expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Selasa, 21 Juli 2015

Towers ( Prolog )




            Gelap. Malam itu sangat gelap, sunyi dan mengerikan. Sedikit terdengar suara jangkrik yang bernyanyi namun tidak mampu mengalahkan kesunyian malam itu. Api telah padam. Abu kesedihan-lah yang tersisa. Desa terpencil itu sedang bersedih karena satu rumah milik warga mereka hangus terbakar api. Entah apa penyebabnya. Namun, si jago merah itu telah memakan dua korban.

            Seorang gadis kecil berumur tiga tahun menangis sambil mengeratkan tangannya di genggaman Ibunya yang tampak tegar. Tampak tegar. Ya. Namun itu hanyalah sebuah topeng yang sengaja ia tutupi agar wanita itu terlihat kuat dan tegar. Baginya, kebahagiaan itu hanyalah mimpi yang tidak akan bisa diraih. Wanita malang itu sudah kehilangan satu-satunya tempat tinggalnya, juga seorang suami yang sangat mencintainya, dan satu anak laki-lakinya. Hilang. Semuanya hilang.

            “Mom, apa benar mereka mati?” Lirih suara seorang anak laki-laki yang tidak lain adalah anak dari wanita itu.

            Wanita itu memang mempunyai dua anak laki-laki dan satu anak perempuan. Seharusnya ia bersyukur karena masih ditemani oleh dua anaknya yang sangat menyayanginya dan mencintainya. Ya. Setidaknya ia masih memiliki dua anaknya.

            Dengan rasa keibuan, wanita itu mengelus rambut putranya. “Tuhan sudah menakdirkan semua ini dan kita harus menerimanya. Kamu harus kuat. Kamu adalah laki-laki dan laki-laki harus kuat.” Ucapnya.

            Di tempat lain, yang tidak jauh dari rumah malang yang telah hangus itu, tepatnya di sebuah jurang yang dalam, seorang pria misterius berkaca mata hitam tidak sengaja menemukan seorang anak laki-laki malang yang tubuhnya dipenuhi abu. Ajaibnya, anak laki-laki itu masih hidup. Pria itu tersenyum. Tugasnya kini telah selesai. Ya.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar