expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Minggu, 08 Februari 2015

We Love You Sivia! ( Prolog )




Kedua matanya terpejam. Baginya, sulit untuk membuka mata. Menggerakkan sedikit saja kelopak matanya pun tak bisa. Yang hanya bisa ia lakukan adalah berbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Banyak selang-selang yang terhubung ke tubuhnya. Jika saja salah satu selang itu dilepas, ia tak akan bisa lagi melihat indahnya dunia ini yang menyimpan banyak kenangan yang sulit untuk dilupakan.

Tangannya yang lemas perlahan bergerak. Semua orang yang melihatnya takjub. Hebat bukan, tangan mungil yang kurus itu bergerak, hendak ingin mencari sesuatu yang tak satupun orang yang tau.

Setelah tangan itu tidak bergerak lagi, kini, gantian kelopak matanya yang bergerak. Walau terasa berat dan sakit, ia mampu menggerakkannya. Ingin sekali ia buka kedua matanya, dan mencari dua lelaki yang sangat ia rindukan. Rasa rindunya itulah yang membuat semangatnya menjadi besar. Ia tidak mau sakit-sakitan. Ia ingin sekali sembuh dan ingin sekali menemui dua lelaki yang harus ia temui.

‘Aku ingin bertemu mereka. Tuhan, izinkanlah aku melihat mereka.’ Rintihnya dalam hati. Namun, Tuhan tidak sedang berbaik hati dengannya. Tuhan ingin ia bersama-Nya, bukan bersama yang lain. Apakah ia sanggup menerima titah dari Tuhan? Apa ia sanggup meninggalkan dua lelaki yang sangat ia cintai?

Tidak! Ia tidak boleh menyerah. Ia harus kuat. Ia harus bisa melawan rasa sakit yang dialaminya ini. Biarpun Tuhan memaksanya untuk kembali, ia tak akan mau. Ia masih ingin hidup di dunia bersama orang-orang yang ia cintai dan mencintainya.

‘Tuhan, aku mencintai mereka. Izinkan aku untuk bersama mereka.’

Entah darimana keajaiban itu datang, sebersit cahaya putih yang menyilaukan mata hadir di penglihatannya. Matanya terasa sakit karena silauan itu. Setelah cahaya putih itu hilang, ia melihat dua wajah tersenyum manis melihatnya. Seakan berharap penuh padanya untuk segera kembali di pelukan mereka. Namun, ternyata hanya satu senyuman yang bisa ia lihat. Kemana senyuman lain yang hilang itu?

“Kau.. Kau sudah sadar?”

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar