Part 4
.
Gadis itu melangkahkan kaki secara
perlahan dan akhirnya tiba di rumah. Ternyata Theo sudah duluan tiba di rumah
dan mengganti pakaiannya. Novela tersenyum melihat Theo yang sedang serius
bermain gitar. Adiknya itu sudah mulai menyukai musik dan Novela-lah yang
mengajarinya. Kata Theo, ternyata musik itu amat indah.
“Terus berlatih. Kau semakin pinter
saja..” Ucap Novela lalu buru-buru masuk ke dalam sebelum mendapat komentar
dari Theo.
Rumah Novela sangat besar dan
bertingkat. Kamarnya ada di lantai atas. Ayahnya bekerja sebagai pengusaha
rumah makan yang sukses dan sudah bercabang-cabang, bahkan sampai di luar Kota.
Sedangkan Ibunya menjadi dosen kesenian dan juga menyukai musik. Pantas saja
bakatnya nurun ke anaknya. Ibu Novela juga menyukai piano.
“Tadi kamu dicari sama Albert. Mama
bilang kamu lagi melihat Theo bermain bola.” Ucap Mia, Ibunda Novela.
Senyum yang tadi menghiasi wajah
Novela seketika itu juga menghilang tatkala Mia menyebut nama ‘Albert’ dengan
santai. Albert. Pemuda berusia dua puluh satu tahun yang sudah lama mengejarnya
tetapi ia tolak. Sepertinya Albert tidak ingin berputus asa demi meluluhkan
hatinya dan menggunakan kesempatan emasnya karena tentu orangtuanya sangat
menyukai Albert. Siapa sih yang tidak tertarik dengan Albert? Seorang pemuda
tampan yang juga berkuliah di universitas yang sama dengannya tetapi mengambil
jurusan berbeda. Albert ingin meneruskan kedudukan sang Ayah yang bekerja
sebagai pemimpin perusahaan. Albert mengambil jurusan ekonomi.
Setiap kali Albert datang ke
rumahnya, selalu saja Albert menggodanya dengan senyuman andalannya yang dapat
membuat hati siapa saja takluk padanya. Tapi hal ini tidak berlaku bagi Novela.
Novela begitu muak dengan senyum yang baginya adalah senyum terburuk yang pernah
ia lihat. Novela juga merasa kesal kenapa Ayah dan Ibunya membiarkan Albert
berjuang demi mendapatkannya. Apa tidak ada lelaki lain selain Albert?
“Ma, Vela bosan mendengar Mama
menyebut nama Albert. Vela sudah bilang kalau Vela tidak menyukai Albert.” Ucap
Novela.
“Tapi kamu cocok jika dipasangkan
sama Albert. Albert ganteng, kaya, pintar, dan berbakat. Sementara kamu,
cantik, kaya, pintar, dan berbakat pula, sama seperti Albert. Bagi Mama, Albert
adalah calon menantu yang sempurna.” Ucap Mia.
Ingin saja air mata Novela tumpah.
Albert. Mengapa ia begitu membenci nama itu meski selama ini Albert selalu
berbuat baik padanya dan sama sekali tidak pernah berbuat jahat padanya? Oke.
Novela akui Albert adalah sesosok pemuda yang sempurna. Bertubuh tegap dan
tinggi. Albert baik, pintar dan masa depannya jelas. Tapi kenapa Novela sangat
membenci Albert?
“Bisa tidak sih Mama mengerti
perasaan Vela? Kalau Mama ada di posisi Vela, tentu Mama akan merasa sakit.”
Ucap Novela kesal.
Mia menatap Novela dengan tajam.
“Apa karena pemuda itu?” Tanyanya.
“Hah?” Ucap Novela tidak mengerti,
namun perasaannya tidak enak.
“Tristan. Siapa lagi kalau bukan
Tristan.” Ucap Mia.
***
Mungkin Luke memang harus
mendengarkan suara Sara dan akhirnya ia kembali tinggal bersama wanita itu
untuk beberapa hari karena jadwalnya padat. Luke diberi day-off selama lima hari dan Luke merasa bebas. Namun sayangnya ia
harus berhadapan dengan Sara dan Luke merasa dirinya tidak bebas. Sara. Tapi
Luke penasaran dengan wanita itu, dan ucapan terakhir yang Sara katakana
padanya.
Dirinya yang sebenarnya? Memangnya
siapa dirinya yang sebenarnya? Dia adalah Luke. Luke Flemmings. Luke tidak
perlu banyak tau tentang dirinya. Ia cukup bahagia dengan takdirnya yang
sekarang. Menjadi seorang penyanyi dan banyak diidolakan oleh para gadis. Luke
cukup senang dengan kehidupannya itu.
Rumah Sara tidak berubah, sama
seperti dulu. Luke masuk ke dalam rumah megah yang sepi itu. Tidak ada
siapa-siapa disini. Entahlah kemana Bibi Margaret pergi. Tapi Luke ingin sekali
bertemu dengannya untuk sekedar mengucapkan kata terimakasih karena sudah
merawatnya hingga ia tau siapa jati dirinya.
“Kamarmu ada di lantai atas. Sama
persis dengan kamar lamamu.” Ucap Sara.
Isi kopernya tidak terlalu banyak.
Ada beberapa baju dan celana kesayangannya yang ia masukkan ke dalam koper.
Sementara barang-barang lainnya ia tinggalkan di apartemennya. Tetapi Luke
tetap membawa gitarnya kemanapun ia pergi dan itu sudah menjadi kebiasaannya.
“Mama senang kamu bisa tinggal
disini selama lima hari.” Ucap Sara.
Lima hari, ya. Lima hari yang
bagaikan lima tahun lamanya. Luke menelan ludahnya. Baginya, lima hari bukanlah
waktu yang singkat. Lima hari bukanlah lima detik yang cepat berlalu. Luke
merutuki dirinya sendiri. Kenapa ia bisa kembali tinggal bersama Sara padahal
ia sudah bahagia menemukan hidupnya?
Kata Tami ya jalani saja. Kalau Sara
berani macam-macam padanya atau membawa teman laki-lakinya ya tinggal lapor
polisi saja apa susahnya. Tapi Luke yakin Sara tidak akan melakukan hal yang
tidak sewajarnya. Sara adalah wanita baik-baik walau Luke tidak tau apa
pekerjaan wanita itu dan bagaimana kehidupan wanita itu.
“Kamu ke kamar saja. Besok baru kita
berbincang-bincang.” Ucap Sara.
Memangnya siapa yang mau
berbincang-bincang dengan Sara?
***
Tristan terbangun dari mimpi
buruknya. Keringat dingin bercucuran membasahi wajahnya. Cepat-cepat Tristan
duduk dan mengatur nafasnya. Kemudian Tristan menyilakan poni miring yang
hampir menutupi seluruh dahinya. Mimpi buruk. Namun seakan-akan mimpi itu
mengandung sebuah arti. Tristan ingat betul bagaimana mimpinya dan perkataan
seseorang yang asing dalam mimpinya itu.
‘Salah
satu diantara kalian harus mati. Kau harus memilih: mengorbankan dirimu atau
mengorbankan dirinya’.
Maksud dari mimpinya itu apa? Mengorbankan
apa? Yang dimaksud ‘kalian’ dan ‘dirinya’ dalam mimpi itu siapa? Mendadak
kepalanya menjadi pusing. Sudah mendapatkan hidup yang menyedihkan, kini
didatangkan sebuah mimpi buruk yang misterius.
“Tumben kak Tris terlambat bangun.
Biasanya kak Tris yang membangunkan Ashley.” Ucap Ashley.
Tristan tersenyum lemah melihat
Ashley dan Ibunya yang sedang sarapan seadanya. Nafsu makannya tidak ada untuk
pagi ini dan rasanya Tristan tidak perlu sarapan. Tristan melihat adiknya yang
sudah rapi dengan seragam sekolahnya.
“Wajah kak Tristan kacau sekali.
Percuma Mama menaruh cermin disana.” Ucap Ahlsey.
Langsung saja Tristan menatap tajam
ke arah Ashley sementara Ashley cepat-cepat menunduk. Ashley yakin ada
perkataannya yang salah dan membuat Tristan menciptakan tatapan mengerikan
seperti itu.
“Cermin itu sudah aku jual dan laku.
Aku sudah tidak membutuhkan cermin lagi.” Ucap Tristan.
Liza yang sedaritadi diam akhirnya
angkat bicara. “Kau masih belum berubah. Mama bisa merasakan kesedihan yang kau
alami semenjak dia meninggalkan kita. Kamu bisa saja tidak sedih, tetapi Mama
dan Ashley? Asal kamu tau, setiap hari kami melihatmu dan itu cukup membuat
kami sedih.” Ucapnya.
Tristan terdiam mendengar ucapan
Liza. Selama ini ia tidak pernah memikirkan perasaan Liza dan Ashley. Selama
ini Tristan selalu egois dan tidak mau tau perasaan orang lain. Dan mengapa ia
jadi membicarakan dia yang tidak lain adalah saudaranya yang sudah lama
meninggalkannya? Kenapa?
“Kita kan sudah janji untuk tidak
membahas soal ini. Ashley sudah melupakan masa lalu itu.” Ucap Ashley.
“Kau yang mencari gara-gara! Kenapa
kau berani menyebut benda kebencianku dihadapanku?” Tanya Tristan sedikit
emosi.
“Sudah-sudah. Tris ayo sarapan,
nanti rotinya keburu dingin.” Ucap Liza menengahi.
Ada satu buah roti bakar yang
tersisa di piring itu. Tristan menatap roti itu dengan nanar. Nafsu makannya
belum juga muncul. Bukannya tadi ia memutuskan untuk tidak sarapan? Tristan
ingin menenangkan diri dan berusaha menebak mimpi yang ia alami tadi. Mimpi
yang mengawali harinya dengan kekacauan sampai ia berani marah dengan adik
kesayangannya.
“Tristan sarapan di luar.” Ucap
Tristan lalu pergi meninggalkan Liza dan Ashley.
Sementara itu Liza dan Asley saling
tatap menatap. Kemudian Ashley bangkit lalu mencium punggung tangan Ibunya.
Sarapan untuk hari ini sudah cukup dan Ashley tidak ingin terlambat sekolah.
“Hati-hati di jalan..” Lirih Liza.
***
Seperti biasa. Lima menit sebelum
bel berbunyi, Ashley menyempatkan diri membaca buku pelajaran pertama, yaitu
Kimia, salah satu pelajaran yang sangat dibenci oleh teman-temannya. Tetapi
Ashley sangat menyukai Kimia. Semua pelajaran ia sukai tanpa terkecuali. Namun
hari ini agak berbeda. Di mulai dari keributan si cantik Eleanor yang entahlah
di belakang sedang meributkan apa.
“Morning
Ash!!!” Sapa Vee yang adalah teman dekat Ashley.
“Yap morning too!” Balas Ashley.
Sepertinya Vee tau penyebab
keributan di belakang tetapi Vee sama sekali tidak tertartik. Dan sekarang
Eleanor dan yang lainnya sedang memperebutkan sesuatu. Vee berusaha menahan
tawanya melihat reaksi teman-temannya itu yang menurutnya aneh.
“Ahhh mereka ribut sekali! Kenapa
sih?” Gerutu Ashley lalu menutup buku kimianya dan menoleh ke belakang.
“Hei itu Luke-ku! Itu Luke-ku!”
Teriak beberapa diantara mereka.
Ashley tidak sempat mencermati
kalimat yang diucapkan mereka karena saking ributnya. Kemudian Ashley berjalan
menuju kerumunan yang terdiri dari tujuh orang. Ya, mereka adalah geng Eleanor.
Ashley sendiri tidak terlalu akrab dengan Eleanor karena dirinya tidak seperti
Eleanor yang modis, cantik dan kaya.
Ternyata Eleanor dan lainnya sedang
memperebutkan sebuah lembaran yang sepertinya adalah robekan dari majalah.
Gambarnya sih tidak jelas tetapi Ashley dapat menyimpulkan bahwa gambar di
kertas itu sangat berharga bagi Eleanor dan gengnya. Ashley sudah dekat dengan
mereka dan sepertinya dewi fortuna berpihak dengannya. Lembaran malang itu
jatuh tepat dihadapannya sementara Eleanor dan lainnya sibuk berebutan dan
marah-marahan. Ashley tersenyum lalu cepat-cepat memasukkan lembaran itu ke
dalam buku kimianya dan kembali ke mejanya.
“Kau mengambilnya?” Tanya Vee heran.
“Yap. Aku kesal dengan mereka.”
Jawab Ashley.
Vee menggeleng-gelengkan kepala.
Ternyata Ashley jahil juga. Tapi Vee heran mengapa bisa-bisanya Ashley merebut
lembaran berharga yang diperebutkan Eleanor dan kawan-kawan. Sejatinya, Vee tau
apa isi di lembaran itu.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar