Kami akan
melakukan perjalanan panjang menuju hutan lalu menginap disana dengan
tenda-tenda yang kami bawa. Ajaibnya aku satu kelompok dengan Luke. Satu
kelompok terdiri dari lima orang. Tadi ada seorang gadis yang menolak kalau aku
satu kelompok dengan Luke. Katanya, aku-aku saja yang selalu bisa bersama Luke.
Aku hanya bisa sabar mendapatkan kata-kata yang pedas darinya.
“Are
you ok?” Tanya Luke.
Tentu saja Luke mendengar ucapan
gadis yang tidak mempunyai hati itu. Aku mengangguk pelan. Sangat bodoh jika
aku menangis karena ucapan gadis itu. Aku sudah kebal mendapat kata-kata tidak
baik dari mereka semua. Tiba-tiba terlintas dibenakku mengenai gadis yang
pernah menjadi pacar Luke. Jadi apakah mereka juga mendapat caci maki karena
bisa mendapatkan Luke? Tapi hei! Aku hanya teman Luke, tidak lebih.
Setelah semuanya siap, kami pun
melakukan perjalanan. Kami sudah tiba di hutan menggunakan bus setelah itu baru
kami menjelajahinya. Aku sangat menyukai petualangan walau pastinya akan
melelahkan. Aku tidak sengaja bertatapan dengan Shawn. Sepertinya dia merasa
bahagia sama sepertiku.
Selama diperjalanan, aku selalu
berada di samping Luke karena kami terpisah dengan grup kami. Sepertinya
anggota lainnya sangat tidak menyukai kehadiranku. Tapi kami tidak kehilangan
arah. Tentunya ada petunjuk-petunjuk khusus agar kami tidak tersesat. Tanpa aku
sadari, Luke menggandeng tanganku dan menggenggamnya dengan erat. Aku
memejamkan mataku. Genggaman tangan Luke terasa hangat. Aku tidak ingin dia
melepaskan genggaman tangan itu.
“Aw!” Teriakku.
Sial. Tiba-tiba saja kaki kiriku
kram dan aku susah untuk berjalan. Tau akan hal itu, Luke langsung bertindak.
Karena lokasi penginapan kami sudah dekat, alhasil Luke membantuku berjalan.
Dia memegang pinggang kananku dan menaruh tangan kiriku di atas pundaknya. Demi
Tuhan! Aku benar-benar malu saat ini! Beberapa orang melihat kami. Ada yang
tersenyum dan ada yang tidak suka. Ku mohon, aku sangat membenci keadaan ini.
Terutama tangan Luke yang memegang pinggang-ku dengan erat, hal itu membuat
perutku terasa sakit.
“Sabar, sebentar lagi kita akan
sampai.” Ucap Luke yang sepertinya tau kalau aku tidak suka akan hal ini.
Akhirnya kami tiba. Hampir semua
orang menatap kami. Sungguh rasa maluku semakin bertambah. Aku dikira mencari
sensasi disini. Tapi Luke berusaha menenangkanku. Dia membuat duduk-ku nyaman.
Perlahan, Luke membuka jeans bagian
bawahku untuk melihat kaki-ku yang sakit tadi. Sungguh perbuatannya sangat
membuatku ingin terbang ke angkasa.
“Rasa sakitnya akan hilang. Besok
kau sudah bisa jalan lagi. Sini aku pijat.” Ucap Luke.
Dia melakukannya tanpa sepersetujuan
dariku. Luke mengambil obat entah obat apa lalu dia mengolesi obat itu di
kaki-ku yang sakit. Aku meringis saat Luke mulai memijat kaki-ku. Tapi aku
benar-benar menikmatinya. Sial. Rasanya aku ingin mencium Luke saat itu juga
kalau aku tidak bisa menjaga nafsu-ku. Luke, bagiku dia terlalu sempurna. Aku
sedang bermimpi bertemu dengannya, bahkan berteman dengannya.
“Sudah baikan?” Tanya Luke.
“Eh..” Kagetku.
“Ada apa? Sepertinya pikiranmu tidak
sedang berada di otakmu.” Ucap Luke.
Aku tersenyum malu. “Luke, thanks banyak ya. Kau sangat baik.”
Ucapku.
Luke membalas senyumku dengan senyum
mautnya. “Sesama sahabat harus saling membantu.” Ucapnya.
Tiba-tiba perutku berbunyi. Luke
tertawa mendengar bunyi perutku yang sangat kelaparan. Lalu dia mengambil
beberapa makanan dan minuman. Astaga Luke, aku ingin mencegah perbuatannya tapi
aku tidak bisa bangun. Kaki-ku masih terasa sakit walau tidak separah tadi.
“Liat tuh si Leish, suka sekali
membuat sensasi.”
“Iya. Manja sekali sih dia.
Mentang-mentang dia bisa dekat dengan Luke.”
Aku memejamkan mataku mendengar
kata-kata yang tidak baik dari mereka. Bisa-bisa aku kehabisan kesabaran dan
menghajar mereka habis-habisan. Kenapa sih mereka? Kenapa sih mereka tidak suka
akan kedekatanku dengan Luke? Tolong jangan mempermasalahkan kondisi fisikku
yang memang sangat tidak cocok jika berdampingan dengan Luke.
“Tapi masih mending Aleisha
dibandingkan dengan nenek lampir itu, ya kan?”
“Ohiyaiya, aku baru ingat. Si nenek
lampir itu sudah pergi kan dari sekolah kita?”
“Kau benar. Menurutku Aleisha tidak
buruk-buruk amat. Kelihatannya dia masih polos.”
“Wah kok aku jadi kasihan ya dengan
Aleisha? Barangkali dia sedang dipermainkan oleh Luke. Tentunya menjadi
pelarian Luke karena putus dengan nenek lampir itu.”
Apa? Apa mereka bilang? Siapa nenek
lampir itu? Mantan Luke? Rasa penasaran memenuhi pikiranku. Jadi mantan Luke
sudah meninggalkan sekolah ini dan mereka mengira aku adalah pelarian Luke dari
mantannya? Ku harap tidak. Aku harap Luke berteman denganku tanpa alasan. Aku
takut jika omongan mereka benar. Aku takut kalau-kalau mantan Luke kembali ke
sekolah lalu Luke melupakanku.
“Makanlah.” Ucap Luke.
Aku menatap makanan yang dibawa
Luke. Namun nafsu makanku seketika itu juga menghilang karena mendengar
percakapan anak-anak tadi. Aku menatap wajah Luke, berusaha mencari ketulusan
disana.
“Kau tidak suka dengan makanan ini?”
Tanya Luke.
“Eh, tidak-tidak.” Ucapku lalu
mengambil makanan itu dan memakannya sampai habis.
Ucapan dari anak-anak tadi masih
terngiang di otakku. Jika aku keras kepala dan berani, mungkin aku bisa memaksa
Luke untuk menjelaskan semuanya. Tapi sekali lagi aku harus menjaga semua rasa
penasaranku ini. Aku tidak ingin membuat hati Luke sakit. Luke sudah sangat
baik padaku dan aku berjanji untuk tidak membuatnya sedih.
Malam semakin larut. Angin malam
yang dingin membuatku mengeratkan jaket yang aku gunakan. Rasanya begitu damai
dengan suasana seperti ini. Luke tetap bersamaku dan dia seperti tidak ingin
meninggalkanku. Seharusnya dia bergaul dengan anak-anak lain, terutama Shawn.
Tapi tampaknya Luke tidak berkeinginan bergabung dengan mereka.
“Leish, kesana yuk.” Ajak Luke.
Luke membantuku berdiri, lalu dia
mengajakku pergi ke tempat yang jauh dari mereka. Aku tidak bisa membaca
pikirannya. Dia asyik saja menuntunku tanpa merasakan perasaan takut. Setelah
Luke menemukan tempat yang nyaman, dia duduk dan aku juga duduk disampingnya.
Kaki kiriku sudah agak lumayan. Aku bisa berdiri dan berjalan dengan pelan.
Aku menatap Luke yang sedang
menatapku. Kemudian dia membuka kaki-nya lebar-lebar. Aku menyipitkan mataku.
Entah apa tujuan Luke mengajakku duduk di tempat ini dan menjauhi keramaian.
“Ayo sini, duduk disini.” Ucap Luke.
Mendadak aku malu. Luke bercanda
kan? Apakah otaknya sudah kebalik? Luke menyuruhku duduk tepat di depan
tubuhnya sehingga aku bisa bersandar di dadanya. Tapi kurasa itu cukup
memalukan. Aku tidak berani duduk di antara kaki Luke. Tapi akhirnya aku nurut
saja. Dengan jantung yang berdebar-debar, aku duduk disana lalu tiba-tiba saja
Luke mendorongku dengan pelan agar aku bersandar di dadanya. Kemudian Luke merapatkan
kaki-nya sehingga kaki-nya menyentuh tanpa jarak dengan kakiku. Astaga….
“Maaf kalau kau tidak nyaman dengan
posisi ini.” Ucap Luke.
Sebisa mungkin aku memasang tampang
biasa. “Ah tidak apa-apa” Ucapku malu-malu.
Punggung-ku tepat berada di depan
tubuh Luke tanpa jarak sedikitpun dan itu sukses membuatku ingin meledak. Jika
saja aku adalah bom, mungkin aku sudah meledak. Dan aku bisa merasakan detakan
jantung Luke yang berdetak.. ehem.. cukup cepat. Kulihat Luke yang sedikit
menundukkan wajahnya sehingga dia bisa menatapku. Apa maksud dari semua ini?
Selanjutnya, Luke melingkarkan tangannya di tubuhku.
“Ehm Luk, kenapa kita berada di
tempat ini? Seharusnya kita bersama yang lain.” Tanyaku memberanikan diri.
“Tak apa. Aku hanya ingin ada kita
berdua disini.” Ucap Luke.
Kurasa Luke sedang gila. Mustahil
dia melakukan ini padaku. Aku takut kalau-kalau Luke menciumku dan aku tidak
bisa menolaknya. Pelampiasan. Apakah aku adalah pelampiasan Luke? Pasti akan
sangat menyakitkan. Tubuhku panas dingin mendapati dagu Luke yang kini tepat
berada di puncak kepalaku. Luke please,
jangan membuatku seperti ini. Bisa-bisa aku kehilangan kendali dan menjadi
gila. Tapi aku membalas apa yang Luke lakukan. Aku semakin manja dalam pelukan
Luke dan semakin mengeratkan punggungku di tubuhnya. Terkesan seperti memaksa
tapi Luke tidak meresponnya. Pikiran yang tidak-tidak pun hadir. Argh…
“Menurutmu, siapakah wanita yang
paling spesial dalam hidupmu?” Tanyaku.
Luke tidak langsung menjawab.
“Ibuku.” Jawabnya kemudian.
“Selain Ibumu?” Tanyaku.
“Hei, untuk apa kau menanyakan
pertanyaan seperti itu?” Tanya Luke.
Aku tersenyum kecil. “Hanya mencari
tau saja.” Jawabku.
Kami pun terdiam. Lalu aku membuka
suara. “Kalau aku? Menurutmu aku itu apa bagimu? Apakah aku benar-benar
sahabatmu atau bagaimana?” Tanyaku.
Aku mendongakkan wajahku sedangkan
Luke menunduk agar bisa menatap wajahku. Lalu dia tersenyum. “Well, kau termasuk ke dalam daftar gadis
yang spesial. Kau adalah sahabat baikku. Kau sudah masuk ke dalam bagian
hidupku. Awal aku bertemu denganmu terasa aneh. Tapi kurasa berteman denganmu
adalah hal yang menyenangkan. Kau adalah gadis yang langka dan aku sangat
beruntung bertemu denganmu.” Ucap Luke.
“Hmm.. Tapi mereka mengira aku
adalah pacarmu karena aku dan kau sangat dekat.” Ucapku.
“Yaaa.. Mereka tidak bisa membedakan
antara hubungan sahabat dengan pacar.” Ucap Luke.
Kemudian Luke menggenggam tanganku
dengan erat. Ini yang dinamakan sahabat? Apa yang aku lakukan dengan Luke saat
ini adalah layaknya seperti sepasang kekasih yang sedang di mabuk cinta. Aku
harap tak akan ada siapapun yang menemukan kami dalam keadaan seperti ini.
“Luk, aku.. aku penasaran dengan
masa lalu-mu. Maksudku tentang pacar-mu. Ku rasa dulunya mereka sangat membenci
pacarmu.” Ucapku.
Sial. Rasa penasaranku ini tidak
bisa aku tahan. Aku takut kehilangan Luke hanya karena aku tidak bisa menjaga
kalimat-kalimat yang aku ucapkan.
“Kau penasaran sekali ya? Aku curiga
kalau kau berusaha menyelidiki kehidupanku yang sebelumnya. Tapi tak apa.
Kapan-kapan aku akan menceritakannya padamu.” Ucap Luke.
Syukurlah Luke tidak marah. Dia
memang tipe orang yang tidak suka marah dan bisa menahan emosinya. Tapi rasa
penasaranku tadi belum terjawab. Ah lupakan saja. Toh suatu hari nanti Luke
bakal menceritakannya.
“Entah kenapa, aku merasa seperti
aku takut kehilanganmu.” Ucapku tiba-tiba.
“Ohya? Aku kan sudah berjanji untuk
tidak akan meninggalkanmu.” Ucap Luke.
“Benarkah? Sungguh baru kali ini ada
cowok yang mengucapkan janji seperti apa yang kau ucapkan. Rasanya aku seperti
berada di sebuah film.” Ucapku.
“Leish, ku rasa kita sama-sama
saling membutuhkan. Tuhan mempertemukan kita karena kita sama-sama saling
membutuhkan. Tapi diantara kita berdua aku yang paling membutuhkanmu. Kau
sering membuatku tertawa tapi aku tidak bisa membuatmu tertawa. Rasanya beban
hidupku hilang saat aku melihat tingkah lucumu atau hal apapun yang kau
lakukan.” Ucap Luke.
“I
need you more. You’re my best friend. I love you.” Ucapku.
“I
love you too my friend..” Balas Luke.
Seandainya kau mengucapkan kalimat
tadi bukan karena aku sahabatmu, batinku. Tapi untuk apa aku berharap seperti
itu? Aku kan sahabat Luke, seharusnya aku merasa beruntung dengan status itu
dan tidak mengharapkan yang lebih. Sahabat akan lebih kuat dibandingkan dengan
pacar. Tapi ya itu tadi, aku ragu jika Luke berbohong dan menjadikanku sebagai
pelampiasan karena putus dengan pacarnya.
Cukup lama kami berdua berdiam di
tempat ini, berkali-kali aku menguap dan berusaha keras menahan rasa kantuk.
Bisa saja aku tertidur di pelukan Luke tapi aku tidak enak dengan Luke. Tapi
sungguh lama-kelamaan aku merasa nyaman dengan posisi seperti ini. Bersandar di
dada Luke dan dagu Luke yang menyentuh kepalaku.
“Ayo kita kembali. Kau terlihat
sangat mengantuk.” Ucap Luke lalu berdiri. Mengapa aku merasa kecewa?
Luke membantuku berdiri dan kami
berjalan menuju tempat kemah. Saat aku melihat tempat itu, semuanya sudah masuk
ke dalam tenda masing-masing. Dimana tendaku? Aku dan Luke saling berpandangan.
Kemudian aku membuka salah satu tenda. Astaga! Aku menutup mulutku. Memang gila
dunia ini. Di dalam tenda itu anak cowok dengan anak cewek digabung. Mungkin
semua tenda mengalami hal yang sama.
“Seperti perkemahan sebelumnya.
Mereka bebas tidur dengan siapapun.” Jelas Luke.
“Jadi?” Tanyaku.
Luke menemukan tenda yang kosong.
Aku berjalan mendekati Luke. Tidak. Aku tidak mau tidur dengan Luke. Aku tau
diri. Sepertinya pikiran Luke sama denganku. Pastinya dia tidak mau tidur
denganku.
“Kita tidak mempunyai pilihan lain.”
Ucap Luke.
Aku menarik nafas dalam-dalam.
“Jadi, kita akan tidur berdua di tenda itu?” Tanyaku.
“Yap.” Ucap Luke lalu masuk ke dalam
tenda itu. Aku menyusulnya.
“Aku janji Leish tidak akan
menyentuhmu sama sekali.” Ucap Luke.
Aku mengangguk mengerti. Langsung
saja aku merebahkan tubuhku yang terasa pegal lalu diikuti Luke. Berbaring di
samping Luke membuatku tidak nyaman. Sungguh aku tidak bisa mengontrol detakan
jantungku dan rasa gugupku. Mungkin saja malam ini aku akan mengalami insomnia.
“Good
night Leish! Have a nice dream.” Ucap Luke.
“You
too.” Balasku.
Aku menatap ragu tangan kiri Luke
yang bersentuhan dengan tangan kananku. Ingin sekali rasanya memeluk lengan itu
dan menyandarkan kepalaku di bahunya. Aku pun memberanikan diri memeluk lengan
itu. Tentu saja Luke kaget namun dia malah tersenyum.
“Aku bisa kan meminjam lengan dan
bahumu?” Tanyaku sambil nyengir.
“Sure.
Why not?” Jawab Luke.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar