expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Selasa, 21 Juli 2015

Towers ( Part 2 )



Part 2

.

            Tidak sia-sia Tristan mengikuti ajakan teman-temannya untuk bermain streetball yang diadakan seminggu tiga kali. Lumayan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebenarnya Tristan merasa berdosa karena telah berjudi. Tritsan dan kawan-kawab berhasil memenangkan game streetball dan mendapatkan uang dari hasil judian tersebut. Artinya, uang yang ia terima tidaklah halal dan pasti Ibunya akan memarahinya.

            Tristan. Seorang pemuda sederhana yang berusia delapan belas tahun sedang diberi cobaan oleh Tuhan. Cobaan berat yang juga mengancam keluarganya. Sudah belasan tahun ia hidup merana seperti ini. Sebenarnya Tristan adalah anak yang pintar dan giat belajar. Hanya saja karena kondisi keluarga yang miskin membuat Tristan memutuskan berhenti sekolah dan mencari uang. Entah dengan cara apa. Tristan sama sekali tidak mempunyai bakat apapun selain olahraga.

            Masa lalunya yang kelam yang membuatnya kehilangan Ayahnya dan saudara laki-lakinya. Kejadian yang seharusnya sudah ia lupakan namun kembali terngiang dipikirannya. Kira-kira tiga belas tahun yang lalu. Entah mengapa Tuhan begitu tega memberinya cobaan seperti ini. Tapi anehnya ia bersama Ibu dan adik perempuannya dapat bertahan selama tiga belas tahun dan sampai sekarang.

            Sampai sekarang ia masih bisa bertahan dan mencoba untuk tetap tersenyum dan sabar. Ibunya hanyalah penjual kue di pinggiran jalan dan hasil dari jualan kue itu tentu tidak dapat mencukupi kebutuhannya, juga adik perempuannya yang bernama Ashley. Bagaimanapun juga, Ashley harus tetap sekolah karena Tristan rasa Ashley jauh lebih pintar dibanding dirinya. Di sekolah, Ashley selalu menjadi juara kelas dan banyak disukai teman dan guru.

            Dan yang paling Tristan banggakan dari Ashley, adiknya itu diberi beasiswa oleh sekolah dan belajar gratis disana asalkan nilai Ashley tidak boleh hancur atau turun. Tentu itu hal yang sangat mudah bagi seorang gadis berusia lima belas tahun. Jika saja Tristan berada di posisi adiknya itu, tentu Tristan tidak akan kuat.

            Mungkin memang inilah jalan takdirnya. Mencari uang dengan cara melakukan apapun asalkan halal walau terkadang uang yang ia dapatkan tidak lain adalah hasil judi. Tristan sadar yang sudah ia lakukan salah. Tapi mau bagaimana lagi? Memangnya mencari uang itu mudah? Mungkin bagi orang-orang berpendidikan yang mempunyai perusahaan besar mengatakan bahwa mencari uang sangatlah mudah. Hanya duduk di ruang ber-AC dan setiap bulannya mendapat gaji yang banyak.

            Seandainya Ayah masih ada, mungkin hidupnya tidak akan seperti ini. Ayahnya adalah seorang pedagang yang sukses. Sayangnya, kejadian menyedihkan itu yang menghapus semua kebahagiaannya.

            Itulah mengapa Tristan sangat membenci api walau ia mengaku tidak akan bisa hidup tanpa api. Api-lah yang menghancurkan segalanya walau Tristan sendiri tidak tau penyebab api itu datang. Setaunya, tiba-tiba saja rumahnya terbakar dan Tristan menangis menyadari Ayah dan saudara laki-lakinya hangus dimakan api itu. Rumahnya bersih, tidak ada sisa apa-apa dan Ibunya tidak tau dimana harus tinggal.

            Untunglah ada bibinya yang memberinya tempat tinggal yang letaknya terpencil dan jauh dari Kota. Sebuah rumah yang lebih cocok dihuni oleh hewan-hewan ternak. Namun Tristan, Ibunya, bahkan Ashley tidak bisa menolak rezeki. Setidaknya ada rumah yang bisa melindungi mereka dari sinar matahari dan hujan. Untungnya sekarang rumah itu sudah direnovasi dan terlihat lebih baik dibanding sejak awal ia melihat rumah itu.

            Tetangganya ada yang merasa simpati padanya, ada juga yang terlihat cuek dan jijik dengan keluarganya. Ada juga yang mengatakan bahwa Ibunya menjual kue yang sudah kadaluarsa dan beracun. Tentu saja Tristan merasa sakit hati. Tapi tetap saja Tristan bersabar.

            Mengapa sampai detik ini ia masih bisa bersabar dan tersenyum? Karena itu adalah nasehat saudaranya yang sudah lama meninggalkannya. Katanya, ia tidak boleh marah dan kesal tatkala sedang dilanda musibah atau diejek orang. Tersenyumlah dan biarkan mereka menertawakannya. Itulah kalimat yang paling diingat Tristan dan Tristan tidak akan pernah melupakannya.

            Di malam hari yang sebentar lagi berganti tengah malam, Tristan duduk di pinggir jalan sambil mengelap wajahnya dengan handuk kecil yang ia kalungkan di leher. Sebenarnya jika diperhatikan baik-baik, Tristan amatlah menawan. Tristan cukup manis dengan tubuh yang tinggi. Senyumnya dapat membuat siapapun menyukainya. Ditambah lagi lesung pipit yang sering muncul di pipi kanannya tatkala Tristan sedang bicara atau tersenyum. Mungkin selama ini Tristan tidak pernah menyadari bagaimana dirinya dan apa yang membuat orang tertartik padanya. Selama ini Tristan selalu bersikap cuek dan terlalu stress memikirkan hidupnya.

            “Tris, kau suka kan dengan ajakanku tadi?” Tanya Brandon.

            Seharusnya Tristan bersyukur pada Tuhan karena Tuhan mengirimkannya sahabat-sahabatnya yang selalu ada untuknya dan tidak pernah mengkhianatinya. Sahabat yang selalu ada dalam suka maupun duka. Brandon-lah yang paling dekat dengannya. Walau menurut Tristan Brandon adalah pemuda yang tidak baik, tapi Brandon sama sekali tidak pernah mengkhianati persahabatan mereka.

            “Iya. Sudah lama aku tidak bermain streetball dan rasanya hidupku menjadi berwarna.” Jawab Tristan.

            Brandon tersenyum lalu duduk di dekat Tristan kemudian menepuk pelan bahu Tristan. “Makan yang banyak. Tubuhmu semakin hari semakin kurus. Jalani aja hidup ini dengan santai. Kalaupun uangmu habis, ada aku dan aku bisa membantumu.” Ucapnya.

            Benar apa kata Brandon. Belakang-belakangan ini Tristan jarang makan dan tubuhnya semakin kurus. Tristan juga sering kena penyakit tetapi Tristan cuek aja. Tristan tidak ingin membuat khawatir Ibu dan adiknya.

            “Aku tau kau anak baik, tidak seperti aku dan lainnya. Kau tidak suka clubbing, kau tidak suka merokok, dan kau tidak berani memakai tattoo atau bertindik. Tapi aku tidak menganggapmu sebagai lelaki yang lemah. Justru keputusanmu aku dukung.” Ucap Brandon.

            Ia dan Brandon memang berbeda. Walau sama-sama berusia delapan belas tahun dan sudah memasuki legal age, tapi Tristan tidak ingin terjerumus oleh pergaulan yang salah. Boleh saja ia bergaul dengan Brandon dan anak lainnya, tapi Tristan tidak akan terpengaruh. Boleh saja Tristan melihat Brandon mabuk berkali-kali atau membuat tattoo baru yang mengerikan, tetapi Tristan enggan melakukan semua itu karena ia memiliki pendirian yang tidak akan mudah goyah.

            “Terimakasih. You’re my best friend.” Ucap Tristan sambil menepuk bahu kokoh Brandon kemudian berdiri. Tristan tidak ingin lama-lama berada di tempat ini karena takut membuat Ibunya khawatir.

            Tristan berjalan pulang menuju rumahnya dan melihat keadaan rumahnya yang gelap dan sedikit mengerikan. Beda dengan rumah lainnya yang lebih bagus dan menyala terang. Pemuda itu masuk ke dalam rumah dan mendapati Ibunya yang sedang merajut sweater.

            “Ada pesanan bu?” Tanya Tristan sambil duduk di kursi tua yang busanya sudah hampir hilang.

            Tentu saja Ibunya yang bernama Liza kaget akan kedatangan Tristan. Kemudian Ibunya tersenyum dan melihat keringat yang masih tersisa di wajah Tristan, di tambah lagi wajah Tristan yang agak pucat karena kelelahan. Jujur, Liza tidak ingin memambah beban anak laki-laki satu-satunya. Setiap kali melihat wajah Tristan, hati Liza menjadi pedih. Tentu ia tidak ingin kehilangan Tristan. Tidak ingin.

            “Iya. Sekarang Mama suka merajut dan banyak yang memesan pesanan Mama. Hitung-hitung menambah uang.” Jawab Liza.

            Tristan tersenyum sedih. “Ma, Tristan anaknya tidak benar ya?” Tanyanya.

            Liza langsung menghentikan pekerjaannya dan berpikir. “Tidak. Kamu adalah anak Mama yang sangat hebat.” Jawabnya.

            “Tapi Tristan tidak seperti Ashley. Ashley pintar dan cita-citanya sudah jelas. Sementara aku? Kerjaanku tidak jelas dan terkadang aku kelewatan batas.” Ucap Tristan.

            Liza tersenyum. “Lakukan apa yang kau inginkan asalkan itu baik. Mama yakin sekali apa yang telah kau lakukan tadi sehingga membuatmu pulang selarut ini adalah hal baik yang membuatmu semangat.” Ucapnya.

            Begitulah Ibunya. Terlalu menyayanginya dan menganggap semua yang dilakukannya adalah benar. Tristan tau betul bagaimana perasaan Ibunya. Dulu sekali ketika selesai tragedy menyedihkan itu, Ibunya bersumpah untuk menjaganya dan tidak ingin kejadian dulu terulang lagi. Liza tidak ingin membuatnya kesal sehingga ia melakukan hal-hal buruk.

            “Mama masih kangen dia?” Tanya Tristan.

            Tentu Liza tau siapa ‘dia’ yang dimaksud Tristan. Siapa lagi kalau bukan saudaranya yang sudah lama mati dimakan api? Setelah kejadian itu, mereka sepakat berjanji untuk tidak menyebut nama itu dan menggantinya menjadi ‘dia’, sama persisi seperti apa yang dikatakan Tristan barusan.

            “Dia sudah bahagia di alam sana. Mama yakin sekali. Kau tidak perlu membahasnya lagi.” Ucap Liza.

            “Tapi aku merasa dia masih ada. Aku bisa merasakannya.” Ucap Tristan.

            “Sudahlah. Sebaiknya kamu tidur saja. Ashley sudah terlelap sejak tadi.” Ucap Liza.

            Tristan sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi. Jika boleh meminta, Tristan ingin saudaranya ada disini sehingga ia tidak merasa kesepian. Tristan sangat mengharapkan kedatangannya walau rasanya mustahil. Kemudian Tristan mengeluarkan sesuatu dari saku celananya yang tidak lain adalah uang hasil streetball tadi.

            “Ini uang Tristan. Mama boleh menyimpannya.” Ucap Tristan lalu masuk ke dalam kamarnya.

            Liza tersenyum nanar menatap uang yang baru saja diberikan Tristan. Entah uang hasil apa. Tapi Liza percaya pada Tristan bahwa uang itu bukan uang yang haram dan Tristan mendapatkannya secara halal.

***

            Hidup ini memang tidak mudah. Tidak selama-lamanya kita merasa bahagia dan tidak mendapatkan sebuah tantangan. Tapi selama hidupnya ini, Tristan sama sekali tidak pernah merasakan kebahagiaan. Bahkan sedikitpun. Mungkin ia pernah merasa bahagia tetapi rasa bahagia itu tiba-tiba sirna tatkala teringat dengan kehidupannya yang menyedihkan.

            Selama ini Tristan kebanyakan mengeluh pada Tuhan. Tristan sudah merasa lelah dengan hidup seperti ini. Tristan ingin menjadi seperti anak-anak lainnya yang duduk semangat di universitas. Sedangkan ia? Lulus SMA pun tidak! Padahal Tristan ingin sekali merasakan bagaimana kuliah itu dan bisa lulus dengan nilai yang memuaskan.

            Walau begitu, Tristan memiliki cita-cita yang mulia. Yaitu menjadi dokter, entah dokter apa. Tapi sayangnya cita-citanya kandas di tengah jalan. Namun sekali lagi, Tristan tetap bersabar dan selalu tersenyum karena Tristan tidak ingin menyakiti hati saudaranya. Pasti ada cahaya yang terang, yang menyelamatkannya dan keluarganya, suatu hari nanti.

            Malam semakin larut dan Tristan belum juga tidur karena sedang banyak pikiran. Seharusnya ia tidak sestres ini dan menjalani hidup dengan santai. Tristan masih mempunyai seorang Ibu dan adik perempuan yang sangat menyayanginya. Setidaknya ia masih memiliki seseorang yang bisa diajak untuk berbagi.

            Ya, setidaknya ia masih memiliki Ibu dan saudara perempuan.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar