“Leish,
maafkan aku. Aku suka gitu. Tapi itu gara-gara Calum!” Ucap Lea.
Aku terpaksa tidur sekamar dengan
Lea. Tapi aku berusaha menyembunyikan rasa ketidaksukaanku pada Lea. Itu bukan
salah Lea sepenuhnya. Calum-lah yang mencari gara-gara. Aku harap Michael, Luke
dan Ashton menyiksanya.
“Tidak apa-apa kok, aku bisa mengerti.”
Ucapku sambil memaksakan senyum. “Terus bagaimana dengan Luke? Dia marah
tidak?” Tanyaku.
“Awalnya marah sih tapi baikan lagi,
hehe. Luke kan sayang sama aku jadi mana mungkin dia memarahiku karena dia
tidak ingin kehilanganku untuk yang kedua kalinya.” Jawab Lea.
Sabar Leish, sabar. Akhirnya aku
tidur walau rasanya aneh. Tadi aku sangat mengantuk tapi tiba-tiba saja
kantukku hilang. Jujur saja, aku lebih nyaman tidur di sofa ketimbang tidur
sekamar bersama Lea. Satu jam berlalu dan aku belum juga tidur. Aku iseng
melirik Lea. Gadis itu sudah tertidur lelap dan aku baru sadar kalau gadis itu
tidur hanya menggunakan pakaian dalam. Aku berani bertaruh Luke bakal mabuk dan
tidak bisa menahan diri jika tidur seranjang bersama Lea.
Karena tak kunjung tidur, aku
menjadi frustrasi. Aku bangun lalu mengacak-acak rambutku. Ku lirik Lea. Gadis
itu sudah terlelap dan wajahnya seperti putri tidur. Kalau aku nekat, aku akan
membunuh Lea saat itu juga. Akhirnya aku memutuskan keluar dari kamar. Aku
ingin mencari tempat yang sepi. Tepatnya di tempat kami bermain permainan gila
tadi. Aku menemukan ayuna besi lalu aku duduk disana. Mengerikan memang
sendirian berada di tempat ini.
Luke.. Lea.. Luke.. Lea.. Aku terus
saja memikirkan dua makhluk yang ingin sekali aku lupakan. Mencoba baik-baik
saja malah tidak baik-baik saja. Mencoba melupakan tapi aku bertahan. Apa
maksudnya semua ini? Demi Tuhan aku ingin sekali melupakan Luke atau setidaknya
hapus rasa suka, kagum atau apalah pada Luke.
Deg. Aku merasa ada tangan yang
menyentuh pundakku. Tubuhku langsung gemetaran. Jantungku berdebar-debar hebat.
Aku harap di villa Lea tidak berhantu atau apa Lea sengaja mengajakku kemari
agar dia tertawa puas saat melihat mayatku yang terbaring mengenaskan akibat
dimakan hantu? Hah! Pikiranku selalu aneh.
“Leish? Kenapa belum tidur?”
Suara itu.. Dengan ragu aku
membalikkan tubuhku. Luke. Dia tersenyum kecil padaku lalu duduk disampingku.
Lucu. Iya, lucu. Aku dan Luke duduk berdua di sebuah ayunan. Jadi kenapa Luke
belum juga tidur?
“Insomia-ku kambuh. Bagaimana dengan
dirimu?” Tanyaku.
“Entahlah.” Jawab Luke.
“Pasti karena Lea. Sebaiknya kau
tidur saja sama Lea. Dia sendirian di kamarnya.” Ucapku.
Setelah aku mengucapkan kalimat itu,
Luke menatapku dengan tatapan ngg seperti tidak suka. “Kau kenapa sih?” Tanya
Luke.
“Justru aku yang nanya, kau kenapa?
Sekarang jawab pertanyaanku dengan jujur. Kau pernah kan tidur berdua sama Lea
dalam satu ranjang? Terus perkataan Lea tadi benar-benar.. Aiss.. Kenapa kau
bisa punya pacar seperti Lea? Apa karena kau merasa puas suka ‘digitukan’ sama
Lea? Pastinya. Enak pastinya.” Ucapnya. Aku benar-benar gila sekarang dan tidak
bisa menahan emosiku.
Luke terdiam. Pasti pernah, ya kan
Luk? Tapi Luke tidak mau mengakuinya. Katakan saja. Aku tidak akan marah.
Lagipula apa hak-ku untuk marah? Tiba-tiba saja cairan hangat mengalir
membasahi pipi-ku. Luke, dia begitu mudah membuatku menangis seperti ini.
“Leish..” Luke menggenggam tanganku
tapi langsung aku tampik. “Maafkan aku. Aku bukan sahabat yang baik. Aku sudah
kotor di mata orang. Aku tidak pantas menjadi sahabatmu. Kau adalah gadis yang
baik dan mampu menjaga diri sedangkan aku tidak bisa. Maafkan aku.” Ucapnya.
Isakan tangisku semakin terdengar.
Dadaku terasa sesak dan rasanya sulit untuk bernafas. Aku kira kedatanganku di
Perth akan membuat suasana hatiku menjadi baik. Tapi dugaanku salah. Aku kecewa
sama Luke. Boleh-boleh saja Luke pacaran sama gadis manapun tapi tolong jangan
Lea. Aku mulai mencium bau-bau tidak enak darinya. Aku ngerti kalau aku itu
kuno dan ketinggalan zaman. Aku bukan gadis liar seperti Lea ataupun lainnya.
Tapi inilah aku. Aku berjanji untuk menjaga diriku baik-baik.
“Kau menangis? Maafkan aku.” Ucap
Luke.
Luke memelukku dan aku tidak bisa
menghindar dari pelukannya. Aku menangis di dada Luke dan membiarkan kaus Luke
basah karena tangisanku. Sedangkan Luke menaruh dagu-nya di puncak
kepalaku.
“Sekarang apa yang kau inginkan?”
Tanya Luke.
Aku ingin kau putus dengan Lea!
Teriakku dalam hati. Tapi aku tidak boleh egois. Aku harus menerima kenyataan
kalau Luke tak akan pernah membalas perasaanku meski dia sangat baik padaku.
Aku memilih untuk tidak menjawab pertanyaan Luke.
“Kau tidak suka kan aku pacaran sama
Lea? Bukan hanya kau saja yang tidak suka. Ada banyak orang yang tidak menyukai
hubunganku dengan Lea, termasuk Ibuku sendiri. Aku lelah dengan mereka. Mereka
tidak mau mengerti perasaanku, juga Lea.” Ucap Luke.
Luk, sebenarnya nyesek juga melihatmu
terus bersedih karena banyak sekali yang tidak suka akan hubunganmu dengan Lea.
Mereka menganggap Lea adalah gadis yang tidak baik dan liar. Tentu saja aku
takut kalau-kalau ada hal buruk yang menimpa Luke karena Lea. Kenapa sih kau
bisa jatuh cinta sama Lea? Karena Lea cantik? Menarik? Bisa membuatmu puas?
Hah!
“Terkadang seseorang tidak bisa
menahan sesuatu yang memang tidak boleh dilakukan. Aku sering mengalaminya dan
rasanya berdosa sekali.” Ucap Luke.
Luk, apakah aku harus mengatakan
yang sebenarnya kalau aku mencintaimu? Tapi apakah kau akan putus dengan Lea
demi aku? Tidak mungkin! Mustahil Luke meninggalkan Lea hanya karena aku. Kalau
begini caranya, aku yang harus meninggalkan Luke walau aku tidak sanggup
melakukannya.
“Kau sudah baikan?” Tanya Luke.
Aku melepaskan diri dari pelukan
Luke lalu sedikit menjauhinya walau tidak bisa karena ukuran ayunan tidak
terlau besar. Aku mengelap sisa-sisa air mata yang ada di wajahku. Bagaimana?
Apa aku rela demi kebahagiaan Luke? Tapi aku khawatir. Aku takut jika Lea
melakukan hal buruk pada Luke.
“Ya, aku baik.” Jawabku.
“Leish, berjanjilah untuk tetap
menjadi sahabatku apapun yang terjadi. Mau kan?” Ucap Luke.
Luke mengangkat jari kelingkingnya
pertanda dia meminta persetujuan dariku. Lama aku menatap jari kelingking itu,
akhirnya aku mengaitkan jari kelingkingku di jari kelingking Luke. Luke
tersenyum. It’s ok. Semuanya akan
baik-baik saja. Aku akan kuat. Aku pasti kuat menghadapi semuanya.
“Biarkan aku tidur di pelukanmu.
Sekali ini saja.” Ucapku.
Aku pun tertidur di pelukan Luke
tanpa memikirkan apa yang akan terjadi esoknya.
***
Perlahan aku membuka mataku. Dimana
aku? Saat semua nyawaku terkumpul, aku baru sadar kalau aku berada di kamar
Lea. Tapi dimana gadis itu? Aku pun duduk sambil merenggangkan otot-ku. Jadi
kemarin malam itu aku tertidur di pelukan Luke? Sangat indah. Pasti Luke yang
menggendongku kemari. Aku harap Lea tidak tau tentang ini.
“Good
morning, Leish!” Sapa Lea ceria.
Entah sejak kapan gadis itu ada di
dalam kamar ini. Lea memakai pakaian minim dan dia tidak malu dengan apa yang
dipakainya. Kemudian Lea mengeluarkan pakaian dari dalam lemari. Lea memberiku
pakaian yang tak sesuai dengan tipe-ku. Kaus tanpa lengan dan rok mini yang
pendek dan ketat. Untuk apa Lea memberiku pakaian itu?
“Sebaiknya kau mandi dan pakai baju
ini. Aku sudah mandi tadi. Setelah itu ikut sarapan sama kami ya.” Ucap Lea.
Aku mengangguk. Sekali ini saja. Aku
harap pakaian Lea muat dengan tubuhku yang seperti ini. Aku pun masuk ke kamar
mandi. Air dingin yang keluar dari shower membuat tubuhku menjadi segar.
“Wau! Kau sangat cantik dengan
pakaian itu!” Puji Lea. Ternyata gadis itu dengan sabar menungguku mandi.
Aku tersenyum malu. Kurasa pakaian
ini tidak terlalu buruk dan pas dengan tubuhku. Tapi aneh rasanya memakai rok
mini seperti ini. Biasanya kan aku pakai celana atau rok yang panjang dan
lebar. Kemudian Lea menarik tanganku dan sepertinya dia ingin merapikan
rambutku yang kacau.
“Kau cantik Leish. Aku akan
membuatmu semakin cantik.” Ucap Lea.
Aku duduk manis di kursi sedangkan
Lea sibuk mengatur rambutku. Aku terlihat pasrah disini dan membiarkan Lea
melakukan apa yang dia inginkan. Kulihat jam di dinding. Masih pagi. Jadi tadi
aku tidak bangun kesiangan. Aku harap yang lainnya tidak kelaparan karena
menunggu-ku.
“Wau! You’re very beautiful!” Ucap Lea.
Aku menatap diriku di cermin.
Rambutku terlihat rapi dan tidak terlihat keriting tapi bergelombang. Entah apa
yang dilakukan Lea sehingga membuat rambutku berubah menjadi seperti ini. Tapi
aku suka dengan penampilanku ini.
“Ayo kita sarapan! Aku sangat
lapar!” Ucap Lea.
Sarapan? Jam berapa ini? Batinku.
Aku lalu mengikuti Lea menuju meja makan. Entahlah mengapa rasanya malu sekali
terutama saat aku tidak sengaja bertatapan dengan Luke. Langsung saja aku
menunduk karena aku tidak berani menatapnya.
“Itu Leish?” Tanya Calum tak
percaya.
“Yap!” Jawab Lea.
“Oh
my God aku tak menyangka Leish bisa berubah menjadi bidadari seperti itu! I want to be your boyfriend!” Ucap
Michael.
“No!
She should be my girlfriend!” Ucap Ashton.
Hanya Luke yang tidak mengomentari
penampilan baruku. Biarlah. Aku pun duduk dan mengambil makanan yang ada di
meja makan. Aku sudah mulai bisa mengontrol kecepatan makanku jadi aku tak akan
malu jika makan bersama Lea. Lagi-lagi aku tak sengaja bertatapan dengan Luke.
Astaga Luke kenapa sih? Rasanya dia tak berhenti memandangiku. Aku aneh ya
dengan penampilan seperti ini?
“Setelah ini kita kemana?” Tanya
Lea.
“Beach!”
Jawab Ashton.
Aku melihat jam di ponselku.
Seharusnya aku sudah pulang sejak tadi. “Aku pulang saja ya.” Ucapku.
“Kenapa? Hari ini kau sangat cantik
dan aku ingin menciummu.” Ucap Calum.
Aku merinding karena ucapan Calum
lalu aku teringat dengan kemarin malam. Permintaan Calum saat bermain Truth or
Dare sangat mengerikan dan berada di luar batas.
“Aku harus pulang, maaf.” Ucapku
lalu berdiri hendak meninggalkan tempat itu.
Baru saja aku berdiri, Luke ikutan
berdiri. “Biar aku yang mengantarmu pulang.” Ucapnya.
Aku menatap Luke dengan tatapan yang
sulit ditebak. “Tidak terimakasih. Aku bisa pulang sendiri.” Ucapku lalu pergi
meninggalkan tempat itu. Sialnya Luke malah mengejarku lalu menarik tanganku.
“Kau kenapa sih? Kemarin malam kan
kita sudah baikan? Kenapa aku tidak boleh mengantarmu pulang?” Tanya Luke.
“Kau yang kenapa! Seharusnya kau
pikirkan perasaan Lea! Lea masih ada disana sedangkan kau memaksaku agar aku
mau pulang denganmu. Aku bisa pulang sendiri atau kenapa tidak Michael, Calum
dan Ashton saja yang mengantarku pulang? Kenapa harus dirimu?” Ucapku setengah
emosi. Uh, emosiku kambuh.
Tiba-tiba saja Luke mencengkram dua bahuku.
Aku sedikit merasakan kesakitan. Aku memberanikan diri menatap Luke. Tepat di
matanya, aku melihat matanya yang berkaca-kaca. Luke kenapa sih? Apa sih yang
ada dipikirannya? Dan….. Aku memasrahkan diri karena mendapat ciuman yang tidak
aku duga dari Luke. Luke menciumku dengan lembut, sama seperti ciuman kemarin
malam. Namun aku langsung melepaskan ciuman itu dan mendorong tubuhnya. Oke.
Sebentar lagi air mataku akan turun.
“Kenapa kau cium aku? Aku bukan
pacarmu! Aku hanya sahabatmu! Tidak ada yang namanya ciuman persahabatan!”
Bentakku.
Luke tidak merespon ucapanku.
Kemudian aku meninggalkan Luke dan berharap Luke tidak mengikutiku.
***
Luke’s POV
Aku masuk ke dalam. Sungguh aku
benar-benar tidak tau kenapa aku bisa menciumnya. Rasanya seperti ada yang
memaksaku untuk mencium Aleisha. Kalau
begini caranya, Aleisha akan membenciku dan dia tidak sudi melihatku.
Padahal kemarin malam hubungan kita sudah membaik. Ku rasa Aleisha tidak
menyukai Lea. Apa dia cemburu? Tapi dia kan sahabatku jadi tidak mungkin
Aleisha cemburu. Dan saat permainan kemarin, perasaan Aleisha padaku hanyalah
rasa sayang terhadap sahabat, tidak lebih. Andai saja aku bisa membaca pikiran
Aleisha.
“Leish mana?” Tanya Ashton.
“Dia sudah pulang.” Jawabku.
“Lho? Sama siapa? Kenapa kau tidak
mau mengantarnya? Kalau ada hal buruk yang terjadi padanya gimana? Aku yang
akan disalahkan!” Ucap Lea.
“Kalau begitu kau saja yang
mengejarnya!” Ucapku setengah membentak pada Lea lalu meninggalkan tempat itu.
Maafkan aku Lea karena aku tadi
membentakmu. Terkadang aku tidak bisa menahan emosi yang aku rasakan. Tapi
kenapa aku harus emosi juga? Aku masuk ke dalam kamar lalu merebahkan tubuhku
di atas kasur. Aku melihat langit-langit kamar itu. Mengapa rasanya frustrasi
ya? Aku pun bangun lalu menutup wajahku.
“Luke?”
Aku melihat Lea yang masuk ke dalam
kamar. Gadis itu duduk di sampingku sambil mengelus bahuku. “Kau kenapa sih?
Aku jadi curiga.” Ucap Lea.
Aku menatap Lea. “Apa yang kau
curigakan?” Tanyaku.
Kulihat Lea menarik nafas panjang
sebelum menjawab pertanyaanku. “Sebenarnya kau benar-benar mencintaiku atau
tidak sih?” Tanyanya.
Wajahku berubah menjadi pucat
mendengar pertanyaan Lea. Kemudian aku mendekatkan wajahku di wajahnya. Aku
sentuh pipi-nya yang halus itu. Aku sudah kehilangan Lea dan aku tidak ingin
kehilangan dia lagi. Tentu saja aku mencintainya.
“Lea, aku sangat mencintaimu jadi
kau harus percaya padaku.” Jawabku.
“Aku tidak percaya.” Ucap Lea.
Kurasa kedatangan Lea kemari semakin
membuatku frustrasi. “Kau tidak percaya? Jadi apa yang harus aku lakukan agar
bisa membuatmu percaya kalau aku benar-benar mencintaimu dan tidak ingin
kehilanganmu lagi?” Tanyaku.
Lea tersenyum. Tangannya menyentuh
pipiku lalu turun dan menyentuh daguku. Jarak kami sangat dekat. Sepertinya aku
tau apa keinginan gadis itu.
“Well,
aku ingin kita melakukan hal yang dulu pernah kita lakukan. Aku sangat
merindukan masa-masa itu.” Ucap Lea.
“Lea, aku rasa aku tidak bisa
melakukannya. Kita sudah pernah melakukannya satu kali dan aku tidak mau
mengulanginya lagi. Aku tidak mau dianggap lelaki yang tidak baik.” Ucapku.
“Jangan sok alim. Aku tau kau pasti
ingin melakukannya kan? Sebentar saja.” Ucap Lea.
Tangan-tangan Lea mulai beraksi.
Secara refleks aku menjauhinya. Gadis itu membuka pakaiannya dan hanya
menyisakan pakaian dalam. Lea memang begitu. Gadis itu tidak bisa menahan diri.
Karena itulah banyak orang yang tidak menyukai Lea, terutama Cassa. Cassa tau
betul bagaimana kelakuan Lea. Tapi anehnya aku masih mencintai Lea dan tidak
ingin meninggalkan gadis itu apapun yang dilakukan gadis itu. Entah racun apa
yang Lea beri padaku sehingga aku bisa tergila-gila padanya.
“Kenapa diam saja?” Tanya Lea.
Aku menelan ludahku. Rasa bimbang,
ragu, dan bingung menyerangku. Ada malaikat dan setan yang berusaha memenangi
pikiranku. Lalu aku harus memilih yang mana? Tapi ajakan Lea sangat… Argh! Aku
benar-benar frustrasi.
“Kalau kau benar-benar mencintaiku,
maka lakukanlah.” Ucap Lea.
Aku menatap Lea ragu. “Baiklah.” Ucapku.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar