Aleisha’s POV
It’s
ok, it’s ok.
Aku kembali ke Sydney meski rasanya
amat berat meninggalkan Dad. Dad sempat menyuruhku tinggal kembali di Perth
tapi aku tidak bisa. Jika saja tidak ada Luke, aku pasti akan kembali tinggal
bersama Dad. Aku kembali ke rumah paman lalu masuk ke dalam kamarku. Pikiranku
menerawang. Aku ingat betul apa yang telah terjadi selama aku berada di villa
Lea. Dan permainan gila itu.. Ah sudahlah. Aku lelah dan ingin tidur.
Drtdrtdrt…
Kulihat Luke yang mengirimku pesan.
Luke sudah tiba di Sydney kemarin malam. Aku membaca pesan itu. Katanya Luke
ingin bertemu denganku saat ini juga di starbucks. Aku menghela nafasku yang
berat. Antara ingin dan tidak ingin menemui Luke. Tapi akhirnya aku memutuskan
untuk menemuinya.
Setiba di starbucks yang Luke
maksud, aku mencari-cari Luke. Ternyata dia duduk di meja yang paling ujung.
Aku berjalan ke tempat itu. Saat Luke melihatku, dia tersenyum seakan-akan aku
dan dia tidak terjadi masalah apa-apa. Aku pun duduk dihadapannya.
“Seharusnya kau pulang sama kami.”
Ucap Luke memulai pembicaraan.
It’s
ok, it’s ok. Kau kan gadis yang kuat, Leish jadi jangan menganggap apa yang
terjadi ini hanya bisa membuatmu terus menangis dan lemah. Kau juga harus bisa
mengontrol emosimu. Tetaplah tersenyum dan ceria!
“Sayangnya tiket-ku sudah aku beli
jadi aku tidak bisa pulang bersama kalian.” Ucapku.
Selanjutnya kami sama-sama diam. Aku
berani bertaruh Luke pasti merasa bersalah padaku dan ingin meminta maaf tapi
dia tidak berani. Luke menatapku. Aku membalas tatapannya dan berusaha untuk
tetap tenang.
“Well,
apa yang ingin kau bicarakan denganku? Katakan saja agar aku tidak sia-sia
datang kemari.” Ucapku karena kesal dengan Luke yang tidak mau membuka suara.
Luke mulai membuka mulutnya namun
terkesan ragu dan bingung. “Kau marah padaku?” Tanyanya.
Sudah berapa kali Luke menayai hal
seperti itu? Kenapa Luke takut sekali kalau aku marah padanya? Untuk yang
kesekian kalinya aku heran dengan Luke dan penasaran apa isi di dalam otaknya.
Aku harus menyelesaikan ini semua. Meski kenyataannya pahit, aku harus
mengembalikan saat-saat dimana aku belum merasakan sakit seperti ini.
Hubunganku dengan Luke harus seperti dulu sebelum Lea kembali.
“Aku tidak marah padamu.” Ucapku.
“Tapi Lea..” Ucap Luke yang langsung
aku potong.
“Luk, jujur saja aku tak mengerti
apa masalah kita. Aku hanya berharap satu padamu supaya kita menjadi seperti
dulu. Bisa tidak?” Pintaku.
“Kurasa tidak. Semuanya tak akan
bisa menjadi seperti dulu. Hidupku telah berubah semenjak Lea kembali. Aku
bukanlah sahabatmu yang baik.” Ucap Luke.
Aku tersenyum. “You’re my best friend. Aku sudah berjanji untuk tidak akan
meninggalkanmu. Mungkin kau benar. Kita tak akan punya banyak waktu seperti
dulu karena kita memiliki dunia kita masing-masing. Kau dengan Lea, dan aku..
entahlah. Aku belum menemukan orang yang tepat untuk aku cintai.” Ucapku.
Kalimat terakhir tadi membuatku ingin menertawai diriku sendiri.
“Shawn.” Ucap Luke.
Kulihat Luke mulai ceria. Dia
tersenyum setelah mengucapkan nama ‘Shawn’. Shawn lagi. Sudah aku bilang aku
tidak menyukai Shawn. Shawn hanyalah temanku dan aku tidak bisa jatuh cinta
padanya.
“So,
best friend forever?” Tanyaku sambil mengangkat jari kelingkingku.
Luke mengangkat jari kelingkingnya
lalu mengaitkannya di jari kelingkingku. “No
matter what happens.” Ucap Luke.
Selanjutnya kami berdua tertawa.
Untuk apa merasa sedih jika ada hal yang bisa membuatmu tertawa? Untuk apa aku
mengharapkan Luke jika dengan cara ini aku bisa bahagia bersamanya walau hanya
sebatas sahabat?
“Kau harus janji untuk tidak akan
menghindar dariku.” Ucap Luke.
“Kau takut sekali sih kalau aku jauh
darimu.” Ucapku.
“Tentu saja.” Ucap Luke.
“Hmmm.. By the way, kau semakin ganteng saja.” Ucapku.
Luke terkekeh. “Kau juga semakin
cantik. Pasti Shawn semakin tergila-gila padamu.” Ucapnya.
Langsung saja aku memukul bahu Luke
lalu mencubitnya. Luke benar-benar mengharapkanku bisa pacaran sama Shawn.
Seandainya memang begitu. Tapi perasaan seseorang tidak bisa berubah dengan
cepat. Butuh waktu yang lama untuk menghapus perasaan yang sudah lama hadir di
dalam hati kita.
“Bagaimana kabar Lea?” Tanyaku. Aku
sengaja menanyakan tentang Lea pada Luke hanya untuk mengetes Luke saja.
“Dia baik. Untuk apa kau menayakan
Lea?” Jawab+Tanya Luke.
“Aku kan temannya. Kau takut sekali
sih kalau-kalau aku merebut Lea darimu.” Ucapku bercanda.
“Aku tidak takut sama sekali karena
aku yakin kau masih normal.” Ucap Luke.
Aku harap setelah ini semuanya akan
baik-baik saja walau aku harus menahan rasa sakit yang aku rasakan karena
kebahagiaan Luke adalah yang paling utama bagiku. Walau Luke bersama gadis
lain, aku harus tetap ceria. Kalau Luke jodohku, pasti tak akan lari kemana.
Aku percaya hal itu.
***
Sekolah dimulai! Hari ini aku tampak
ceria atau kelebihan ceria? Aku berangkat sekolah menggunakan bus karena
mutahil Luke yang menjemputku. Tenang saja. Aku tau diri kok. Setiba di
sekolah, aku berjalan sambil bergoyang-goyang tidak jelas. Alhasil beberapa
anak yang melihatku pada heran.
“Leish!” Seru Ronnie.
Aku duduk tepat di samping Ronnie
sambil memasang senyum lebar. Pasti Ronnie merasa heran padaku mengapa aku bisa
seceria ini. Kemudian aku melihat ke kursi Luke. Penghuninya belum datang.
“Apa yang membuatmu seceria ini?”
Tanya Ronnie.
“Memangnya kenapa? Aku ingin
melestarikan budaya ceria daripada harus bersedih karena menangisi hal yang
tidak perlu ditangisi.” Jawabku.
Ronnie tertawa pelan mendengar
ucapanku. Tapi ucapanku benar kan? Ngapain bersedih kalau ceria itu lebih baik
daripada bersedih?
“Morning
Alesh!”
Aku kira itu suara Michael tapi
ternyata itu suara Luke. Luke ketularan menyebut namaku yang aslinya Aleisha
menjadi Alesh. Lalu di belakang Luke ada Michael. Michael menyapaku dengan
sempurna. Maksudku dia menyebut namaku dengan tepat.
“Kau Ronnie kan? Kau teman baru
Leish? Kalau begitu kau teman kami juga.” Ucap Michael.
Pipi Ronnie memerah mendengar ucapan
Michael. Kemudian keduanya kembali ke tempat duduk mereka. Seorang guru masuk
ke kelas dan pelajaran pun dimulai.
***
Satu.. Dua.. Tiga.. Empat.. Lima..
Enam.. Tujuh.. Delapan..
Aku menghitung jumlah kami semua
yang totalnya ada delapan orang. Saat ini aku berada di kantin. Kami terlihat
seperti satu geng yang paling ditakutkan oleh semua orang. Tapi aku harus bisa
menahan rasa cemburu karena disini ada Luke dan Lea yang duduknya berdekatan.
Yap. Kami adalah: aku, Cassa, Ronnie, Lea, Michael, Calum, Luke dan Ashton.
Entah apa yang membuat Cassa mau gabung dengan kami meski disini ada Lea. Tapi
Cassa terlihat diam saja seperti tidak menganggap Lea ada.
Aku kan sudah memutuskan kalau aku
harus bisa tetap tersenyum saat melihat Luke bahagia dengan Lea. Aku tidak
ingin terlihat lemah dihadapan mereka. Mau mencoba melupakan Luke malah membuat
keadaan semakin parah. Jadi aku hanya bisa bersikap biasa saja meski
kenyataannya sakit.
“Apa hanya aku saja disini yang
merasa banyak pasang mata yang melihat ke arah kami dan mengira kami telah
membentuk sebuah grup yang keren?” Tanya Michael.
“Hmm.. Benar juga. Baru kali ini
kita ngumpul di kantin seperti ini. Wah aku baru sadar kalau ada Cassa disini.
Sepertinya kau sudah tidak membenci Lea lagi.” Ucap Ashton.
Sebenarnya aku mau ngomong tapi
anehnya mulutku lagi malas untuk membuka suara. Aku lihat reaksi Cassa akan
ucapan Ashton. Aku rasa Cassa masih membenci Lea tapi sebisa mungkin dia tahan
rasa bencinya itu. Iya sih aku juga merasa agak jijik dengan Lea terutama
dengan gaya-nya yang nggg manja gitu di samping Luke. Seperti hanya dia saja
yang bisa mendapatkan cowok ganteng seperti Luke.
“Disini kan ada empat cewek sama
empat cowok. Luke sama Lea sudah pacaran. Tinggal sisanya yang belum.” Ucap
Calum lalu melirik ke Michael. “Ayo Mike kapan kau menyatakan perasaanmu pada
Cassa? Cassa sudah lelah nunggu!” Sambungnya.
Tentu saja Michael dan Cassa merasa
kesal dengan Calum tapi terlihat malu juga. Kalau mereka pacaran sih bagus
juga. Michael cocok sama Cassa terutama dalam hal rambut. Mereka kan suka ganti
warna rambut dan sering sama warna rambutnya. Aku baru sadar kalau disampingku
ada Ronnie yang belum terbiasa dengan keadaan seperti ini. Ronnie kan anaknya
agak pemalu dan pendiam.
“Kau saja masih jomblo, Cal!” Ucap
Cassa.
Calum nyengir. “Kalau gitu aku..”
Pandangannya terarah pada Ronnie. Untung gadis itu sedang menunduk. “Kalau gitu
aku sama Ronnie saja!” Sambungnya.
Ronnie kan anaknya pemalu dan
pipi-nya sudah biasa memerah saat digoda sama cowok. Tapi candaan Calum kelihatan
sekali. Nah setelah ini pasti aku akan dijodohkan dengan Ashton.
“Hai! Wah aku boleh gabung tidak
disini?” Sapa seseorang.
Itu Shawn! Tapi kursi di meja sini
sudah full jadi Shawn tidak bisa gabung disini. Kemudian Shawn melirik ke
arahku. Dia tersenyum dan aku selalu penasaran apa maksud dari senyumannya itu.
“Leish! Aku sangat merindukanmu.”
Ucap Shawn.
Duh kalau begini caranya aku bakal
dijodohin sama Shawn. Sudah tau teman-temanku itu jahilnya minta ampun terutama
Calum dan Michael.
“Sepertinya ada satu teman kita yang
sebentar lagi melepas status jomblo.” Ucap Michael.
“Yah jangan! Aleisha kan milikku!”
Bantah Ashton.
Semuanya tertawa kecuali Luke dan
Lea. Seharusnya dua manusia itu tidak duduk disini. Seharusnya mereka menjauh dari
kami semua.
“Leish ada waktu tidak nanti sore?
Aku ingin mengajakmu jalan-jalan.” Ucap Shawn.
Teman-temanku semakin semangat
menggodaiku. Tapi rasanya aku malas jalan berdua dengan Shawn. Terutama saat
aku tidak sengaja menatap wajah Luke. Dia tampak diam dan aku tidak tau apa
yang ada dipikirannya. Luke sudah bahagia kan bersama Lea?
“Aku.. Aku tidak bisa. Maaf ya.”
Jawabku jujur walau bersalah.
***
Di luar gerbang sekolah, tanganku
langsung ditarik sama Cassa. Aku kesal bukan main karena perbuatannya itu.
Cassa itu seperti anak laki-laki. Tenaganya sama kuat seperti anak laki-laki
jadi tarikannya tadi cukup membuat tanganku kesakitan.
“Ada apa sih?” Tanyaku.
“Kenapa kau menolak ajakan Shawn?
Aku curiga kalau dia menyukaimu. Aku tau betul Leish ciri-ciri cowok yang suka
sama seorang cewek atau pedekate.” Ucap Cassa.
Aku belum siap Cass! Seandainya aku
tidak jatuh cinta dengan Luke maka dengan senang hati aku akan menerima ajakan
Shawn bahkan aku bisa jatuh cinta dengannya. Semua ini karena rasa cintaku pada
Luke yang menghancurkan semuanya. Rasanya aneh kalau aku jalan berdua dengan
Shawn dan ujung-ujungnya Shawn akan membicarakan Luke. Aku kapok jalan berdua
sama Shawn.
“Aku tidak suka jalan berdua sama
cowok. Kalau Shawn menyukaiku, aku harap dia tidak semakin menyukaiku karena
aku tidak menyukainya, maksudku aku tidak bisa mencintainya.” Ucapku.
Cassa terdiam sesaat. “Ya aku
mengerti.” Ucapnya.
“Bagaimana dengan kau? Maksudmu
antara kau dengan Michael. Kalian tampak serasi.” Ucapku berusaha menggoda
Cassa.
Cassa menatapku tidak suka. “Kalau
aku pacaran dengan Michael, kau mau apa?” Tanyanya.
Wah benar deh Cassa mau jadian sama
Michael. “Aku harap kalian berdua bisa mengalahkan keromantisan antara Luke
dengan Lea.” Jawabku setengah sadar.
Cassa tersenyum sinis. “Jangan
tertipu sama penampilan Lea dan sikapnya yang sok manis. Suatu hari nanti kau
akan tau kalau Lea itu sangat kejam.” Ucapnya tidak nyambung dengan pembicaraan
sebelumnya.
Lea kejam? Benarkah?
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar