expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Selasa, 21 Juli 2015

Towers ( Part 6 )



Part 6

.

            Entahlah kemana tujuan Tristan yang jelas pemuda itu ingin mencari tempat yang tenang dan mengembalikan suasana hatinya kesmula. Ashley. Kenapa adiknya itu berani melanggar sebuah janji yang sudah lama dibuat? Semenjak kepergian saudaranya yang tidak lain adalah Luke, Tristan yang begitu sakit membuat suatu perjanjian dengan Liza dan Ashley bahwa mereka berjanji untuk tidak akan menyebut nama ‘Luke’ lagi mau tidak mau. Untunglah Liza dan Ashley bisa mengerti dan berjanji untuk tidak lagi menyebut nama itu dalam kondisi apapun. Tetapi mengapa Ashley berani menyebut nama itu?

            Tristan terduduk lemah di bawah pohon yang cukup rindang. Ia sandarkan punggungnya ke batang pohon yang kokoh itu sambil memejamkan mata. Hatinya belum juga kembali normal dan bertambah pedih. Luke. Saudara yang sangat ia sayangi dan merasa tidak bisa hidup tanpa Luke. Selama ini Tristan kuat dan tegar menjalani hidupnya dengan kesendirian. Tetapi mengapa kini rasanya sangat sulit? Mengapa Tristan begitu sangat mengharapkan kehadiran Luke di sisinya walau sebentar saja?

            Tapi ucapan Ashley terasa ganjal. Selama ini adiknya itu seakan-akan telah melupakan Luke dan menganggap Luke bukanlah kakaknya. Dan mengapa Ashley kembali mengingat nama itu? Pasti ada yang Ashley sembunyikan darinya. Dan tidak mungkin juga secara tiba-tiba Ashley mengingat nama Luke jika tidak ada alasan yang kuat.

            Tiba-tiba Tristan kembali mengingat mimpinya yang aneh. Kenapa tiba-tiba hidupnya berubah menjadi misteri? Tristan mencoba memflashback tragedy tiga belas tahun lalu. Ketika kobaran api melahap rumahnya, Ayahnya dan Luke. Mereka sempat menemukan jasad Ayahnya yang sangat menyedihkan. Tetapi jasad Luke tidak ditemukan. Tristan berpikir. Apa benar di kala kejadian itu Luke ada di rumah? Ya. Luke memang ada di rumah. Kalau tidak, tentu Ayahnya tidak mungkin masuk ke dalam dan menyelamatkan Luke. Tapi bagaimana jika Ayahnya aslinya tidak tau kalau Luke tidak ada di dalam rumah dan asal saja masuk ke dalam?

            Ingatan-ingatan itu berkumpul menjadi satu dan membuat kepalanya menjadi sakit dan pedih. Bagaimana jika Luke tidak ada di rumah pada saat itu? Bagaimana jika Luke diculik oleh seseorang? Tapi rasanya mustahil. Tidak akan ada yang menginginkan Luke. Masih banyak anak lain yang lebih menarik dan menggemaskan dibanding Luke. Untuk apa juga menculik anak kecil yang tidak berdosa? Tapi bagaimana jika Luke masih hidup?

            Tristan tersenyum nanar. Ia sudah meyakini bahwa Luke sudah mati dan tidak akan pernah hidup. Tristan sudah kehilangan saudaranya untuk selama-lamanya dan tidak akan pernah lagi bertemu dengan Luke. Kecuali… Kecuali jika ia berhadapan di depan cermin. Disana ia bisa melihat wajah Luke dengan jelas. Karena itulah Tristan sangat membenci cermin karena hatinya akan sakit jika melihat Luke disana.

            Salah satu diantara kalian harus mati. Kau harus memilih: mengorbankan dirimu atau mengorbankan dirinya’

            Itulah kalimat yang membuat hati Tristan tidak tenang. Tapi sepertinya mimpi itu bukanlah hanya sebagai bunga tidur. Tetapi sebagai petunjuk dan peringatan. Apa perlu ia pergi menuju ahli tafsir mimpi untuk mengartikan mimpi anehnya itu?

            “Hai Tris..”

            Suara lembut itu menyadarkannya. Tristan kaget melihat Novela dengan senyum manisnya membawa serantang makanan yang isinya lezat. Tristan menelan ludahnya. Perutnya menjadi lapar karena sejak tadi pagi ia sama sekali belum menyentuh makanan. Rantang yang dibawa Novela membuat nafsu makannya menggebu-gebu walau Tristan yakin rantang itu tidak dibuat untuknya.

            Tanpa mendapatkan izin dari Tristan, Novela langsung duduk di samping Tristan. Wangi parfum yang dipakai Novela membuat dada Tristan berdebar-debar hebat. Padahal itu hanya sebuah parfum dan itu cukup mematikan saraf Tristan.

            “Ini aku kasih untukmu. Semoga kau suka.” Ucap Novela sambil menyerahkan rantang itu pada Tristan.

            Ini mimpi? Tristan menatap rantang itu dengan perasaan yang bingung. Novela terlalu baik padanya sedangkan ia tidak pernah baik pada Novela. Bahkan ia seringkali mengacuhkan gadis itu. Rasanya bodoh jika Tristan menerima makanan itu. Masih banyak anak-anak kelaparan yang membutuhkan makanan itu. Bagi Tristan, ia kuat untuk tidak makan dalam sehari asalkan bisa menahan rasa lemas dan mual di perutnya.

            “Aku tidak lapar. Terimakasih.” Tolak Tristan dengan halus.

            Tampaknya Novela kecewa karena makanan yang sudah susah ia buatkan untuk Tristan ditolak oleh Tristan walau secara halus. Tapi kenapa juga ia harus kecewa? Jika Tristan tidak menginginkan makanan itu, ya tidak apa-apa. Sepertinya Tristan bisa memahami perubahan ekspresi wajah Novela.

            “Mengapa kau bisa menemukanku?” Tanya Tristan.

            Novela tidak langsung menjawab. “Aku bosan di rumah.” Jawabnya akhirnya.

            Bosan? Tristan mengerutkan keningnya. Novela adalah gadis yang sangat beruntung. Memiliki rumah yang mewah, orangtua yang sangat menyayanginya, wajah yang cantik dan segudang prestasi. Sedangkan ia? Tristan menganggap dirinya hanyalah sampah masyarakat yang harus dibuang di tempat yang seharusnya. Dan rasanya salah besar jika ia berdekatan dengan Novela.

            “Bisa tidak kau tak usah lagi menemuiku?” Pinta Tristan. Ia juga tidak tau mengapa kata-kata itu yang keluar dari mulutnya.

            Baru saja Novela menjawab, seseorang yang sangat tidak diharapkannya datang menemuinya dan tersenyum sinis dengan Tristan. Albert. Mengapa lelaki itu bisa menemukannya di tempat ini? Entah mengapa hati Novela menjadi perih dan sakit. Sakit sekali. Mengapa hidupnya serumit ini?

            “Jadi kau yang bernama Tristan?” Tanya Albert dengan gaya angkuhnya seakan-akan mencemoh sosok Tristan yang terlihat kumuh dan miskin.

            Tristan menatap Albert dengan sedikit ketakutan. Siapa lelaki itu? Mengapa lelaki itu seakan-akan tidak menyukainya? Oh astaga! Tristan baru sadar disampingnya ada Novela yang sedang menunduk pasrah. Apa karena itu? Tapi sungguh Tristan tidak berniat mendekati Novela. Jutsru Novela yang mendekatinya.

            “Aku Tristan.” Ucap Tristan.

            Albert tetap tersenyum sinis padanya. “Aku tidak menyangka ternyata kau yang bernama Tristan. Ku kira, Tristan adalah pemuda tampan yang kaya dan tidak kumuh seperti dirimu.” Ucapnya.

            Tentu saja Tristan merasa sakit hati dengan apa yang diucapkan Albert. Lelaki sialan! Percuma memiliki wajah tampan dan kaya jika suka mengejek orang yang ada di bawahnya. Kemudian, Tristan kaget melihat reaksi Novela yang sangat tidak diduganya.

            “Jaga mulutmu! Tidak sepantasnya kau ada disini, lebih tepatnya lagi di keluargaku! Tristan jauh lebih baik darimu!” Bentak Novela.

            Apa? Novela membelanya? Tristan benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran Novela. Tristan mengira lelaki itu adalah kekasih Novela, tapi ternyata tidak.

            “Maaf sayang, jangan ikut campur urusanku dengan pemuda itu.” Ucap Albert lembut.

            Mendengar suara Albert yang sok dibuat imut, hampir saja Novela mual dan jika bisa ia akan memuntahkan seisi perutnya di pakaian yang digunakan Albert. Sementara itu, Tristan bisa menyimpulkan bahwa lelaki itu memang benar adalah kekasih Novela karena Tristan rasa lelaki itu cocok untuk Novela.

            “Aku peringatkan padamu, jangan sekali-kali mendekati calon isteriku! Dasar lelaki miskin! Maunya sama anak orang kaya. Seharusnya kau sadar diri siapa dirimu dan tidak usah sok mencari perhatian dengan kekasih orang lain.” Ucap Albert.

            Kali ini Tristan yang bicara mewakili apa yang dirasakan Novela. Sebelumnya Tristan berdiri dan kini berhadapan langsung dengan Albert yang tingginya sama dengan tingginya. Hanya saja tubuh Albert lebih atletis dibanding tubuhnya yang kurus.

            “Aku tau kalau aku miskin. Tapi jangan sesekali mengejek kaum kami. Justru kaum kami derajatnya lebih tinggi dihadapan Tuhan dibanding kaum kalian yang hanya bisa mengejek orang.” Ucap Tristan lalu meninggalkan Albert yang sepertinya sedang marah besar.

            Sepeninggal Tristan, Albert beralih menatap Novela yang ternyata tengah menangis. Gadis itu menangis dan Albert bingung bagaimana cara menenangkan gadis itu.

            “Aku lebih memilih hidup bersama Tristan dibanding lelaki seperti dirimu!” Ucap Novela.

***

            Dan lagi. Di malam hari yang sudah sangat larut ini, Ashley terdiam dan duduk sambil melihat foto yang ia menangkan dari hasil perebutan Eleanor dan kawan-kawan. Kejadian tadi pagi memang sangat tidak di duganya. Mengapa Ashley bisa mendapatkan foto yang mampu membuat hatinya bingung dan terasa aneh?

            Tadi, Ashley mendapati Tristan yang kondisinya lebih buruk dibanding sejak terakhir ia melihat Tristan. Ashley merasa berdosa dengan kakaknya. Ashley tidak tau mengapa tiba-tiba ia menyebut sebuah nama yang sangat diharamkan Tristan. Foto itulah yang membuat Ashley penasaran dan akhirnya berani menyebut nama Luke Hemmings pada Tristan.

            Sekali lagi Ashley memandangi foto Luke dengan cermat. Benar-benar sosok yang sangat sempurna. Pantas saja Eleanor dan lainnya pada heboh. Eleanor kan paling tidak tahan dengan cowok-cowok keren seperti Luke. Ashley bisa menyimpulkan bahwa Luke adalah seorang penyanyi tetapi mengapa selama ini Ashley tidak tau? Kalau Luke terkenal, setidaknya ia sudah tidak asing lagi dengan nama itu. Atau hanya ia saja yang memang kurang update?

            Luke Flemmings. Kepala Ashley benar-benar pusing memikirkan hal itu. Mau tidak mau besok ia harus pergi ke warnet untuk mengorek semua tentang Luke Flemmings, darimana asalnya, siapa orangtuanya dan bagaimana hidupnya. Bagaimana jika ia memberitahu soal ini pada Ibunya? Apa Ibunya akan kaget juga? Atau Tristan? Tapi rasanya tidak usah memberitahu Tristan dalam waktu yang singkat ini karena Ashley tidak ingin menambah beban Tristan.

            Mungkin ia sendiri yang harus menyelesaikan masalah ini.

***

            Sedaritadi TV di kamarnya menyala terus dan Luke menonton tanpa minat. Sebenarnya Luke bosan menonton acara TV walau menarik. Tapi malam ini mood-nya cukup buruk. Hari liburannya memang mampu membuatnya tenang dan seperti menjadi dirinya yang dulu. Dirinya yang belum menjadi terkenal seperti ini. Tinggal empat hari lagi ia berada di tempat ini setelah itu bebas. Luke bebas dan merasa merdeka karena Sara sudah merelakannya pergi dan memilih keputusannya.

            Namun rasanya tidak tenang jika Luke meninggalkan rumah Sara tanpa mendapatkan sekecil apapun rahasia yang dimiliki Sara. Sejak bertemu Sara beberapa hari yang lalu, Sara terlihat misterius dan sedang menyembunyikan sesuatu darinya. Sara juga agak berbeda dengan Sara yang dulu. Sara sekarang lebih tua dan sepertinya sudah tidak tertartik lagi dengan kosmetik atau alat kecantikan lainnya.

            Luke menghela nafas dalam-dalam. Di luar sana terdengar bunyi petir yang tidak terlalu besar. Sepertinya hujan sebentar lagi akan turun. Tumben sekali. Baginya, hujan membawa kedamaian, juga lautan. Luke sangat menyukai hal yang berbau air seperti hujan, laut, kolam dan lainnya. Entah mengapa.

            Tiba-tiba Luke menemukan sebuah acara keluarga di TV itu dan menampilkan dua bocah berwajah kembar dan imut. Usia dua bocah itu kira-kira lima tahun. Disana Luke bisa menyaksikan keduanya bermain dengan riang dan seperti tidak ada beban hidup. Luke terdiam sesaat. Kemudian ia merasakan sakit di kepalanya. Sakit sekali. Luke tidak pernah merasakan kesakitan ini sebelumnya.

            Rasanya seperti berada di tempat yang gelap dan menyeramkan. Luke merasa takut dan ingin sekali pergi dari tempat itu. Tapi karena gelap dan mengerikan, Luke hanya bisa pasrah. Kemudian Luke mendengar ada sebuah tangisan anak laki-laki yang membuatnya semakin ketakutan. Apa maksud dari semua ini?

            Setelah keadaannya membaik, cepat-cepat Luke mematikan TV itu dan memilih untuk tidur. Aneh. Hanya melihat dua bocah kembar Luke merasa takut. Atau jangan-jangan ia phobia dengan anak kembar?

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar