Part 2
.
Tidak sia-sia Tristan mengikuti
ajakan teman-temannya untuk bermain streetball yang diadakan seminggu tiga
kali. Lumayan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebenarnya Tristan merasa
berdosa karena telah berjudi. Tritsan dan kawan-kawab berhasil memenangkan game
streetball dan mendapatkan uang dari hasil judian tersebut. Artinya, uang yang
ia terima tidaklah halal dan pasti Ibunya akan memarahinya.
Tristan. Seorang pemuda sederhana
yang berusia delapan belas tahun sedang diberi cobaan oleh Tuhan. Cobaan berat
yang juga mengancam keluarganya. Sudah belasan tahun ia hidup merana seperti
ini. Sebenarnya Tristan adalah anak yang pintar dan giat belajar. Hanya saja
karena kondisi keluarga yang miskin membuat Tristan memutuskan berhenti sekolah
dan mencari uang. Entah dengan cara apa. Tristan sama sekali tidak mempunyai
bakat apapun selain olahraga.
Masa lalunya yang kelam yang
membuatnya kehilangan Ayahnya dan saudara laki-lakinya. Kejadian yang
seharusnya sudah ia lupakan namun kembali terngiang dipikirannya. Kira-kira
tiga belas tahun yang lalu. Entah mengapa Tuhan begitu tega memberinya cobaan
seperti ini. Tapi anehnya ia bersama Ibu dan adik perempuannya dapat bertahan
selama tiga belas tahun dan sampai sekarang.
Sampai sekarang ia masih bisa
bertahan dan mencoba untuk tetap tersenyum dan sabar. Ibunya hanyalah penjual
kue di pinggiran jalan dan hasil dari jualan kue itu tentu tidak dapat
mencukupi kebutuhannya, juga adik perempuannya yang bernama Ashley.
Bagaimanapun juga, Ashley harus tetap sekolah karena Tristan rasa Ashley jauh
lebih pintar dibanding dirinya. Di sekolah, Ashley selalu menjadi juara kelas
dan banyak disukai teman dan guru.
Dan yang paling Tristan banggakan
dari Ashley, adiknya itu diberi beasiswa oleh sekolah dan belajar gratis disana
asalkan nilai Ashley tidak boleh hancur atau turun. Tentu itu hal yang sangat
mudah bagi seorang gadis berusia lima belas tahun. Jika saja Tristan berada di
posisi adiknya itu, tentu Tristan tidak akan kuat.
Mungkin memang inilah jalan
takdirnya. Mencari uang dengan cara melakukan apapun asalkan halal walau
terkadang uang yang ia dapatkan tidak lain adalah hasil judi. Tristan sadar
yang sudah ia lakukan salah. Tapi mau bagaimana lagi? Memangnya mencari uang
itu mudah? Mungkin bagi orang-orang berpendidikan yang mempunyai perusahaan
besar mengatakan bahwa mencari uang sangatlah mudah. Hanya duduk di ruang
ber-AC dan setiap bulannya mendapat gaji yang banyak.
Seandainya Ayah masih ada, mungkin
hidupnya tidak akan seperti ini. Ayahnya adalah seorang pedagang yang sukses.
Sayangnya, kejadian menyedihkan itu yang menghapus semua kebahagiaannya.
Itulah mengapa Tristan sangat
membenci api walau ia mengaku tidak akan bisa hidup tanpa api. Api-lah yang
menghancurkan segalanya walau Tristan sendiri tidak tau penyebab api itu
datang. Setaunya, tiba-tiba saja rumahnya terbakar dan Tristan menangis
menyadari Ayah dan saudara laki-lakinya hangus dimakan api itu. Rumahnya
bersih, tidak ada sisa apa-apa dan Ibunya tidak tau dimana harus tinggal.
Untunglah ada bibinya yang
memberinya tempat tinggal yang letaknya terpencil dan jauh dari Kota. Sebuah
rumah yang lebih cocok dihuni oleh hewan-hewan ternak. Namun Tristan, Ibunya,
bahkan Ashley tidak bisa menolak rezeki. Setidaknya ada rumah yang bisa melindungi
mereka dari sinar matahari dan hujan. Untungnya sekarang rumah itu sudah
direnovasi dan terlihat lebih baik dibanding sejak awal ia melihat rumah itu.
Tetangganya ada yang merasa simpati
padanya, ada juga yang terlihat cuek dan jijik dengan keluarganya. Ada juga
yang mengatakan bahwa Ibunya menjual kue yang sudah kadaluarsa dan beracun.
Tentu saja Tristan merasa sakit hati. Tapi tetap saja Tristan bersabar.
Mengapa sampai detik ini ia masih
bisa bersabar dan tersenyum? Karena itu adalah nasehat saudaranya yang sudah
lama meninggalkannya. Katanya, ia tidak boleh marah dan kesal tatkala sedang
dilanda musibah atau diejek orang. Tersenyumlah dan biarkan mereka
menertawakannya. Itulah kalimat yang paling diingat Tristan dan Tristan tidak
akan pernah melupakannya.
Di malam hari yang sebentar lagi
berganti tengah malam, Tristan duduk di pinggir jalan sambil mengelap wajahnya
dengan handuk kecil yang ia kalungkan di leher. Sebenarnya jika diperhatikan
baik-baik, Tristan amatlah menawan. Tristan cukup manis dengan tubuh yang
tinggi. Senyumnya dapat membuat siapapun menyukainya. Ditambah lagi lesung
pipit yang sering muncul di pipi kanannya tatkala Tristan sedang bicara atau
tersenyum. Mungkin selama ini Tristan tidak pernah menyadari bagaimana dirinya
dan apa yang membuat orang tertartik padanya. Selama ini Tristan selalu
bersikap cuek dan terlalu stress memikirkan hidupnya.
“Tris, kau suka kan dengan ajakanku
tadi?” Tanya Brandon.
Seharusnya Tristan bersyukur pada
Tuhan karena Tuhan mengirimkannya sahabat-sahabatnya yang selalu ada untuknya
dan tidak pernah mengkhianatinya. Sahabat yang selalu ada dalam suka maupun
duka. Brandon-lah yang paling dekat dengannya. Walau menurut Tristan Brandon
adalah pemuda yang tidak baik, tapi Brandon sama sekali tidak pernah
mengkhianati persahabatan mereka.
“Iya. Sudah lama aku tidak bermain
streetball dan rasanya hidupku menjadi berwarna.” Jawab Tristan.
Brandon tersenyum lalu duduk di
dekat Tristan kemudian menepuk pelan bahu Tristan. “Makan yang banyak. Tubuhmu
semakin hari semakin kurus. Jalani aja hidup ini dengan santai. Kalaupun uangmu
habis, ada aku dan aku bisa membantumu.” Ucapnya.
Benar apa kata Brandon.
Belakang-belakangan ini Tristan jarang makan dan tubuhnya semakin kurus.
Tristan juga sering kena penyakit tetapi Tristan cuek aja. Tristan tidak ingin
membuat khawatir Ibu dan adiknya.
“Aku tau kau anak baik, tidak
seperti aku dan lainnya. Kau tidak suka clubbing,
kau tidak suka merokok, dan kau tidak berani memakai tattoo atau bertindik.
Tapi aku tidak menganggapmu sebagai lelaki yang lemah. Justru keputusanmu aku
dukung.” Ucap Brandon.
Ia dan Brandon memang berbeda. Walau
sama-sama berusia delapan belas tahun dan sudah memasuki legal age, tapi Tristan tidak ingin terjerumus oleh pergaulan yang salah.
Boleh saja ia bergaul dengan Brandon dan anak lainnya, tapi Tristan tidak akan
terpengaruh. Boleh saja Tristan melihat Brandon mabuk berkali-kali atau membuat
tattoo baru yang mengerikan, tetapi Tristan enggan melakukan semua itu karena
ia memiliki pendirian yang tidak akan mudah goyah.
“Terimakasih. You’re my best friend.” Ucap Tristan sambil menepuk bahu kokoh
Brandon kemudian berdiri. Tristan tidak ingin lama-lama berada di tempat ini
karena takut membuat Ibunya khawatir.
Tristan berjalan pulang menuju
rumahnya dan melihat keadaan rumahnya yang gelap dan sedikit mengerikan. Beda
dengan rumah lainnya yang lebih bagus dan menyala terang. Pemuda itu masuk ke
dalam rumah dan mendapati Ibunya yang sedang merajut sweater.
“Ada pesanan bu?” Tanya Tristan
sambil duduk di kursi tua yang busanya sudah hampir hilang.
Tentu saja Ibunya yang bernama Liza
kaget akan kedatangan Tristan. Kemudian Ibunya tersenyum dan melihat keringat
yang masih tersisa di wajah Tristan, di tambah lagi wajah Tristan yang agak
pucat karena kelelahan. Jujur, Liza tidak ingin memambah beban anak laki-laki
satu-satunya. Setiap kali melihat wajah Tristan, hati Liza menjadi pedih. Tentu
ia tidak ingin kehilangan Tristan. Tidak ingin.
“Iya. Sekarang Mama suka merajut dan
banyak yang memesan pesanan Mama. Hitung-hitung menambah uang.” Jawab Liza.
Tristan tersenyum sedih. “Ma,
Tristan anaknya tidak benar ya?” Tanyanya.
Liza langsung menghentikan
pekerjaannya dan berpikir. “Tidak. Kamu adalah anak Mama yang sangat hebat.”
Jawabnya.
“Tapi Tristan tidak seperti Ashley.
Ashley pintar dan cita-citanya sudah jelas. Sementara aku? Kerjaanku tidak
jelas dan terkadang aku kelewatan batas.” Ucap Tristan.
Liza tersenyum. “Lakukan apa yang
kau inginkan asalkan itu baik. Mama yakin sekali apa yang telah kau lakukan
tadi sehingga membuatmu pulang selarut ini adalah hal baik yang membuatmu
semangat.” Ucapnya.
Begitulah Ibunya. Terlalu
menyayanginya dan menganggap semua yang dilakukannya adalah benar. Tristan tau
betul bagaimana perasaan Ibunya. Dulu sekali ketika selesai tragedy menyedihkan
itu, Ibunya bersumpah untuk menjaganya dan tidak ingin kejadian dulu terulang
lagi. Liza tidak ingin membuatnya kesal sehingga ia melakukan hal-hal buruk.
“Mama masih kangen dia?” Tanya
Tristan.
Tentu Liza tau siapa ‘dia’ yang
dimaksud Tristan. Siapa lagi kalau bukan saudaranya yang sudah lama mati
dimakan api? Setelah kejadian itu, mereka sepakat berjanji untuk tidak menyebut
nama itu dan menggantinya menjadi ‘dia’, sama persisi seperti apa yang dikatakan
Tristan barusan.
“Dia sudah bahagia di alam sana.
Mama yakin sekali. Kau tidak perlu membahasnya lagi.” Ucap Liza.
“Tapi aku merasa dia masih ada. Aku
bisa merasakannya.” Ucap Tristan.
“Sudahlah. Sebaiknya kamu tidur
saja. Ashley sudah terlelap sejak tadi.” Ucap Liza.
Tristan sudah tidak bisa berkata
apa-apa lagi. Jika boleh meminta, Tristan ingin saudaranya ada disini sehingga
ia tidak merasa kesepian. Tristan sangat mengharapkan kedatangannya walau
rasanya mustahil. Kemudian Tristan mengeluarkan sesuatu dari saku celananya
yang tidak lain adalah uang hasil streetball tadi.
“Ini uang Tristan. Mama boleh
menyimpannya.” Ucap Tristan lalu masuk ke dalam kamarnya.
Liza tersenyum nanar menatap uang
yang baru saja diberikan Tristan. Entah uang hasil apa. Tapi Liza percaya pada
Tristan bahwa uang itu bukan uang yang haram dan Tristan mendapatkannya secara
halal.
***
Hidup ini memang tidak mudah. Tidak
selama-lamanya kita merasa bahagia dan tidak mendapatkan sebuah tantangan. Tapi
selama hidupnya ini, Tristan sama sekali tidak pernah merasakan kebahagiaan.
Bahkan sedikitpun. Mungkin ia pernah merasa bahagia tetapi rasa bahagia itu
tiba-tiba sirna tatkala teringat dengan kehidupannya yang menyedihkan.
Selama ini Tristan kebanyakan
mengeluh pada Tuhan. Tristan sudah merasa lelah dengan hidup seperti ini.
Tristan ingin menjadi seperti anak-anak lainnya yang duduk semangat di
universitas. Sedangkan ia? Lulus SMA pun tidak! Padahal Tristan ingin sekali
merasakan bagaimana kuliah itu dan bisa lulus dengan nilai yang memuaskan.
Walau begitu, Tristan memiliki
cita-cita yang mulia. Yaitu menjadi dokter, entah dokter apa. Tapi sayangnya
cita-citanya kandas di tengah jalan. Namun sekali lagi, Tristan tetap bersabar
dan selalu tersenyum karena Tristan tidak ingin menyakiti hati saudaranya.
Pasti ada cahaya yang terang, yang menyelamatkannya dan keluarganya, suatu hari
nanti.
Malam semakin larut dan Tristan
belum juga tidur karena sedang banyak pikiran. Seharusnya ia tidak sestres ini
dan menjalani hidup dengan santai. Tristan masih mempunyai seorang Ibu dan adik
perempuan yang sangat menyayanginya. Setidaknya ia masih memiliki seseorang
yang bisa diajak untuk berbagi.
Ya, setidaknya ia masih memiliki Ibu
dan saudara perempuan.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar