Part 15
.
Semenjak kejadian di ruang musik,
Disty sudah tidak mempermasalahkan mimpi anehnya itu. Walau mimpinya itu masih
saja datang menghantuinya, tetapi karena sudah terbiasa, Disty menganggap mimpi
itu hanyalah sebuah angin berlalu. Disty ingat ucapan Rio bahwa Rio selalu ada
di sampingnya apapun yang terjadi dan ia berjanji pada Rio bahwa ia tidak akan
takut lagi.
Ya. Disty sudah terbiasa dengan
mimpi itu dan Disty rasa ia sudah memenangi pertandingan ini. Biarkanlah mimpi
gilanya itu bermain-main di dalam tidurnya karena Disty merasa sudah menang.
“Morning
dad!” Sapa Disty ceria dan mendekati Thomas.
“Pagi, pagi. Tidak jalan-jalan
keluar?” Tanya Thomas.
Hari ini Rio sedang pergi bersama
keluarganya jadi minggu yang cerah ini Disty hanya sendirian. Maunya pergi ke
rumah Miley atau Donna tapi Disty merasa malas. Sekarang sudah memasuki bulan
Maret. Tidak terasa Disty akan naik ke kelas sepuluh dan dianggap menjadi
dewasa.
“Gimana hubunganmu dengan Rio?”
Tanya Thomas tiba-tiba. Tumben sekali Thomas menanyakan tentang hubungannya.
“Baik. Bahkan semakin baik. Rio
semakin sayang sama Disty, begitu pula sebaliknya.” Jawab Disty.
Thomas terlihat menarik nafas
dalam-dalam. “Apa tidak ada cowok selain Rio?” Tanyanya.
Tentu saja Disty kaget dengan
pertanyaan Ayahnya. “Maksud Ayah? Tentu saja tidak ada! Rio itu satu-satunya
cowok yang ada di hati Disty selain Ayah, Michael dan James.” Jawabnya.
“Ayah hanya takut membuatmu sakit
hati.” Ucap Thomas.
Jujur, Disty sama sekali tidak paham
dengan maksud ucapan Thomas. Sejak awal Ayahnya memang kurang menyukai
hubungannya dengan Rio. Langsung saja Disty teringat dengan mimpinya. Disty
merasa mimpi itu ada hubungannya dengan Thomas, juga Rio. Tapi apa? Ayahnya
pernah mengatakan sama sekali tidak mengenal Rio.
“Dad, katakana yang sejujur-jujurnya
apa yang dad pikirkan.” Ucap Disty.
“Rio akan memberitahumu.” Ucap
Thomas.
“Memberitahu apa? Rio tidak pernah
menyembunyikan apapun dari Disty meski terkadang sikapnya aneh.” Ucap Disty.
“Dis..” Ucap Thomas pelan sambil
menatap wajah Disty. “Mungkin ini dosa terbesar Ayah. Maafkan Ayah. Tapi Ayah
ingin kau bahagia dengan siapapun. Maafkan Ayah.” Ucapnya.
Benar-benar aneh. Ayahnya sangat
misterius. Bella sendiri tidak tau apa rahasia Thomas. Jadi apa yang harus ia
lakukan agar semua pertanyaan-pertanyaan di otaknya ini terjawab semua? Tidak
ada yang mau memberinya jawaban. Tidak ada.
***
“Hei!”
Otomatis Luke kaget karena Michael
menepuk bahunya. Entah apa yang dimainkan Luke dengan laptopnya dan Luke selalu
menjauhkan laptopnya dari mata Michael. Sepertinya Luke mempunyai rahasia di
dalam laptopnya itu dan Michael tidak boleh mengetahuinya.
“Jangan-jangan kau adalah seorang
hacker!” Tebak Michael.
“Hacker? Aku tidak tau apa itu hacker
dan aku tidak suka merusak situs-situs orang.” Ucap Luke.
“Kau dengan Disty sedang tidak baik
ya? Ku lihat kau sudah tidak mau lagi mengajari Disty.” Ucap Michael.
Luke tidak langsung menjawab.
Pandangannya ia fokuskan pada layar laptopnya. “Ku rasa Disty sudah menyerah
dan aku memutuskan untuk berhenti mengajarinya. Ya. Aku terlalu keras padanya.”
Ucapnya.
Michael tersenyum. “Aku curiga
denganmu.” Ucapnya.
“Curiga?” Tanya Luke.
“Oh ayolah Luk! Kau harus jujur
dengan perasaanmu. Aku tau sudah lama kau menyukai Disty tetapi kau tidak mau
mengakuinya.” Ucap Michael.
“Sudah ku bilang. Aku menyukai Disty
hanya sebatas teman.” Ucap Luke.
“Hmm.. Oke. Ku harap kau sedang
jujur. Tapi kalaupun kau menyukai Disty, peluangmu untuk mendapatkan Disty
sedikit sekali dan Disty tidak akan bisa untuk tidak mencintai Rio. Terbukti
dengan hubungan mereka yang berumur satu tahun lebih.”
Luke tidak mempedulikan ucapan
Michael. Disty. Sebenarnya, seberapa besar dan seberapa penting nama itu
baginya? Luke tidak tau. Yang jelas, ia masih bersyukur bisa melihat gadis itu
tersenyum dan bahagia, walau Disty tidak menyukainya. Luke yakin sekali suatu
saat nanti apa yang ia harapkan akan terwujud. Yang hanya bisa ia lakukan
hanyalah menunggu. Ya. Menunggu waktu yang tepat.
***
Semenjak berhenti menjadi guru
matematika Disty, semenjak itulah Luke jarang melihat Disty. Kira-kira hampir
dua bulan. Luke jarang ke rumah Michael jika tidak ada urusan penting atau
Michael tidak membutuhkannya. Luke memang senang sekali berdiam diri di rumah,
khususnya kamarnya dan jarang keluar rumah. Mamanya pernah memarahinya karena
ia tidak mempunyai kegiatan apapun.
Sekarang sudah memasuki bulan Mei.
Sebentar lagi ia akan naik ke kelas sebelas. Bermacam-macam tes dari setiap
mata pelajaran akan menghampirinya. Setidaknya Luke bisa mensibukkan dirinya
dengan buku, pensil, pulpen dan internet. Diam-diam, Luke senang bermain
internet dan men-search informasi-informasi yang menurutnya penting. Luke juga
banyak mempunyai akun-akun rahasia dan terkadang suka mengerjai orang di dunia
maya hanya untuk membuat hatinya terhibur.
Entah apa yang membuatnya
memberanikan diri untuk pergi ke rumah Disty. Kebetulan Luke ingin member Disty
kue brownis kesukaan Disty. Siapa tau hubungannya dengan Disty bisa menjadi
baik dan Luke berjanji untuk tidak membuat gadis itu kesal padanya.
Namun ketika ia tiba tepat di pintu
gerbang Disty, sesuatu yang sangat tidak ingin dilihatnya pun terjadi. Ya. Rio
dan Disty.
***
“Oke. Kita mau nyanyi lagu apa?”
Tanya Disty.
Sore itu, Rio iseng bermain di rumah
Disty. Kebetulan Disty sedang bermain gitar di teras. Waktu yang tepat. Rio
ingin sekali bernyanyi bersama gadis itu. Entah lagu apa. Tentu saja Disty
bahagia dengan kehadiran Rio.
“Terserah kau saja deh.” Jawab
Disty.
Disty berpikir sesaat, lalu
menjawab. “Taylor Swift ft Ed Sheeran, Everything Has Changed!” Jawabnya dan
diangguki Rio.
Kali ini Rio yang memainkan gitar
dan Disty yang nyanyi. Suara Disty yang terdengar bagus itu menyempurnakan lagu
itu. Ya. Disty memang bakat menjadi penyanyi dan jago memainkan alat musik.
Tapi sayang Disty selalu menutupi diri dan tidak mau dilihat banyak orang.
Disty memang bernyanyi hanya untuk dirinya sendiri.
“Cause all I know is we said hello
And
your eyes look like coming home
All
I know is a simple name Everything has changed
All
I know is you held the door
You'll
be mine and I'll be yours
Tanpa keduanya sadari, sedaritadi Luke melihat keduanya dengan tatapan
dan perasaan entahlah. Tapi sepertinya Luke ingin sekali berada di posisi Rio
dan bernyanyi dengan Disty. Pasti ia akan bahagia. Namun entah apa yang
membuatnya enggan melakukan itu semua dan membiarkan Disty bahagia dan
tersenyum hanya untuk Rio.
“Music is my everything and study
is my enemie.” Ucap Rio.
Disty tertawa. “Not study. But math. I think if Luke was
here, he’ll angry because I’m mocking his love or maybe I should call ‘his
girlfriend’? ” Ucapnya.
“No. Luke never have a girlfriend or his girl close friend. Yeah, he’s
very serious.” Ucap Rio.
“And bore.” Tambah Disty.
Mengapa mereka mengejeknya sih?
Sadar tidak mereka bahwa Luke ada di luar pagar rumah Disty? Luke tau Disty dan
Rio sedang menertawakannya. Menertawakan kebodohannya dan mengata-ngatainya
sebagai cowok yang membosankan, serius dan sudah terlalu ketinggalan zaman.
Oke. Luke menerima semua itu dan ia sama sekali tidak merasa marah.
“Ya.. Tapi tidak baik juga
mengejek Luke. Dia temanku. Ku rasa dia sudah banyak membantuku dan aku tidak
ingin menyakiti perasaannya.” Ucap Rio.
“Kalaupun kau menyakiti Luke, dia
akan baik-baik saja dan cuek.” Ucap Disty.
Keduanya tertawa bersama lalu
menyanyikan lagu lain. Disty dan Rio memang pasangan yang sangat romantis dan
sempurna. Disty tidak sia-sia jatuh cinta pada Rio. Mungkin Rio bukan yang
pertama, tetapi mungkin Rio yang terakhir baginya meski jalan hidupnya masih
panjang dan Disty takut jika suatu saat nanti rasa cintanya pada Rio
menghilang. Ya.
Sedangkan Luke, cowok itu
memutuskan untuk meninggalkan rumah Disty. Brownis yang sia-sia. Akan ia apakan
brwonis ini? Ia tidak sanggup memakannya karena Luke pikir brownis ini hanya
tercipta untuk Disty, bukan untuk lainnnya.
***
Terkadang, hidup itu terasa susah
dan berat. Selama ini Luke selalu bersyukur pada Tuhan karena Tuhan begitu baik
pada keluarganya. Luke masih mempunyai Ayah-Ibu yang sangat menyayanginya dan
dua kakak cowok yang begitu pengertian padanya. Jika ia merasa tidak bersyukur,
maka ia adalah manusia terbodoh di dunia ini.
Tidak tau kemana ia melangkah.
Luke hanya ingin menikmati suasana angin sore dengan kesendirian. Ya. Semuanya
memiliki pasangan untuk saling melengkapi satu sama lain, sedangkan ia masih
sendiri dan Luke rasa itu hal yang biasa. Ia memang ditakdirkan untuk
sendirian. Kalaupun ada yang mau dekat dengannya, lebih baik ia menyingkir
karena baginya cinta itu bukan main-main.
Masih dengan style lamanya. Luke
yang sederhana, Luke yang terlihat ketinggalan jaman, dan Luke yang kelihatan polos
dengan wajah yang penuh kesedihan, kasihan dan poni miring yang menutupi
dahinya. Mungkin Luke banyak berubah. Dua bulan lagi ia berumur tujuh belas
tahun tetapi Luke merasa bahwa ia masih seperti bocah laki-laki yang polos.
Tiba di pinggir jalan yang lumayan
sepi, langkah kakinya terhenti melihat beberapa anak terlantar yang sepertinya
sedang kelaparan. Tetapi wajah mereka terlihat bahagia dan terpenting selalu
bersyukur. Luke tersenyum lalu berjalan mendekati anak-anak itu. Tentu saja
anak-anak itu kaget akan kehadirannya.
“Hai..” Sapa Luke berusaha untuk
ramah.
Detik pertama tidak ada jawaban.
Entah bagaimana pandangan anak-anak itu tentang dirinya. Apa Luke terlihat aneh
baginya? Kemudian, si bocah perempuan berambut keriting pun bicara.
“Kakak siapa?” Tanyanya.
“Namaku Luke. Aku tidak sengaja
melihat kalian dan akhirnya aku memutuskan untuk menemui kalian.” Jawab Luke.
“Jarang ada orang yang mau menemui
kami. Tapi ku rasa kakak orangnya baik dan murah senyum. Aku suka senyum kakak.
Manis.” Ucap gadis lain yang berpipi tembem.
Luke tertawa dan di pipi kanannya
muncul sebuah lesung pipit yang indah. Luke memang menawan. Hanya saja dia
tidak mau peduli dengan dirinya sendiri dan suka merendah dihadapan orang.
“Rambut kak Luke kelihatan keren.”
Ucap bocah laki-laki yang berambut pirang sama seperti dirinya.
Tiba-tiba Luke teringat sesuatu.
“Mau?” Tanyanya sambil mengangkat kotak brownisnya.
Tentu saja bocah-bocah yang
berjumlah tujuh orang itu bahagia bukan main karena mendapat rezeki besar yaitu
sekotak kue yang lezat. Luke pun duduk diantara anak-anak itu sambil membuka
kotak brownis yang masih terasa hangat dan baunya membuat air liur siapa saja
keluar.
“Wah! Seumur hidup baru kali ini
aku melihat kue selezat ini!” Ucap si pipi tembem.
“Iya. Enak sekali padahal aku
belum memakannya.” Ucap anak yang lain.
Baru saja Luke hendak memotong
brownis itu, datang seorang cowok yang sepertinya seusia dengan Luke dan cowok
itu membawa gitar. Sepertinya cowok itu tidak suka dengan kehadiran Luke.
“Jangan makan makanan orang kaya!”
Ucap cowok itu.
Tentu saja Luke kaget dan refleks
menjatuhkan potonga brownis itu. Luke melihat cowok yang bersuara tadi dan
wajahnya tampak asing. Luke pikir cowok itu tidak berasal dari sini karena
wajahnya menandakan bahwa cowok itu berasal dari Asia. Rambutnya hitam dan
matanya juga hitam. Sama sekali tidak memperlihatkan wajah cowok-cowok Inggris
pada umumnya.
“Kak Cal datang! Yeay!!” Seru
salah satu dari anak-anak itu.
Cowok yang bernama Calum itu
mendekati Luke sambil mengelap keringat yang membahasi dahinya. “Siapa kau?
Mengapa kau berani membagikan makanan itu pada adik-adikku?” Tanyanya dengan
suara yang tidak ramah.
Luke berusaha untuk tenang. “Aku
tidak sengaja bertemu mereka dan aku ingin membagikan kue ini ke mereka. Ku
rasa perbuatanku tidak salah.” Jawabnya.
“Iya. Menjadi anak orang kaya
memang enak. Mudah sekali mendapatkan yang mereka inginkan tanpa harus bekerja
susah payah.” Ucap Calum lalu duduk.
“Aku tidak merasa menjadi anak
orang kaya. Keluargaku pas-pasan. Kebetulan kue ini aku buat sendiri karena
Ayahku adalah pengusaha roti.” Ucap Luke.
Calum tidak membalas ucapan Luke.
Entah apa yang ada dipikiran cowok yang baru dikenalinya itu. Tapi menurut
Luke, Calum sedang tidak baik. Dan ternyata anak-anak itu adalah adiknya.
Maksudnya adik angkatnya dan Calum-lah yang menghidupi mereka.
Calum terlihat menghela nafas
berat. “Sudah setahun Ayah dan Ibuku meninggal dan aku tinggal seorang diri.
Aku mencari uang sendiri dan aku tidak bersekolah lagi. Sebagai gantinya, aku
suka bernyanyi dan aku mempunyai band. Lumayan untuk menghidupi hidupku dan
adik-adikku.” Ucapnya.
Luke tidak menyangka hidup Calum
seperti itu. Tetapi ia begitu salut dengan Calum. Walau Calum susah, tapi Calum
bisa membantu anak-anak yang terlantar. Sedangkan ia? Luke memang tidak bisa
menghasilkan uang, tetapi ia akan terus belajar dan berjanji akan membahagiaan
orang tuanya.
“Sahabatku, Riley, saat ini sedang
sakit parah dan aku takut jika umurnya tidak panjang lagi. Padahal Riley yang
memimpin band kami dan tanpa Riley, kami tidak tau harus bagaimana. Riley-lah
yang menyemangati kami dan Riley yang membuat kami mencintai musik.” Ucap
Calum.
“Jadi, apa masalahmu?” Tanya Luke.
Calum menatap Luke. “Tentu saja
aku tidak bisa menghasilkan uang karena band kami tidak akan bisa jalan tanpa
Riley dan diancam bubar. Walau tidak terkenal dan mungkin terdengar ‘tidak
baik’, tapi aku takut jika itu benar-benar terjadi. Aku tidak bisa mencari uang
sendiri tanpa band-ku.” Jawabnya.
Luke berpikir sesaat. “Siapa
temanmu yang lain?” Tanyanya.
“Ashton dan Niall.” Jawab Calum.
“Aku bisa membantumu.” Ucap Luke.
Calum menatap Luke heran. “Aku
tidak mengerti ucapanmu.”
Luke tersenyum lalu berdiri. “Aku
ingin menemui mereka.” Ucapnya.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar