expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Minggu, 05 Juni 2016

Can't Have You ( Part 10 )



Kami akan melakukan perjalanan panjang menuju hutan lalu menginap disana dengan tenda-tenda yang kami bawa. Ajaibnya aku satu kelompok dengan Luke. Satu kelompok terdiri dari lima orang. Tadi ada seorang gadis yang menolak kalau aku satu kelompok dengan Luke. Katanya, aku-aku saja yang selalu bisa bersama Luke. Aku hanya bisa sabar mendapatkan kata-kata yang pedas darinya.

            Are you ok?” Tanya Luke.

            Tentu saja Luke mendengar ucapan gadis yang tidak mempunyai hati itu. Aku mengangguk pelan. Sangat bodoh jika aku menangis karena ucapan gadis itu. Aku sudah kebal mendapat kata-kata tidak baik dari mereka semua. Tiba-tiba terlintas dibenakku mengenai gadis yang pernah menjadi pacar Luke. Jadi apakah mereka juga mendapat caci maki karena bisa mendapatkan Luke? Tapi hei! Aku hanya teman Luke, tidak lebih.

            Setelah semuanya siap, kami pun melakukan perjalanan. Kami sudah tiba di hutan menggunakan bus setelah itu baru kami menjelajahinya. Aku sangat menyukai petualangan walau pastinya akan melelahkan. Aku tidak sengaja bertatapan dengan Shawn. Sepertinya dia merasa bahagia sama sepertiku.

            Selama diperjalanan, aku selalu berada di samping Luke karena kami terpisah dengan grup kami. Sepertinya anggota lainnya sangat tidak menyukai kehadiranku. Tapi kami tidak kehilangan arah. Tentunya ada petunjuk-petunjuk khusus agar kami tidak tersesat. Tanpa aku sadari, Luke menggandeng tanganku dan menggenggamnya dengan erat. Aku memejamkan mataku. Genggaman tangan Luke terasa hangat. Aku tidak ingin dia melepaskan genggaman tangan itu.

            “Aw!” Teriakku.

            Sial. Tiba-tiba saja kaki kiriku kram dan aku susah untuk berjalan. Tau akan hal itu, Luke langsung bertindak. Karena lokasi penginapan kami sudah dekat, alhasil Luke membantuku berjalan. Dia memegang pinggang kananku dan menaruh tangan kiriku di atas pundaknya. Demi Tuhan! Aku benar-benar malu saat ini! Beberapa orang melihat kami. Ada yang tersenyum dan ada yang tidak suka. Ku mohon, aku sangat membenci keadaan ini. Terutama tangan Luke yang memegang pinggang-ku dengan erat, hal itu membuat perutku terasa sakit.

            “Sabar, sebentar lagi kita akan sampai.” Ucap Luke yang sepertinya tau kalau aku tidak suka akan hal ini.

            Akhirnya kami tiba. Hampir semua orang menatap kami. Sungguh rasa maluku semakin bertambah. Aku dikira mencari sensasi disini. Tapi Luke berusaha menenangkanku. Dia membuat duduk-ku nyaman. Perlahan, Luke membuka jeans bagian bawahku untuk melihat kaki-ku yang sakit tadi. Sungguh perbuatannya sangat membuatku ingin terbang ke angkasa.

            “Rasa sakitnya akan hilang. Besok kau sudah bisa jalan lagi. Sini aku pijat.” Ucap Luke.

            Dia melakukannya tanpa sepersetujuan dariku. Luke mengambil obat entah obat apa lalu dia mengolesi obat itu di kaki-ku yang sakit. Aku meringis saat Luke mulai memijat kaki-ku. Tapi aku benar-benar menikmatinya. Sial. Rasanya aku ingin mencium Luke saat itu juga kalau aku tidak bisa menjaga nafsu-ku. Luke, bagiku dia terlalu sempurna. Aku sedang bermimpi bertemu dengannya, bahkan berteman dengannya.

            “Sudah baikan?” Tanya Luke.

            “Eh..” Kagetku.

            “Ada apa? Sepertinya pikiranmu tidak sedang berada di otakmu.” Ucap Luke.

            Aku tersenyum malu. “Luke, thanks banyak ya. Kau sangat baik.” Ucapku.

            Luke membalas senyumku dengan senyum mautnya. “Sesama sahabat harus saling membantu.” Ucapnya.

            Tiba-tiba perutku berbunyi. Luke tertawa mendengar bunyi perutku yang sangat kelaparan. Lalu dia mengambil beberapa makanan dan minuman. Astaga Luke, aku ingin mencegah perbuatannya tapi aku tidak bisa bangun. Kaki-ku masih terasa sakit walau tidak separah tadi.

            “Liat tuh si Leish, suka sekali membuat sensasi.”

            “Iya. Manja sekali sih dia. Mentang-mentang dia bisa dekat dengan Luke.”

            Aku memejamkan mataku mendengar kata-kata yang tidak baik dari mereka. Bisa-bisa aku kehabisan kesabaran dan menghajar mereka habis-habisan. Kenapa sih mereka? Kenapa sih mereka tidak suka akan kedekatanku dengan Luke? Tolong jangan mempermasalahkan kondisi fisikku yang memang sangat tidak cocok jika berdampingan dengan Luke.

            “Tapi masih mending Aleisha dibandingkan dengan nenek lampir itu, ya kan?”

            “Ohiyaiya, aku baru ingat. Si nenek lampir itu sudah pergi kan dari sekolah kita?”

            “Kau benar. Menurutku Aleisha tidak buruk-buruk amat. Kelihatannya dia masih polos.”

            “Wah kok aku jadi kasihan ya dengan Aleisha? Barangkali dia sedang dipermainkan oleh Luke. Tentunya menjadi pelarian Luke karena putus dengan nenek lampir itu.”

            Apa? Apa mereka bilang? Siapa nenek lampir itu? Mantan Luke? Rasa penasaran memenuhi pikiranku. Jadi mantan Luke sudah meninggalkan sekolah ini dan mereka mengira aku adalah pelarian Luke dari mantannya? Ku harap tidak. Aku harap Luke berteman denganku tanpa alasan. Aku takut jika omongan mereka benar. Aku takut kalau-kalau mantan Luke kembali ke sekolah lalu Luke melupakanku.

            “Makanlah.” Ucap Luke.

            Aku menatap makanan yang dibawa Luke. Namun nafsu makanku seketika itu juga menghilang karena mendengar percakapan anak-anak tadi. Aku menatap wajah Luke, berusaha mencari ketulusan disana.

            “Kau tidak suka dengan makanan ini?” Tanya Luke.

            “Eh, tidak-tidak.” Ucapku lalu mengambil makanan itu dan memakannya sampai habis.

            Ucapan dari anak-anak tadi masih terngiang di otakku. Jika aku keras kepala dan berani, mungkin aku bisa memaksa Luke untuk menjelaskan semuanya. Tapi sekali lagi aku harus menjaga semua rasa penasaranku ini. Aku tidak ingin membuat hati Luke sakit. Luke sudah sangat baik padaku dan aku berjanji untuk tidak membuatnya sedih.

            Malam semakin larut. Angin malam yang dingin membuatku mengeratkan jaket yang aku gunakan. Rasanya begitu damai dengan suasana seperti ini. Luke tetap bersamaku dan dia seperti tidak ingin meninggalkanku. Seharusnya dia bergaul dengan anak-anak lain, terutama Shawn. Tapi tampaknya Luke tidak berkeinginan bergabung dengan mereka.

            “Leish, kesana yuk.” Ajak Luke.

            Luke membantuku berdiri, lalu dia mengajakku pergi ke tempat yang jauh dari mereka. Aku tidak bisa membaca pikirannya. Dia asyik saja menuntunku tanpa merasakan perasaan takut. Setelah Luke menemukan tempat yang nyaman, dia duduk dan aku juga duduk disampingnya. Kaki kiriku sudah agak lumayan. Aku bisa berdiri dan berjalan dengan pelan.

            Aku menatap Luke yang sedang menatapku. Kemudian dia membuka kaki-nya lebar-lebar. Aku menyipitkan mataku. Entah apa tujuan Luke mengajakku duduk di tempat ini dan menjauhi keramaian.

            “Ayo sini, duduk disini.” Ucap Luke.

            Mendadak aku malu. Luke bercanda kan? Apakah otaknya sudah kebalik? Luke menyuruhku duduk tepat di depan tubuhnya sehingga aku bisa bersandar di dadanya. Tapi kurasa itu cukup memalukan. Aku tidak berani duduk di antara kaki Luke. Tapi akhirnya aku nurut saja. Dengan jantung yang berdebar-debar, aku duduk disana lalu tiba-tiba saja Luke mendorongku dengan pelan agar aku bersandar di dadanya. Kemudian Luke merapatkan kaki-nya sehingga kaki-nya menyentuh tanpa jarak dengan kakiku. Astaga….

            “Maaf kalau kau tidak nyaman dengan posisi ini.” Ucap Luke.

            Sebisa mungkin aku memasang tampang biasa. “Ah tidak apa-apa” Ucapku malu-malu.

            Punggung-ku tepat berada di depan tubuh Luke tanpa jarak sedikitpun dan itu sukses membuatku ingin meledak. Jika saja aku adalah bom, mungkin aku sudah meledak. Dan aku bisa merasakan detakan jantung Luke yang berdetak.. ehem.. cukup cepat. Kulihat Luke yang sedikit menundukkan wajahnya sehingga dia bisa menatapku. Apa maksud dari semua ini? Selanjutnya, Luke melingkarkan tangannya di tubuhku.

            “Ehm Luk, kenapa kita berada di tempat ini? Seharusnya kita bersama yang lain.” Tanyaku memberanikan diri.

            “Tak apa. Aku hanya ingin ada kita berdua disini.” Ucap Luke.

            Kurasa Luke sedang gila. Mustahil dia melakukan ini padaku. Aku takut kalau-kalau Luke menciumku dan aku tidak bisa menolaknya. Pelampiasan. Apakah aku adalah pelampiasan Luke? Pasti akan sangat menyakitkan. Tubuhku panas dingin mendapati dagu Luke yang kini tepat berada di puncak kepalaku. Luke please, jangan membuatku seperti ini. Bisa-bisa aku kehilangan kendali dan menjadi gila. Tapi aku membalas apa yang Luke lakukan. Aku semakin manja dalam pelukan Luke dan semakin mengeratkan punggungku di tubuhnya. Terkesan seperti memaksa tapi Luke tidak meresponnya. Pikiran yang tidak-tidak pun hadir. Argh…

            “Menurutmu, siapakah wanita yang paling spesial dalam hidupmu?” Tanyaku.

            Luke tidak langsung menjawab. “Ibuku.” Jawabnya kemudian.

            “Selain Ibumu?” Tanyaku.

            “Hei, untuk apa kau menanyakan pertanyaan seperti itu?” Tanya Luke.

            Aku tersenyum kecil. “Hanya mencari tau saja.” Jawabku.

            Kami pun terdiam. Lalu aku membuka suara. “Kalau aku? Menurutmu aku itu apa bagimu? Apakah aku benar-benar sahabatmu atau bagaimana?” Tanyaku.

            Aku mendongakkan wajahku sedangkan Luke menunduk agar bisa menatap wajahku. Lalu dia tersenyum. “Well, kau termasuk ke dalam daftar gadis yang spesial. Kau adalah sahabat baikku. Kau sudah masuk ke dalam bagian hidupku. Awal aku bertemu denganmu terasa aneh. Tapi kurasa berteman denganmu adalah hal yang menyenangkan. Kau adalah gadis yang langka dan aku sangat beruntung bertemu denganmu.” Ucap Luke.

            “Hmm.. Tapi mereka mengira aku adalah pacarmu karena aku dan kau sangat dekat.” Ucapku.

            “Yaaa.. Mereka tidak bisa membedakan antara hubungan sahabat dengan pacar.” Ucap Luke.

            Kemudian Luke menggenggam tanganku dengan erat. Ini yang dinamakan sahabat? Apa yang aku lakukan dengan Luke saat ini adalah layaknya seperti sepasang kekasih yang sedang di mabuk cinta. Aku harap tak akan ada siapapun yang menemukan kami dalam keadaan seperti ini.

            “Luk, aku.. aku penasaran dengan masa lalu-mu. Maksudku tentang pacar-mu. Ku rasa dulunya mereka sangat membenci pacarmu.” Ucapku.

            Sial. Rasa penasaranku ini tidak bisa aku tahan. Aku takut kehilangan Luke hanya karena aku tidak bisa menjaga kalimat-kalimat yang aku ucapkan.

            “Kau penasaran sekali ya? Aku curiga kalau kau berusaha menyelidiki kehidupanku yang sebelumnya. Tapi tak apa. Kapan-kapan aku akan menceritakannya padamu.” Ucap Luke.

            Syukurlah Luke tidak marah. Dia memang tipe orang yang tidak suka marah dan bisa menahan emosinya. Tapi rasa penasaranku tadi belum terjawab. Ah lupakan saja. Toh suatu hari nanti Luke bakal menceritakannya.

            “Entah kenapa, aku merasa seperti aku takut kehilanganmu.” Ucapku tiba-tiba.

            “Ohya? Aku kan sudah berjanji untuk tidak akan meninggalkanmu.” Ucap Luke.

            “Benarkah? Sungguh baru kali ini ada cowok yang mengucapkan janji seperti apa yang kau ucapkan. Rasanya aku seperti berada di sebuah film.” Ucapku.

            “Leish, ku rasa kita sama-sama saling membutuhkan. Tuhan mempertemukan kita karena kita sama-sama saling membutuhkan. Tapi diantara kita berdua aku yang paling membutuhkanmu. Kau sering membuatku tertawa tapi aku tidak bisa membuatmu tertawa. Rasanya beban hidupku hilang saat aku melihat tingkah lucumu atau hal apapun yang kau lakukan.” Ucap Luke.

            I need you more. You’re my best friend. I love you.” Ucapku.

            I love you too my friend..” Balas Luke.

            Seandainya kau mengucapkan kalimat tadi bukan karena aku sahabatmu, batinku. Tapi untuk apa aku berharap seperti itu? Aku kan sahabat Luke, seharusnya aku merasa beruntung dengan status itu dan tidak mengharapkan yang lebih. Sahabat akan lebih kuat dibandingkan dengan pacar. Tapi ya itu tadi, aku ragu jika Luke berbohong dan menjadikanku sebagai pelampiasan karena putus dengan pacarnya.

            Cukup lama kami berdua berdiam di tempat ini, berkali-kali aku menguap dan berusaha keras menahan rasa kantuk. Bisa saja aku tertidur di pelukan Luke tapi aku tidak enak dengan Luke. Tapi sungguh lama-kelamaan aku merasa nyaman dengan posisi seperti ini. Bersandar di dada Luke dan dagu Luke yang menyentuh kepalaku.

            “Ayo kita kembali. Kau terlihat sangat mengantuk.” Ucap Luke lalu berdiri. Mengapa aku merasa kecewa?

            Luke membantuku berdiri dan kami berjalan menuju tempat kemah. Saat aku melihat tempat itu, semuanya sudah masuk ke dalam tenda masing-masing. Dimana tendaku? Aku dan Luke saling berpandangan. Kemudian aku membuka salah satu tenda. Astaga! Aku menutup mulutku. Memang gila dunia ini. Di dalam tenda itu anak cowok dengan anak cewek digabung. Mungkin semua tenda mengalami hal yang sama.

            “Seperti perkemahan sebelumnya. Mereka bebas tidur dengan siapapun.” Jelas Luke.

            “Jadi?” Tanyaku.

            Luke menemukan tenda yang kosong. Aku berjalan mendekati Luke. Tidak. Aku tidak mau tidur dengan Luke. Aku tau diri. Sepertinya pikiran Luke sama denganku. Pastinya dia tidak mau tidur denganku.

            “Kita tidak mempunyai pilihan lain.” Ucap Luke.

            Aku menarik nafas dalam-dalam. “Jadi, kita akan tidur berdua di tenda itu?” Tanyaku.

            “Yap.” Ucap Luke lalu masuk ke dalam tenda itu. Aku menyusulnya.

            “Aku janji Leish tidak akan menyentuhmu sama sekali.” Ucap Luke.

            Aku mengangguk mengerti. Langsung saja aku merebahkan tubuhku yang terasa pegal lalu diikuti Luke. Berbaring di samping Luke membuatku tidak nyaman. Sungguh aku tidak bisa mengontrol detakan jantungku dan rasa gugupku. Mungkin saja malam ini aku akan mengalami insomnia.

            Good night Leish! Have a nice dream.” Ucap Luke.

            You too.” Balasku.

            Aku menatap ragu tangan kiri Luke yang bersentuhan dengan tangan kananku. Ingin sekali rasanya memeluk lengan itu dan menyandarkan kepalaku di bahunya. Aku pun memberanikan diri memeluk lengan itu. Tentu saja Luke kaget namun dia malah tersenyum.

            “Aku bisa kan meminjam lengan dan bahumu?” Tanyaku sambil nyengir.

            Sure. Why not?” Jawab Luke.

***

           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar