Part 3
.
Entahlah ini yang keberapa kalinya
Luke mengadakan konser dan diteriaki oleh penggemarnya. Bahkan namanya sudah
dikenal hampir di seluruh dunia. Luke sangat tidak menduga semua ini berjalan
lebih cepat dari yang ia kira. Luke sadar bahwa dirinya memang sangat berbakat
dan jarang ada yang bisa menyamainya. Tapi sebisa mungkin Luke tidak
menampakkan kesombongannya terutama jika berhadapan dengan fans-nya. Luke
selalu menyempatkan diri berfotoan dengan fans-nya dan kadang-kadang memeluk
dan mencium fans-nya.
Kini, Luke sudah menemukan dunianya
dan mulai dari sekarang Luke tinggal di apartemen yang mewah. Ruangannya besar
dan fasilitasnya lengkap. Luke sudah tidak mau lagi kembali ke rumahnya dan
bertemu Sara. Mustahil jika Sara khawatir padanya dan ingin mencarinya. Ini
semua adalah kerja kerasnya dan kini Luke bisa menghasilkan uang sendiri tanpa
harus meminta.
Tapi bagaimanapun juga, pekerjaannya
bukan main-main. Tidak selama-lamanya ia merasa bahagia menjadi seorang bintang
dunia. Luke sering merasa lelah dan jarang tidur. Ditambah lagi tenggorokannya
yang suka sakit. Berkali-kali Tami menasehatinya agar banyak minum air putih
dan tidak boleh makan sembarangan. Tami tau Luke senang membeli makanan yang
berminyak dan minuman yang tidak sehat.
Mungkin itu memang konsekuensi
menjadi seorang penyanyi. Jangan dikira menjadi penyanyi itu selalu
menyenangkan. Rasanya memang menyenangkan namun terkadang rindu dengan
kehidupan yang normal tanpa kejaran dari media, fans, paparazzi, wartawan dan sebagainya.
Di apartemen, Luke hidup sendiri.
Musik-lah yang menemaninya kapanpun ia butuhkan. Terkadang Luke merasa sepi.
Selama ini ia tidak pernah mempunyai seorang teman. Bahkan satupun. Ada memang
yang mau mengajaknya berteman tetapi Luke suka menolak dan memilih sendiri.
Bibi Margaret satu-satunya teman masa kecilnya sementara Sara yang super sibuk
itu tidak pernah merawatnya.
Sore yang cerah itu, Luke terbangun
dari tidurnya dan melihat ke arah jendela. Disana ia bisa melihat pantai Malibu
yang terlihat indah dan menjadikan Los Angeles adalah Kota yang cantik. Kota
tercantik dan terindah. Luke senang tinggal di Los Angeles dan menyukai pantai.
Bisa dikatakan Luke tidak bisa hidup tanpa melihat pemandangan pantai meskipun
Luke tidak suka berenang di pantai.
Masalah cinta. Apalagi cinta. Bahkan
teman dekat pun ia tidak punya. Artinya selama hidupnya ini Luke tidak pernah
merasakan cinta. Tapi bukan berarti Luke tidak normal. Sewaktu sekolah, Luke
pernah menyukai beberapa gadis tetapi ia hanya bisa memendamnya saja. Berteman
saja malas, apalagi pacaran.
Tok.. Tok.. Tok..
Seseorang mengetuk pintu kamarnya.
Luke yang masih mengantuk menatap malas pintu kamarnya itu. Pasti Tami yang
mengetuk pintunya. Akhirnya Luke memaksakan diri bangkit lalu berjalan menuju
pintunya itu.
“Baru bangun? Pantas saja wajahmu
jelek.” Goda Tami.
Luke menggaruk-garuk rambutnya. “Ada
apa? Hari ini aku free kan. Aku
sedang malas keluar atau diburu wartawan.” Ucapnya.
“Luk, ada hal penting yang harus kau
hadapi hari ini. Cepat mandi dan temui aku di ruang bawah. Just 10 minutes! Hurry up!”
Ucap Tami.
Dari wajah Tami saja Luke dapat
menyimpulkan bahwa ada sesuatu yang serius di bawah sana. Tapi apa?
Jangan-jangan…. Luke menjadi lemas lagi. Ia benar-benar belum siap bertemu Sara
dan berbicara dengan wanita itu. Bahkan melihat wajahnya saja ia tidak sudi.
“Mau apa lagi wanita itu?” Tanya
Luke.
Tami menarik nafas dalam-dalam.
“Sekali ini saja Luk. Sara ingin bertemu denganmu. Tadi dia memohon dengan
sangat padaku. Ingat Luk. Sara itu Ibumu, bukan seseorang yang asing bagimu.”
Ucapnya.
“Baiklah.” Ucap Luke akhirnya lalu
masuk ke dalam. Entahlah ekspresi apa yang nantinya ia tampilkan pada Sara.
Tapi Luke berharap agar bisa menahan emosinya ketika berhadapan dengan wanita
itu.
***
“Ma! Ashley akan diikut sertakan
dalam olimpiade Sains tingkat kota!”
Teriakan Ashley membuat Tristan yang
sedang memakan sisa makanan kemarin menjadi kaget. Suara adiknya itu cempreng
sekali dan suka membuat ribut seisi rumah. Tapi dilihat dari wajahnya, Ashley
tampak gembira. Tadi Ashley sempat mengatakan ‘olimpiade’ dan ‘kota’. Tristan
menelan air ludahnya.
“Wah, kamu hebat sekali! Mama bangga
padamu!” Ucap Liza sambil memeluk Ashley dengan bangga.
Entah apa ini kesimpulannya sendiri
atau hanya perasaannya saja. Liza jauh lebih mengutamakan Ashley dibanding
dirinya dan terkadang suka menyindirnya secara halus. Tentu saja Liza jauh
lebih bangga memiliki anak pintar dan cantik seperti Ashley dibanding ia yang umurnya
lebih tua dari sebenarnya. Sudah ia katakana sejak awal. Ashley adalah anak
yang pintar, berbakat dan dapat membanggakan orangtua. Sedangkan ia?
“Ohya Ma, hasil jualan kue Ash tadi
sudah habis. Banyak yang beli, katanya enak. Besok Mama bikin yang banyak ya.”
Ucap Ashley.
Tristan sempat berpikir bahwa ia
hanyalah beban bagi keluarganya. Beban bagi Ibunya dan Ashley. Tristan rasa
Ibunya mampu bertahan hidup tanpanya, tapi ia yang tidak bisa bertahan hidup
tanpa Ibunya. Tristan memang bisa menghasilkan uang sendiri. Tapi hasil dari
uangnya itu sama sekali tidak pernah membuat Ibunya bangga. Kapan ia bisa
membuat Ibunya bangga seperti apa yang telah dilakukan Ashley?
Mungkin Tristan membutuhkan hiburan.
Sore yang cerah ini mengajaknya untuk berjalan keluar sambil menikmati angin
musim panas. Selama ini, Tristan tidak pernah pergi ke tengah Kota dan tidak
tahu menahu tentang dunia luar. Tristan hanya tau dunianya yang membosankan dan
menyedihkan.
Tepat di dekat lapangan sepak bola
yang luas, Tristan tidak sengaja bertatapan dengan seorang gadis yang paling
banyak dibicarakan di tempatnya ini. Gadis yang cantik dan baik hati. Gadis
impian para lelaki walau usia gadis itu masih dibilang muda, yaitu sembilan
belas tahun. Gadis tercantik yang pernah ia temui dan gadis itu kini sedang
menatapnya.
Cepat-cepat Tristan mengalihkan
pandangan ke arah lain. Rasanya bodoh menyukai anak gadis orang terkaya di
tempat tinggalnya. Tapi memang pada kenyataannya Tristan tidak tertarik dengan
gadis itu meski sebagian besar teman-temannya menyukai gadis yang bernama
Novela, termasuk Brandon.
Novela. Nama yang cantik secantik
orangnya. Senyum Novela sangat manis dan dapat membuat hati siapa saja menjadi
tenang dan ingin terus melihat senyum itu. Di tempat tinggalnya, Novela ramah
dengan siapa saja dan suka menolong. Novela adalah anak kaya dan suka
membagi-bagikan uangnya atau barangnya kepada mereka yang membutuhkan. Novela
juga sering membantu Ashley.
“Hai Tris..”
Langsung saja Tristan
mengerjap-erjapkan matanya dan berusaha mengembalikan ke dunia aslinya. Kini,
Novela sudah ada dihadapannya sambil memamerkan senyum manisnya dan Tristan
bisa menemukan sepasang lesung pipit di pipi gadis itu. Sangat manis.
“Oh, hai Nov.. Ng.. Sedang apa?”
Tanya Tristan basa-basi.
“Tuh habis melihat Theo bermain
bola. Tim Theo sebentar lagi akan bertanding melawan tim lawan sekolahnya.”
Jawab Novela.
Theo adalah adik Novela, sama-sama
berbakat seperti Novela. Jika Theo berbakat dalam hal olahraga, Novela berbakat
dalam hal musik. Novela pandai bermain piano dan suaranya cukup merdu. Dulu
sewaktu SMA, Novela suka tampil di setiap acara yang diadakan oleh sekolah.
Seumur hidup, hanya sekali Tristan melihat Novela bermain piano dan rasanya
begitu damai mendengar nada-nada lembut yang diciptakan Novela. Sekarang Novela
kuliah di University of Sydney dengan mengambil jurusan Akutansi.
“Ashley semakin pintar saja ya..”
Ucap Novela.
“Iya. Dia bisa membuat bangga Ibu.
Sedangkan aku sama sekali tidak pernah.” Ucap Tristan merendahkan diri.
Tentu saja Novela paham dengan
ucapan Tristan. Selalu saja Tristan merendahkan diri dan mengatakan bahwa
Tristan adalah anak yang tidak membanggakan dan sia-sia dilahirkan di dunia
ini. Tapi Novela yakin sekali pasti Tristan memiliki sebuah bakat yang
terpendam, entah itu apa.
“Kau hebat Tris.. Kau jago bermain
basket. Ku dengar kemarin kau memenangi pertandingan streetball..” Ucap Novela.
Apa? Tentu saja Tristan kaget dengan
ucapan Novela. Darimana Novela tau kalau ia dan lainnya bermain streetball demi
mendapatkan uang sampai tengah malam? Mungkin Novela tau dari Theo karena Theo
juga menyukai streetball.
“Itu hanya hobiku, tapi aku tidak
terlalu menghayatinya. Aku ingin mencari pekerjaan yang jelas dan membuat Ibu
bangga.” Ucap Tristan.
Novela tersenyum. “Kau ingin jadi
apa? Dokter? Dosen? Pengusaha? Direktur perusahaan? Pilot? Presiden?” Tanyanya.
Itulah Novela. Orang yang bisa
membuatnya tersenyum dan tertawa seakan-akan beban yang dirasakannya hilang.
Novela memang seorang malaikat penyelamat disini. Bukan baginya saja, tapi bagi
semua orang yang merasakan kebaikan Novela.
“Wah, kau juga mempunyai lesung
pipit yang manis. Sebenarnya kau itu menawan hanya saja kau tidak pernah
memerhatikan penampilanmu. Dan rambutmu.. Sangat mengerikan dan berantakan.”
Ucap Novela.
Baru kali ini ada yang memujinya dan
dia adalah Novela, gadis nomor satu di tempat tingggalnya. Tristan tidak perlu
repot memerhatikan penampilan karena ia tidak mau dilihat dari penampilan saja.
Bahkan Tristan jarang melihat dirinya di depan kaca, mungkin sekarang sudah
tidak lagi karena itu menyakitkan baginya. Tristan tidak berani menatap
wajahnya di depan kaca karena ia tidak ingin ada air mata yang menetes lagi.
“Percaya kalau aku sudah tidak lagi
bercermin?” Tanya Tristan.
“Hah?” Ucap Novela kaget.
Tristan tertawa. “Aku benci cermin,
kaca atau sejenisnya yang dapat memantulkan bayangan wajahku. Jika aku melihat
wajahku sendiri, itu sama saja membunuhku.” Ucapnya.
“Kau memang misterius..” Ucap Novela.
***
Kini hanya ia dan wanita berambut pirang sebahu itu. Wanita yang wajahnya
lebih tua dari yang ia kira. Luke duduk berharapan dengan Sara sambil memainkan
gelang di tangannya. Sara belum juga berbicara dan Luke memilih untuk diam.
Kalau tidak mau bicara, apa gunanya ia kemari? Entah mengapa Luke jadi kesal
sendiri.
“Luk..” Ucap Sara akhirnya.
Luke mengangkat wajahnya. Sara.
Wanita yang selama ini ia kira adalah sosok ibu yang baik dan ternyata salah.
Sara bukanlah sesosok ibu yang baik. Bahkan Luke mau mengakui kalau Sara
bukanlah Ibunya. Sedikitpun tidak ada rasa sayangnya pada Sara. Semua rasa
sayang dan cinta itu menghilang begitu saja tatkala menyadari Sara bukanlah
sosok Ibu yang baik.
“Kamu semakin ganteng. Kamu sudah
terkenal. Mama bangga padamu.” Ucap Sara.
Apa dia bilang? Mama bangga padamu?
Sebisa mungkin Luke menahan emosinya. Kata Tami, ia harus tenang dan tidak
boleh marah. Kasihan Sara. Wanita itu sudah tua dan mudah lelah. Apa kedatangan
Sara kemari hanya untuk meminta maaf dan memulai kehidupan baru? Apa mungkin
semua bisnis atau butik Sara hancur sehingga Sara sekenanya meminta bantuannya?
Luke sadar ia mempunyai uang yang sangat banyak semenjak ia terkenal dan Luke
tidak tau harus ia apakan uang itu.
“Mama tau kamu marah. Maafkan Mama.”
Ucap Sara.
“Ada lagi yang mau dikatakan? Aku
ingin istirahat.” Ucap Luke.
Sebisa mungkin Sara tenang dan tidak
bersedih. Wanita itu sadar selama ini ia melakukan hal yang salah terhadap
Luke. Ketika Luke kecil, ia tidak pernah merawat Luke dan membiarkan Margaret
yang merawat Luke. Sara seakan-akan tidak menganggap Luke. Sara tau kalau ia
salah dan ia tau bahwa ia adalah seorang wanita yang tidak baik dan tidak
pantas merawat anak.
“Mama ingin kamu kembali tinggal di
rumah. Mama tidak ingin kamu tinggal sendirian di apartemen.” Ucap Sara.
“Itu sudah kehidupanku. Aku suka
tinggal di apartemen.” Ucap Luke.
“Tapi tempatmu di rumah. Bukan di
apartemen meski kau sudah menjadi penyanyi terkenal.” Ucap Sara.
Luke tersenyum sinis. “Kalau aku
membeli apartemen itu dan menjadikannya rumah jadi aku boleh tinggal disana?”
Tanyanya.
Sara bingung mau mengucapkan apa.
Baginya, Luke sekarang bukanlah Luke yang dulu. Luke sudah berumur delapan
belas tahun dan sudah besar. Luke sekarang bukanlah Luke yang masih berumur
tujuh tahun yang masih mau menuruti perkataannya dan tidak berani membantahnya.
Sara tau Luke sudah tidak lagi membutuhkannya, termasuk uang dan semua
kekayaannya karena Luke sudah bisa menghasilkan uang sendiri.
“Jawab dengan jujur. Adakah rasa
keanehan atau ketidaknyamanan selama kau hidup?” Tanya Sara.
Pertanyaan yang membuat Luke
bingung. Pertanyaan yang aneh. Untuk apa Sara menanyakan pertanyaan itu? Aneh?
Ketidaknyamanan? Luke merasa Sara sedang menyembunyikan sesuatu darinya. Meski
ia tinggal bersama Sara selama belasan tahun, Luke sama sekali tidak pernah
mengetahui apa rahasia Sara dan siapa Sara itu. Bahkan Luke tidak tau siapa
saudara Sara. Selama ia hidup, Luke merasa sendirian dan tidak memiliki teman.
Dan ketika ia menjadi seseorang yang terkenal, baru Luke menemukan siapa
keluarganya yang sebenarnya. Yaitu para fansnya dan Luke tak lagi merasa
sendiri.
“Aku merasa sendirian. Tidak
memiliki siapa-siapa.” Jawab Luke.
Sara tersenyum sedih. “Untuk itulah
aku ingin mengajakmu kembali tinggal bersamaku dan kau akan tau siapa dirimu
yang sebenarnya.” Ucapnya.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar