expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Minggu, 05 Juni 2016

Can't Have You ( Part 2 )



Aku selamat sampai di tempat tujuan. Sebuah toko musik yang banyak menyediakan alat musik *yaiyalahemangnyatokohewan*, selain itu ada beberapa album musik yang membuatku ngiler. Aku tidak sengaja menemukan album baru Simple Plan aka Taking One For The Team. Album baru Simple Plan yang bodohnya aku baru mendengar lagu mereka yang berjudul Farewell featuring vokalis-nya New Found Glory. Lagunya keren sih, Simple Plan kapan sih tidak keren, hehe.

            Akhirnya aku memutuskan membeli album itu dan menemukan gitar sederhana yang aku cari. Tidak perlu gitar yang nampak sempurna, asalkan senar-senarnya bisa digunakan. Aku menaruh barang-barangku di kasir. Dan saat itulah aku menemukan seseorang yang mampu membuatku terdiam dan tidak bisa mengalihkan pandang ke arah lain.

            Orang itu, maksudnya cowok itu sedang tersenyum sambil memilih-milih album musik, entah album siapa. Aku menelan ludahku. Dari sini saja cowok itu sudah terlihat sangat tampan dengan rambut cokelatnya dan tubuhnya sangat tinggi, bahkan Harry tidak setinggi cowok itu. Tiba-tiba dia melihat ke arahku. Astaga aku jadi malu sendiri. Cepat-cepat aku menoleh ke penjaga kasir yang sedang tersenyum menggodaku.

            “Baru kesini mbak? Ada cowok ganteng saja sudah ngiler.” Godanya.

            Ingin rasanya aku mengumpat keras-keras akan kebodohanku. Aku memang mudah kagum dengan seseorang, tapi bukan dalam artian suka, apalagi cinta. Aku sulit sekali jatuh cinta karena cintaku itu adalah para musisi favoritku yang sudah aku anggap sebagai suamiku sendiri seperti Pierre Bouvier walau dia sudah menikah dan sudah punya anak, hiks.

            “Berapa semuanya?” Tanyaku sewot.

            “Permisi, apakah album Future Hearts-nya All Time Low sudah habis atau belum ada disini?” Tanya sebuah suara.

            Mendadak aku kaget mendengar suara itu, juga pertanyaan yang membuat fangirling-ku kambuh. Dia bilang All Time Low? Whoah! Aku sudah punya album Future Hearts-nya dan lagunya keren-keren! Apalagi Tidal Waves feat Mark Hoppus yang membuatku cengeng. Aku senyam-senyum sendiri lalu tersadar kalau cowok yang tadi aku perhatikan kini tepat berdiri di sampingku sambil menatapku dengan aneh. J..jadi cowok itu si pemilik suara tadi?

            “Oh maaf mas. Albumnya laris manis dan sudah habis.” Ucap kasir itu.

            Kulihat kekecewaan di wajahnya. Tapi kenapa juga harus beli album? Beli di Itunes saja sudah senang. Tapi sih kalau beli album jauh lebih gimana gitu, kayak ada rasa bangga-bangga-nya punya album musik penyanyi favorit kita walau di rumah kita tidak memiliki DVD untuk menyetelnya seperti aku, hehe. Aku membeli album hanya untuk pamer saja walau teman-temanku tidak menyukai mereka. Tapi aku memiliki teman maya yang sikapnya seperti aku dan tergila-gila pada band.

            “Ohyasudah. Makasih banyak ya.” Ucap cowok itu lalu meninggalkan toko musik.

            ‘Jangan pergi!’ ucapku dalam hati. Lho, apa hak-ku untuk melarang kepergian cowok itu? Tapi nyesel juga tidak menanyakan siapa nama cowok itu, dimana dia tinggal, dimana dia sekolah, apa band favorit-nya, dan yang paling penting, sudah tidak dia punya pacar? *eh.

            “Kepikiran sama cowok ganteng itu ya? Sama. Aku juga seneng lihat wajahnnya yang ganteng-ganteng manis. Apalagi lesung pipi-nya itu bikin senyumnya semakin sempurna. Kalau saja dia bisa menjadi pacarku..” Ucap kasir itu berandai-andai.

            Apakah kasir itu sehat? Aku menggeleng-gelengkan kepala lalu cepat-cepat membayar pada kasir itu. Lumayan mahal harga gitarnya ditambah harga album-nya. Tapi tak apa. Aku sudah berjanji untuk menemukan kebahagiaan meski harus mengorbankan uang. Aku menaruh gitar-ku di punggunggu dan keluar dari toko musik. Ku perhatikan baik-baik. Tidak ada tanda-tanda cowok itu. Aku jadi tersenyum malu. Memikirkan sosok asing yang baru saja aku temui dan itu sudah bisa membuatku gila seperti ini.

***

            Di kamar, aku sibuk membetulkan senar-senar gitarku sambil menyetel lagu All Time Low keras-keras. Agak sulit memang tapi jangan kuatir, aku bisa mengatasinya dengan baik. Inilah best time bagiku. Mendengarkan lagu-lagu band favoritku dan berharap suatu hari nanti bisa menonton konsernya atau sekalian culik aja aku ke Amerika lalu ke Kanada. Kalaupun dijadikan istri kedua Pierre Bouvier aku mau kok:’v.

            “I won't fa…de away be forgotten or just cast away.. This life is mine to live. I won't fa…de away I am lost inside this endless haze of life.. But this life is mine to live..”

            Bukankah amat bahagia mendengarkan lagu mereka sambil menggoyangkan kepala? Biarlah dikira orang gila, aku tidak peduli asalkan aku bahagia. Aku masih teringat dengan cowok yang kecewa karena tidak mendapatkan album terbarunya All Time Low. Ingin rasanya aku memberi album yang sudah aku beli padanya. Tapi aku sudah lost contact dengannya dan mustahil bertemu dengannya lagi kecuali jika si kasir di toko musik itu tau siapa cowok itu dan dimana tinggalnya.

            It was like a time bomb set into motion.. We knew that we were destined to explode.. And if I have to pull you out of the wreckage.. You know I'm never gonna let you go.. We're like a time bomb..”

            Akhirnya gitarku sudah siap dan nada-nadanya tepat. Aku tersenyum puas. Aku menaruh gitar itu di atas kasur lalu menjatuhkan tubuhku di sampingnya. Masih banyak sekali impian-impian yang harus aku raih. Salah satunya adalah: mencari pacar yang memiliki sifat yang sama denganku. Mungkin seperti cowok tadi. Dia menyukai All Time Low walau aku masih ragu. Siapa tau dia mencari album itu untuk pacarnya?

            Aku terdiam sambil memikirkan semua itu. Jujur saja, aku ingin sekali punya cowok yang selalu ada untukku dan memelukku jika aku hancur. Tapi bagaimana bisa mendapatkan cowok jika dekat sama cowok saja tidak pernah? Terkadang aku suka gugup saat berhadapan dengan cowok. Aneh bukan? Tapi aku benar-benar tidak habis pikir dengan cowok yang tadi aku temui. Aku terus kepikiran dengannya. Aku kagum dengannya walau aku tidak tau kagum dalam artian apa. Ganteng sih iya seperti apa yang dikatakan kasir tadi. Ganteng-ganteng manis bukan ganteng-ganteng serigala -_-.

            Yakin suatu hari nanti aku bakal ketemu lagi dengannya?

***

            Entah apa yang membuatku nekat mendatangi toko musik yang kemarin aku datangi. Bukan maksud memberitahu ada yang tidak beres dengan gitar atau album yang aku beli. Masalahnya tentang cowok itu! Semalaman aku memimpikan cowok itu namun wajahnya samar-samar. Aku sempat gila karena tidak bisa melukiskan wajah cowok itu. Karena itulah aku nekat pergi ke toko musik dan menemui kasir kemarin yang juga tergila-gila sama cowok itu.

            Nafasku tidak beraturan. Aku mencoba menenangkan diri dan mengembalikan irama pernafasanku. Kemudian aku membuka pintu toko dan masuk di dalamnya. Ada beberapa pengunjung dan sepertinya mereka tidak peduli akan kehadiranku *emangnyakauiniartisapa*. Aku langsung mendatangi kasirnya. Dia tampak kaget melihat kedatanganku, lalu dia tersenyum.

            Nice to meet you again. What can I do for you?” Tanya kasir itu ramah.

            Well..” Ucapku sempat menghentikan pembicaraan. “Aku ingin menanyakan padamu tentang anak laki-laki kemarin.” Sambungku mencoba menahan rasa maluku.

            Kau tau bagaimana reaksi kasir itu? Dia malah tertawa ngakak mengira aku sudah benar-benar gila. Aku menatapnya dengan tidak suka sambil melipat kedua tangan di dada, menunggunya tertawa dengan sabar.

            “Kau masih ingat cowok itu?” Tanya kasir itu akhirnya. Aku tidak tau harus mengangguk atau menggeleng. “Namaku Vanesa.  Aku bekerja disini dua bulan yang lalu menggantikan bibiku yang sudah pindah rumah.” Ucapnya.

            Lah? Mengapa jadi ajang perkenalan? Aku tidak habis pikir dengan kasir itu atau lebih tepatnya lagi Vanesa. Tidak enak mengatainya kasir walau kenyataannya dia memang seorang kasir. Usianya kira-kira lebih tua dariku tapi wajahnya cukup cantik. Setiap gadis yang aku temui memang selalu lebih cantik jika dibandingkan dengan diriku.

            “Aku tidak menanyakan siapa namamu, tapi cowok itu!” Ucapku kesal.

            “Memangnya kenapa sih? Apakah cowok itu punya masalah denganmu?” Tanya Vanesa.

            “Bu.. Bukan sih. Hanya saja.. aku ingin bertemu dengannya. Siapa tau kau kenal dia.” Jawabku agak sedikit bingung.

            “Ooo.. Sayang sekali. Dia adalah pelanggan baru yang aku sendiri tidak tau namanya.” Ucap Vanesa cengengesan.

            Entah mengapa aku merasa jijik mendengar Vanesa menyebut kata ‘pelanggan baru’. Kayak cowok itu sudah sering pergi kesini saja. Pupus-lah harapanku untuk bertemu lagi dengannya. Aku mendengus kesal. Baru tiba di Sydney saja sudah mulai berbuat yang aneh-aneh. Apalagi di sekolah nanti. Aku berharap aku tidak gila dan mendapatkan teman-teman yang baik, yang sikapnya sama sepertiku.

            Aku pun pulang dengan hati yang hampa.

***

            “Kau aneh Leish, bertemu dengan cowok asing yang langsung membuatmu seperti ini.” Ucap Harry sambil tertawa.

            Aku iseng mendatangi Harry malam-malam di teras. Cowok itu sedang duduk santai sambil memakan snack dan secangkir teh hangat. Sebenarnya bukan karena ingin merebut snack-nya aku kemari, aku ingin menikmati suasana malam di teras dan menceritakan kejadian aneh yang aku alami pada Harry. Aku harus bisa akrab dengannya untuk jaga-jaga kalau-kalau aku tidak punya satu orang pun teman aku jadi bisa curhat pada Harry.

            “Apa dari wajahku yang seperti ini sudah menandakan kalau aku itu gila?” Tanyaku.

            Harry menatapku sambil menahan tawanya yang tadi terdengar cukup menyebalkan. Kemudian tangannya menyentuh rambutku, meminggirkannya, dan membawanya ke belakang. Sebenarnya aku malu mempunyai rambut yang jarang aku sisir. Sudah panjang tapi jarang aku rawat. Mau aku potong tapi aku tidak tega. Mau aku luruskan tapi nantinya wajahku terlihat semakin aneh.

            “Kau sebenarnya cantik. Hanya saja kau tidak mau memerhatikan penampilanmu. Rambutmu saja kucel seperti ini.” Ucap Harry.

            Seharusnya aku merasa malu mengenai rambut. Aku kalah telak dengan Harry. Meski Harry cowok, rambutnya panjang sebahu dan terlihat bergelombang yang di tata rapi sehingga membuat Harry semakin tampan dan seksi seperti pemain Bollywood. Tapi Harry tidak bisa dibandingkan dengan cowok asing yang aku temui kemarin di toko musik.

            “Jadi apa aku harus ke salon kecantikan?” Tanyaku.

            “Tidak perlu. Kau rawat saja dirimu sendiri. Ngaca di cermin berjam-jam. Ah aku tidak tau masalah wanita. Aku bukan wanita. Kenapa kau tidak cari saja teman wanitamu?” Ucap Harry.

            Itu dia masalahnya! Aku sulit mendapatkan seorang teman. Aku takut mereka hanya memanfaatkanku dan mereka meninggalkanku jika mereka tidak membutuhkanku. Kebanyakan orang mencari teman karena mirip dengan sikap mereka. Sedangkan aku, sulit sekali menemukan orang yang sikapnya mirip denganku atau setidaknya lebih menginginkan hidup dalam imajinasi dan mengidolakan penyanyi.

            “Harr, apakah anak-anak Theresia College baik-baik?” Tanyaku penuh selidik.

            Harry menatapku aneh. “Kenapa? Kau takut di bully sama mereka?” Tanyanya.

            Aku menggaruk-garukkan rambutku yang tak gatal. “Mungkin. Aku anaknya minder kalau ketemu orang yang cantik, kaya, ataupun jauh lebih pintar dariku.” Jawabku.

            “Hei.” Ucap Harry sambil menyentuh pundakku. “Jangan menjadi seperti itu. Kau bisa bergaul dengan siapapun asalkan dengan orang-orang yang baik. Jangan mengira disana nanti banyak yang membully-mu. Memangnya kau siapa bisa sampai di bully? Status-mu sama seperti mereka.” Sambungnya.

            Benar sih. Selama di sekolah lamaku aku tidak pernah di bully oleh teman-temanku. Palingan mereka hanya bercanda saja atau menggodaku seperti ‘Lihat tuh si Leish, rajin sekali.’ Atau ‘Si Leish emag gitu. Anaknya terlalu kuno tapi hanya cowok luar biasa saja yang bisa menaklukan hatinya.’ Aku selalu tersenyum mengingat kalimat kedua. Memangnya selama ini apakah ada cowok yang berusaha mendapatkanku? Kalau iya, kenapa tidak ada seorangpun yang setidaknya mendekatiku?

            “Harr, apa kau sudah punya pacar?” Tanyaku iseng.

            Kulihat wajah Harry berubah sedikit malu. “Apakah aku harus menjawabnya?” Tanyanya.

            “Bukankah setiap pertanyaan harus dijawab agar tidak meng-kepo-kan si penanya?” Tanyaku balik.

            “Hmm.. Baiklah. Aku sudah punya pacar. Namanya Amanda dan dia adalah gadis yang baik. Aku mencintainya dan tidak ingin kehilangannya.” Jawab Harry.

            Ingin sekali aku menggoda Harry. Tapi sudahlah. Harry amat beruntung bisa mendapatkan gadis yang dia sukai. Sedangkan aku? Pernah dulu aku naksir sama teman kelasku tapi sayangnya tiba-tiba dia membawa pacarnya kemudian hatiku hancur. Pernah juga aku naksir kakak osis tapi ujung-ujungnya kakak osis itu sudah punya pacar. Nasib.. nasib…

            Are you ready for school tomorrow?” Tanya Harry mengalihkan pembicaraan.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar