Suasana
bandara yang cukup ramai. Bukan, bukan cukup ramai. Tapi ramai sekali! Aku
nampak kecil disini. Dengan membawa koper dan tas punggung, aku benar-benar
merasa kecil dan terasing. Tapi aku merasa bangga karena berhasil melakukan
perjalanan ini sendirian. By the way,
namaku Aleisha Keach, panggil saja Leish biar singkat. Aku datang kemari bukan
untuk liburan, aku datang kemari sebagai pelarian. Bagaimana bisa aku betah
tinggal bersama orangtua yang suka bertengkar? Itu mampu membuatku menangis dan
tidak tahan. Karena itulah aku memutuskan untuk kemari dan tinggal bersama
Pamanku.
Awalnya, Mom dan Dad menolak aku
pindah ke negara lain tapi aku maksa juga karena aku anaknya keras kepala.
Akhirnya mereka mau mengizinkanku. Hah, apa juga pedulinya mereka padaku?
Pulang ke rumah saja jarang. Aku bahkan tidak memiliki saudara kandung. Aku
anak tunggal dan aku merasakan kesedihan itu sendirian. Untunglah aku memiliki
sahabat-sahabat yang selalu ada untukku walau sekarang aku sudah meninggalkan
mereka.
Jika kalian ingin tau tentangku, aku
hanyalah gadis sederhana yang sulit menemukan pacar *apaini*. Bukan, bukan
karena aku jelek. Aku biasa-biasa saja, aku tidak cantik dan tidak jelek.
Tinggiku hanya 158 cm, berambut pirang sebahu dan agak keriting, berat badan
yang rrrr aku malu menjelaskannya tapi aku tidak terlalu gendut. Tapi jika
kalian bertemu denganku, kalian mengira aku itu seperti kurcaci, apalagi berada
di negara ini, bahkan rumahku sendiri. Aku saja yang paling pendek diantara
teman-temanku.
But,
aku cukup bangga dengan diriku. Di sekolah, aku tergolong murid yang pintar.
Aku lupa memberitahu kalau aku memakai kacamata min 2 karena aku suka membaca
novel, komik ataupun bacaan lainnya. Selain itu, aku sangat terobsesi dengan
musik, terutama band! Aku sangat tergila-gila dengan Simple Plan, All Time Low,
Boys Like Girls, The Maine dan masih banyak lagi. Aku sering bermimpi bertemu
dengan mereka tapi kapan?
Di waktu luang, aku suka bermain
gitar dan membuat lagu. Selain itu, aku suka mencover lagu yang video-nya aku
upload ke youtube. Lumayan banyak yang nonton. Kata mereka suaraku bagus. Ya,
aku mendapatkan suara ini dari Mom karena dulu Mom adalah seorang penyanyi
walau tidak terkenal, tapi suara Mom dapat diacungi jempol. Aku sering
bernyanyi bersama Mom. Tapi sayangnya sejak Mom sibuk dengan butik-nya, Mom
jarang meluangkan waktu untukku.
Aku lumayan pendiam dan pemalu.
Diumurku yang sudah mencapai tujuh belas tahun, aku belum pernah berpacaran.
Ada cowok yang dekat denganku saja tidak. Kata temanku, aku itu terlalu
menutupi diri dan terkesan sombong. Sehari-hari, aku selalu pergi ke
perpustakaan untuk mencari buku bacaan dan jika aku lapar, aku bisa pergi ke
kantin sendirian. Benar-benar hidup seorang gadis yang membosankan, mungkin itu
yang ada di pikiran mereka.
“Leish!”
Aha itu pamanku! Aku langsung
berlari menemuinya dan memeluknya. Edward namanya. Aku sangat menyayanginya.
Paman Edward sudah ditinggal oleh istrinya dua tahun yang lalu akibat
kecelakaan. Kini, dia tinggal bersama satu anak cowok yang usianya lebih tua
dua tahun dariku, namanya Harry. Aku kurang begitu akrab dengannya.
“Kau sekarang cantik sekali. Paman
sangat merindukanmu.” Ucap Edward.
Aku tersenyum malu mendengar
pujiannya. Mungkin hanya Edward yang mengatakan kalau aku itu cantik. Kami pun
berjalan keluar bandara dan iseng mencari warung makan terdekat karena aku
sangat lapar. Beda halnya dengan Pamanku yang satu ini, dia tidak sekaya
seperti orangtuaku. Hidupnya sederhana. Pekerjaannya yaitu membuka cafee coffee
yang tidak terlalu terkenal, tapi bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Sebenarnya aku tidak enak dengan
paman karena saat aku datang, aku hanya bisa membuat bebannya bertambah. Tapi
paman mengatakan urusan uang sudah Dad kirim walau aku sama sekali tidak pernah
meminta pada Dad. Sebulan sekali, Dad berjanji mengirim uang dengan jumlah yang
sangat banyak. Oke. Tentu saja aku tidak bisa menolak apa yang dilakukan Dad
karena itu juga merupakan kewajibannya.
Paman mengajakku makan di sebuah
warung yang kurasa tidak terlalu buruk. Menu-nya lezat-lezat dan harganya
terjangkau. Kata paman, inilah warung yang sering dia datangi jadi paman sudah
kenal betul dengan pemiliki warung yang ada disini.
“Kau mau pesan apa?” Tanya Paman.
“Sama seperti paman.” Jawabku.
Setelah memesan, paman banyak
bertanya padaku tentang orangtuaku. Aku jawab apa adanya. Mereka masih
bertengkar dan paman amat kasihan padaku. Seandainya mereka cerai, aku juga
tidak peduli. Aku tetap bersama paman atau Dad yang memaksaku untuk tinggal
bersamanya.
“Aku heran mengapa mereka bisa
bertengkar.” Ucapku kesal.
Pesanan pun datang. Aku memakannya
dengan lahap dan sepertinya paman tertawa melihat gaya makanku. Inilah aku apa
adanya. Aku lebih tepat dikatakan sebagai gadis yang tomboi walau penampilanku
tidak memperlihatkan apakah aku tomboi atau tidak. Aku masih suka memakai rok
atau dress walau tidak suka jika harus menggunakan higheels.
“Pantasan saja tidak ada pria yang
tertartik padamu.” Ucap paman sambil tertawa.
Aku cemberut mendengar ucapan paman.
Kalau paman sih menilai aku kalau aku itu sama sekali tidak menunjukkan sifat
kewanitaan(?). Tapi apa benar karena sikapku yang seperti ini tidak ada satupun
cowok yang mau dekat denganku? Oh ayolah. Aku sangat ingin memiliki teman
cowok, ingin sekali tau bagaimana rasanya berbicara, tertawa bersama mereka.
Bahkan aku penasaran bagaimana rasanya dipeluk oleh mereka. Apakah rasanya
seperti pelukan paman?
Setelah kenyang, kami pun pulang dan
aku tidak sabaran menjatuhkan tubuhku di kasur karena aku sangat lelah dan
mengantuk. Paman sedikit membicarakan tentang sekolah padaku namun anehnya aku
malas mendengarnya. Aku takut kalau-kalau aku ditolak oleh mereka atau yang
lebih parahnya lagi disindir. Pikiranku memang suka kemana-mana dan lebih
banyak negatifnya.
Ketika tiba di rumah, aku tak
sengaja bertatapan dengan seorang pemuda tampan berambut curly yang tengah tersenyum padaku. Biar ku tebak, pemuda itu pasti
Harry. Aku langsung memeluknya. Ah, aku benar-benar kerdil. Tubuh Harry sangat
tinggi dan aku hanya sampai di dadanya. Memalukan!
Setelah itu, paman menunjukkan kamar
yang nampak indah dan nyaman. Aku tersenyum dan masuk ke dalam kamar yang
seterusnya akan aku tinggali, entah sampai kapan dan entah kalau-kalau aku
kembali tinggal bersama orangtuaku. Aku merapikan barang-barangku dan setelah
semuanya beres, aku iseng menyetel beberapa lagu favorit-ku sampai aku tertidur
lelap.
***
Sepertinya paman memang serius
membicarakan sekolah untukku, jadi aku nurut saja. Paman akan menyekolahkanku
di Theresia College dan aku tidak bisa menolak. Kata paman, itu adalah sekolah
terbaik untuk orang aneh sepertiku *eh. Sekolahnya lumayan terkenal dan aku
benar-benar takut kalau-kalau aku diasingkan oleh penduduk yang bermukim
disana. Aku cukup bodoh dalam hal bergaul. Aku tidak akan menyapa orang itu
sebelum orang itu menyapaku terlebih dahulu.
Aktivitas mereka di pagi hari ini
yaitu paman akan bekerja di cafee-nya sementara Harry juga bekerja baru siang
nanti kuliah. Hebat sekali! Sepupu-ku yang satu itu emang sangat luar biasa.
Sudah tampan dan rajin bekerja. Kalau aku sih rada-rada malas sekolah. Aku
lebih suka belajar disini dan ask
internet kalau ada soal yang tidak bisa aku kerjakan.
“Paman pergi dulu, jaga rumah
baik-baik ya.” Ucap Edward lalu pergi meninggalkanku.
Kini aku sendiri dan bingung dengan
apa yang aku lakukan. Biasanya jika tidak ada kerjaan, aku suka mengurung diri
di kamar, baca novel, menghayal bertemu tokoh idolaku, menulis lagu…. Astaga
aku hampir melupakan sesuatu! Aku tidak memawa gitarku dan dia masih duduk
manis di rumah. Tapi aneh rasanya jika aku menenteng gitar dan membawanya masuk
ke dalam pesawat sedangkan aku bisa membeli gitar disini.
Maka aku putuskan untuk menunggu
paman. Nanti aku akan menyuruhnya untuk mengantarkanku ke toko musik terdekat.
Aku memiliki beberapa uang yang rasanya cukup untuk membeli gitar. Aku melirik
jam di ponselku. Jam sepuluh pagi. Jujur saja, aku malas melakukan apapun. Aku
malas mendengarkan lagu. Kemudian aku membuka laptopku. Ku lihat film-film yang
ada disana dan aku putuskan untuk menonton The Maze Runner, salah satu film
favoritku.
Selain musik, aku tergila-gila
dengan film, terutama film action. Aku sampai rela numpang wifi orang demi
mendownload film berjam-jam lamanya. Aku lumayan aneh orangnya dan suka asyik
dengan pikiran sendiri. Banyak teman-temanku mengatakan kalau aku adalah anak
yang sangat aneh dan membosankan. Tapi inilah hidupku. Mereka boleh-boleh saja
mengomentari hidupku tapi aku tidak peduli. Aku bahagia dengan hidupku dan
berusaha mencari kebahagiaan. Apapun kebahagiaan itu.
***
Terpaksa aku menuruti keinginan
paman untuk mendatangi sekolah yang akan tentu saja untuk menjadi tempatku
menuntut ilmu. Kurasa tidak ada bedanya antara Perth dengan Sydney. Aku lahir
dan dibesarkan di Perth dan hanya beberapa kali pergi ke Sydney. Saat aku
melihat gedung sekolahku, aku ternganga. Gedungnya sangat besar dan sekolah
lamaku telak jika dibandingkan dengan gedung sekolah yang aku lihat.
Paman menyadariku dan mengajakku
masuk ke dalam sana. Aku baru tau ternyata Dad yang memilihkan sekolah ini,
bukan paman. Kalau paman sih mungkin hanya sekolah sederhana saja. Tapi aku
jauh lebih menyukai sekolah yang sederhana karena aku tidak berani bertemu
dengan anak-anak orang kaya disana, apalagi jika aku bertemu dengan
segerombolan gadis yang sikapnya sangat memuakkan seperti di sekolah lamaku.
“Kau suka sekolah ini?” Tanya paman.
Aku mengangguk. Mau tidak mau aku
harus menerima keputusan Dad. Bagiku, keputusan Dad adalah keputusan yang
terbaik. Ketika selesai dengan semua urusan, lusa nanti aku sudah siap untuk
sekolah. Aku sih tidak masalah kapan sekolah tapi hanya saja aku belum siap
bertemu dengan wajah-wajah baru. Aku cukup minder anaknya. Sekali di bully
bakal keterusan di bully sehingga membuatku tidak betah dan ingin kabur.
Sekolah lamaku lumayan nyaman walau ada beberapa anak yang tidak menyukaiku.
Untunglah aku tidak pernah berbuat onar di sekolah semisal dengan dengan
bintang basket atau apalah.
Tiba-tiba aku teringat sesuatu.
“Uncle,
aku ingin pergi ke toko musik yang murah. Kau tau dimana tempatnya?” Tanyaku.
“Oh tentu saja. Letaknya tidak jauh
dari tempat ini.” Jawab paman.
Paman menunjukkan letak toko musik
yang dimaksudnya dan aku mengerti. Ku minta pengertian paman untuk
meninggalkanku sendiri. Awalnya paman menolak membiarkanku sendirian tapi aku
keras kepala dengan pendirianku akhirnya paman menyerah.
“Jangan sampai tergoda sama lelaki
yang ada disini.” Ucap paman.
Paman selalu begitu. Selalu
membuatku tertawa. Beda banget dengan Dad yang garing dan lebih memfokuskan
pekerjaan. Tak pernah Dad membuatku tertawa, tersenyum saja tidak. Karena
itulah aku lebih menginginkan hidup yang sederhana bersama orangtua yang mau
peduli dengan kita dan tidak terobsesi sama pekerjaan. Kalaupun iya, aku ingin
mereka memberikan waktu untukku walau mereka merasa aku bukan anak kecil lagi.
Aku sudah kelas sebelas sekarang dan
sudah aku anggap menjadi gadis yang dewasa meski aku rasa sikapku terlihat
seperti anak-anak, lebih tepatnya lagi idiot.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar