expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Minggu, 05 Juni 2016

Can't Have You ( Part 1 )



Suasana bandara yang cukup ramai. Bukan, bukan cukup ramai. Tapi ramai sekali! Aku nampak kecil disini. Dengan membawa koper dan tas punggung, aku benar-benar merasa kecil dan terasing. Tapi aku merasa bangga karena berhasil melakukan perjalanan ini sendirian. By the way, namaku Aleisha Keach, panggil saja Leish biar singkat. Aku datang kemari bukan untuk liburan, aku datang kemari sebagai pelarian. Bagaimana bisa aku betah tinggal bersama orangtua yang suka bertengkar? Itu mampu membuatku menangis dan tidak tahan. Karena itulah aku memutuskan untuk kemari dan tinggal bersama Pamanku.

            Awalnya, Mom dan Dad menolak aku pindah ke negara lain tapi aku maksa juga karena aku anaknya keras kepala. Akhirnya mereka mau mengizinkanku. Hah, apa juga pedulinya mereka padaku? Pulang ke rumah saja jarang. Aku bahkan tidak memiliki saudara kandung. Aku anak tunggal dan aku merasakan kesedihan itu sendirian. Untunglah aku memiliki sahabat-sahabat yang selalu ada untukku walau sekarang aku sudah meninggalkan mereka.

            Jika kalian ingin tau tentangku, aku hanyalah gadis sederhana yang sulit menemukan pacar *apaini*. Bukan, bukan karena aku jelek. Aku biasa-biasa saja, aku tidak cantik dan tidak jelek. Tinggiku hanya 158 cm, berambut pirang sebahu dan agak keriting, berat badan yang rrrr aku malu menjelaskannya tapi aku tidak terlalu gendut. Tapi jika kalian bertemu denganku, kalian mengira aku itu seperti kurcaci, apalagi berada di negara ini, bahkan rumahku sendiri. Aku saja yang paling pendek diantara teman-temanku.

            But, aku cukup bangga dengan diriku. Di sekolah, aku tergolong murid yang pintar. Aku lupa memberitahu kalau aku memakai kacamata min 2 karena aku suka membaca novel, komik ataupun bacaan lainnya. Selain itu, aku sangat terobsesi dengan musik, terutama band! Aku sangat tergila-gila dengan Simple Plan, All Time Low, Boys Like Girls, The Maine dan masih banyak lagi. Aku sering bermimpi bertemu dengan mereka tapi kapan?

            Di waktu luang, aku suka bermain gitar dan membuat lagu. Selain itu, aku suka mencover lagu yang video-nya aku upload ke youtube. Lumayan banyak yang nonton. Kata mereka suaraku bagus. Ya, aku mendapatkan suara ini dari Mom karena dulu Mom adalah seorang penyanyi walau tidak terkenal, tapi suara Mom dapat diacungi jempol. Aku sering bernyanyi bersama Mom. Tapi sayangnya sejak Mom sibuk dengan butik-nya, Mom jarang meluangkan waktu untukku.

            Aku lumayan pendiam dan pemalu. Diumurku yang sudah mencapai tujuh belas tahun, aku belum pernah berpacaran. Ada cowok yang dekat denganku saja tidak. Kata temanku, aku itu terlalu menutupi diri dan terkesan sombong. Sehari-hari, aku selalu pergi ke perpustakaan untuk mencari buku bacaan dan jika aku lapar, aku bisa pergi ke kantin sendirian. Benar-benar hidup seorang gadis yang membosankan, mungkin itu yang ada di pikiran mereka.

            “Leish!”

            Aha itu pamanku! Aku langsung berlari menemuinya dan memeluknya. Edward namanya. Aku sangat menyayanginya. Paman Edward sudah ditinggal oleh istrinya dua tahun yang lalu akibat kecelakaan. Kini, dia tinggal bersama satu anak cowok yang usianya lebih tua dua tahun dariku, namanya Harry. Aku kurang begitu akrab dengannya.

            “Kau sekarang cantik sekali. Paman sangat merindukanmu.” Ucap Edward.

            Aku tersenyum malu mendengar pujiannya. Mungkin hanya Edward yang mengatakan kalau aku itu cantik. Kami pun berjalan keluar bandara dan iseng mencari warung makan terdekat karena aku sangat lapar. Beda halnya dengan Pamanku yang satu ini, dia tidak sekaya seperti orangtuaku. Hidupnya sederhana. Pekerjaannya yaitu membuka cafee coffee yang tidak terlalu terkenal, tapi bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari.

            Sebenarnya aku tidak enak dengan paman karena saat aku datang, aku hanya bisa membuat bebannya bertambah. Tapi paman mengatakan urusan uang sudah Dad kirim walau aku sama sekali tidak pernah meminta pada Dad. Sebulan sekali, Dad berjanji mengirim uang dengan jumlah yang sangat banyak. Oke. Tentu saja aku tidak bisa menolak apa yang dilakukan Dad karena itu juga merupakan kewajibannya.

            Paman mengajakku makan di sebuah warung yang kurasa tidak terlalu buruk. Menu-nya lezat-lezat dan harganya terjangkau. Kata paman, inilah warung yang sering dia datangi jadi paman sudah kenal betul dengan pemiliki warung yang ada disini.

            “Kau mau pesan apa?” Tanya Paman.

            “Sama seperti paman.” Jawabku.

            Setelah memesan, paman banyak bertanya padaku tentang orangtuaku. Aku jawab apa adanya. Mereka masih bertengkar dan paman amat kasihan padaku. Seandainya mereka cerai, aku juga tidak peduli. Aku tetap bersama paman atau Dad yang memaksaku untuk tinggal bersamanya.

            “Aku heran mengapa mereka bisa bertengkar.” Ucapku kesal.

            Pesanan pun datang. Aku memakannya dengan lahap dan sepertinya paman tertawa melihat gaya makanku. Inilah aku apa adanya. Aku lebih tepat dikatakan sebagai gadis yang tomboi walau penampilanku tidak memperlihatkan apakah aku tomboi atau tidak. Aku masih suka memakai rok atau dress walau tidak suka jika harus menggunakan higheels.

            “Pantasan saja tidak ada pria yang tertartik padamu.” Ucap paman sambil tertawa.

            Aku cemberut mendengar ucapan paman. Kalau paman sih menilai aku kalau aku itu sama sekali tidak menunjukkan sifat kewanitaan(?). Tapi apa benar karena sikapku yang seperti ini tidak ada satupun cowok yang mau dekat denganku? Oh ayolah. Aku sangat ingin memiliki teman cowok, ingin sekali tau bagaimana rasanya berbicara, tertawa bersama mereka. Bahkan aku penasaran bagaimana rasanya dipeluk oleh mereka. Apakah rasanya seperti pelukan paman?

            Setelah kenyang, kami pun pulang dan aku tidak sabaran menjatuhkan tubuhku di kasur karena aku sangat lelah dan mengantuk. Paman sedikit membicarakan tentang sekolah padaku namun anehnya aku malas mendengarnya. Aku takut kalau-kalau aku ditolak oleh mereka atau yang lebih parahnya lagi disindir. Pikiranku memang suka kemana-mana dan lebih banyak negatifnya.

            Ketika tiba di rumah, aku tak sengaja bertatapan dengan seorang pemuda tampan berambut curly yang tengah tersenyum padaku. Biar ku tebak, pemuda itu pasti Harry. Aku langsung memeluknya. Ah, aku benar-benar kerdil. Tubuh Harry sangat tinggi dan aku hanya sampai di dadanya. Memalukan!

            Setelah itu, paman menunjukkan kamar yang nampak indah dan nyaman. Aku tersenyum dan masuk ke dalam kamar yang seterusnya akan aku tinggali, entah sampai kapan dan entah kalau-kalau aku kembali tinggal bersama orangtuaku. Aku merapikan barang-barangku dan setelah semuanya beres, aku iseng menyetel beberapa lagu favorit-ku sampai aku tertidur lelap.

***

            Sepertinya paman memang serius membicarakan sekolah untukku, jadi aku nurut saja. Paman akan menyekolahkanku di Theresia College dan aku tidak bisa menolak. Kata paman, itu adalah sekolah terbaik untuk orang aneh sepertiku *eh. Sekolahnya lumayan terkenal dan aku benar-benar takut kalau-kalau aku diasingkan oleh penduduk yang bermukim disana. Aku cukup bodoh dalam hal bergaul. Aku tidak akan menyapa orang itu sebelum orang itu menyapaku terlebih dahulu.

            Aktivitas mereka di pagi hari ini yaitu paman akan bekerja di cafee-nya sementara Harry juga bekerja baru siang nanti kuliah. Hebat sekali! Sepupu-ku yang satu itu emang sangat luar biasa. Sudah tampan dan rajin bekerja. Kalau aku sih rada-rada malas sekolah. Aku lebih suka belajar disini dan ask internet kalau ada soal yang tidak bisa aku kerjakan. 

            “Paman pergi dulu, jaga rumah baik-baik ya.” Ucap Edward lalu pergi meninggalkanku.

            Kini aku sendiri dan bingung dengan apa yang aku lakukan. Biasanya jika tidak ada kerjaan, aku suka mengurung diri di kamar, baca novel, menghayal bertemu tokoh idolaku, menulis lagu…. Astaga aku hampir melupakan sesuatu! Aku tidak memawa gitarku dan dia masih duduk manis di rumah. Tapi aneh rasanya jika aku menenteng gitar dan membawanya masuk ke dalam pesawat sedangkan aku bisa membeli gitar disini.

            Maka aku putuskan untuk menunggu paman. Nanti aku akan menyuruhnya untuk mengantarkanku ke toko musik terdekat. Aku memiliki beberapa uang yang rasanya cukup untuk membeli gitar. Aku melirik jam di ponselku. Jam sepuluh pagi. Jujur saja, aku malas melakukan apapun. Aku malas mendengarkan lagu. Kemudian aku membuka laptopku. Ku lihat film-film yang ada disana dan aku putuskan untuk menonton The Maze Runner, salah satu film favoritku.

            Selain musik, aku tergila-gila dengan film, terutama film action. Aku sampai rela numpang wifi orang demi mendownload film berjam-jam lamanya. Aku lumayan aneh orangnya dan suka asyik dengan pikiran sendiri. Banyak teman-temanku mengatakan kalau aku adalah anak yang sangat aneh dan membosankan. Tapi inilah hidupku. Mereka boleh-boleh saja mengomentari hidupku tapi aku tidak peduli. Aku bahagia dengan hidupku dan berusaha mencari kebahagiaan. Apapun kebahagiaan itu.

***

            Terpaksa aku menuruti keinginan paman untuk mendatangi sekolah yang akan tentu saja untuk menjadi tempatku menuntut ilmu. Kurasa tidak ada bedanya antara Perth dengan Sydney. Aku lahir dan dibesarkan di Perth dan hanya beberapa kali pergi ke Sydney. Saat aku melihat gedung sekolahku, aku ternganga. Gedungnya sangat besar dan sekolah lamaku telak jika dibandingkan dengan gedung sekolah yang aku lihat.

            Paman menyadariku dan mengajakku masuk ke dalam sana. Aku baru tau ternyata Dad yang memilihkan sekolah ini, bukan paman. Kalau paman sih mungkin hanya sekolah sederhana saja. Tapi aku jauh lebih menyukai sekolah yang sederhana karena aku tidak berani bertemu dengan anak-anak orang kaya disana, apalagi jika aku bertemu dengan segerombolan gadis yang sikapnya sangat memuakkan seperti di sekolah lamaku.

            “Kau suka sekolah ini?” Tanya paman.

            Aku mengangguk. Mau tidak mau aku harus menerima keputusan Dad. Bagiku, keputusan Dad adalah keputusan yang terbaik. Ketika selesai dengan semua urusan, lusa nanti aku sudah siap untuk sekolah. Aku sih tidak masalah kapan sekolah tapi hanya saja aku belum siap bertemu dengan wajah-wajah baru. Aku cukup minder anaknya. Sekali di bully bakal keterusan di bully sehingga membuatku tidak betah dan ingin kabur. Sekolah lamaku lumayan nyaman walau ada beberapa anak yang tidak menyukaiku. Untunglah aku tidak pernah berbuat onar di sekolah semisal dengan dengan bintang basket atau apalah.

            Tiba-tiba aku teringat sesuatu.

            Uncle, aku ingin pergi ke toko musik yang murah. Kau tau dimana tempatnya?” Tanyaku.

            “Oh tentu saja. Letaknya tidak jauh dari tempat ini.” Jawab paman.

            Paman menunjukkan letak toko musik yang dimaksudnya dan aku mengerti. Ku minta pengertian paman untuk meninggalkanku sendiri. Awalnya paman menolak membiarkanku sendirian tapi aku keras kepala dengan pendirianku akhirnya paman menyerah.

            “Jangan sampai tergoda sama lelaki yang ada disini.” Ucap paman.

            Paman selalu begitu. Selalu membuatku tertawa. Beda banget dengan Dad yang garing dan lebih memfokuskan pekerjaan. Tak pernah Dad membuatku tertawa, tersenyum saja tidak. Karena itulah aku lebih menginginkan hidup yang sederhana bersama orangtua yang mau peduli dengan kita dan tidak terobsesi sama pekerjaan. Kalaupun iya, aku ingin mereka memberikan waktu untukku walau mereka merasa aku bukan anak kecil lagi.

            Aku sudah kelas sebelas sekarang dan sudah aku anggap menjadi gadis yang dewasa meski aku rasa sikapku terlihat seperti anak-anak, lebih tepatnya lagi idiot.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar