Part 12
.
.
.
Meski ada sedikit
keraguan, akhirnya Rio memberanikan diri memencet tombol rumah Ify. Jantungnya
sudah berdebar-debar tak karuan. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya.
Selalu saja seperti ini jika ia hendak bertemu Ify.
Seorang gadis
keluar membukakan pintu tersebut. Sejenak, gadis itu terdiam memandangi seorang
cowok yang pantasnya tidak boleh berada di rumah ini.
“Hai Fy!” Sapa Rio.
Ify menelan ludah. Semenjak
ia resmi menjadi kekasih Cakka dua hari yang lalu, ia harus bisa melupakan Rio.
Ya, walau ada rasa berat dihatinya, tapi ia harus bisa menghadapinya.
“Ng.. Lo lagi nggak
sibuk kan?” Tanya Rio.
Ify tau Rio akan
mengajaknya pergi ke suatu tempat yang romantis. Ingin sekali ia mengangguk. Tetapi
itu hanya membuat hati Hesti sedih. Hesti hanya meminta satu permintaan yang
wajib dipenuhi, yaitu ia dan Cakka hidup bersama selamanya sebagai sepasang
kekasih.
Tiba-tiba, ada
tangan yang menarik tangan Rio. Akibatnya Rio terhuyung kebelakang. Agni?
Sedang apa dia disini?
“Yo, anter gue ke
mall. Gue lagi butuh sesuatu disana.” Kata Agni.
Tidak biasanya Agni
seperti ini. Rio tau Agni berubah sejak Cakka memutusinya. Agni lebih cenderung
suka marah dan manja.
“Tapi gue mau ajak
If..”
“Biarkan saja Yo,
gue juga lagi ada banyak kerjaan.” Kata Ify lalu masuk ke dalam rumah.
Rio merasa ada
sesuatu yang terjadi pada Ify. Seperti ada masalah berat yang Ify alami. Ya,
semoga aja masalah Ify cepat diselesaikan.
Lalu Rio beralih
menatap Agni. “Ify kenapa Ag?” Tanyanya.
Agni hanya
mengangkat bahu. Walau sebenarnya ia tau alasan Ify bersikap seperti itu.
***
“Bi..”
Suara lemah Sivia
menyadarkan Bi Nah yang sedang membuat bubur buat Sivia. Kejadian tadi yang
tidak disangkanya membuat Bi Nah jadi panik. Ditambah lagi Mama dan Papa Sivia
yang sedang nggak ada di rumah. Jadi hanya Bi Nah aja yang tau.
“Iya non?” Kata Bi
Nah menoleh ke arah Sivia.
“Tolong jangan
beritahu ke siapapun tentang kejadian tadi.” Kata Sivia.
“Ya non.” Jawab Bi
Nah patuh. Dan Sivia yakin sekali Bi Nah dapat menjaga rahasia itu.
***
Gadis bernama Sivia itu perlahan membuka matanya. Rasanya
terasa berat ketika ia membukanya. Ia mencoba memulihkan pikirannya yang
sedikit amnesia. Tentang kejadian tadi dan...
Alvin dan Gabriel?
Terakhir, ia ingat saat itu ia pingsan dan sekarang ia
berada di ranjang rumah sakit. Kepalanya terasa sedikit pusing dan kondisi
badannya lain dari biasanya.
“Sudah sadar?” Tanya seorang dokter yang barusan masuk ke
kamar rawat Sivia.
Sivia mengangguk lemah.
“Dimana orangtuamu?” Tanya dokter itu.
“Mama dan Papa lagi di luar kota.” Jawab Sivia.
Dokter itu menghela nafas panjang. “Sebaiknya kamu
periksa dirimu ke lab karena ada sesuatu yang tidak beres dengan dirimu.”
***
Malam menyelimuti
hatinya yang sedang tidak tenang. Ini semua berkaitan dengan Ify. Ify, Ify dan
Ify saja yang ada dipikirannya. Rio sudah sampai di rumah dengan lampu rumah
yang sudah mati. Ia yakin sekali Mama dan Papa belum pulang. Aneh pokoknya
dengan kedua orangtuanya yang menurutnya jarang memerhatikannya.
Tidak seperti dulu.
Mama sayang sekali dengannya dan Sivia. Mungkin karena pekerjaan yang menumpuk
sehingga menyibukkan hari-hari orangtuanya.
“Dari mana aja lo
kak?” Tanya Sivia.
“Keluar sama Agni.”
Jawab Rio yang buru-buru masuk ke kamarnya.
“Kok buru-buru amat
kak?” Tanya Sivia yang merasa dicuekkan sama Rio.
Rio tak menjawab.
Cowok itu malah membanting pintu kamarnya keras-keras dan membuat keributan.
‘Kak Rio kenapa?
Pasti ada hubungannya dengan Ify!’ Batin Sivia.
***
Meski kondisi
tubuhnya nggak baik, Sivia tetap memaksakan sekolah. Sehari aja nggak sekolah,
rasanya ada yang aneh. Sivia kan murid teladan dan anti bolos. Sakitpun ia
sanggup masuk kalo nggak terlalu parah.
Di kelas, Febby dan
lainnya langsung meneriaki namanya. Ohya, Sivia kan udah diangkat sebagai
kapten tim basket putri. Sivia hampir saja melupakannya.
“Ciee, kapten baru.
Traktirannya mana?” Tanya Febby.
Sivia hanya
tersenyum dan nggak menjawab pertanyaan Febby. Teman-temannya yang lain juga
pada ikut senang. Tapi ada juga yang nggak ikut senang. Masa’ sih kapten di
pilih dari kelas sepuluh?
“Kok lo lain dari
biasanya Vi? Ada apa?” Tanya Febby.
Sudah berkali-kali
Febby menanyai hal itu dan Sivia menjawabnya dengan jawaban, ‘Gue baik-baik aja.’
Lama-lama Febby jadi penasaran. Apa jangan-jangan karena Gabriel? Hubungan
antara Sivia dengan Gabriel katanya lagi nggak baik.
“Lo.. Lo marahan
sama Gabriel?” Tanya Febby.
Sivia terenyak
mendengar Febby menyebut nama ‘Gabriel’. Ia jadi teringat dengan Alvin. Oh
Tuhan.. Dua lelaki yang diam-diam mencintainya. Dan Sivia nggak bisa memilih
yang terbaik diantara mereka berdua.
“Ya kan? Lo lagi
marahan sama Gabriel? Denger-denger, Shilla lagi deket loh sama Gabriel.”
Shilla? Dekat sama
Gabriel? Ada rasa ketidaksukaannya mendengar berita itu. Seperti ada sesuatu
yang menghantam ulu hatinya. Tapi kan, ia bukan siapa-siapanya Gabriel. Ingat
Vi, Gabriel berhak milih cewek yang dia sukai. Tapi...
Apa ia sanggup
melepas Gabriel? Cowok yang ia sadari telah membuatnya jatuh cinta.
***
“Iyel !!!”
Suara Shilla
mengagetkan Gabriel yang sedang duduk sambil memakan snack lays. Gabriel
menoleh ke belakang dan mendapati wajah ayu Shilla yang bisa membuat siapa saja
menyukainya. Tapi Gabriel sedikitpun tidak tertarik dengan Shilla.
“Hai, Yel!” Sapa
Shilla.
“Hai juga.” Balas
Gabriel tak minat.
Shilla pun duduk di
samping Gabriel. Sulit banget sih bicara sama cowok ini, batin Shilla. Apa
Gabriel lagi mikirin Sivia?
“Lagi mikirin Via?”
Tebak Shilla.
Gabriel menggeleng-gelengkan
kepala, padahal sebenarnya ia sedang memikirkan Sivia, juga Alvin. Entah apa
yang terjadi pada dua anak tersebut. Apa mereka jadian atau tidak. Terpenting,
ia harus bisa mengembalikan hubungannya dengan Sivia menjadi baik seperti dulu.
“Lo suka sama Via?”
Tanya Shilla. Gadis itu belum juga meyerah.
“Ya.” Jawab Gabriel
singkat.
“Bukannya dia
pacaran sama Alvin?” Tanya Shilla.
Deg!
Entah perasaan apa
yang ia rasakan ketika mendengar ucapan Shilla barusan. Tau apa Shilla tentang Alvin?
Apa Shilla teman Alvin?
“Jangan kaget.
Alvin itu mantan gue. Dia pernah cerita kalo dia suka sama Via.”
Alvin.. Nama yang
harus ia musnahkan. Gabriel tau kalo ia salah besar mengganggu Alvin demi
mendapatkan hati Sivia. Tapi karena hatinya mantap telah menyukai Sivia,
boleh-boleh saja ia menghalangi Alvin.
Tiba-tiba, tangan
Gabriel di genggam oleh tangan kecil Shilla. Gabriel sama sekali nggak
merasakan desriran apapun.
“Shilla cinta kamu.
Biarkan Via bersama Alvin.” Kata Shilla.
Seluruh penghuni
kantin melihat adegan itu. Ada yang senyum-senyum nggak jelas, juga ada yang
cemburu karena bidadari pujaan mereka udah diambil sama orang.
Dan...
Dua cewek yang juga
melihat adegan itu sama-sama syok. Shilla dengan Gabriel? Benar apa yang
dikatakan Febby. Air mata Sivia nggak bisa ditahan. Cepat-cepat ia berlari ke
kelas dan Febby berlari mengikuti Sivia.
Ajaibnya, Gabriel
melihat kepergian Sivia. Ia tau apa yang terjadi dengan Sivia. Dengan halus,
Gabriel melepas tangan Shilla.
“Maaf. Gue nggak bisa.
Gue udah terlanjur cinta dengan Sivia.” Kata Gabriel.
***
SMA Vincen...
Alvin
mencoret-coret buku tulisnya. Deva yang ada di sampingnya langsung merebut
pulpen yang digunakan Alvin untuk mencoret-coret buku. Bukan apa-apa.
Masalahnya, buku yang dicoret Alvin itu adalah buku tulisnya. Tentu aja Deva
nggak mau bukunya kotor gara-gara tangan nakal Alvin.
“Kenapa bro?” Tanya
Deva.
“Nggak tau.” Jawab
Alvin.
Deva memerhatikan
wajah Alvin. Wah, sepertinya Alvin lagi ada masalah sama cewek ini.
“Sivia.” Kata Deva.
Alvin menatap Deva
tajam. “Tau apa lo tentang Sivia?” Tanyanya.
“Weitss, lo kan
yang suka cerita tentang Sivia ke gue. Itu loh, bidadari lo yang gagal lo
taklukin gara-gara seorang cowok bernama Gab.. Gab siapa?”
‘Gabriel!’ Teriak
Alvin dalam hati. Sampai detik ini, ia nggak menyangka sahabatnya itu ternyata
berbohong padanya.
“Vin, lo cocok deh
sama Via.”
Kalimat apaan tuh?
Cocok dia bilang?
“Hei! Cowok cakep
kayak lo masih banyak di tungguin cewek di luar sana. Lupain aja Sivia dan cari
cewek lain.” Kata Deva.
Semudah itukah ia
melupakan cintanya? Walau bukan cinta pertama, tapi ia sangat-sangat mencintai
Sivia. Tunggu saja. Ia bakal bisa mendapatkan Sivia.
‘Awas lo Yel. Gue
yang akan memenangkan battle ini.’
***
“Vi..”
Mendadak jantung
Sivia serasa ingin copot mendengar suara itu. Gabriel... Ia sangat merindukan
suara lembut itu.
“Vi, lo.. Lo nggak
pulang?” Tanya Gabriel.
“Iya, tunggu kak
Rio.” Jawab Sivia.
Gabriel berusaha
menenangkan diri. Ya, inilah waktu dan kesempatannya untuk menembak Sivia. Kalo
Sivia menerima, ia yang memenangkan battle dalam memperebutkan hati Sivia.
“Ng.. Pulang bareng
gue aja.” Kata Gabriel.
Tanpa mereka
sadari, ada cewek yang diam-diam memerhatikan keduanya. Matanya nggak
henti-hentinya menatap tajam ke arah Sivia.
“Gu.. Gue nggak
bisa.” Jawab Sivia.
Aduh.. Kok jadi
gugup-gugupan gini ya? Biasanya Sivia cerewet kalo lagi jumpa dengan Gabriel.
“Kenapa?” Tanya
Gabriel.
Sivia nggak
menjawab. Gadis itu malah menunduk.
“Vi..” Gabriel
mengangkat dagu Sivia. “I love you. Maaf, gue baru menyadarinya. Rasa yang
selama ini gue rasakan ketika bersama lo adalah perasaan cinta. Jadi.. Lo mau
kan terima gue jadi pacar lo?”
Kedua kalinya ia
ditembak oleh cowok yang ia cintai. Pertama Alvin, dan kedua Gabriel. Nggak
lucu kan kalo Alvin datang tiba-tiba dan langsung menghalangi Gabriel serta ia
pingsan lagi.
“Vi, jawab
pertanyaan gue. Lo juga cinta kan sama gue?”
Bimbang untuk yang
kedua kalinya. Tuhan... Apa yang harus aku lakukan? Tidak mungkin kan aku menerima
Gabriel dan bayangan Alvin masih saja menari-nari dipikiranku. Apa yang harus
aku lakukan?
Sementara cewek
yang tadi melihat adegan itu seperti mengharapkan sesuatu.
“Yel, gue.. Gue..”
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar