expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Selasa, 21 Juli 2015

Towers ( Part 4 )



Part 4

.

            Gadis itu melangkahkan kaki secara perlahan dan akhirnya tiba di rumah. Ternyata Theo sudah duluan tiba di rumah dan mengganti pakaiannya. Novela tersenyum melihat Theo yang sedang serius bermain gitar. Adiknya itu sudah mulai menyukai musik dan Novela-lah yang mengajarinya. Kata Theo, ternyata musik itu amat indah.

            “Terus berlatih. Kau semakin pinter saja..” Ucap Novela lalu buru-buru masuk ke dalam sebelum mendapat komentar dari Theo.

            Rumah Novela sangat besar dan bertingkat. Kamarnya ada di lantai atas. Ayahnya bekerja sebagai pengusaha rumah makan yang sukses dan sudah bercabang-cabang, bahkan sampai di luar Kota. Sedangkan Ibunya menjadi dosen kesenian dan juga menyukai musik. Pantas saja bakatnya nurun ke anaknya. Ibu Novela juga menyukai piano.

            “Tadi kamu dicari sama Albert. Mama bilang kamu lagi melihat Theo bermain bola.” Ucap Mia, Ibunda Novela.

            Senyum yang tadi menghiasi wajah Novela seketika itu juga menghilang tatkala Mia menyebut nama ‘Albert’ dengan santai. Albert. Pemuda berusia dua puluh satu tahun yang sudah lama mengejarnya tetapi ia tolak. Sepertinya Albert tidak ingin berputus asa demi meluluhkan hatinya dan menggunakan kesempatan emasnya karena tentu orangtuanya sangat menyukai Albert. Siapa sih yang tidak tertarik dengan Albert? Seorang pemuda tampan yang juga berkuliah di universitas yang sama dengannya tetapi mengambil jurusan berbeda. Albert ingin meneruskan kedudukan sang Ayah yang bekerja sebagai pemimpin perusahaan. Albert mengambil jurusan ekonomi.

            Setiap kali Albert datang ke rumahnya, selalu saja Albert menggodanya dengan senyuman andalannya yang dapat membuat hati siapa saja takluk padanya. Tapi hal ini tidak berlaku bagi Novela. Novela begitu muak dengan senyum yang baginya adalah senyum terburuk yang pernah ia lihat. Novela juga merasa kesal kenapa Ayah dan Ibunya membiarkan Albert berjuang demi mendapatkannya. Apa tidak ada lelaki lain selain Albert?

            “Ma, Vela bosan mendengar Mama menyebut nama Albert. Vela sudah bilang kalau Vela tidak menyukai Albert.” Ucap Novela.

            “Tapi kamu cocok jika dipasangkan sama Albert. Albert ganteng, kaya, pintar, dan berbakat. Sementara kamu, cantik, kaya, pintar, dan berbakat pula, sama seperti Albert. Bagi Mama, Albert adalah calon menantu yang sempurna.” Ucap Mia.

            Ingin saja air mata Novela tumpah. Albert. Mengapa ia begitu membenci nama itu meski selama ini Albert selalu berbuat baik padanya dan sama sekali tidak pernah berbuat jahat padanya? Oke. Novela akui Albert adalah sesosok pemuda yang sempurna. Bertubuh tegap dan tinggi. Albert baik, pintar dan masa depannya jelas. Tapi kenapa Novela sangat membenci Albert?

            “Bisa tidak sih Mama mengerti perasaan Vela? Kalau Mama ada di posisi Vela, tentu Mama akan merasa sakit.” Ucap Novela kesal.

            Mia menatap Novela dengan tajam. “Apa karena pemuda itu?” Tanyanya.

            “Hah?” Ucap Novela tidak mengerti, namun perasaannya tidak enak.

            “Tristan. Siapa lagi kalau bukan Tristan.” Ucap Mia.

***

            Mungkin Luke memang harus mendengarkan suara Sara dan akhirnya ia kembali tinggal bersama wanita itu untuk beberapa hari karena jadwalnya padat. Luke diberi day-off selama lima hari dan Luke merasa bebas. Namun sayangnya ia harus berhadapan dengan Sara dan Luke merasa dirinya tidak bebas. Sara. Tapi Luke penasaran dengan wanita itu, dan ucapan terakhir yang Sara katakana padanya.

            Dirinya yang sebenarnya? Memangnya siapa dirinya yang sebenarnya? Dia adalah Luke. Luke Flemmings. Luke tidak perlu banyak tau tentang dirinya. Ia cukup bahagia dengan takdirnya yang sekarang. Menjadi seorang penyanyi dan banyak diidolakan oleh para gadis. Luke cukup senang dengan kehidupannya itu.

            Rumah Sara tidak berubah, sama seperti dulu. Luke masuk ke dalam rumah megah yang sepi itu. Tidak ada siapa-siapa disini. Entahlah kemana Bibi Margaret pergi. Tapi Luke ingin sekali bertemu dengannya untuk sekedar mengucapkan kata terimakasih karena sudah merawatnya hingga ia tau siapa jati dirinya.

            “Kamarmu ada di lantai atas. Sama persis dengan kamar lamamu.” Ucap Sara.

            Isi kopernya tidak terlalu banyak. Ada beberapa baju dan celana kesayangannya yang ia masukkan ke dalam koper. Sementara barang-barang lainnya ia tinggalkan di apartemennya. Tetapi Luke tetap membawa gitarnya kemanapun ia pergi dan itu sudah menjadi kebiasaannya.

            “Mama senang kamu bisa tinggal disini selama lima hari.” Ucap Sara.

            Lima hari, ya. Lima hari yang bagaikan lima tahun lamanya. Luke menelan ludahnya. Baginya, lima hari bukanlah waktu yang singkat. Lima hari bukanlah lima detik yang cepat berlalu. Luke merutuki dirinya sendiri. Kenapa ia bisa kembali tinggal bersama Sara padahal ia sudah bahagia menemukan hidupnya?

            Kata Tami ya jalani saja. Kalau Sara berani macam-macam padanya atau membawa teman laki-lakinya ya tinggal lapor polisi saja apa susahnya. Tapi Luke yakin Sara tidak akan melakukan hal yang tidak sewajarnya. Sara adalah wanita baik-baik walau Luke tidak tau apa pekerjaan wanita itu dan bagaimana kehidupan wanita itu.

            “Kamu ke kamar saja. Besok baru kita berbincang-bincang.” Ucap Sara.

            Memangnya siapa yang mau berbincang-bincang dengan Sara?

***

            Tristan terbangun dari mimpi buruknya. Keringat dingin bercucuran membasahi wajahnya. Cepat-cepat Tristan duduk dan mengatur nafasnya. Kemudian Tristan menyilakan poni miring yang hampir menutupi seluruh dahinya. Mimpi buruk. Namun seakan-akan mimpi itu mengandung sebuah arti. Tristan ingat betul bagaimana mimpinya dan perkataan seseorang yang asing dalam mimpinya itu.

            Salah satu diantara kalian harus mati. Kau harus memilih: mengorbankan dirimu atau mengorbankan dirinya’.

             Maksud dari mimpinya itu apa? Mengorbankan apa? Yang dimaksud ‘kalian’ dan ‘dirinya’ dalam mimpi itu siapa? Mendadak kepalanya menjadi pusing. Sudah mendapatkan hidup yang menyedihkan, kini didatangkan sebuah mimpi buruk yang misterius.

            “Tumben kak Tris terlambat bangun. Biasanya kak Tris yang membangunkan Ashley.” Ucap Ashley.

            Tristan tersenyum lemah melihat Ashley dan Ibunya yang sedang sarapan seadanya. Nafsu makannya tidak ada untuk pagi ini dan rasanya Tristan tidak perlu sarapan. Tristan melihat adiknya yang sudah rapi dengan seragam sekolahnya.

            “Wajah kak Tristan kacau sekali. Percuma Mama menaruh cermin disana.” Ucap Ahlsey.

            Langsung saja Tristan menatap tajam ke arah Ashley sementara Ashley cepat-cepat menunduk. Ashley yakin ada perkataannya yang salah dan membuat Tristan menciptakan tatapan mengerikan seperti itu.

            “Cermin itu sudah aku jual dan laku. Aku sudah tidak membutuhkan cermin lagi.” Ucap Tristan.

            Liza yang sedaritadi diam akhirnya angkat bicara. “Kau masih belum berubah. Mama bisa merasakan kesedihan yang kau alami semenjak dia meninggalkan kita. Kamu bisa saja tidak sedih, tetapi Mama dan Ashley? Asal kamu tau, setiap hari kami melihatmu dan itu cukup membuat kami sedih.” Ucapnya.

            Tristan terdiam mendengar ucapan Liza. Selama ini ia tidak pernah memikirkan perasaan Liza dan Ashley. Selama ini Tristan selalu egois dan tidak mau tau perasaan orang lain. Dan mengapa ia jadi membicarakan dia yang tidak lain adalah saudaranya yang sudah lama meninggalkannya? Kenapa?

            “Kita kan sudah janji untuk tidak membahas soal ini. Ashley sudah melupakan masa lalu itu.” Ucap Ashley.

            “Kau yang mencari gara-gara! Kenapa kau berani menyebut benda kebencianku dihadapanku?” Tanya Tristan sedikit emosi.

            “Sudah-sudah. Tris ayo sarapan, nanti rotinya keburu dingin.” Ucap Liza menengahi.

            Ada satu buah roti bakar yang tersisa di piring itu. Tristan menatap roti itu dengan nanar. Nafsu makannya belum juga muncul. Bukannya tadi ia memutuskan untuk tidak sarapan? Tristan ingin menenangkan diri dan berusaha menebak mimpi yang ia alami tadi. Mimpi yang mengawali harinya dengan kekacauan sampai ia berani marah dengan adik kesayangannya.

            “Tristan sarapan di luar.” Ucap Tristan lalu pergi meninggalkan Liza dan Ashley.

            Sementara itu Liza dan Asley saling tatap menatap. Kemudian Ashley bangkit lalu mencium punggung tangan Ibunya. Sarapan untuk hari ini sudah cukup dan Ashley tidak ingin terlambat sekolah.

            “Hati-hati di jalan..” Lirih Liza.

***

            Seperti biasa. Lima menit sebelum bel berbunyi, Ashley menyempatkan diri membaca buku pelajaran pertama, yaitu Kimia, salah satu pelajaran yang sangat dibenci oleh teman-temannya. Tetapi Ashley sangat menyukai Kimia. Semua pelajaran ia sukai tanpa terkecuali. Namun hari ini agak berbeda. Di mulai dari keributan si cantik Eleanor yang entahlah di belakang sedang meributkan apa.

            Morning Ash!!!” Sapa Vee yang adalah teman dekat Ashley.

            “Yap morning too!” Balas Ashley.

            Sepertinya Vee tau penyebab keributan di belakang tetapi Vee sama sekali tidak tertartik. Dan sekarang Eleanor dan yang lainnya sedang memperebutkan sesuatu. Vee berusaha menahan tawanya melihat reaksi teman-temannya itu yang menurutnya aneh.

            “Ahhh mereka ribut sekali! Kenapa sih?” Gerutu Ashley lalu menutup buku kimianya dan menoleh ke belakang.

            “Hei itu Luke-ku! Itu Luke-ku!” Teriak beberapa diantara mereka.

            Ashley tidak sempat mencermati kalimat yang diucapkan mereka karena saking ributnya. Kemudian Ashley berjalan menuju kerumunan yang terdiri dari tujuh orang. Ya, mereka adalah geng Eleanor. Ashley sendiri tidak terlalu akrab dengan Eleanor karena dirinya tidak seperti Eleanor yang modis, cantik dan kaya.

            Ternyata Eleanor dan lainnya sedang memperebutkan sebuah lembaran yang sepertinya adalah robekan dari majalah. Gambarnya sih tidak jelas tetapi Ashley dapat menyimpulkan bahwa gambar di kertas itu sangat berharga bagi Eleanor dan gengnya. Ashley sudah dekat dengan mereka dan sepertinya dewi fortuna berpihak dengannya. Lembaran malang itu jatuh tepat dihadapannya sementara Eleanor dan lainnya sibuk berebutan dan marah-marahan. Ashley tersenyum lalu cepat-cepat memasukkan lembaran itu ke dalam buku kimianya dan kembali ke mejanya.

            “Kau mengambilnya?” Tanya Vee heran.

            “Yap. Aku kesal dengan mereka.” Jawab Ashley.

            Vee menggeleng-gelengkan kepala. Ternyata Ashley jahil juga. Tapi Vee heran mengapa bisa-bisanya Ashley merebut lembaran berharga yang diperebutkan Eleanor dan kawan-kawan. Sejatinya, Vee tau apa isi di lembaran itu.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar