expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Sabtu, 07 Februari 2015

Friendship ( Part 17 )



Bad Day

“Maybe I’m in a place that I don’t know where the end”


“Happy birthday to you, Grace!” Seru Taylor.

            Acara ulang tahun Grace yang ke tujuh berlangsung dengan seru. Hari ini Grace sangat bahagia. Ditambah lagi hadiah yang diberikan oleh Taylor untuknya, yaitu brownis pisang yang sangat lezat. Taylor tersenyum sambil memuji dirinya. Ternyata membuat kue tidaklah susah. Hanya saja perlu ketelitian dan kesabaran. Dan Harry, Taylor harus berterimakasih banyak kepada lelaki itu karena bantuannya kemarin. Tapi entah mengapa Taylor tidak bisa menghubungi Harry karena kejadian kemarin. Namun sebaiknya ia mengirim pesan singkat ke Harry.

            “Brownis buatan miss Taylor enak sekali. Grace suka. Kalau boleh tau, miss belajar darimana?” Tanya Grace.

            Taylor tersenyum. “Dari sahabat miss. Orangnya sangat baik tapi kadang-kadang nyebelin juga.” Jawabnya.

            “Wah, pasti sahabat miss Taylor orangnya hebat sekali ya?”

            Tiba-tiba Taylor teringat dengan sahabat-sahabatnya yang lain. Ia teringat dengan Selena yang kini berada di New York. Pasti disana Selena bahagia. Ia juga teringat dengan Ele dan ingin sekali ia mengunjungi Ele hanya untuk mengetahui bagaimana kondisi kandungan Ele. Taylor menghela nafas dalam-dalam. Segalanya telah berubah. Ia bukan remaja lagi. Ia bukanlah gadis yang idiot lagi. Kini ia adalah gadis dewasa yang harus bisa mandiri dan tidak manja seperti dulu serta mencoba mencari cinta sejatinya.

            Cinta? Lagi-lagi cinta. Taylor sudah sangat lelah memikirkan cinta dan paksaan Ayahnya. Tapi setiap hari ia berharap agar hidupnya diberi kemudahan. Kalaupun ia tidak akan pernah bisa menemukan cinta sejati, Taylor siap menerimanya.

            Tidak terasa hari sudah mulai gelap dan Taylor memutuskan untuk pulang ke rumah karena hari ini ia begitu lelah. Semoga hari esok lebih baik dari hari yang sekarang.

***

            Dua puluh lima tahun. Ya, Taylor baru sadar kalau ia sudah berumur dua puluh lima tahun. Tidak terasa umurnya bertambah begitu cepat. Ia juga tidak menyangka pekerjaannya di panti asuhan membuahkan banyak hasil. Taylor senang bekerja disana dan ia tidak akan berhenti mendidik anak-anak disana.

            Di umur yang sudah mencapai dua puluh lima tahun ini, Taylor lebih suka diam dan jarang mau berbicara dengan orang lain. Bahkan ia malas membalas inbox dari Selena, ataupun sapaan dari Harry, Niall dan Ele. Teringat tentang Ele, sahabatnya yang satu itu sudah melahirkan seorang bayi perempuan yang cantik. Wajahnya mirip seperti Ele. Hanya saja Ele harus di rawat di rumah sakit selama dua bulan karena kondisi tubuhnya yang lemah. Tapi Ele beruntung karena Louis selalu ada untuknya, kapanpun ia membutuhkan.

            Sore ini, Taylor memilih duduk di teras sambil memandangi pemandangan di depan teras. Tidak ada yang menarik. Bunga-bunga yang ia tanam sama seperti bunga-bunga kemarin. Anehnya, di umurnya yang kedua puluh lima tahun, Ayahnya belum memaksanya untuk menikah ataupun menjodohkannya. Apakah Ayahnya sudah bisa memahami keinginannya? Jika ia, Taylor sangat bersyukur.

            “Lagi ngapain?” Tanya Ibunya yang tiba-tiba aja sudah ada di sampingnya.

            Taylor tersenyum melihat kedatangan Ibunya. Belakang-belakangan ini kondisi Ibunya sering sakit-sakitan karena mungkin faktor usia. Begitu pula Ayahnya yang ternyata menderita penyakit jantung dan harus banyak istirahat di rumah.

            “Duduk-duduk aja.” Jawab Taylor.

            Ibunya menghela nafas panjang. “Kamu sudah berumur dua puluh lima tahun dan kamu belum mempunyai seorang kekasih. Mama tidak mau kamu menjadi perawan tua. Ayolah Taylor, Mama ingin melihat kamu bahagia bersama pasanganmu.” Ucapnya.

            Mendengar ucapan Ibunya, Taylor tertunduk lesu. “Taylor ngerti, Ma. Jujur saja, Taylor ingin mempunyai seorang kekasih yang mencintai Taylor apa adanya. Hanya saja Taylor belum menemukannya.”

            “Tapi Mama takut jika kamu tidak akan bisa menemukannya. Mama yakin Ayahmu akan bertindak untuk menjodohkanmu dalam waktu yang singkat ini dan kamu tidak bisa menolaknya.”

            “Iya. Taylor paham.” Ucap Taylor dengan segala kepasrahannya.

            Dua puluh lima tahun? Sudah tuakah ia? Sudah tuakah ia untuk menikah? Tapi ia rasa tidak. Banyak gadis-gadis yang menikah di usia hampir tiga puluhan dan tidak masalah bagi gadis-gadis itu asalkan bahagia bersama pasangannya.

***

            “Apa kau sudah mendapat undangan dari Selena?” Tanya Ele.

            Hari ini, Taylor, Niall dan Harry berkumpul di rumah Ele untuk menjenguk Ele. Untunglah kondisi Ele sudah membaik. Hanya saja tubuh Ele masih terasa lemah. Taylor sangat merindukan masa-masa ini. Masa-masa dimana ia dan sahabat-sahabatnya berkumpul walau hanya sebentar.

            “Ya. Kemarin Selena memberitahuku kalau besok ia akan menikah. Tapi aku tidak mungkin bisa pergi ke New York.” Jawab Taylor dengan suara lemas.

            “Hei Tay, kenapa suaramu lemas?” Tanya Niall.

            Taylor memaksakan diri untuk tersenyum. “Tidak ada.” Jawabnya.

            “Seharusnya kita datang ke pesta pernikahan Selena. Tapi karena jarak dan keadaan, kita tidak bisa hadir. Aku yakin Selena memaklumi keadaan.” Kata Harry tiba-tiba.

            “Harry benar.” Kata Ele.

            Jujur saja, Taylor tidak menyangka besok adalah hari pesta pernikahan Selena. Besok Selena sudah memunyai seorang suami dan tinggal dirinya yang masih berstatus singel. Tapi sebagai sahabat Selena, ia harus ikut merasa senang.

            “Ngomong-ngomong, mana si cantik Corine?” Tanya Niall.

            Ele tersenyum. “Dia sedang tidur. Kalau kau ganggu, pasti dia akan menangis karena dia sangat membencimu.” Jawabnya sambil bercanda.

            Semuanya tertawa mendengar jawaban Ele, kecuali Taylor. Tampaknya gadis itu sedang memikirkan sesuatu. “Mmm.. Memangnya kau suka menjadi seorang Ibu?” Tanyanya yang tentu saja ditujukan ke Ele.

            Ele menatapnya dengan heran. “Pertanyaan yang bodoh. Tentu saja aku suka! Setiap anak perempuan ditakdirkan menjadi seorang Ibu. Kalau kau tidak mau menjadi seorang Ibu, ya operasi kelamin aja biar kamu jadi laki-laki.” Jawabnya.

            Niall tertawa mendengar jawaban Ele. “Hahaha.. Ele benar juga. Tapi kalau boleh jujur aku ingin menjadi seorang perempuan biar aku bisa pacaran sama Harry.” Ucapnya. Sementara Harry menatap Niall dengan penuh kejijikan.

            “Nah Tay, bagaimana dengan nasibmu? Umurmu sudah dua puluh lima tahun dan kau tidak ada rencana untuk menikah.” Kata Ele.

            “Biarin saja. Aku kan tidak mau menikah.” Ucap Taylor cuek.

            “Ckckck.. Masa’ gadis secantik kamu tidak mau menikah? Gimana kalau kamu yang menikah denganku? Pasti kau tidak akan menolak.” Kata Niall.

            Taylor tidak mempedulikan ucapan Niall. Ia tau Niall cuma bercanda saja karena ia bisa menebak dari wajah Niall. Lalu ia tidak sengaja menatap wajah Harry yang saat itu sedang melihatnya. Buru-buru Harry mengalihkan pandang ke arah lain. Sekali lagi, Taylor tidak bisa menebak jalan pikiran, tingkah dan semua yang diekspresikan oleh Harry walau ia dan Harry sudah lama saling kenal.

***


            Malamnya, Taylor tidak sengaja mengirim pesan ke Selena karena sahabatnya itu sedang online. Taylor tau malam ini adalah malam yang paling bahagia bagi Selena. Tapi tentu saja waktu di tempatnya berbeda dengan waktu yang ada di New York.

Taylor: Selamat ya Sel atas pernikahanmu! Maaf aku dan lainnya tidak bisa datang karena faktor jarak dan keadaan. Aku berharap secepatnya kita akan bertemu.

Belum semenit Selena sudah membalasnya.

Selena: Thank you ya Tay! Ah, hari ini memang hari yang paling bersejarah. Aku janji kok akan mengunjungimu karena aku sudah kangen berat dengan kamu, Niall, Harry dan Ele.

Sudah sejaman mereka saling mengirim pesan hingga Taylor memutuskan untuk sig out karena jam sudah hampir menunjukkan sebelas malam. Ia tidak boleh tidur terlalu larut karena besok ia harus bekerja. Anehnya, saat ia tertidur lelap, Taylor bermimpi bertemu dengan seorang lelaki asing yang tiba-tiba menyatakan cinta padanya dan mengajaknya untuk hidup bersama, dan ia tidak bisa menolak permintaan lelaki asing tersebut.

***

“Jadi, kau akan jujur dengannya?”

Lelaki itu menatap sang pemilik suara. “Iya. Aku tidak bisa terus-terusan menyembunyikan perasaan yang sudah lama hadir menghantuiku.” Jawabnya.

 “Apa kau yakin dia adalah gadis yang tepat untukmu?  Kau tidak mau mencari gadis lain di luar sana?” Tanyanya.

 “Tidak. Dia adalah gadis yang spesial dan unik. Tidak ada satupun gadis yang bisa menandinginya. Masalahnya, aku bingung bagaimana cara menyatakannya. Aku yakin dia pasti menanggapiku dengan tidak serius.”

“Itu adalah tugasmu. Aku yakin kau pasti bisa melakukannya.”

***

Pagi yang baginya terasa berbeda dari pagi biasanya. Hari ini ia tidak bekerja karena libur. Tapi Taylor sempat tersenyum menyadari bahwa hari ini adalah anniversary persahabatannya yang ke dua puluh. Waktu yang cukup lama dan tidak bisa dibilang singkat. Dua puluh tahun yang lalu ia bertemu dengan Ele, Harry, Niall dan Selena. Dua puluh tahun yang lalulah ia dan keempat sahabatnya mulai bersahabat. Namun, rasanya anniv kali ini tidak bisa dirayakan seperti tahun-tahun kemarin.

Tidak sengaja Taylor berjalan menuju ruang tamu dan ia melihat Ayah Ibunya sedang berbicara serius. Karena penasaran, Taylor mengintip pembicaraan Ayah Ibunya. Tentunya dengan sepengetahuan Ayah Ibunya. Dan.. Baru saja ia mendengar pembicaraan Ayah Ibunya…

‘Tidak! Mereka tidak akan pernah menjodohkanku’ Ucap Taylor dalam hati. Namun sayangnya, Ayahnya sudah memiliki seorang calon yang katanya adalah seorang dokter muda yang bekerja di rumah sakit langganan Ayahnya. Seorang dokter? Taylor tersenyum miris. Ayahnya sudah gila menjodohkannya dengan seorang dokter.

“Tapi Pa, apa Taylor setuju menikah dengan Liam?” Tanya Ibunya ragu.

“Setuju tidak setuju, dia harus mau menerima pinangan dari keluarga Liam! Keluarga Liam sudah banyak membantu kita. Hanya orang bodoh saja yang tidak mau putrinya dinikahkan oleh seorang dokter muda bernama Liam.” Jawab Ayahnya dan Ibunya tidak bisa membantah lagi.

Sebisa mungkin Taylor tenang dan menganggap semuanya baik-baik saja. Tapi hatinya tidak bisa tenang. Hari yang paling ditunggunya berubah menjadi hari yang paling mengerikan. Kenapa ia mendapat berita buruk tepat di hari anniv persahabatannya yang ke dua puluh? Taylor merasakan sebuah firasat buruk. Dan entah mengapa ia langsung berjalan menemui Ibu dan Ayahnya.

“Pagi sayang! Kamu mau..” Sapa Ibunya sedikit kaget.

“Taylor mau pergi dulu. Ada urusan penting.” Ucapnya dengan nada tidak sopan dan berlari meninggalkan rumahnya.

Sementara Ibunya menatapnya dengan sayu. “Pa, gimana Liam betah hidup bersama Taylor kalau Taylor sendiri masih belum menjadi gadis dewasa? Mama takut ujung-ujungnya nanti mereka akan cerai.” Ucapnya.

“Tenanglah Ma. Papa sudah ceritakan semua tentang Taylor ke keluarga Liam dan mereka rasa semuanya bisa diatur. Mama belum lihat sih siapa Liam itu. Kalau Mama sudah tau wajahnya, Mama tidak akan menolak.” Kata Ayahnya.

Ibunya menghela nafas panjang. “Baiklah. Tapi ini demi kebaikan Taylor dan masa depannya.” Ucapnya lirih.

***

Shit! Berkali-kali Taylor mengumpat dalam hati. Sungguh, ia sangat membenci hari ini. Hari yang begitu indah ternyata bisa juga berubah menjadi hari yang sangat buruk. Setelah ini, apa lagi? Taylor siap menerima musibah selanjutnya. Jika memang Ayahnya sudah bulat untuk menikahkannya dengan Liam bagaimana? Ia sendiri tidak tau siapa Liam itu dan tidak tau bagaimana wajahnya. Ayahnya memang egois dan tidak pernah mengerti perasaannya.

Yang ia herankan, kenapa sahabat-sahabatnya tidak mengucapkan anniv yang ke dua puluh ini? Kenapa HPnya sepi? Ia tadi sempat melihat di facebook dan twitter. Disana juga tidak ada satupun yang mengucapkan anniv ini. Apa mereka lupa? Taylor mencoba untuk tidak sedih dan berusaha menertawai keadaannya. Mungkin ini adalah takdirnya. Hidup bersama kesepian dan kemalangan. Ia yakin sekali disana Selena bahagia bersama suaminya dan Ele bahagia bersama Louis juga bayi perempuannya yang manis.

Tidak tau ia berjalan kemana. Ia berjalan tanpa arah sambil melampiaskan segala kekesalannya. Apa sebaiknya ia mati saja agar semua masalah-masalah yang dialaminya menghilang dan ia bisa tenang? Tidak! Mati bukanlah pelariannya. Ia tidak ingin mati diusianya yang sudah mencapai dua puluh lima tahun ini.

Ketika ia berhenti di sebuah taman, Taylor tidak sengaja melihat sebuah pemandangan yang tidak pernah dilihatnya. Taylor terdiam sesaat sambil melihat dua orang itu yang sedang bahagia. Taylor tersenyum miris. Betapa bahagianya mereka dan entah mengapa hatinya terasa sakit. Sakit sekali. Padahal, hari ini adalah anniv persahabatannya yang ke dua puluh dan orang itu malah bahagia bersama seorang gadis yang ia yakini adalah pacar barunya.

Dia…. Ternyata dia lebih mementingkan gadis itu dibanding sahabat-sahabatnya, batin Taylor sedih. Entah mengapa tiba-tiba ia membenci orang yang tidak lain adalah sahabatnya sendiri, dan entah mengapa kedua kakinya ini ingin sekali berlari untuk melabrak dua orang itu.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar