expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Senin, 28 Desember 2015

Illusion ( Part 1 )



Dengan langkah kaki yang sedikit berat, ia turun dari mobilnya dan melepaskan earphone yang terpasang lama di telinganya. Ia memperbaiki tas punggungnya dan mencoba terkoneksi dengan keadaan baru. Negara baru, Kota baru, dan rumah baru. Semenjak orangtuanya cerai, ia dan kakak perempuannya memutuskan untuk mengikuti sang Ibu dan sang Ibu menikah lagi dan tinggal di rumah baru yang sedang ia lihat sekarang.

Orangtua yang cerai. Hah! Ia sama sekali tidak merasakan apapun. Bahkan rasa sedih pun tidak. Baginya, ia sudah tidak bisa lagi merasakan apapun. Ia sudah lupa bagaimana perasaan senang, sedih, bingung, kesal, marah dan lain sebagainya. Ya, ia rasa dirinya sudah mati rasa. Rasa itu sudah menghilang dari dalam tubuhnya.

“Calum, hei! Kenapa kau diam saja? Ayo bantu Ayah mengambil barang-barang di bagasi!” Teriak Mali yang adalah kakak perempuan anak laki-laki yang bernama Calum itu.

Teriakan Mali yang terdengar cukup keras tidak berhasil membuat Calum menengok kebelakang. Cowok berusia tujuh belas tahun itu seakan-akan tuli dan tidak bisa mendengar perkataan orang lain. Tadi ia sudah merasakan mati rasa dan sekarang apakah selanjutnya ia akan tuli dan tidak bisa mendengar apapun?

“Biarkan Calum. Dia membutuhkan waktu untuk menyendiri.” Ucap Trisha.

Mali mendengus kesal. Baginya, adiknya itu sangat aneh pasca kejadian itu. Kejadian lima bulan lalu yang hampir saja merengut nyawa adik satu-satunya. Untunglah Calum selamat namun anak itu mengalami amnesia yang cukup parah dan sikapnya berubah 180 derajat. Mali begitu rindu dengan Calum yang dulu. Bahkan dulu ia dan Calum tidak pernah tidak bertengkar hanya karena masalah sepele. Namun sekarang?

Setelah semuanya beres, keluarga itu masuk ke dalam rumah baru yang sangat indah. Rumahnya tidak terlalu mewah namun nyaman di tempati. Calum memasuki rumah itu dan melihat-lihat di sekitarnya. Tampilan rumah yang indah dan berbeda dengan rumah lamanya. Ditambah lagi bau khas bunga Lavender yang unik. Calum menemukan kamarnya yang terletak di dekat ruang tengah. Sebuah kamar berukuran sedang dengan cat dinding yang berwarna cream. Disana sudah dilengkapi kasur, lemari, meja belajar dan ada kamar mandi disana.

Calum meletakkan koper dan tasnya lalu duduk di pinggir kasurnya. Jujur, ia sama sekali tidak merasa kelelahan. Padahal perjalanan dari Inggris menuju Australia membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Berjam-jam duduk di pesawat dan terkadang merasa gelisah jika pesawat goyang-goyang seperti hendak jatuh.

Lalu, apa yang ia rasakan sekarang? Calum merasa dirinya seperti terlahir kembali dengan generasi baru yang berbeda. Calum tidak bisa menebak apa yang diinginkan hatinya bahkan ia tidak mengingat siapa namanya sendiri. Awalnya terasa aneh memang. Terbangun dalam kondisi tidak mengingat siapapun dan seorang wanita cantik bernama Trisha mengaku bahwa dia adalah ibunya, dan Calum percaya saja. Semenjak ia terbangun, Calum merasakan adanya ketidakberesan pada dirinya. Apa itu? Entahlah.

Kedua matanya pun mulai terasa berat dan tanpa memindahkan baju di dalam kopernya ke lemari, Calum sudah tertidur lelap dan berharap saat ia terbangun ia akan kembali mengingat semuanya, dan dirinya akan kembali menjadi dirinya yang sebenarnya.

***

Makan malam yang begitu hangat. Ini pertama kalinya Mali dan Calum makan malam bersama Ayah baru mereka yang bernama Liam. Walau Mali masih menyimpan kesedihan akibat penceraian itu, namun gadis berusia sembilan belas tahun itu mencoba untuk tabah. Ayah tirinya begitu baik dan pengertian, sama seperti Ayah kandungnya.

“Kenapa kau tidak menyantap makan malammu?” Tanya Liam.

Sedaritadi Calum diam saja tanpa ekspresi. Dikatakan berpikir pun tidak. Setelah tidur cukup lama, Calum bangun kemudian mandi dan tersadar waktu sudah menunjukkan makan malam. Artinya malam ini ia akan diserang insomnia. Ya, penyakit itu suka menemaninya hampir di setiap malam dan jika Calum susah tidur, cowok itu senang menatap langit gelap di balik jendela kamarnya.

“Calum?” Tanya Liam sekali lagi.

Calum benar-benar tuli! Akhirnya Liam memutuskan untuk diam sambil menyantap makanannya. Mali yang tau akan hal itu jadi kesal. Apa Calum hanya berpura-pura atau beneran? Tapi tidak mungkin kan Calum tuli? Tadi saat berada di mobil menuju rumah, matanya tidak salah melihat Calum yang sedang mendengarkan lagu lewat earphone, artinya Calum tidak tuli, hanya saja cowok itu tidak peka.

Semua makanan habis kecuali Calum. Cowok itu masih tetap diam dengan sikap anehnya. Lama kelamaan Mali tidak tahan juga. Oke, Cal! Kali ini jangan bohongin aku! Beritahu aku kalau semua sikapmu hanyalah bohongan!

“Calum? Kau baik-baik saja kan? Kau tidak gila kan?” Tanya Mali sedikit kesal.

Baru Calum mengangkat wajahnya dan menatap Mali dengan tatapan yang sulit diartikan. Bukannya menjawab, Calum malah mengangkat bahunya dan kekesalan Mali bertambah kesal. Kemudian gadis itu melirik ke arah Trisha.

“Mali, kita sudah sepakat kan?” Kata Trisha.

Mali terdiam mendengar ucapan Trisha. Ia sudah sepakat untuk tidak menganggu Calum dalam waktu yang dekat ini. Biarkan Calum mencoba untuk menormalkan kembali keadaan dan tidak usah diganggu. Tapi sampai kapan? Sampai kapan Calum seperti ini? Mana Calum yang dulu? Sungguh Mali sangat merindukan sosok Calum yang dulu. Sosok yang ceria, nakal, cerewet, idiot, kelebihan kepedean….

Jika saja kejadian itu tidak terjadi….

***

Sudah seminggu Calum berada di rumah baru itu dan seminggu itulah Calum masih dalam sikap diamnya. Calum lebih banyak menghabiskan diri di kamarnya, entahlah apa yang dia lakukan di dalam kamarnya yang sepi. Calum sama sekali tidak pernah keluar rumah. Tidak. Ia tidak merasa bosan. Rasa bosan sudah kebal dalam tubuhnya. Trisha tetap membiarkan Calum seperti itu dan dengan setia menunggu reaksi Calum. Namun tidak ada perubahan sedikitpun. Calum tetaplah Calum yang sendiri dan berbeda dengan lainnya.

Sebenarnya Trisha ingin menyekolahkan Calum karena Calum sempat berhenti sekolah. Tapi apakah Calum mau sekolah? Bagaimana jika Calum tidak bisa mencerna penjelasan guru? Bukankah hal itu sia-sia? Trisha sudah membicarakan sikap Calum pada kepala sekolah SMA Lubis yang juga teman lamanya, Mrs. Harriet namanya. Mrs. Harriet tentu paham dengan sikap Calum yang memang aneh dan berjanji kalau-kalau Calum sudah mulai sekolah, anak-anak disana tidak akan menganggu Calum.

“Ma, sudah seminggu Calum seperti itu. Apa Mama tidak kasihan dengan Calum?” Tanya Mali.

Trisha menghela nafas panjang. “Mama lebih ingin Calum seperti ini dibanding jika dia normal kembali dia tidak akan sanggup menjalani hidup.” Ucapnya.

Mali terdiam sesaat. “Aku mengerti Ma perasaan Calum. Jika aku berada di posisinya tentu aku juga merasa sakit. Sakit sekali. Tapi mau bagaimana lagi? Tentu kita tidak bisa membiarkan Calum seperti itu.” Ucapnya.

Seandainya kejadian itu tidak terjadi. Seandainya ingatan Calum tidak hilang. Seandainya Calum tidak seperti ini. Mungkin ini yang terbaik. Apa yang dikatakan Mali benar. Mau tidak mau ia harus mengembalikan jiwa Calum yang dulu. Calum harus menjadi seperti dulu meski kenayataannya sakit.

“Tapi bagaimana caranya agar Calum bisa menjadi Calum yang dulu?” Tanya Trisha.

Mali mengangkat bahunya. “Aku juga bingung. Bahkan psikiater juga tidak bisa mengatasi masalah ini. Tapi aku yakin sekali ada sosok yang bisa mengembalikan Calum ke Calum yang dulu.” Ucapnya.

“Siapa?” Tanya Trisha.

“Siapa lagi kalau bukan dirinya sendiri?” Ucap Mali.

***

PRANG !!!!

Dengan sedikit kaget Calum membersihkan serpihan gelas yang tidak sengaja ia jatuhkan. Serpihan gelas yang pecah dan berserakan di lantai. Calum terdiam melihat serpihan-serpihan gelas itu. Belakang-belakangan ini ia mendengar Ibunya yang mengeluh karena dirinya. Apa ia salah? Apa dirinya salah?

“Calum..”

Itu Mali. Calum membalikkan badannya dan Mali langsung berlari ke arahnya. Mali melihat serpihan-serpihan gelas yang berserakan di lantai sementara sebagian lainnya sudah dibersihkan Calum. Apa yang sudah Calum lakukan? Apa sebentar lagi adiknya itu akan menjadi gila? Cukup Cal, cukup! Jangan bermain seperti ini! Mali tau bagaimana kenakalan Calum dan adiknya itu terkadang suka melewati batas. Diam-diam Mali berharap semua sikap aneh Calum ini hanyalah candaan yang nantinya membuat hatinya kesal.

“Sudah seminggu lebih kau seperti ini. Apa kau tidak bosan?” Tanya Mali.

Mata Calum yang hitam menatap mata hazel Mali. Tentu Mali tidak bisa menerima informasi yang disampaikan oleh mata hitam Calum. Oh ayolah Cal, jangan sok tuli! Boleh-boleh saja sedih, menangis, sakit, tapi jangan bersikap seperti ini. Baginya Calum sudah overdosis dan ia harus bertindak kasar untuk menyadarkan Calum dari semua itu.

“Kau tidak tuli kan? Apa indera-mu sudah berganti funsgi? Apa mata-mu sekarang yang bertugas sebagai pendengar?” Kesal Mali.

Lagi dan lagi. Calum benar-benar membuat Mali kesal bukan main dan ingin menyerah. Bahkan Mali ingin sekali menangis. Dulu, Mali merasa malu jika menangis dibuat oleh Calum. Ego-nya begitu tinggi dan ia tidak mau disalahkan oleh Calum meski ia salah. Tapi, untuk yang pertama kalinya gadis itu ingin menangis di hadapan Calum. Tangisan yang sebenarnya.

“Cal, bicaralah satu kata saja..” Ucap Mali dengan suara merendah.

Calum masih menatap Mali dengan mata hitamnya yang sangat sulit ditebak. Dengan sabar Mali menunggu reaksi Calum. Namun sudah satu menit Calum belum juga membuka mulut. Apa jangan-jangan Calum sudah tidak bisa berbahasa inggris lagi? Tidak lucu!

“Oke. Kalau kau tidak mau bicara, tidak apa-apa. Tapi aku berharap kau bisa mendengar suaraku. Cal, kau adikku satu-satunya. Kau satu-satunya saudara kandungku dan aku sudah kehilangan dirimu yang dulu. Aku tau persis kejadian yang menimpamu dan kau kehilangan semuanya. Aku bisa merasakan kesedihan, kesakitan, ketidakrelaan, ketidakadilan yang kau rasakan. Tapi Cal, hidup harus dilanjutkan lagi kan meski kita merasa sudah tidak bisa hidup lagi? Kau masih memiliki Mama, aku dan Ayah walau mereka sudah cerai. Tapi Ayah sangat menyayangimu. Bangunlah Cal. Jika kau mempermainkan aku, aku janji untuk tidak marah. Yang aku inginkan hanyalah dirimu, dirimu yang dulu.” Ucap Mali.

Segala rasa yang Mali pendam akhirnya keluar dari mulutnya. Mali merasa lega karena sudah menyampaikan semua itu pada Calum. Mali berharap Calum bisa mendengarnya dan tidak peduli apakah Calum mau berubah atau tidak. Yang jelas Mali sudah menyampaikan isi hatinya.

Calum. Bisakah adiknya itu kembali menjadi seperti dulu?

***

“Bagaimana?”

Sepertinya Liam sudah menyerah dengan sikap Calum. Dua minggu berlalu dan Calum belum juga mengalami perubahan. Apa Calum menjadi seperti ini karena penceraian itu? Trisha pernah bercerita sebelum penceraian itu Calum benar-benar broken home dan jarang pulang ke rumah. Namun itu tidak berlangsung lama. Calum mulai bisa menerima sikap Ayah dan Ibunya dan mencoba untuk baik-baik saja.

“Aku berniat untuk menyekolahkannya.” Jawab Trisha.

“Maksudmu di sekolah khusus?” Tanya Liam.

Trisha menggeleng-gelengkan kepalanya dengan cepat. “Tidak. Calum tidak seperti itu. Aku sudah membicarakan hal ini pada sahabatku yang menjabat sebagai kepala sekolah SMA Lubis dan dia bisa memahami sikap Calum. Mrs. Harriet juga seorang psikiater dan dia tentunya akan membantu Calum.” Jawabnya.

Liam mengangguk-anggukan kepala. “Ya.. Ya.. Itu terserah padamu. Tapi aku harap Calum bisa sembuh.” Ucapnya.

Tiba-tiba Trisha teringat dengan ucapan Mali yang mengatakan bahwa sosok yang dapat mengembalikan Calum ke Calum yang dulu adalah Calum sendiri. Benarkah itu? Tapi bagaimana mungkin Calum bisa mengembalikan dirinya ke dirinya yang dulu sedangkan Calum saja tidak ingat siapa namanya?

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar