Luke’s POV
Aleisha benar-benar aneh hari ini!
Tadi pagi saat aku ke rumahnya dia seakan-akan tidak mau bertemu denganku.
Sepertinya dia marah padaku. Tapi apa salahku? Baru saja kami baikan lalu dia
marah padaku tanpa sebab. Saat berangkat sekolah, Aleisha lebih memilih pergi
bersama Shawn. Entah apa yang ada dipikirannya, aku tidak tau. Padahal kemarin
malam kami baik-baik saja. Bukankah itu aneh?
Sepertinya aku yang harus datang ke
rumahnya dan meminta maaf padanya. Ya, dia sudah datang ke rumahku padahal aku
yang harus datang ke rumahnya. Aku memang bodoh. Tapi aku akan berusaha agar
hubunganku dengan Aleisha menjadi baik seperti sedia kala.
Bel masuk berbunyi. Aku melihat Aleisha
yang terdiam lalu duduk di kursinya tanpa melirikku. Aku menarik nafas
dalam-dalam lalu menghembuskannya. Kemudian aku iseng melirik ke arah Aleisha.
Gadis itu masih terdiam dengan tatapan kosong. Ingin sekali aku menyapanya tapi
aku ragu.
Padahal kemarin malam itu aku sangat
bahagia. Khusunya karena akun @lovely-llxx yang membuatku penasaran. Aku harap
pemilik akun itu adalah orang yang selama ini aku cari. Tadi pagi dia menulis
tentang-ku. Dilihat dari tulisannya saja aku sudah menduga kalau si pemilik
akun itu memang adalah ‘dia’. Aku benar-benar tak sabar bertemu dengannya. Dan
jika pemilik akun itu adalah ‘dia’, aku bersumpah untuk tak akan membuatnya
kecewa. Aku ingin hubunganku dengannya seperti dulu, saat hubungan kita masih
berada di awal dan kami sama-sama saling mencintai.
Aku iseng membuka ponsel lalu
membuka twitter. Dia tidak menulis tweet apapun. Aku membuka profil-nya. Dia
memasang foto berupa model yang terkenal yang tidak lain adalah Kendall Jenner.
Aku tersenyum. Aku ingat betul dengan ‘dia’ yang memang menyukai sosok Kendall
dan ingin sekali menjadi seperti Kendall. Tapi dengan penampilannya yang
seperti itu, aku yakin sekali dia bisa menjadi model terkenal.
Lalu aku melihat biodatanya.
Sepertinya dia baru mengganti biodatanya. Tapi itu tidak membuatku bertambah
yakin kalau si pemilik akun itu adalah mantanku yang sempat aku kecewakan. Tapi
aku harap semuanya berjalan seperti yang aku harapkan. Semoga.
***
Aleisha’s POV
Rasanya sedih jika aku tidak bicara dengan Luke. Aku menjauhinya dan dia
juga menjauhiku. Tapi mau bagaimana lagi? Aku merasa sakit dibuatnya walau aku
tidak tau kenyataan yang sebenarnya dan siapa pemilik akun itu. Haruskah aku
menanyakan hal itu ke Luke? Saat pulang sekolah, Shawn mengajakku pulang
bersama sekalian makan siang di restoran milik Ayahnya. Ah ternyata Ayah Shawn
memiliki restoran yang cukup terkenal di Sydney. Mana mungkin aku menolak
ajakannya? Kata Shawn, aku boleh memesan jenis makanan apapun.
Aku rasa teman-temanku yang
melihatku berangkat dan pulang bersama Shawn menjadi heran sekaligus tidak
suka. Pasalnya, sebelumnya aku itu bersama Luke dan sekarang aku bersama Shawn.
Masalah lain, Shawn itu cukup terkenal di sekolahku jadi pantas saja mereka
merasa tidak suka denganku. Padahal aku itu anak biasa-biasa saja tapi bisa
dekat dengan Luke ataupun Shawn.
Kami pun sampai di restoran Ayah
Shawn yang megah. Aku menjadi malu datang kemari. Tapi Shawn memaksaku untuk
masuk ke dalam. Dia menggandeng tanganku dan aku bertambah semakin malu. Tapi
itu tidak bisa membuatku untuk berhenti memikirkan Luke. Kurasa Shawn adalah
cowok yang baik. Jika saja aku bisa jatuh cinta pada Shawn dan melupakan Luke,
maka semuanya akan baik-baik saja walau aku tidak yakin apakah Shawn
menyukaiku. Ku perhatikan Shawn tampak ramah dan lembut pada setiap wanita.
Shawn memilih tempat duduk yang
strategis sedangkan aku menurut saja. Seorang pelayan datang dan mencatat
makanan apa yang kami pesan. Aku ikut Shawn saja karena aku tidak enak
dengannya.
“Hubunganmu dengan Luke sedang tidak
baik ya?” Tanya Shawn membuka suara.
Bisakah kita tidak membicarakan Luke?
Aku malas membicarakan Luke sekaligus sakit hati karenanya. Tapi aku memilih
untuk menjawab pertanyaannya.
“I
think so.” Jawabku.
“Kenapa? Apa kau marah dengannya
atau dia yang marah denganmu?” Tanya Shawn.
Aku menatap Shawn dengan tatapan
tidak suka. Untuk apa dia menanyakan masalahku dengan Luke toh itu tidak
berpengaruh buatnya.
“Aku juga tidak tau. Tapi kami harus
berjauhan dan tidak saling sapa untuk beberapa waktu.” Jawabku.
Shawn mengangguk-angguk. Kemudian
pesanan yang kami pesan datang. Makanannya terlihat sangat menggiurkan namun
anehnya aku tidak nafsu memakannya. Alhasil aku memakannya dengan pelan dan
sedikit terpaksa.
“Kau tidak baik-baik saja, Leish.
Pasti ada hubungannya dengan Luke.” Ucap Shawn.
“Tidak, aku baik-baik saja.” Ucapku.
“Sebenarnya.. Sebenarnya kalian itu
hanya berteman atau bagaimana sih? Kenapa kalian begitu dekat? Kalau kalian
hanya berteman, tentu kau tidak harus menjauhi Luke dan bersikap seperti ini.
Kalian terlihat seperti sepasang kekasih yang sedang bertengkar.” Ucap Shawn.
Hah! Semua orang mengatakan seperti
itu. Aku dan Luke adalah sepasang kekasih tapi kenyataannya tidak. Aku lelah
mendengar semua itu. Andaikan saja aku bisa melupakan Luke, pasti semuanya akan
menjadi lebih baik. Tapi bagaimana caranya untuk melupakan Luke? Dan bagaimana
dengan perasaan ini? Argh!
“We are
just friends, ok?” Ucapku dengan penuh penekanan.
“Tapi kurasa kau menyukai Luke.”
Ucap Shawn.
Untuk yang pertama kalinya aku
merasa amat menyesal hanya karena diajak makan gratis oleh seseorang. Aku
menyesal mengikuti ajakan Shawn jika dia terus membicarakan tentang hubunganku
dengan Luke.
***
Jam empat sore. Aku baru bangun dari
tidur siangku tanpa memimpikan apapun. Lalu aku bergegas masuk ke kamar mandi
untuk menyegarkan tubuhku. Air dingin yang segar dapat membuat perasaanku
menjadi lebih baik. Setelah mandi, aku keluar lalu memakai baju. Rasanya aku
ingin tidur lagi karena hari ini aku malas sekali. Tapi aku memutuskan untuk
menonton TV. Siapa tau kan ada film yang bagus?
Aku berjalan menuju ruang tengah
tapi aku langsung dihadang oleh Harry. “Apa apa?” Tanyaku dengan suara malas.
“Di teras ada seseorang yang ingin
bertemu denganmu.” Jawab Harry lalu meninggalkanku.
Aku harap orang itu bukan Luke
karena aku tidak ingin bertemu dengannya. Mana mungkin Luke berani datang ke
rumahku jika hubungan kami sedang tidak baik? Aku pergi menuju teras lalu
melihat seorang cowok berambut cokelat yang duduk membelakangiku. Aku menghela
nafas panjang. Luke!
“Untuk apa kau datang kemari?”
Tanyaku.
Luke membalikkan badan lalu
menatapku. Sebisa mungkin aku menahan air mataku. Kemudian Luke mendekatiku
lalu memelukku dengan erat. Tentu saja aku tidak bisa menampik pelukannya. Dan
air mata yang sedaritadi aku tahan akhirnya keluar menjadi tangisan. Aku
menangis di pelukan Luke.
“Menangislah jika itu membuatmu
menjadi lebih baik.” Ucap Luke.
Isakan tangisku bertambah semakin
besar bersamaan dengan pelukan Luke yang semakin erat. Dadaku terasa sesak dan
sulit bernafas. Aku membenamkan wajahku tepat di dada Luke dan tidak peduli
dengan baju Luke yang basah akibat tangisanku. Setelah lebih baik, Luke
melonggarkan pelukannya lalu melepasnya. Dia tersenyum kemudian mengusap air
mata yang ada di pipiku, lalu tangannya yang lain memegang pinggang-ku.
“Aku tidak tau apa masalahmu dan
mengapa kau ingin menjauhiku. Tapi ku mohon Leish jangan jauhi aku.” Ucap Luke.
Aku memberanikan diri menatap Luke.
“Seharusnya.. Seharusnya kau yang jangan jauhi aku karena itu membunuhku. Aku..
Aku ingin selalu berada di sisimu.” Ucapku.
Then,
he kisses me! Luke menciumku dengan lembut dan aku sangat menikmatinya.
Ciuman kami bukanlah ciuman panas seperti apa yang pernah kami lakukan saat di
pantai. Tapi sebuah ciuman yang mengisyaratkan bahwa Luke tidak akan
meninggalkanku dalam keadaan apapun. Cukup lama kami berciuman, Luke lalu
melepaskan ciumannya.
“Sudah baikan? Maaf tadi aku tak
sengaja menciummu.” Ucap Luke.
Aku paksakan diri untuk tersenyum. “It’s ok.” Jawabku.
Kami duduk di pinggir teras. Aku
masih merasakan bibirnya yang tadi menyentuh bibirku. Ciuman Luke memang sangat
dahsyat dan rasanya aku ingin terus dicium olehnya. Kemudian kami saling
bertatapan. Ayo katakan mengenai perasaamu pada Luke! Ucap hatiku. Tapi sekali
lagi aku masih ragu dan takut jika aku menyatakan perasaanku maka aku akan
kehilangan Luke.
“Sebenarnya salah aku ke kamu apa?”
Tanya Luke.
Refleks aku menggeleng. “Tidak ada.
Aku yang salah. Maafkan aku.” Jawabku.
“Terus kenapa kau menjauhiku? Pasti
aku ada salah denganmu.” Ucap Luke.
Tidak, Luk, tidak. Aku yang salah.
Aku yang terlalu berlebihan dan takut kehilanganmu. Aku takut kalau kau kembali
dengan mantanmu itu, maka karena itulah aku menjauhimu. Tapi aku tidak ingin
kau tau kalau aku menjauhimu karena aku sakit hati melihat kau yang masih
mencintai mantanmu itu dan suatu hari nanti akan kembali.
“Tidak. Kau tidak salah.” Ucapku.
“Oke. Tapi ingat jangan pernah
menjauhiku, oke?” Ucap Luke.
Aku mengangguk pelan. Entahlah apa
aku kuat berada di dekat Luke atau tidak. Yah.. Nikmati sajalah masa-masa yang
masih ada bersama Luke. Kalaupun ‘dia’ kembali, maka aku harus siap melupakan
Luke dan mencari cinta yang lain. Oke.
“Ngomong-ngomong dimana sepedamu?”
Tanya Luke.
“Ada di belakang. Memangnya kenapa?”
Jawab+Tanyaku.
Luke tersenyum lalu dia berdiri.
“Ayo kita naik sepeda! Aku sangat merindukan masa kecilku.” Ajaknya.
Ajakan Luke tidak terlalu buruk. Aku
tersenyum. Luke mengulurkan tangannya lalu aku raih tangan Luke. Kami pun
berjalan ke belakang rumah untuk mengambil sepeda. Tapi sepeda-nya hanya satu.
Mustahil jika kami saling goncengan karena sepeda Harry tidak ada tempat untuk
goncengan. Luke mengeluarkan sepeda itu lalu dia menaikinya.
“Ayo naik!” Ajak Luke.
“Hah?” Kagetku.
“Aku tidak membutuhkan jawaban
‘hah’. Sekarang ayo naik di sepeda ini.” Ucap Luke.
Aku menatap sepeda itu dengan ragu.
Sulit menaiki sepeda jika memakai rok. Aku memang memakai rok dan ini ajaib.
Jarang lho aku memakai rok walau rok-ku tidak terlalu pendek dan ketat.
“Bagaimana caranya agar aku bisa
naik? Tidak mungkin aku berdiri di roda.” Ucapku.
“Kau naik disini saja.” Ucap Luke
sambil menunjuk ke besi yang emang sudah ada diantara tempat duduk dan
stang-nya *bingungjelasinnyagimanatapibayanginajadeh*. “Kau duduk dan memegang setir-nya
sedangkan aku yang mengayuh sepedanya.” Sambungnya.
Aku menatap Luke dengan cemberut.
“Nanti pantat-ku sakit duduk di besi itu.” Ucapku.
Luke terkekeh mendengar suaraku.
“Masa aku yang duduk di besi itu? Rasanya aneh bagiku.” Ucapnya.
Akhirnya aku mengalah. “Baiklah.
Tapi kau duluan keluar. Aku menyusulmu sampai di pintu gerbang.” Ucapku.
Luke mengangguk. Dia mengayuh sepeda
itu sampai di luar pagar sedangkan aku berjalan mengikutinya. Lalu aku duduk di
besi itu sementara Luke duduk di tempat duduk sepeda itu. Aku memegang setir
sepeda dan sedikit merasa takut. Tapi Luke pastinya akan menyeimbangi tubuhnya
agar sepeda yang kami naiki tidak jatuh. Lalu dia memegang pundakku. Seketika
itu juga jantungku berdebar tak karuan.
“Ready?”
Tanya Luke.
“Sure.”
Jawabku walau masih ragu.
Luke mulai mengayuh sepedanya
sedangkan aku berusaha mengatur setir-nya sesuai dengan jalan yang kami lewati.
Awalnya sih aku tidak bisa dan gugup, tapi lama-kelamaan aku bisa dan ternyata
naik sepeda dengan posisi seperti ini sangat menyenangkan meski aku harus
mengorbankan pantat-ku yang sudah mulai sakit.
“Kau hebat Leish!” Ucap Luke.
Kami membawa sepeda itu menuju
sekitaran lapangan yang luas. Aku mulai merasa malu karena banyak orang disana
yang melihat kami. Terutama orang-orang yang mengenaliku. Saat kami tiba di
jalanan yang sepi, Luke mempercepat kayuhannya sehingga aku harus semakin
hati-hati menyetir-nya. Kemudian Luke merentangkan tangannya. Dia tampak
bahagia sekali.
“Yeah! I’m very very very happy!” Teriak Luke.
Aku tersenyum dan berusaha menahan
tawaku. Luke masih merentangkan tangannya. Tiba-tiba saja aku melihat seorang
gadis yang sedang berjalan. Sepertinya gadis itu tidak tau kalau ada kami. Dan
saat sepedaku mendekati gadis itu, gadis itu tampak kaget. Aku pun ikutan
kaget, Luke juga. Dia kehilangan keseimbangan lalu tiba-tiba saja sepeda yang
kami naiki jatuh. Sepeda itu menindih tubuh kami. Tubuhku merasa kesakitan,
Luke juga. Kemudian kami berdua tertawa melihat apa yang barusan kami lakukan.
“Astaga Leish! Baru kali ini aku
melihatmu keluar!” Ucap gadis itu. Ternyata gadis itu adalah tetanggaku yang
usianya dua tahun lebih tua dariku. Namanya Jane. Dia mendekati kami. “Oh my God! Itu pacarmu? Ah dia sangat
tampan! Sungguh! I wanna hug him!”
Sambungnya.
Jane membantu kami berdua. Tapi
kurasa dia lebih membantu Luke dibanding aku. Kulihat pipi Jane memerah saat
berada tepat di samping Luke. Tangannya masih memegang lengan Luke. Hmmm… Sudah
aku bilang. Tidak ada satupun gadis yang tidak bisa tahan dengan pesona Luke
yang sangat luar biasa itu.
“Thanks.”
Ucap Luke.
“Sama-sama. Can I hug you?” Ucap Jane malu-malu.
Luke tidak menjawab pertanyaan Jane.
Dia malah melirikku lalu dia kembali menatap Jane. “Tentu saja boleh asalkan
kau mendapatkan izin dari pacarku itu.” Jawab Luke lalu melirikku sambil
tersenyum.
Pipiku memerah mendengar ucapannya.
Pacar? Yang benar saja. Mudah saja bagi Luke mengatakan kalau aku adalah
pacarnya tanpa harus memikirkan perasaanku.
“Leish, aku tak menyangka kau bisa
mendapatkan cowok seganteng dia. Bolehkah aku memeluknya?” Tanya Jane.
Aku mengangguk sedangkan Jane
berteriak girang karena mendapat izin dariku. Gadis itu langsung memeluk Luke.
Tubuh Jane cukup mungil sama sepertiku jadi kepalanya hanya sampai di dada
Luke. Aku melihat keduanya berpelukan dalam waktu yang cukup lama. Setelah
puas, Jane mengucapkan terimakasih padaku juga Luke lalu dia pergi meninggalkan
kami.
“Gadis yang aneh.” Ucap Luke.
“Tentu saja dia aneh karena bertemu
denganmu! Setiap gadis yang bertemu denganmu langsung berubah menjadi aneh dan
terlihat seperti orang gila.” Ucapku.
“Ohya? Apa karena aku terlalu
tampan?” Tanya Luke.
Aku tersenyum lalu memukul bahu
Luke. Kemudian kami kembali ke rumahku. Karena pantat dan tubuhku sakit akibat
sepeda tadi, kami memutuskan untuk berjalan kaki. Luke yang menuntun sepeda
itu. Ya, aku selalu merasa nyaman saat bersamanya, tapi aku takut kalau Luke
meninggalkanku dan menggandeng tangan gadis lain walau aku tidak memiliki hak
apapun untuk melarang Luke.
“Terimakasih untuk hari ini. Aku
sangat bahagia.” Ucap Luke setelah memasukkan sepeda ke halaman belakang.
“Terimakasih kembali.” Ucapku.
Tiba-tiba Luke menatapku dengan
tatapan yang dalam. “Janji ya Leish agar jangan menjahui dan meninggalkanku.”
Ucapnya.
“I.. Iya..” Jawabku kaku.
“Baiklah. Aku pulang dulu. Besok
pagi aku akan menjemputmu lalu kita berangkat sekolah bersama, oke?” Ucap Luke.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar