expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Selasa, 21 Juli 2015

Towers ( Part 3 )



Part 3

.

            Entahlah ini yang keberapa kalinya Luke mengadakan konser dan diteriaki oleh penggemarnya. Bahkan namanya sudah dikenal hampir di seluruh dunia. Luke sangat tidak menduga semua ini berjalan lebih cepat dari yang ia kira. Luke sadar bahwa dirinya memang sangat berbakat dan jarang ada yang bisa menyamainya. Tapi sebisa mungkin Luke tidak menampakkan kesombongannya terutama jika berhadapan dengan fans-nya. Luke selalu menyempatkan diri berfotoan dengan fans-nya dan kadang-kadang memeluk dan mencium fans-nya.

            Kini, Luke sudah menemukan dunianya dan mulai dari sekarang Luke tinggal di apartemen yang mewah. Ruangannya besar dan fasilitasnya lengkap. Luke sudah tidak mau lagi kembali ke rumahnya dan bertemu Sara. Mustahil jika Sara khawatir padanya dan ingin mencarinya. Ini semua adalah kerja kerasnya dan kini Luke bisa menghasilkan uang sendiri tanpa harus meminta.

            Tapi bagaimanapun juga, pekerjaannya bukan main-main. Tidak selama-lamanya ia merasa bahagia menjadi seorang bintang dunia. Luke sering merasa lelah dan jarang tidur. Ditambah lagi tenggorokannya yang suka sakit. Berkali-kali Tami menasehatinya agar banyak minum air putih dan tidak boleh makan sembarangan. Tami tau Luke senang membeli makanan yang berminyak dan minuman yang tidak sehat.

            Mungkin itu memang konsekuensi menjadi seorang penyanyi. Jangan dikira menjadi penyanyi itu selalu menyenangkan. Rasanya memang menyenangkan namun terkadang rindu dengan kehidupan yang normal tanpa kejaran dari media, fans, paparazzi, wartawan dan sebagainya.    

            Di apartemen, Luke hidup sendiri. Musik-lah yang menemaninya kapanpun ia butuhkan. Terkadang Luke merasa sepi. Selama ini ia tidak pernah mempunyai seorang teman. Bahkan satupun. Ada memang yang mau mengajaknya berteman tetapi Luke suka menolak dan memilih sendiri. Bibi Margaret satu-satunya teman masa kecilnya sementara Sara yang super sibuk itu tidak pernah merawatnya.

            Sore yang cerah itu, Luke terbangun dari tidurnya dan melihat ke arah jendela. Disana ia bisa melihat pantai Malibu yang terlihat indah dan menjadikan Los Angeles adalah Kota yang cantik. Kota tercantik dan terindah. Luke senang tinggal di Los Angeles dan menyukai pantai. Bisa dikatakan Luke tidak bisa hidup tanpa melihat pemandangan pantai meskipun Luke tidak suka berenang di pantai.

            Masalah cinta. Apalagi cinta. Bahkan teman dekat pun ia tidak punya. Artinya selama hidupnya ini Luke tidak pernah merasakan cinta. Tapi bukan berarti Luke tidak normal. Sewaktu sekolah, Luke pernah menyukai beberapa gadis tetapi ia hanya bisa memendamnya saja. Berteman saja malas, apalagi pacaran.

            Tok.. Tok.. Tok..

            Seseorang mengetuk pintu kamarnya. Luke yang masih mengantuk menatap malas pintu kamarnya itu. Pasti Tami yang mengetuk pintunya. Akhirnya Luke memaksakan diri bangkit lalu berjalan menuju pintunya itu.

            “Baru bangun? Pantas saja wajahmu jelek.” Goda Tami.

            Luke menggaruk-garuk rambutnya. “Ada apa? Hari ini aku free kan. Aku sedang malas keluar atau diburu wartawan.” Ucapnya.

            “Luk, ada hal penting yang harus kau hadapi hari ini. Cepat mandi dan temui aku di ruang bawah. Just 10 minutes! Hurry up!” Ucap Tami.

            Dari wajah Tami saja Luke dapat menyimpulkan bahwa ada sesuatu yang serius di bawah sana. Tapi apa? Jangan-jangan…. Luke menjadi lemas lagi. Ia benar-benar belum siap bertemu Sara dan berbicara dengan wanita itu. Bahkan melihat wajahnya saja ia tidak sudi.

            “Mau apa lagi wanita itu?” Tanya Luke.

            Tami menarik nafas dalam-dalam. “Sekali ini saja Luk. Sara ingin bertemu denganmu. Tadi dia memohon dengan sangat padaku. Ingat Luk. Sara itu Ibumu, bukan seseorang yang asing bagimu.” Ucapnya.

            “Baiklah.” Ucap Luke akhirnya lalu masuk ke dalam. Entahlah ekspresi apa yang nantinya ia tampilkan pada Sara. Tapi Luke berharap agar bisa menahan emosinya ketika berhadapan dengan wanita itu.

***

            “Ma! Ashley akan diikut sertakan dalam olimpiade Sains tingkat kota!”

            Teriakan Ashley membuat Tristan yang sedang memakan sisa makanan kemarin menjadi kaget. Suara adiknya itu cempreng sekali dan suka membuat ribut seisi rumah. Tapi dilihat dari wajahnya, Ashley tampak gembira. Tadi Ashley sempat mengatakan ‘olimpiade’ dan ‘kota’. Tristan menelan air ludahnya.

            “Wah, kamu hebat sekali! Mama bangga padamu!” Ucap Liza sambil memeluk Ashley dengan bangga.

            Entah apa ini kesimpulannya sendiri atau hanya perasaannya saja. Liza jauh lebih mengutamakan Ashley dibanding dirinya dan terkadang suka menyindirnya secara halus. Tentu saja Liza jauh lebih bangga memiliki anak pintar dan cantik seperti Ashley dibanding ia yang umurnya lebih tua dari sebenarnya. Sudah ia katakana sejak awal. Ashley adalah anak yang pintar, berbakat dan dapat membanggakan orangtua. Sedangkan ia?

            “Ohya Ma, hasil jualan kue Ash tadi sudah habis. Banyak yang beli, katanya enak. Besok Mama bikin yang banyak ya.” Ucap Ashley.

            Tristan sempat berpikir bahwa ia hanyalah beban bagi keluarganya. Beban bagi Ibunya dan Ashley. Tristan rasa Ibunya mampu bertahan hidup tanpanya, tapi ia yang tidak bisa bertahan hidup tanpa Ibunya. Tristan memang bisa menghasilkan uang sendiri. Tapi hasil dari uangnya itu sama sekali tidak pernah membuat Ibunya bangga. Kapan ia bisa membuat Ibunya bangga seperti apa yang telah dilakukan Ashley?

            Mungkin Tristan membutuhkan hiburan. Sore yang cerah ini mengajaknya untuk berjalan keluar sambil menikmati angin musim panas. Selama ini, Tristan tidak pernah pergi ke tengah Kota dan tidak tahu menahu tentang dunia luar. Tristan hanya tau dunianya yang membosankan dan menyedihkan.

            Tepat di dekat lapangan sepak bola yang luas, Tristan tidak sengaja bertatapan dengan seorang gadis yang paling banyak dibicarakan di tempatnya ini. Gadis yang cantik dan baik hati. Gadis impian para lelaki walau usia gadis itu masih dibilang muda, yaitu sembilan belas tahun. Gadis tercantik yang pernah ia temui dan gadis itu kini sedang menatapnya.

            Cepat-cepat Tristan mengalihkan pandangan ke arah lain. Rasanya bodoh menyukai anak gadis orang terkaya di tempat tinggalnya. Tapi memang pada kenyataannya Tristan tidak tertarik dengan gadis itu meski sebagian besar teman-temannya menyukai gadis yang bernama Novela, termasuk Brandon.

            Novela. Nama yang cantik secantik orangnya. Senyum Novela sangat manis dan dapat membuat hati siapa saja menjadi tenang dan ingin terus melihat senyum itu. Di tempat tinggalnya, Novela ramah dengan siapa saja dan suka menolong. Novela adalah anak kaya dan suka membagi-bagikan uangnya atau barangnya kepada mereka yang membutuhkan. Novela juga sering membantu Ashley.

            “Hai Tris..”

            Langsung saja Tristan mengerjap-erjapkan matanya dan berusaha mengembalikan ke dunia aslinya. Kini, Novela sudah ada dihadapannya sambil memamerkan senyum manisnya dan Tristan bisa menemukan sepasang lesung pipit di pipi gadis itu. Sangat manis.

            “Oh, hai Nov.. Ng.. Sedang apa?” Tanya Tristan basa-basi.

            “Tuh habis melihat Theo bermain bola. Tim Theo sebentar lagi akan bertanding melawan tim lawan sekolahnya.” Jawab Novela.

            Theo adalah adik Novela, sama-sama berbakat seperti Novela. Jika Theo berbakat dalam hal olahraga, Novela berbakat dalam hal musik. Novela pandai bermain piano dan suaranya cukup merdu. Dulu sewaktu SMA, Novela suka tampil di setiap acara yang diadakan oleh sekolah. Seumur hidup, hanya sekali Tristan melihat Novela bermain piano dan rasanya begitu damai mendengar nada-nada lembut yang diciptakan Novela. Sekarang Novela kuliah di University of Sydney dengan mengambil jurusan Akutansi.

            “Ashley semakin pintar saja ya..” Ucap Novela.

            “Iya. Dia bisa membuat bangga Ibu. Sedangkan aku sama sekali tidak pernah.” Ucap Tristan merendahkan diri.

            Tentu saja Novela paham dengan ucapan Tristan. Selalu saja Tristan merendahkan diri dan mengatakan bahwa Tristan adalah anak yang tidak membanggakan dan sia-sia dilahirkan di dunia ini. Tapi Novela yakin sekali pasti Tristan memiliki sebuah bakat yang terpendam, entah itu apa.

            “Kau hebat Tris.. Kau jago bermain basket. Ku dengar kemarin kau memenangi pertandingan streetball..” Ucap Novela.

            Apa? Tentu saja Tristan kaget dengan ucapan Novela. Darimana Novela tau kalau ia dan lainnya bermain streetball demi mendapatkan uang sampai tengah malam? Mungkin Novela tau dari Theo karena Theo juga menyukai streetball.

            “Itu hanya hobiku, tapi aku tidak terlalu menghayatinya. Aku ingin mencari pekerjaan yang jelas dan membuat Ibu bangga.” Ucap Tristan.

            Novela tersenyum. “Kau ingin jadi apa? Dokter? Dosen? Pengusaha? Direktur perusahaan? Pilot? Presiden?” Tanyanya.

            Itulah Novela. Orang yang bisa membuatnya tersenyum dan tertawa seakan-akan beban yang dirasakannya hilang. Novela memang seorang malaikat penyelamat disini. Bukan baginya saja, tapi bagi semua orang yang merasakan kebaikan Novela.

            “Wah, kau juga mempunyai lesung pipit yang manis. Sebenarnya kau itu menawan hanya saja kau tidak pernah memerhatikan penampilanmu. Dan rambutmu.. Sangat mengerikan dan berantakan.” Ucap Novela.

            Baru kali ini ada yang memujinya dan dia adalah Novela, gadis nomor satu di tempat tingggalnya. Tristan tidak perlu repot memerhatikan penampilan karena ia tidak mau dilihat dari penampilan saja. Bahkan Tristan jarang melihat dirinya di depan kaca, mungkin sekarang sudah tidak lagi karena itu menyakitkan baginya. Tristan tidak berani menatap wajahnya di depan kaca karena ia tidak ingin ada air mata yang menetes lagi.

            “Percaya kalau aku sudah tidak lagi bercermin?” Tanya Tristan.

            “Hah?” Ucap Novela kaget.

            Tristan tertawa. “Aku benci cermin, kaca atau sejenisnya yang dapat memantulkan bayangan wajahku. Jika aku melihat wajahku sendiri, itu sama saja membunuhku.” Ucapnya.

            “Kau memang misterius..” Ucap Novela.

***

Kini hanya ia dan wanita berambut pirang sebahu itu. Wanita yang wajahnya lebih tua dari yang ia kira. Luke duduk berharapan dengan Sara sambil memainkan gelang di tangannya. Sara belum juga berbicara dan Luke memilih untuk diam. Kalau tidak mau bicara, apa gunanya ia kemari? Entah mengapa Luke jadi kesal sendiri.
           
“Luk..” Ucap Sara akhirnya.

            Luke mengangkat wajahnya. Sara. Wanita yang selama ini ia kira adalah sosok ibu yang baik dan ternyata salah. Sara bukanlah sesosok ibu yang baik. Bahkan Luke mau mengakui kalau Sara bukanlah Ibunya. Sedikitpun tidak ada rasa sayangnya pada Sara. Semua rasa sayang dan cinta itu menghilang begitu saja tatkala menyadari Sara bukanlah sosok Ibu yang baik.

            “Kamu semakin ganteng. Kamu sudah terkenal. Mama bangga padamu.” Ucap Sara.

            Apa dia bilang? Mama bangga padamu? Sebisa mungkin Luke menahan emosinya. Kata Tami, ia harus tenang dan tidak boleh marah. Kasihan Sara. Wanita itu sudah tua dan mudah lelah. Apa kedatangan Sara kemari hanya untuk meminta maaf dan memulai kehidupan baru? Apa mungkin semua bisnis atau butik Sara hancur sehingga Sara sekenanya meminta bantuannya? Luke sadar ia mempunyai uang yang sangat banyak semenjak ia terkenal dan Luke tidak tau harus ia apakan uang itu.

            “Mama tau kamu marah. Maafkan Mama.” Ucap Sara.

            “Ada lagi yang mau dikatakan? Aku ingin istirahat.” Ucap Luke.

            Sebisa mungkin Sara tenang dan tidak bersedih. Wanita itu sadar selama ini ia melakukan hal yang salah terhadap Luke. Ketika Luke kecil, ia tidak pernah merawat Luke dan membiarkan Margaret yang merawat Luke. Sara seakan-akan tidak menganggap Luke. Sara tau kalau ia salah dan ia tau bahwa ia adalah seorang wanita yang tidak baik dan tidak pantas merawat anak.

            “Mama ingin kamu kembali tinggal di rumah. Mama tidak ingin kamu tinggal sendirian di apartemen.” Ucap Sara.

            “Itu sudah kehidupanku. Aku suka tinggal di apartemen.” Ucap Luke.

            “Tapi tempatmu di rumah. Bukan di apartemen meski kau sudah menjadi penyanyi terkenal.” Ucap Sara.

            Luke tersenyum sinis. “Kalau aku membeli apartemen itu dan menjadikannya rumah jadi aku boleh tinggal disana?” Tanyanya.

            Sara bingung mau mengucapkan apa. Baginya, Luke sekarang bukanlah Luke yang dulu. Luke sudah berumur delapan belas tahun dan sudah besar. Luke sekarang bukanlah Luke yang masih berumur tujuh tahun yang masih mau menuruti perkataannya dan tidak berani membantahnya. Sara tau Luke sudah tidak lagi membutuhkannya, termasuk uang dan semua kekayaannya karena Luke sudah bisa menghasilkan uang sendiri.

            “Jawab dengan jujur. Adakah rasa keanehan atau ketidaknyamanan selama kau hidup?” Tanya Sara.

            Pertanyaan yang membuat Luke bingung. Pertanyaan yang aneh. Untuk apa Sara menanyakan pertanyaan itu? Aneh? Ketidaknyamanan? Luke merasa Sara sedang menyembunyikan sesuatu darinya. Meski ia tinggal bersama Sara selama belasan tahun, Luke sama sekali tidak pernah mengetahui apa rahasia Sara dan siapa Sara itu. Bahkan Luke tidak tau siapa saudara Sara. Selama ia hidup, Luke merasa sendirian dan tidak memiliki teman. Dan ketika ia menjadi seseorang yang terkenal, baru Luke menemukan siapa keluarganya yang sebenarnya. Yaitu para fansnya dan Luke tak lagi merasa sendiri.

            “Aku merasa sendirian. Tidak memiliki siapa-siapa.” Jawab Luke.

            Sara tersenyum sedih. “Untuk itulah aku ingin mengajakmu kembali tinggal bersamaku dan kau akan tau siapa dirimu yang sebenarnya.” Ucapnya.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar