Part 14
.
.
.
“Mau kemana?”
‘Gabriel!’ Jerit
Sivia dalam hati. Ia bakal nggak bisa ketemu Alvin jika Gabriel mengikutinya.
Harus ada alasan agar Gabriel mengizinkannya untuk pergi.
“Ng.. Aku lagi ada
kerja kelompok sama teman. Kamu pulang dulu aja ya..” Jawab Sivia sedikit
gugup.
“Hmm, ya udah. Ntar
telpon gue ya..”
Akhirnya Gabriel
pergi meninggalkan Sivia. Sivia tersenyum menatap kepergian Gabriel. ‘Maaf Yel
karena udah bohongin kamu.’
Sivia pun pergi ke
taman belakang yang dimaksud Alvin.
***
Seorang cewek yang
belakang-belakangan ini mengincarnya langsung menghadangnya. Gabriel
menghentikan langkah ketika mendapati Shilla yang sudah ada di hadapannya.
Gabriel mendengus kesal. Gadis itu lagi!
Shilla melipat
kedua tangan di dada. Ia memerhatikan lelaki di hadapannya dengan cermat dan
teliti. Alhasil, Gabriel merasa risih diperhatikan Shilla seperti itu.
“Ada apa lagi?”
Tanya Gabriel malas.
Yang ditanya nggak
menjawab. Shilla malah asyik dengan kegiatannya yang sedang menatapi Gabriel,
seperti meneliti sebuah benda asing yang datang dari luar angkasa.
Karena nggak ada
jawaban dari Shilla, Gabriel pun berjalan melewati Shilla. Tetapi Shilla
langsung mencekal lengannya.
“Long last.” Kata
Shilla. Ya, hanya dua kalimat itu saja yang mampu Shilla ucapkan.
Gabriel terdiam
mendengar ucapan Shilla barusan. Dua kata yang baginya tak memiliki makna
apapun. Akhirnya Shilla melepas tangannya dari lengan Gabriel.
“I hope you always
happy with her.”
Setelah mengucapkan
kalimat itu, Shilla pergi meninggalkan Gabriel. Tak ada niatnya sedikitpun
memohon pada Gabriel untuk memutuskan hubungan Gabriel dengan Sivia.
***
Taman belakang
sekolah. Disana sepi. Nggak ada siapapun disana. Sivia mengambil ponselnya lalu
memencet tombol hijau pada nomor Alvin. Tetapi operator bilang nomornya nggak
aktif. Dasar Alvin! Niat nggak sih dia ajak gue ke tempat ini?
Samar-samar ia
mendengar suara petikan gitar. Tak tau darimana asalnya, tapi bunyinya tak jauh
dari sekitar tempat ini.
Lalu, suara seorang
cowok terdengar lembut di telinganya. Sesaat, hatinya tersentuh mendengar suara
lembut itu.
‘I’m broken... Do you hear me?
I’m blinded... Cause you are everything I see
I’m dancing... Alone... I’m praying
That you heart will just turn around
Sivia berusaha
mencari sosok pemilik suara indah itu yang ia yakini adalah suara Alvin. Tapi
dimana? Sivia mencari di balik semak-semak. Tetap tidak ada juga.
And as I walk up to your door
My eyes turn to face the floor
Cause I can’t look you in the eyes and say
Suara itu semakin
teredengar keras. Sivia menjadi bersemangat. Alvin! Dia emang suka membuatnya
penasaran. Dan... Ia menemukan seorang cowok yang duduk di atas batu sambil
memainkan gitar.
When he opens his arms and holds you close tonight
It just won’t fell right
Cause I can’t love you more than this, yeah
When he lays you down I might just die inside
It just don’t fell right
Cause I can’t love you more than this
Love you more than this
Tepuk tangan terdengar
di telinganya. Alvin tersenyum melihat cewek yang dicintainya bertepuk tangan
atas usaha yang ia lakukan.
“Alvin..” Kata
Sivia senang sambil berjalan mendekati Alvin. Sesaat, ia melupakan Gabriel.
Alvin bangkit dari
duduknya. “Iya, Via? Gimana? Jelek ya?” Tanyanya.
Sivia malah ketawa.
“Alvin.. Alvin.. Itu dari keren. Sumpah! Speechless gue ngeliat lo main gitar
sambil nyanyiin salah satu lagu favorit gue.” Ucap Sivia.
“Hehe.. Makasih
Vi..” Kata Alvin.
Keduanya pun
terdiam. Suasana taman yang sunyi ini menjadikan kecanggungan diantara
keduanya. Alvin ingin bicara, tapi entah mengapa mulutnya terkunci rapat
sehingga ia tak bisa mengucapkan sepatah kata apapun.
Drdrtdrt...
Message From :
MyLove ^Gabriel^
Sivia menelan ludah
ketika di layar ponselnya tertera nama Gabriel. Oh, pasti Gabriel khawatir
padanya. Dengan tangan yang sedikit bergemetar, Sivia membuka pesan itu.
Via, km baik2 aj kan? Telp aq kalo km udah sampai rumah.
Miss U :*
“Mmm.. Vi..”
Hampir saja ponsel
yang ada di tangannya terlempar jauh. Alvin mengetahui gelagat aneh Sivia dan
segera berbicara.
“Lo nggak papa kan
Vi? Siapa yang sms lo tadi?” Tanya Alvin.
Cepat-cepat Sivia
menormalkan dirinya kembali. “Gu.. Gue nggak papa kok Vin.” Ucapnya.
Suasana kembali
menjadi sunyi. Sivia merasa tak nyaman dengan situasi ini ingin sekali pergi.
Sebenarnya Alvin tau kalo Sivia ingin pergi. Ayolah Vin, lanjutkan rencana lo,
lanjutkan!
“Vi.. Via..” Ucap
Alvin pelan.
Sivia menoleh ke
arah Alvin dengan debaran jantung yang tak karuan. Mau apa Alvin? Mengapa
tatapannya seperti....
“Vi.. Aku.. Aku
cinta kamu.. Kamu.. Kamu mau kan jadi.. jadi pacarku?”
***
‘Dasar cewek playgirl!
Nggak puas apa dia punya pacar satu.’ Kata Shilla dalam hati saat ia tak
sengaja melihat sebuah pemandangan baru.
‘Apa lo nggak tau
Vi gimana perasaan Gabriel?’
‘Apa lo nggak takut
Gabriel marah dan sakit hati karena lo nerima cinta Alvin?’
***
Sampai hari ini,
Papa belum juga pulang. Hahaha.. Biarkan saja. Bukan karena tugas yang membuat
Papa nggak pulang-pulang, tapi karena Papa bertengkar sama Mama. Hahaha...
“Udah sampai Vi.”
Kata Alvin memberhentikan mobilnya.
Sivia nggak
menyaut. Ia masih asyik bersama pikirannya. Pikirannya yang tertuju pada kedua
orangtuanya yang secara tiba-tiba nggak akur. Apa mereka akan bercerai dalam
waktu dekat ini?
“Vi..”
“Eh..” Akhirnya
Sivia sadar juga.
“Lagi mikirin apa?”
Tanya Alvin.
“Ng.. Ortu. Mereka
nggak akur kayak dulu.” Jujur Sivia.
Alvin menjadi
merasakan kesedihan yang dirasakan kekasihnya itu. Ya, ia sangat-sangat
bersyukur cintanya diterima baik oleh Sivia. Mengenai Gabriel, Alvin udah nggak
peduli lagi. Ia menang dan Gabriel kalah.
“Ya udah, nggak
usah dipikirkan. Sebaiknya kamu istirahat aja.”
Sebelum Alvin
meninggalkan Sivia, sebuah kecupan manis mendarat di kening Sivia. Sivia
memejamkan mata. Merasakan kehangatan dari kecupan manis itu. Tiba-tiba ia
teringat dengan Gabriel dan kecupannya.
Oh...
Aku jahat ya,
Tuhan?
***
Aku jahat ya,
Tuhan?
Di dalam kamar,
Sivia memainkan boneka Teddy pemberian dari Rio. Boneka itu merupakan hadiah
ulang tahunnya yang ke empat belas. Saat hatinya ingin meluncurkan kekesalan,
Sivia selalu melampiaskan kekesalan itu pada boneka Teddy yang tak bernyawa.
“Ted, aku jahat ya?
Aku jahat ya?” Kata Sivia parau.
Tentu Teddy itu tak
berkomentar apapun. Andaikan ia memiliki nyawa, pasti ia akan mendengarkan dan
memberi solusi untuk Sivia.
“Ted, teganya aku.
Kau tau Ted, aku sekarang punya pacar dua. Aku cewek playgirl ya Ted. Sudah
punya pacar satu tapi pengen nyari pacar lagi. Tapi Ted, aku sangat sayang sama
mereka. Mereka adalah dua pangeran yang nggak bisa aku pilih mana yang
terbaik.”
Sivia terdiam
sesaat.
“Ted, apa yang
harus aku lakukan? Umurku nggak banyak lagi, Ted. Penyakitku ini nggak bisa
disembuhkan. Adakah penderita kanker yang bisa sembuh? Kalopun ada, itu cuma
dikit Ted. Ted, apa lebih baik aku bunuh diri?”
BRAKK !!!
“Sudah Mama bilang,
Mama nggak pernah selingkuh. Papa tuh yang selingkuh!” Bentak suara seorang
wanita yang tak lain adalah Izza, Mama Sivia.
Sivia menahan
nafasnya mendengar suara itu.
“Heh! Asal nuduh
aja kamu. Mana buktinya kalau aku selingkuh?” Bantah Papa.
Tidak hanya Sivia
yang merasa hancur, Rio pun juga merasakannya. Cowok itu sedikit berubah.
Dimulai dari Ify yang bertingkah aneh seperti ingin menjauhinya.
Pertengkaran itu
meributkan malam yang teramat tenang ini. Karena nggak tahan, Sivia berlari
menuju tempat pertengkaran itu.
“Pokoknya, Papa
yang salah! Mama nggak pernah selingkuh!”
“Jangan bohong
kamu! Lalu, siapa lelaki yang seminggu lalu bergandengan mesra denganmu? Hah?
Jawab!”
“Itu..”
“STOP !!!” Teriak
Sivia. Setetes demi setetes air mata mengalir pada kedua pipi Sivia yang pucat.
Izza dan Heri-Papa
Sivia-pun terdiam melihat putri mereka yang datang secara tiba-tiba. Sedikit
pun mereka berdua nggak berani berkata apapun melihat keadaan putri mereka yang
sepertinya nggak baik.
“Kalian kenapa jadi
begini? Kenapa kalian bertengkar? Apa kalian nggak sadar, anak-anak kalian ini
hancur gara-gara kalian? Ckck.. Dasar orangtua yang nggak tau diri!”
Emosi Sivia nggak
bisa dikontrol. Mama menahan amarahnya ketika dikatai sebagai ‘orangtua yang
nggak tau diri’ oleh anaknya sendiri. Sementara Heri...
“Jaga mulutmu anak
haram!” Bentak Heri. Wajahnya sangat menyeramkan. Secara tak sadar ia
mengucapkan kalimat itu.
Air mata Sivia
mengalir lebih deras lagi, membentuk sebuah sungai kesedihan. A..Anak Ha..
Haram.. Teganya.. Teganya Ayah..
“Kamu yang harus
jaga mulut dustamu!” Bentak Izza kepada Heri.
Perkelahian pun
berlanjut, dan tangisan gadis manis ini semakin menjadi-jadi. Sivia kembali ke
kamarnya. Tangannya ia pukul ke tembok. Sakit? Tentu sakit! Tetapi Sivia nggak
peduli.
“Kalian... Kalian
jahat!” Tangis Sivia. Punggungnya ia sandarkan ke tembok.
“Kalian.. Arghh!!!”
Sivia mengacak-acak
rambutnya frustrasi. Begini ya hidupnya? Indah sekali, sindir Sivia. Tuhan baik
sekali memberikannya cobaan yang indah.
“Argh..”
Muncul darah merah
dari dalam hidungnya. Sivia tertawa parau. Hahaha.. Lebih baik mati saja,
hahaha.. Ayo Tuhan! Cabut nyawaku sekarang juga! Mana malaikat-Mu Tuhan yang
bertugas mencabut nyawa manusia?
Tak ada niat
baginya untuk membersihkan darah itu. Alhasil, darah merah itu berceceran di
lantai. Dan Sivia nggak peduli, hingga....
“ASTAGA VIAA !!!”
Teriak sesorang.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar