Aku selamat
sampai di tempat tujuan. Sebuah toko musik yang banyak menyediakan alat musik
*yaiyalahemangnyatokohewan*, selain itu ada beberapa album musik yang membuatku
ngiler. Aku tidak sengaja menemukan album baru Simple Plan aka Taking One For The
Team. Album baru Simple Plan yang bodohnya aku baru mendengar lagu mereka yang
berjudul Farewell featuring vokalis-nya New Found Glory. Lagunya keren sih,
Simple Plan kapan sih tidak keren, hehe.
Akhirnya aku memutuskan membeli
album itu dan menemukan gitar sederhana yang aku cari. Tidak perlu gitar yang
nampak sempurna, asalkan senar-senarnya bisa digunakan. Aku menaruh
barang-barangku di kasir. Dan saat itulah aku menemukan seseorang yang mampu
membuatku terdiam dan tidak bisa mengalihkan pandang ke arah lain.
Orang itu, maksudnya cowok itu
sedang tersenyum sambil memilih-milih album musik, entah album siapa. Aku
menelan ludahku. Dari sini saja cowok itu sudah terlihat sangat tampan dengan
rambut cokelatnya dan tubuhnya sangat tinggi, bahkan Harry tidak setinggi cowok
itu. Tiba-tiba dia melihat ke arahku. Astaga aku jadi malu sendiri. Cepat-cepat
aku menoleh ke penjaga kasir yang sedang tersenyum menggodaku.
“Baru kesini mbak? Ada cowok ganteng
saja sudah ngiler.” Godanya.
Ingin rasanya aku mengumpat
keras-keras akan kebodohanku. Aku memang mudah kagum dengan seseorang, tapi
bukan dalam artian suka, apalagi cinta. Aku sulit sekali jatuh cinta karena
cintaku itu adalah para musisi favoritku yang sudah aku anggap sebagai suamiku
sendiri seperti Pierre Bouvier walau dia sudah menikah dan sudah punya anak,
hiks.
“Berapa semuanya?” Tanyaku sewot.
“Permisi, apakah album Future
Hearts-nya All Time Low sudah habis atau belum ada disini?” Tanya sebuah suara.
Mendadak aku kaget mendengar suara
itu, juga pertanyaan yang membuat fangirling-ku
kambuh. Dia bilang All Time Low? Whoah! Aku sudah punya album Future Hearts-nya
dan lagunya keren-keren! Apalagi Tidal Waves feat Mark Hoppus yang membuatku
cengeng. Aku senyam-senyum sendiri lalu tersadar kalau cowok yang tadi aku
perhatikan kini tepat berdiri di sampingku sambil menatapku dengan aneh.
J..jadi cowok itu si pemilik suara tadi?
“Oh maaf mas. Albumnya laris manis
dan sudah habis.” Ucap kasir itu.
Kulihat kekecewaan di wajahnya. Tapi
kenapa juga harus beli album? Beli di Itunes saja sudah senang. Tapi sih kalau
beli album jauh lebih gimana gitu, kayak ada rasa bangga-bangga-nya punya album
musik penyanyi favorit kita walau di rumah kita tidak memiliki DVD untuk
menyetelnya seperti aku, hehe. Aku membeli album hanya untuk pamer saja walau
teman-temanku tidak menyukai mereka. Tapi aku memiliki teman maya yang sikapnya
seperti aku dan tergila-gila pada band.
“Ohyasudah. Makasih banyak ya.” Ucap
cowok itu lalu meninggalkan toko musik.
‘Jangan pergi!’ ucapku dalam hati.
Lho, apa hak-ku untuk melarang kepergian cowok itu? Tapi nyesel juga tidak
menanyakan siapa nama cowok itu, dimana dia tinggal, dimana dia sekolah, apa
band favorit-nya, dan yang paling penting, sudah tidak dia punya pacar? *eh.
“Kepikiran sama cowok ganteng itu
ya? Sama. Aku juga seneng lihat wajahnnya yang ganteng-ganteng manis. Apalagi
lesung pipi-nya itu bikin senyumnya semakin sempurna. Kalau saja dia bisa
menjadi pacarku..” Ucap kasir itu berandai-andai.
Apakah kasir itu sehat? Aku
menggeleng-gelengkan kepala lalu cepat-cepat membayar pada kasir itu. Lumayan
mahal harga gitarnya ditambah harga album-nya. Tapi tak apa. Aku sudah berjanji
untuk menemukan kebahagiaan meski harus mengorbankan uang. Aku menaruh gitar-ku
di punggunggu dan keluar dari toko musik. Ku perhatikan baik-baik. Tidak ada
tanda-tanda cowok itu. Aku jadi tersenyum malu. Memikirkan sosok asing yang
baru saja aku temui dan itu sudah bisa membuatku gila seperti ini.
***
Di kamar, aku sibuk membetulkan
senar-senar gitarku sambil menyetel lagu All Time Low keras-keras. Agak sulit
memang tapi jangan kuatir, aku bisa mengatasinya dengan baik. Inilah best time bagiku. Mendengarkan lagu-lagu
band favoritku dan berharap suatu hari nanti bisa menonton konsernya atau sekalian
culik aja aku ke Amerika lalu ke Kanada. Kalaupun dijadikan istri kedua Pierre
Bouvier aku mau kok:’v.
“I
won't fa…de away be forgotten or just cast away.. This life is mine to live. I
won't fa…de away I am lost inside this endless haze of life.. But this life is
mine to live..”
Bukankah amat bahagia mendengarkan
lagu mereka sambil menggoyangkan kepala? Biarlah dikira orang gila, aku tidak
peduli asalkan aku bahagia. Aku masih teringat dengan cowok yang kecewa karena
tidak mendapatkan album terbarunya All Time Low. Ingin rasanya aku memberi
album yang sudah aku beli padanya. Tapi aku sudah lost contact dengannya dan mustahil bertemu dengannya lagi kecuali
jika si kasir di toko musik itu tau siapa cowok itu dan dimana tinggalnya.
“It
was like a time bomb set into motion.. We knew that we were destined to
explode.. And if I have to pull you out of the wreckage.. You know I'm never
gonna let you go.. We're like a time bomb..”
Akhirnya gitarku sudah siap dan
nada-nadanya tepat. Aku tersenyum puas. Aku menaruh gitar itu di atas kasur
lalu menjatuhkan tubuhku di sampingnya. Masih banyak sekali impian-impian yang
harus aku raih. Salah satunya adalah: mencari pacar yang memiliki sifat yang
sama denganku. Mungkin seperti cowok tadi. Dia menyukai All Time Low walau aku
masih ragu. Siapa tau dia mencari album itu untuk pacarnya?
Aku terdiam sambil memikirkan semua
itu. Jujur saja, aku ingin sekali punya cowok yang selalu ada untukku dan
memelukku jika aku hancur. Tapi bagaimana bisa mendapatkan cowok jika dekat
sama cowok saja tidak pernah? Terkadang aku suka gugup saat berhadapan dengan
cowok. Aneh bukan? Tapi aku benar-benar tidak habis pikir dengan cowok yang
tadi aku temui. Aku terus kepikiran dengannya. Aku kagum dengannya walau aku
tidak tau kagum dalam artian apa. Ganteng sih iya seperti apa yang dikatakan
kasir tadi. Ganteng-ganteng manis bukan ganteng-ganteng serigala -_-.
Yakin suatu hari nanti aku bakal
ketemu lagi dengannya?
***
Entah apa yang membuatku nekat
mendatangi toko musik yang kemarin aku datangi. Bukan maksud memberitahu ada
yang tidak beres dengan gitar atau album yang aku beli. Masalahnya tentang
cowok itu! Semalaman aku memimpikan cowok itu namun wajahnya samar-samar. Aku
sempat gila karena tidak bisa melukiskan wajah cowok itu. Karena itulah aku
nekat pergi ke toko musik dan menemui kasir kemarin yang juga tergila-gila sama
cowok itu.
Nafasku tidak beraturan. Aku mencoba
menenangkan diri dan mengembalikan irama pernafasanku. Kemudian aku membuka
pintu toko dan masuk di dalamnya. Ada beberapa pengunjung dan sepertinya mereka
tidak peduli akan kehadiranku *emangnyakauiniartisapa*. Aku langsung mendatangi
kasirnya. Dia tampak kaget melihat kedatanganku, lalu dia tersenyum.
“Nice
to meet you again. What can I do for you?” Tanya kasir itu ramah.
“Well..”
Ucapku sempat menghentikan pembicaraan. “Aku ingin menanyakan padamu tentang
anak laki-laki kemarin.” Sambungku mencoba menahan rasa maluku.
Kau tau bagaimana reaksi kasir itu?
Dia malah tertawa ngakak mengira aku sudah benar-benar gila. Aku menatapnya
dengan tidak suka sambil melipat kedua tangan di dada, menunggunya tertawa
dengan sabar.
“Kau masih ingat cowok itu?” Tanya
kasir itu akhirnya. Aku tidak tau harus mengangguk atau menggeleng. “Namaku
Vanesa. Aku bekerja disini dua bulan
yang lalu menggantikan bibiku yang sudah pindah rumah.” Ucapnya.
Lah? Mengapa jadi ajang perkenalan?
Aku tidak habis pikir dengan kasir itu atau lebih tepatnya lagi Vanesa. Tidak
enak mengatainya kasir walau kenyataannya dia memang seorang kasir. Usianya
kira-kira lebih tua dariku tapi wajahnya cukup cantik. Setiap gadis yang aku
temui memang selalu lebih cantik jika dibandingkan dengan diriku.
“Aku tidak menanyakan siapa namamu,
tapi cowok itu!” Ucapku kesal.
“Memangnya kenapa sih? Apakah cowok
itu punya masalah denganmu?” Tanya Vanesa.
“Bu.. Bukan sih. Hanya saja.. aku
ingin bertemu dengannya. Siapa tau kau kenal dia.” Jawabku agak sedikit
bingung.
“Ooo.. Sayang sekali. Dia adalah
pelanggan baru yang aku sendiri tidak tau namanya.” Ucap Vanesa cengengesan.
Entah mengapa aku merasa jijik
mendengar Vanesa menyebut kata ‘pelanggan baru’. Kayak cowok itu sudah sering
pergi kesini saja. Pupus-lah harapanku untuk bertemu lagi dengannya. Aku
mendengus kesal. Baru tiba di Sydney saja sudah mulai berbuat yang aneh-aneh.
Apalagi di sekolah nanti. Aku berharap aku tidak gila dan mendapatkan
teman-teman yang baik, yang sikapnya sama sepertiku.
Aku pun pulang dengan hati yang
hampa.
***
“Kau aneh Leish, bertemu dengan
cowok asing yang langsung membuatmu seperti ini.” Ucap Harry sambil tertawa.
Aku iseng mendatangi Harry
malam-malam di teras. Cowok itu sedang duduk santai sambil memakan snack dan
secangkir teh hangat. Sebenarnya bukan karena ingin merebut snack-nya aku
kemari, aku ingin menikmati suasana malam di teras dan menceritakan kejadian
aneh yang aku alami pada Harry. Aku harus bisa akrab dengannya untuk jaga-jaga
kalau-kalau aku tidak punya satu orang pun teman aku jadi bisa curhat pada
Harry.
“Apa dari wajahku yang seperti ini
sudah menandakan kalau aku itu gila?” Tanyaku.
Harry menatapku sambil menahan
tawanya yang tadi terdengar cukup menyebalkan. Kemudian tangannya menyentuh
rambutku, meminggirkannya, dan membawanya ke belakang. Sebenarnya aku malu
mempunyai rambut yang jarang aku sisir. Sudah panjang tapi jarang aku rawat.
Mau aku potong tapi aku tidak tega. Mau aku luruskan tapi nantinya wajahku
terlihat semakin aneh.
“Kau sebenarnya cantik. Hanya saja
kau tidak mau memerhatikan penampilanmu. Rambutmu saja kucel seperti ini.” Ucap
Harry.
Seharusnya aku merasa malu mengenai
rambut. Aku kalah telak dengan Harry. Meski Harry cowok, rambutnya panjang
sebahu dan terlihat bergelombang yang di tata rapi sehingga membuat Harry
semakin tampan dan seksi seperti pemain Bollywood. Tapi Harry tidak bisa
dibandingkan dengan cowok asing yang aku temui kemarin di toko musik.
“Jadi apa aku harus ke salon
kecantikan?” Tanyaku.
“Tidak perlu. Kau rawat saja dirimu
sendiri. Ngaca di cermin berjam-jam. Ah aku tidak tau masalah wanita. Aku bukan
wanita. Kenapa kau tidak cari saja teman wanitamu?” Ucap Harry.
Itu dia masalahnya! Aku sulit
mendapatkan seorang teman. Aku takut mereka hanya memanfaatkanku dan mereka
meninggalkanku jika mereka tidak membutuhkanku. Kebanyakan orang mencari teman
karena mirip dengan sikap mereka. Sedangkan aku, sulit sekali menemukan orang
yang sikapnya mirip denganku atau setidaknya lebih menginginkan hidup dalam
imajinasi dan mengidolakan penyanyi.
“Harr, apakah anak-anak Theresia
College baik-baik?” Tanyaku penuh selidik.
Harry menatapku aneh. “Kenapa? Kau
takut di bully sama mereka?” Tanyanya.
Aku menggaruk-garukkan rambutku yang
tak gatal. “Mungkin. Aku anaknya minder kalau ketemu orang yang cantik, kaya,
ataupun jauh lebih pintar dariku.” Jawabku.
“Hei.” Ucap Harry sambil menyentuh
pundakku. “Jangan menjadi seperti itu. Kau bisa bergaul dengan siapapun asalkan
dengan orang-orang yang baik. Jangan mengira disana nanti banyak yang
membully-mu. Memangnya kau siapa bisa sampai di bully? Status-mu sama seperti mereka.”
Sambungnya.
Benar sih. Selama di sekolah lamaku
aku tidak pernah di bully oleh teman-temanku. Palingan mereka hanya bercanda
saja atau menggodaku seperti ‘Lihat tuh si Leish, rajin sekali.’ Atau ‘Si Leish
emag gitu. Anaknya terlalu kuno tapi hanya cowok luar biasa saja yang bisa
menaklukan hatinya.’ Aku selalu tersenyum mengingat kalimat kedua. Memangnya
selama ini apakah ada cowok yang berusaha mendapatkanku? Kalau iya, kenapa
tidak ada seorangpun yang setidaknya mendekatiku?
“Harr, apa kau sudah punya pacar?”
Tanyaku iseng.
Kulihat wajah Harry berubah sedikit
malu. “Apakah aku harus menjawabnya?” Tanyanya.
“Bukankah setiap pertanyaan harus
dijawab agar tidak meng-kepo-kan si penanya?” Tanyaku balik.
“Hmm.. Baiklah. Aku sudah punya
pacar. Namanya Amanda dan dia adalah gadis yang baik. Aku mencintainya dan
tidak ingin kehilangannya.” Jawab Harry.
Ingin sekali aku menggoda Harry.
Tapi sudahlah. Harry amat beruntung bisa mendapatkan gadis yang dia sukai.
Sedangkan aku? Pernah dulu aku naksir sama teman kelasku tapi sayangnya
tiba-tiba dia membawa pacarnya kemudian hatiku hancur. Pernah juga aku naksir
kakak osis tapi ujung-ujungnya kakak osis itu sudah punya pacar. Nasib.. nasib…
“Are
you ready for school tomorrow?” Tanya Harry mengalihkan pembicaraan.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar