padanya? Kalau Luke marah bagaimana?
Aku baru ingat kalau besok malam adalah
konser Simple Plan. Tapi kenapa aku tidak bersemangat ya? Apa karena masalahku
dengan Luke? Padahal besok malam adalah malam yang paling aku tunggu. Dan
rasanya aku akan menonton konser itu sendirian. Karena Luke, aku jadi malas
bicara dengan yang lain.
“Leish! Ternyata kau disana!”
Cassa berjalan mendekatiku lalu
duduk di kursi kosong yang berada tepat di sampingku. Aku tersenyum melihatnya.
“Kau kenapa sih? Ada apa masalahmu
dengan Luke? Ayo beritahu aku!” Ucapnya.
Aku menelan ludahku. Akankah aku
menceritakan masalahku pada Cassa? Tapi Cassa kan sudah menjadi sahabatku jadi
aku harus menceritakan masalah yang aku alami agar beban yang aku rasakan
sedikit hilang. Baiklah.
“Kemarin, aku dan Luke berjalan
berdua di pantai lalu kami memutuskan untuk melihat matahari terbenam. Kami
berbaring di pasir pantai sampai matahari tenggelam. Lalu secara tiba-tiba Luke
menciumku tanpa alasan. Dia menciumku sebanyak dua kali. Tentu saja aku merasa
aneh dan bingung. Lalu dia menjauhiku.” Jelasku.
Sepertinya Cassa kaget mendengar
penjelasanku. “He kissed you? Oh my God! Sudah kuduga, Luke
menyukaimu!” Ucapnya.
Bukannya membantu tapi Cassa malah
membuatku kesal. “Tidak mungkin Luke menyukaiku. Dia masih mencintai
mantannya.” Ucapku.
“Oh ayolah Leish, jangan pikirkan
mantan Luke. Sebenarnya, bagaimana sih perasaanmu pada Luke? Apa kau
menyukainya sebagai sahabat atau tidak?” Tanya Cassa.
Mendadak aku malu karena pertanyaan
Cassa. Haruskah aku mengatakan yang sebenarnya? Tidak. Aku memang menyukai Luke
dalam artian seorang gadis mencintai seorang pemuda. Tapi aku takut jika Cassa
memberitahu hal ini ke Luke dia semakin tidak menyukaiku dan malah merusak
persahabatan kami.
“Aku tidak tau. Tapi saat aku berada
di dekatnya aku merasa nyaman dan sekarang aku seperti kehilangannya.” Jawabku.
Cassa tersenyum puas. “Artinya kau
menyukai Luke! Bicaralah baik-baik dengannya. Aku yakin hubungan kalian akan
membaik.” Ucapnya.
Aku menatap Cassa ragu. “Apa Luke
mau berteman lagi denganku?” Tanyaku.
Cassa malah tertawa. “Tentu saja!
Aku tau bagaimana sikap Luke karena sudah lama aku berteman dengannya.
Lagipula, itu bukan salahmu, tapi salah Luke. Seharusnya Luke yang meminta maaf
padamu, bukan kau.” Ucapnya.
Ya, kurasa aku yang harus menemui
Luke tanpa menunggu Luke yang menemuiku. Ini bukan salah siapun. Bukan salah
Luke. Kejadian kemarin terjadi secara tiba-tiba. Jika saja aku bisa menjaga
diri, tentu saja aku tidak akan mau membalas ciuman Luke. Tapi kemarin itu aku
benar-benar kelolosan dan mau saja menuruti keinginan Luke.
“By
the way, are you ready for tomorrow night?” Tanya Cassa.
“Simple Plan!” Ucapku senang.
***
“Sudah aku duga, kau sedang kelahi
dengan pacarmu itu.” Ucap Harry.
Aku mendengus kesal sambil menatap
Harry. Harry belum tau kalau aku dan Luke hanya berteman tapi dia menganggap
Luke adalah pacarku pasca kejadian itu, saat Luke membawaku pulang dalam
keadaan tak sadar dan mengaku kalau dia adalah pacarku. Tapi biarlah. Toh itu
tidak ada pengaruh untuk Harry.
“Ohya aku lupa memberitahumu
sesuatu. Di belakang sana sepeda lamaku sudah bersih dan bisa digunakan. Kalau
kau mau, kau boleh menaikinya.” Ucap Harry.
Sepeda? Boleh juga. Sudah lama aku
tidak naik sepeda. Langsung saja aku berlari menuju belakang rumah. Aku
tersenyum melihat sepeda Harry yang terlihat sudah tua namun bisa digunakan
layaknya sepeda lainnya. Aku pun mengeluarkan sepeda itu lalu menaikinya. Tidak
terlalu buruk. Semoga rantainya tidak copot.
“Gimana? Kau boleh memakainya
kapanpun kau mau.” Ucap Harry.
Tiba-tiba aku mendapatkan ide. Aku
akan pergi ke rumah Luke menggunakan sepeda ini. Agak jauh memang tapi aku
sanggup melakukannya. Hitung-hitung olahraga. Cuaca sore ini tidak terlalu
panas jadi aku tak akan mengeluarkan keringat yang banyak. Kira-kira butuh
waktu lima belas menit untuk sampai ke rumah Luke. Oke.
Sepanjang perjalanan, aku merasa
bahagia. Ternyata menaiki sepeda bisa membuat hati kita senang. Zaman sekarang
jarang sih anak-anak yang menaiki sepeda biasanya naik motor saja. Jalan demi
jalan aku lalui dan akhirnya aku tiba di rumah Luke. Nafasku sedikit tidak
beraturan dan jantungku mulai berdetak dengan cepat. Oke. Kau pasti bisa Leish
bicara dengan Luke dan melupakan masalah kemarin.
Aku sengaja menaruh sepeda di luar
pagar lalu masuk ke dalam halaman rumah Luke. Aku lalu berjalan menuju pintu
rumah Luke. Kurasa Luke sedang tidak ada di rumahnya. Tapi ayolah, aku harus
bicara dengan Luke saat ini juga. Aku tidak ingin menonton konser Simple Plan
sendirian.
Kemudian, pintu rumah terbuka. Aku
salah tingkah melihat seorang wanita cantik yang tengah tersenyum padaku. Jadi
wanita itu adalah Ibu Luke? Ternyata memang benar. Wanita itu adalah Ibu Luke.
Tumben dia ada disini ketika aku datang ke rumah Luke. Kemudian dia memanggil
Luke.
Aku menunggu dengan sabar. Kemudian,
datang seorang cowok yang rambutnya cukup berantakan. Aku memasang senyumanku.
Sepertinya Luke kaget akan kedatanganku ini. Lalu dia mendekatiku. Sial.
Jantungku berdebar semakin hebat. Aku tidak sengaja melihat bibir-nya yang
kemarin berhasil membuat aliran darahku berhenti mengalir.
“Leish? Ada apa kau kemari?” Tanya
Luke.
Aku terdiam sesaat. “Aku.. Aku
kesini hanya ingin meminta maaf padamu. Aku harap hubungan kita kembali seperti
semula. Aku tak ingin diantara kita berdua seperti orang yang tidak saling
kenal mengenal.” Jawabku.
Beberapa detik kemudian Luke
tersenyum. Syukurlah. “Seharusnya aku yang minta maaf padamu karena kejadian
kemarin. Tapi tak apa. Lupakan saja kejadian kemarin itu.” Ucap Luke.
Aku mengangguk.
“Mmm.. Bagaimana kalau kau masuk ke
dalam?” Tanya Luke.
“Boleh. Tapi bisakah aku memasukkan
sepedaku ke halaman rumahmu?” Ucapku.
Luke menemukan sebuah sepeda yang
terparkir di luar pagar rumahnya. Mungkin dia heran kenapa aku bisa membawa
sepeda itu ke rumahnya. Lalu dia berjalan menuju tempat sepedaku kemudian dia
membawa sepedaku ke dalam sana. Ah, lagi-lagi sikap Luke mampu membuatku
semakin kagum padanya.
“Itu sepedamu?” Tanya Luke.
“Bukan. Tapi sepeda kakakku.”
Jawabku.
Setelah itu Luke mengajakku masuk ke
dalam… kamarnya? Aku menjadi ragu. Aku takut kejadian kemarin terulang lagi.
Kami berdua kehilangan kontrol dan melakukan hal diluar kesadaran kami. Kulihat
kamar Luke tampak rapi. Kamarku saja tidak serapi kamar Luke. Dinding kamar
Luke di cat warna cream tanpa poster apapun sedangkan kamarku full dengan
poster band-band favoritku.
Aku memberanikan diri untuk masuk ke
dalam kamar Luke. Lalu aku duduk di pinggir kasur Luke. Sedangkan Luke
mengambil kursi yang entah dia dapatkan darimana kemudian dia menaruh kusri itu
tepat di hadapanku sehingga kami berdua duduk berhadapan. Jarak kami berdua
sangat dekat. Aku bisa melihat wajah tampan Luke yang selalu membuatku gila.
“Kau tidak marah aku ajak kemari?”
Tanya Luke.
Aku menggeleng pelan. “Mmm.. Tadi
itu Ibumu-mu ya?” Tanyaku.
“Ya. Dia tidak ada pekerjaan jadi
hari ini dia full di rumah.” Jawab Luke.
Selanjutnya kami berdua sama-sama
diam. Aku tidak berani lagi menatap wajah Luke, tapi aku merasa dia terus
menatapku. Tiba-tiba aku merasa tanganku digenggam oleh sebuah tangan yang
tidak lain adalah tangan Luke. Terasa hangat. Kemudian aku memberanikan diri
menatap Luke.
“Leish, sekali lagi maafkan aku. Aku
benar-benar bodoh kemarin. Setelah kejadian itu, aku mulai merasa takut kalau
aku kehilanganmu.” Ucap Luke.
Jadi Luke takut kehilanganku?
Entahlah apakah aku harus bahagia mendengar pengakuannya itu. Genggaman tangan
Luke terasa semakin kuat. Sebisa mungkin aku tetap bersikap santai. Luke,
bagaimana perasaanmu padaku? Aku hanya sahabatmu bukan? Kau tidak merasakan
perasaan yang lebih kan padaku? Selama ini aku tak pernah bersahabat dengan
cowok jadi aku bingung cara membedakan antara cowok yang hanya menganggap kita
sebagai sahabatnya atau cowok yang memiliki perasaan yang lebih ke kita.
“Kurasa kau cocok dengan Shawn. Dia
adalah lelaki yang baik. Kau menyukainya?” Ucap Luke.
“Eh?” Kagetku. Aku sangat tidak
menduga kalau Luke mengeluarkan ucapan dan pertanyaan itu. “Tidak. Dia hanya
temanku. Aku tidak menyukainya kecuali sebagai teman.” Jawabku.
“Kalau kau menyukainya, jangan ragu
dengan perasaanmu. Aku tentu akan suka jika kau pacaran dengannya walau waktu
kita tidak banyak seperti dulu.” Ucap Luke.
Jangan mengatakan kalimat itu please? Sumpah aku tidak menyukai Shawn!
Aku hanya menyukaimu Luk dan aku tidak ingin kehilanganmu. Haruskah aku
mengatakan saat ini juga kalau aku mencintaimu? Haruskah? Tapi aku ragu. Aku
takut kalau kau tak menyukainya lalu aku kehilanganmu. Kemudian Luke melepaskan
genggaman tangannya.
“Bisakah kita membahas topik
lainnya? Aku malas membicarakan soal cowok.” Ucapku.
Luke terkekeh. Sunggu aku sangat
merindukan kekehannya itu yang tampak manis. “How about Simple Plan? Kurasa besok kita bolos sekolah.” Ucap Luke.
“Ya.. Ya tentu saja! Pagi-pagi
sekali kita harus ada di area konsernya.” Ucapku.
Selanjutnya kami sibuk membicarakan
Simple Plan. Kami berdua sangat bersemangat. Tidak taulah apakah Luke
benar-benar bersemangat atau karena aku makanya dia tampak bersemangat.
“Leish?” Tanya Luke.
“Hmm..” Jawabku.
Aku menatap mata birunya yang mampu
membuat nyaman hatiku. Kemudian Luke menyentuh pipiku. Astaga Luke apa yang
akan kau lakukan? Apa kau mau mengulang kejadian kemarin? Aku pikir tidak
buruk-buruk amat. Aku mencintaimu jadi tentu saja aku mau dicium oleh orang
yang aku cintai. Sedangkan Luke?
“Berjanjilah padaku untuk tidak
meninggalkanku.” Ucap Luke.
Aku memejamkan mataku, lalu aku buka
secara perlahan. “Apa.. Apa ini yang dinamakan sahabat?” Tanyaku lirih.
Air muka Luke sedikit berubah karena
pertanyaanku. “Kau sahabatku, Leish dan aku tidak ingin kau meninggalkanku.”
Ucap Luke.
Oke. Tadi itu aku seperti sedang
mabuk. Aku nyaris mengaku kalau aku mencintai Luke. Untunglah aku cepat sadar.
Aku adalah sahabat Luke, titik dan tidak bisa dipungkiri suatu hari nanti Luke
bakal jatuh cinta dengan gadis lain lalu meninggalkanku. Hah! Harusnya aku yang
tidak ingin Luke meninggalkanku, bukan dia.
“Kau juga harus berjanji untuk tidak
akan meninggalkanku.” Ucapku.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar