expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Selasa, 21 Juli 2015

Towers ( Part 5 )



Part 5

.

            Hari pertama tinggal di rumah Sara sangat membosankan. Luke merasa seperti berada di penjara. Sebenarnya banyak yang harus ia jelajahi di rumah yang besar ini dan Sara tentu tidak akan melarangnya pergi keluar rumah. Di samping kiri kanan rumah Sara ada rumah yang tidak kalah mewah dengan rumah Sara. Intinya, perumahan rumah Sara terletak di salah satu kawasan terkaya di Los Angeles. Ada juga artis-artis papan atas yang tinggal tidak jauh dari rumah Sara.

            Satu-satunya hiburan Luke adalah bermain gitar di kamar. Itulah yang ia kerjakan sejak tiba di rumah Sara dan tidak mau keluar dari kamarnya. Bahkan Luke belum menyentuh makanan sedikitpun. Sekarang sudah jam sebelas. Tentu saja Luke merasa lapar tetapi malas turun ke bawah dan menyantap sarapan buatan Sara. Luke takut jika Sara memasukkan racun atau obat sehingga membuatnya takluk dan nurut dengan wanita itu.

            Namun rasanya bosan berada di kamar terus walau disini ada wifi yang kencang dan Luke bisa membaca satu persatu mention dari fans-nya atau iseng memfollowback akun fansnya dan membuat si pemilik akun yang ia follow back menjadi girang setengah mati dan berterimakasih banyak padanya.

            Tapi tidak akan seru jadinya tanpa adanya haters. Tentu saja Luke mempunyai haters yang cukup banyak dan suka mengejeknya di twitter. Tetapi Luke tidak merasa marah atau kesal. Baginya, haters adalah bagian dari hidupnya, yang mengingatkannya akan kesalahan-kesalahan yang ia perbuat.

            Perlahan, Luke membuka kenop pintu kamarnya. Semoga tidak ada Sara di rumah ini. Luke yakin sekali Sara sedang keluar rumah dan pulang larut malam atau tidak pulang sama sekali. Luke masih ingat bagaimana sikap Sara selama ia tinggal bersama wanita itu. Tetapi dugaannya salah. Luke mendengus kesal melihat Sara yang sedang duduk santai di ruang tamu sambil membaca koran. Mengapa wanita itu tidak bekerja?

            “Oh hai Luk! Kenapa kau tidak sarapan?” Tanya Sara seramah-ramahnya.

            Ekspresi kepalsuan! Batin Luke. “Kenapa kau tidak bekerja saja seperti dulu?” Tanyanya.

            Ucapan Luke terdengar sangat tidak sopan. Berani-beraninya Luke memanggil Sara dengan sebutan ‘kau’ padahal Sara adalah Ibunya sendiri. Tetapi Sara terlihat baik-baik saja dan tetap tersenyum menghadapi kata-kata pedas yang diucapkan Luke.

            “Aku ingin free dalam lima hari ini.” Jawab Sara.

            Luke tersenyum sinis membalas ucapan Sara. “Apa kau mau memulai dari nol? Apa kau sudah sadar bahwa yang kau lakukan selama ini salah?” Tanyanya.

            Lagi-lagi Sara mencoba untuk bersabar. “Kalau boleh, jawabannya memang iya. Mama memang salah. Mungkin kau mengira Mama bukanlah seorang Ibu yang baik. Mungkin kau mengira kalau kau tidak memiliki seorang Ibu. Mama bisa memahami perasaanmu. Maafkan Mama. Tapi mulai detik ini Mama janji akan merubah segalanya dan memulai dari awal.” Ucapnya.

            “Sudah terlambat. Kau menginginkanku di saat aku mencapai puncak hidupku. Aku terlalu sibuk dengan pekerjaanku dan tidak bisa bertemu denganmu. Mungkin jika aku tidak terkenal, kau tidak akan mau mengajakku tinggal bersama dan menjadi seorang Ibu yang baik.” Ucap Luke.

            “Tidak. Mama tidak melihatmu dari sisi itu. Mama tau kamu sudah sukses dan Mama bangga padamu. Kau telah menemukan hidupmu dan jati dirimu yang sebenarnya. Tetapi apa kamu tidak bisa memaafkan Mama? Sedikit saja.” Ucap Sara dengan suara yang merendah.

            Luke terdiam dan tengah berpikir. Tuhan saja mau memaafkan hamba-Nya yang berbuat salah bahkan dosa besar. Sedangkan ia? Meski Luke sangat membeci Sara, tetapi mau tidak mau Luke harus memaafkan wanita itu asalkan wanita itu mau mengikhlaskannya pergi dan hidup bebas.

            “Oke. Aku maafkan.” Ucap Luke.

            Sara tersenyum. “Jadi, kita bisa memulai dari awal?” Tanyanya.

            Luke menatap tajam Sara. “Aku sudah memaafkanmu, bukan berarti aku mau memulai dari awal. Kau bilang aku sudah menemukan hidupku yang sebenarnya dan inilah aku. Aku sudah besar dan aku tidak mau tinggal denganmu lagi. Lupakan saja aku.” Ucapnya.

            Tiba-tiba ekspresi wajah Sara berubah menjadi sedih dan seperti merasakan sebuah penyesalan yang teramat sangat. Sebenarnya Sara sendiri tidak tau siapa Luke itu dan bagaimana Luke itu. Sudah lama Sara ingin mengatakan yang sebenarnya pada Luke tapi Sara takut jika Luke marah dan menyalahkannya.

            “Aku mau pergi.” Ucap Luke lalu meninggalkan Sara yang masih ditemani dengan wajah sedihnya. Entah kapan ia mengatakan yang sebenarnya pada Luke.

***

            Ashley pulang sekolah dengan ceria dan penuh semangat. Di teras, Ashley melihat Tristan yang sedang menyemir sepatu. Entah sepatu siapa yang disemir oleh Tristan. Yang jelas bukan sepatu Tristan karena Tristan tidak mempunyai satupun sepatu. Atau apa karena Tristan memang tidak mempunyai kerjaan?

            Setelah masuk ke dalam kamar, Ashley teringat sesuatu. Cepat-cepat Ashley membuka tasnya dan mencari buku kimianya. Ashley tersenyum puas ketika menemukan lipatan kertas yang tadi direbutkan oleh Eleanor dan gengnya tapi ia-lah yang memenangkannya secara sembunyi. Kalau saja Eleanor tau bahwa ia yang mengambil kertas berharga itu, ia bakal bermasalah besar dengan Eleanor.

            Ashley mengambil kertas itu dan membukanya tepat di meja belajarnya, di hadapannya ada cermin yang berukuran besar jadi Ashley bisa memandangi wajahnya kapan saja. Ashley pun membuka lipatan kertas itu dan kaget melihat sosok yang ada di dalam kertas itu.

            Seorang cowok keren dengan gitar birunya dan Ashley tidak tau harus berkata apa. Cowok itu memang cakep dan keren. Lalu Ashley menemukan sebuah nama di samping foto cowok itu.

            Luke Flemmings.

            Ashley menelan ludahnya. Flemmings.. Hemmings… Ashley menatap foto itu secara teliti dan ia melihat ada yang tidak beres dengan foto cowok itu. Seakan-akan ia sudah merasa tidak asing lagi dengan cowok itu. Ashley terdiam sesaat dan menyembunyikan kembali foto itu di dalam buku kimianya dan berlari keluar mendekati Tristan yang masih setia menyemir sepatu.

            “Kak..” Ucap Ashley.

            “Hmmm..” Balas Tristan tanpa minat.

            “Kenapa sih kak Tris tidak mau lagi menyebut nama itu? Toh banyak orang yang menggunakan nama itu.” Ucap Ashley.

            Langsung saja Tristan menghentikan pekerjaannya kemudian melempar sepatu yang sedang ia semir. Ashley bisa menebak kalau kakaknya kesal karena ucapannya, tetapi Ashley tidak peduli. Ashley harus bisa membuat Tristan agar mau menyebut nama itu lagi, nama saudara Tristan yang tidak lain adalah kakaknya juga. Saudara Tristan yang sudah lama meninggal.

            “Aku sudah bilang supaya kita tidak lagi membahas tentang dia!” Ucap Tristan dengan suara tinggi, namun masih membelakangi Ashley.

            Ashley melipat tangannya di dada. “Sampai kapan kak Tris seperti ini? Ashley tau kak Tris masih memikirkannya dan berharap dia ada disini. Sama. Ashley juga berharap demikian.” Ucapnya.

            “Aku tidak lagi memikirkannya. Hanya saja aku tidak mau mengingat namanya. Dia sudah mati dan tidak akan hidup lagi!” Ucap Tristan dengan suara sedikit bergetar.

            Kemudian Ashley duduk dan bersandar di penyangga rumahnya. “Mama bilang, dulu kalian sangat dekat dan tidak bisa dipisahkan. Kalian itu bagaikan satu. Kalian itu sangat mirip sampai-sampai Mama bingung membedakan antara kak Tris dengan dia. Dia adalah kakak kak Tris yang lahir lebih dulu setelah lima menit baru kak Tris lahir. Kak Tris sangat menyayanginya begitu pula dia.” Ucapnya.

            Sebisa mungkin Tristan menahan air matanya agar tidak menetes. Tetapi karena ucapan Ashley yang begitu menyesakkan dan membuat hatinya sakit, air mata itu hadir walau hanya setetes. Cepat-cepat Tristan mengusapnya. Ia tidak ingin menangis. Menangisi hal yang tidak perlu ditangisi.

            “Maaf. Ashley bukan bermaksud membuat kak Tris sedih. Ashley juga sedih.” Ucap Ashley.

            “Sebenarnya maksudmu apa sih berbicara seperti itu?” Tanya Tristan.

            Ashley terdiam sesaat. “Ashley hanya merindukan kak Luke. Luke Hemmings.” Jawabnya.

            Deg. Seketika itu juga jantungnya berhenti berdetak tatkala mendengar nama yang paling dihindarinya, dan kini Ashley sendiri yang berani mengucapkan nama itu. Hati Tristan benar-benar sakit dan ingin sekali membenturkan kepalanya di tembok. Kalau boleh, Tristan berharap dirinya bisa amnesia dan bisa melupakan hal-hal bodoh seperti itu.

             Tristan berdiri dan berusaha mengatur nafasnya lalu pergi meninggalkan Ashley. Seharusnya Tristan marah pada Ashley karena tega menyebut nama itu. Tetapi Tristan tidak ada niat untuk mengamuk di depan Ashley. Sementara itu, Ashley terdiam sambil menatap sedih punggung kakaknya yang kurus.

            Tristan dan Luke.

            Tiba-tiba Ashley teringat dengan lembaran kertas yang tidak lain adalah foto seorang cowok bernama Luke. Ashley menelan ludahnya. Tidak mungkin! Batinnya.

***

            Tidak ada salahnya keluar rumah walau suasana lumayan panas. Perumahan Sara sepi sehingga Luke bisa berjalan dengan tenang dan santai. Tidak ada fans-nya disini, wartawan ataupun paparazzi. Luke berjalan pelan sambil merengganggkan tangannya yang sedaritadi pegal. Luke memang jarang berolahraga dan rasanya ia harus rutin olahraga agar tubuhnya tidak cepat lemas dan lelah seperti ini.

            “Luke!” Seru suara seorang gadis.

            Teriakan itu membuat Luke menjadi kaget. Ternyata gadis itu adalah salah satu dari fans gilanya. Tidak apa-apa. Hanya ada satu dan Luke merasa bersyukur. Bukannya malas menghadapi fansnya, tetapi Luke ingin merasakan kebebasan. Dan menerima ajakan Sara ada untungnya walau awalnya Luke tidak menduga akan menjadi seperti ini.

            “Wah, aku tidak menyangka bisa melihatmu dari jarak yang dekat.” Ucap seorang gadis itu.

            Luke tersenyum dan terlihat jelas disana lesung pipit yang mucul di pipi kanannya. Gadis itu sepertinya sangat menyukai lesung pipit yang dimiliki Luke.

            “Aku cinta kamu!! Cinta kamu!!” Ucap gadis itu saking bingungnya mau berkata apa.

            “Iya. Aku juga cinta kamu.” Balas Luke.

            Mata indah gadis itu melebar mendapat balasan manis dari Luke. Gadis itu merasa menjadi seorang fan yang paling beruntung diantara fans Luke lainnya. Tapi gadis itu benar-benar tidak menyangka bisa bertemu Luke disini. Memangnya sedang apa Luke di tempat ini? Bukannya Luke ada di apartemennya?

            “Boleh aku berfoto denganmu?” Tanya gadis itu.

            Tentu saja Luke tidak bisa menolak permintaan gadis itu. Ia dan gadis itu kemudian mengambil pose terbaik dan gadis itu yang mengambil gambarnya dengan handphonenya sendiri. Setelah puas dengan hasilnya, gadis itu menjadikan foto itu sebagai wallpaper handphonenya.

            “Ternyata kau sangat baik. Dan sempurna. Pasti hanya gadis yang beruntung dan spesial yang bisa membuatmu jatuh cinta.”

            “Ya. But I’m not ready for fall in love. Aku lebih memilih mencintai fansku ketimbang mencintai satu gadis yang kuanggap sebagai segala-galanya bagiku.” Ucap Luke.

            Gadis itu tersenyum senang. “I’m so proud to have an idol like you!” Ucapnya.

            Setelah berbicara cukup banyak dengan gadis itu, Luke memilih untuk kembali ke rumah dan sepertinya gadis itu tidak ingin hari ini berakhir. Tapi bagaimanapun juga gadis itu merasa bahagia sekali karena sudah bertemu dengan idola yang sangat dipujanya dan ngobrol dengan banyak.

***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar