Part 2
.
.
.
Universitas Value...
Seorang cowok
sedang serius menatap layar laptopnya. Orang mengira cowok itu sedang
mengerjakan tugas dari dosen. Tapi ternyata tidak. Cowok itu hanya iseng
ngetik-ngetik keyboardnya.
Suasana di kantin
agak sepi. Kira-kira ada lima orang yang sedang duduk-duduk di kantin. Cowok
tadi adalah kakak Sivia yang bernama Rio. Cowok yang dikenal sebagai cowok
pendiam dan nggak banyak omong, tapi memiliki kecerdasan yang luar biasa.
Sebenarnya Rio
nggak pendiam-pendiam amat. Kalo lagi ada diskusi, dia yang paling cerewet. Teman
Rio pun banyak. Tapi Rio selalu menyeleksi siapa saja yang berhak jadi teman
dekatnya ( Walau menurut Rio dia nggak suka pilih-pilih teman ). Itu
dikarenakan karena Rio tidak mau memiliki teman yang pergaulannya nggak baik.
Rio mau berteman dengan siapa saja asalkan anaknya baik dan pergaulannya juga
baik.
Rio menyesap teh
hangat yang tadi ia pesan. Lalu ia mencomot pisang goreng yang udah dingin. Rio
tersenyum sendiri membaca hasil karyanya yang tertera di layar laptopnya itu.
Kalo boleh dibilang, Rio jago bikin cerita. Katanya dia mau jadi penulis tapi
nggak tau jugalah ke depannya.
Sekarang Rio berada
di semester enam dan sebentar lagi naik ke semester tujuh. Di universitas ini Rio
mengambil jurusan Teknik Informatika. Nggak tau kenapa dia pilih jurusan itu.
“Hai Yo! Bikin
karya lagi?” Sapa sahabatnya yang bernama Cakka.
Rio tidak
mempedulikan Cakka dan lebih memfokuskan pada layar laptopnya. Cakka adalah
sahabat Rio sejak SMA. Cakka juga berada di semester enam, tetapi ia mengambil
jurusan matematika karena Cakka doyan banget sama pelajaran matematika.
“Lalu gadis itu
tersenyum, melihat seorang cowok yang juga tersenyum melihatnya. Gadis itu
menjadi malu dan cowok itu..” Kata Cakka membaca tulisan yang ada di layar
laptop Rio.
Cepat-cepat Rio
menyingkirkan laptopnya. “Jangan baca tulisan gue!” Kata Rio sedikit ketus.
“Hmmm.. Lo kenapa
sih? Lagi suka ya sama cewek? Kok tulisan lo so sweet banget sih?” Tebak Cakka.
Menurut Cakka, Rio
adalah cowok yang aneh. Kalian pasti kan nggak percaya kalo Rio itu belum
pernah pacaran? Tapi itu memang benar. Rio mengaku kalo dirinya nggak pernah
pacaran. Meskipun banyak cewek yang menyukainya, tetapi Rio sama sekali nggak
tertarik dengan ribuan cewek yang menyukainya. Berarti sama dong kayak Sivia.
Dia kan juga nggak pernah pacaran.
Kalo Cakka sih
tentu udah punya cewek. Namanya Agni. Dia kuliahnya juga disini. Bedanya cuma
Agni semester empat dan mengambil jurusan sastra inggris. Cakka dan Agni udah
lama pacaran. Kira-kira hampir tujuh tahunan. Langgeng banget kan? Iya dong!
Kan pasangan yang serasi.
“Kka, bisa nggak lo
pergi dari sini? Ide-ide gue ntar hilang.” Kata Rio.
“Halah. Kayak gue
setan pengganggu aja. Udah deh, lo ngaku aja. Lo lagi jatuh cinta kan? Sama
siapa? Kasih tau gue dong!”
Dasar Cakka sok
tau! Batin Rio.
“Nggak. Gue nggak
lagi jatuh cinta. Gue lagi stres karena mikirin tugas kuliah yang banyak.” Kata
Rio.
“Gitu aja lo
strers. Mata lo tuh sakit gara-gara keseringan natap laptop tiap hari. Ooo..
Gue baru tau.. Pacar lo laptop kan? Makanya selama ini lo selalu nolak cinta
dari pacar cewek. Tapi untunglah dulu lo nolak Agni jadi Agni bisa sama gue,
hehe..”
Begitulah Cakka.
Anaknya cerewet dan kalo ngomong nggak bisa woles. Beda dengan Rio yang
bicaranya hemat dan nggak suka bicara yang nggak penting.
Dari arah fakultas
MIPA, seorang cewek berkacamata yang sedikit terlihat malu dan tertutup duduk
tak jauh dari tempat Rio dan Cakka berada. Cewek itu memesan jus alpukat dan roti
bakar. Kalo diperhatikan, tampang cewek itu sangatlah manis dan tipe cewek yang
cerdas.
Tanpa sengaja, Rio
melirik ke arah cewek itu. Sialnya, cewek itu juga melirik ke arah Rio.
Pandangan mereka bertemu. Cewek itu langsung menunduk dan menganggap kejadian
tadi itu nggak pernah terjadi selama hidupnya.
“Kenapa Yo?” Tanya
Cakka.
Rio tersadar dan
cepat-cepat kembali pada laptopnya. Cakka tau ada sesuatu yang terjadi dengan
Rio. Ia pun melihat ke arah cewek yang menurutnya menjadi pusat perhatian Rio.
Cewek berkacamata yang terlihat diam dalam pikiran yang ia tidak ketahui. Hei,
tunggu! Sepertinya ia familier dengan cewek itu. Tapi siapa ya?
“Kayaknya gue
familiar sama tuh cewek.” Kata Cakka.
Mendengar ucapan
Cakka barusan, Rio langsung menatap Cakka dengan penuh tanda tanya. “Siapa? Dia
anak baru? Di fakultas apa cewek itu? Lo kenal sama cewek itu?” Tanya Rio.
Cakka tersenyum. Ia
bisa menebak kejadian selanjutnya. Tentu Rio penasaran sama cewek itu dan
harapan yang selama ini ia harap akan tercapai. Bisa jadi Rio naksir sama cewek
itu dan jadian sama cewek itu. Cakka penasaran betul bagaimana tingkah Rio
ketika pacaran sama cewek.
“Gue nggak tau
siapa dia. Ntar deh gue tanya ke yang lain. Emangnya kenapa? Lo suka sama cewek
itu?”
Rio gelapagan
sendiri mendengar pertanyaan Cakka barusan. Suka? Suka sama cewek itu? Kenal
aja enggak. Ngapain juga suka? Tapi kok, Rio kayak gugup gitu ya? Ah, lupain!
“Ngapain juga gue
suka?”
“Alah, ngaku aja
deh lo, Yo! Tuh cewek manis juga. Kenapa lo nggak coba kenalan lebih dekat
aja?”
Kesepuluh jari Rio
kembali menekan-nekan keyboard. Dia berusaha nggak mendengar apa yang diucapkan
Cakka tadi. Cakka emang pengen sekali liat dia pacaran sama cewek. Ngobrol
akrab sama cewek aja udah seneng. Apalagi pacaran?
“Yo, gue mau balik
dulu, oke? Dan jangan lupa lo kenalan sama cewek itu. Hahaha..”
Cakka langsung
berlari meninggalkan Rio yang ingin sekali menerkam Cakka. Kembali Rio melirik
ke arah cewek tadi. Cewek itu hendak bangkit dari duduknya, lalu membayar dan
langsung pergi meninggalkan kantin.
“Hmmm.. Kok cewek
itu tampak misterius ya? Apa dia juga nggak punya temen?” Batin Rio.
***
Sebuah tempat
dimana tempat itu adalah tempat masa kecilnya bersama Gabriel. Dulu, Gabriel
sering mengajaknya pergi ke tempat itu. Tempat itulah tempat pertemuannya
dengan Gabriel. Sekarang tempat itu udah diperbaharui dan menjadi tempat yang
cantik.
Banyak bunga-bunga
cantik bermekaran indah disana. Yang Sivia senyumkan, disana ada ayunan yang ia
tau adalah ayunannya dengan Gabriel. Ya, masa kecil yang indah dan penuh dengan
kenangan manis.
“Duduk disana yuk,
Vi!” Ajak Gabriel.
Mereka duduk di
dekat air mancur. Di hadapan mereka terlukis sebuah pemandangan yang indah.
Hmm.. Ada juga ya tempat cantik, sejuk dan nyaman di Jakarta, batin Sivia.
“Gue akan selalu
mengingat tempat ini.” Kata Gabriel pelan. Ia memejamkan mata, seolah merasakan
semilir angin lembut yang lewat dihadapannya. Lalu ia membuka mata dan
tersenyum melihat Sivia.
“Ya. Gue juga akan
selalu mengingat tempat ini. Tempat yang hampir gue lupakan.” Tambah Sivia.
Tanpa Gabriel duga,
Sivia sudah bersender di bahunya. Gabriel pun memeluk Sivia sehingga Sivia
berada di dalam pelukannya.
“Yel, lo tau nggak
tentang gosip itu?” Tanya Sivia.
“Gosip? Gue selalu
nggak percaya yang namanya gosip. Kalo mereka menganggap kita pacaran terus
kenapa? Nggak apa-apa juga kan?”
Sivia terdiam
mendengar ucapan Gabriel. Kalo mereka
menganggap kita pacaran terus kenapa? Nggak apa-apa juga kan?
“Ng.. Vi.. Udahlah,
jangan dipikirin tentang gosip itu. Yang penting, kita sahabatan untuk
selamanya kan?” Kata Gabriel.
Sepasang mata yang
sedaritadi menyakiskan adegan itu sedikit merasa sakit, alias cemburu. Ia
berusaha untuk tidak mengeluarkan emosinya yang ingin sekali ia keluarkan
sehingga dapat membuat keonaran disini. Sepasang mata itulah orang yang dulu
melihat cerianya dua bocah kecil yang bernama Sivia dan Gabriel.
“Tentu, Yel. Ohya,
bagaimana menurut lo kalo seandainya gue punya cowok? Gue pengen punya cowok.
Tapi masalahnya gue nggak bisa jatuh cinta.” Kata Sivia.
Sedikit Gabriel
terenyak dengan ucapan Sivia, lalu ia tersenyum. Ia sadar, Sivia berhak
mencintai lelaki manapun. Dan mungkin ketika Sivia sudah punya pacar, Gabriel
harus bisa memberikan Sivia kebebasan untuk kapan aja bertemu sama cowok Sivia,
juga Gabriel harus rela karena waktunya bersama Sivia berkurang, bahkan mungkin
jarang bertemu.
Sepasang mata tadi
tersenyum lega. Dapat ia simpulkan kalo Sivia sama sekali nggak memiliki rasa
apapun sama Gabriel. Ia tau betul siapa Gabriel dan sangat mengenali Gabriel.
Gabriel adalah teman semasa SMPnya. Bisa dibilang mereka adalah sahabat yang
selalu bersama kapan saja.
“Gue yakin lo pasti
bisa jatuh cinta.” Kata Gabriel.
Sivia tersenyum.
“Ya. Gue akan belajar mencintai seseorang. Tapi seandainya gue udah punya
pacar, gimana dengan persahabatan kita? Kita nggak mungkin kehilangan kontak
kan?”
Ternyata Sivia
khawatir banget kehilangan kontak dengan Gabriel. Memang sih Sivia sedikit
manja sama Gabriel. Kalo nggak ada Gabriel disampingnya, Sivia nggak bakal
tenang. Pokoknya, harus ada Gabriel disampingnya. Itu sifatnya sejak kecil yang
nggak bisa dirubah. Bahkan kalo boleh dibilang, Sivia lebih dekat sama Gabriel
dibanding Rio. Mengerikan bukan? Ya itulah namanya sahabat.
Tapi mulai saat ini
Sivia berjanji untuk mandiri dan bersikap dewasa. Ia nggak boleh menjadi cewek
yang manja. Ada tidak ada Gabriel, itu nggak berpengaruh bagi Sivia.
“Vi.. Lo itu
merupakan bagian dari hidup gue. Kita nggak mungkin kehilangan kontak. Gue akan
selalu ada buat lo kalo lo lagi sedih atau lagi ada masalah. Kita akan selalu
bersama Vi..”
Saat ini, Sivia
yang takut jika seandainya kehilangan Gabriel. Bagaimana jika Gabriel takut
kehilangan Sivia? Bagaimana jika Sivia sudah memiliki cowok yang sekejap
melupakan Gabriel?
Selama Gabriel
bersahabat dengan Sivia, ia nggak bisa mengartikan perasaan yang ia rasakan.
Tapi inti dari perasaannya, ia tidak ingin Sivia hilang dari sisinya. Apakah
ini yang dinamakan...
Cinta?
Sejauh ini Gabriel
tak pernah membahas soal cinta. Ia sama seperti Sivia. Belum pernah pacaran.
Jatuh cinta pun ia tidak pernah merasakan. Di hidupnya, hanya ada satu cewek
yang paling dekat dengannya selain Mamanya, yaitu Sivia.
Apa mungkin suatu
hari nanti tiba-tiba ia mencintai Sivia? Dan rasa cinta itu sangat kuat
sehingga ia harus memaksa Sivia supaya menjadi kekasihnya? Bagaimana jika Sivia
menolak cintanya dan lebih memilih cowok lain?
Menyadari Gabriel
terdiam dan nggak bicara, Sivia menegur Gabriel. “Yel.. Lagi mikirin apa?”
Tanyanya.
“Oh.. Ng.. Nggak
ada kok Vi.” Kata Gabriel yang tiba-tiba berubah menjadi gugup. Sungguh,
mengapa tiba-tiba ia menjadi gugup? Apa sebenarnya yang terjadi dengannya?
“Oh.. Eh Yel, lo
pernah nggak merasa pengen punya cewek?” Tanya Sivia.
Kegugupan Gabriel
semakin bertambah. Tapi ia coba untuk biasa dan menyembunyikan kegugupannya
agar Sivia nggak curiga.
“Mmm.. Nggak.”
Jawab Gabriel. Ia emang nggak punya niat punya cewek.
“Jangan bilang lo
nggak mau pacaran karena gue. Gue tau lo sayang sama gue. Tapi lo jangan
terusan kayak gitu. Cobalah mencintai seseorang. Lo dan gue harus mempunyai
kehidupan masing-masing.”
Gue nggak bisa
berhenti menyayangi lo dan nggak bisa mencintai cewek lain selain lo, kata
Gabriel dalam hati. Jadi, apa kesimpulannya ia benar-benar mencintai Sivia dan
nggak mau kehilangan Sivia? Juga nggak mau Sivia ada dipelukan cowok lain?
“Yel.. Gue akan
usahain ubah gaya hidup gue. Gue nggak akan manja-manja’an lagi sama lo. Gue
pengen hidup mandiri.” Tekad Sivia.
Tentu saja Gabriel
nggak bisa melarang Sivia untuk berubah. Ingat, ia hanya sebatas sahabat. Bukan
pacar atau keluarga. Jadi ia nggak bisa ngatur-ngatur Sivia.
Yang menjadi
kekhawatirannya saat ini, ia takut jika suatu hari nanti Sivia punya cowok dan
perasaannya pada Sivia yang masih nggak jelas tiba-tiba berubah menjadi cinta.
Mustahil banget bagi Gabriel untuk melarang Sivia memiliki cowok.
***
Matahari perlahan
tenggelam di ufuk barat. Sebagian aktivitas manusia cukup sampai disini.
Masing-masing pulang dengan membawa hasil kerja keras mereka. Sivia
melangkahkan kaki ke dalam halaman rumahnya. Tadi, ia ingin mengajak Gabriel ke
rumahnya. Tapi Gabriel menolak dengan alasan yang masuk akal dan bisa dipahami
Sivia.
Namun menurut
penilaian Sivia, Gabriel sedikit aneh. Gabriel sedikit lebih pendiam dan nggak
banyak omong. Mungkin Gabriel sedang dihadapi masalah yang banyak, batin Sivia.
Di depan pintu
rumah yang terbuka, Rio menatap tajam Sivia. Sivia tau kakaknya itu marah
karena ia pulang nggak tepat waktu plus nggak beri kabar. Seharusnya ia pulang
satu siang, bukan jam enam sore.
“Sorry, kak. Via
tadi jalan-jalan sama Gabriel.” Kata Sivia.
Rio yang udah akrab
sama Gabriel, walau umur mereka beda lima tahun sudah paham dengan kegiatan
Sivia bersama Gabriel. Sivia emang banyak menghabiskan waktu bersama Gabriel.
Seperti yang sudah dijelaskan tadi, Sivia lebih dekat dengan Gabriel dibanding
Rio.
Karena Rio nggak
bicara-bicara juga, Sivia masuk ke dalam rumah dan berjalan ke kamar. Ia
membaringkan tubuhnya di atas kasur yang empuk.
“Lo nggak teraktir
kakak lo yang ganteng ini?”
Tiba-tiba Rio udah
ada di kamar Sivia. Nggak tau kapan cowok itu datang. Yang jelas Sivia kaget
menyadari kakaknya udah berdiri di kamarnya.
“Traktir apaan?”
Tanya Sivia. Apa otak kakaknya itu lagi nggak konek?
“Jangan pura-pura
nggak tau, dan jangan cerdik membohongi kakak lo ini.” Rio duduk di kasur
Sivia. “Udah lama kan lo pacaran sama Gabriel? Ngaku deh!” Lanjutnya.
Lho, lho, lho? Apa
lagi ini? Apa gosip di sekolahnya udah nyampe di telinga kakaknya? Butuh ekstra
yang keras ini buat jelasin ke Rio.
“Kak, gue sama
Gabriel just friend. Inget, Just friend! Lo tuh yang nggak bisa bedain orang
pacaran sama sahabatan.” Kata Sivia.
“Jangan bohong! Gue
bisa nebak apa yang ada dipikiran lo.”
Sivia menjadi kesal
sama Rio. Urusin aja tuh ceweknya yang masih dalam pencarian. Ngapain juga urus
orang lain kalo dirinya sendiri belum beres?
“Udahlah, kak. Gue
capek. Terserah lo deh mau bilang gue pacaran sama Gabriel. Gue nggak peduli.”
Kata Sivia akhirnya, seperti ingin mengusir Rio dari kamarnya.
“Jadi ceritanya lo
mau ngusir gue ya?”
“Iya. Terus kenapa?
Pergi lo sana dari kamar gue. Bosen tau gue liat wajah lo.” Kesal Sivia. Ia
bersiap-siap memukuli Rio pake bantal.
Rio malah tertawa.
Ia memang suka godain Sivia sampai Sivia kesal. “Lo bosen liat wajah gue yang
nggak pernah habis dinikmatin sama cewek-cewek?”
“Cewek-cewek yang
nggak punya pikiran baru.”
Bantal yang ada di
tangan Sivia langsung menghantam punggung Rio. Tapi ya, lucu juga kan kalo Rio
kesakitan gara-gara dipukulin Sivia pake bantal? Bantal besi baru.
“Hahaha.. Piss Vi..
Gue juga bosen tau liat wajah lo..”
“Ihhh.. Kak Rio
ngeselin!” Teriak Sivia yang menyadari Rio udah nggak ada di kamarnya.
Jelangkung dia kali, tadi datang secara tiba-tiba dan pergi secara tiba-tiba.
Yah, meskipun
begitu, Rio adalah cowok nomer satu dihidupnya setelah Ayah. Walau mulutnya
sering ngucapin Rio itu cowok yang berada di tingak dua ratus dalam hidupnya.
Ya udah deh, tidur
aja, ngantuk nihh.. Hehe...
***
Pukul delapan
malam, Gabriel berjalan seorang diri. Sebenarnya ia ingin membeli makanan
ringan di alfamart. Tapi kok pas nyampe di alfamart lolos aja?
Di telinganya ia
pasangkan earphone. Gabriel terlihat menikmati lagu-lagu yang diputarkannya.
Ternyata, jalan-jalan di malam hari sambil dengerin lagu asyik juga ya? Tapi
hati-hati lo kalo yang cewek, ntar diculik lagi.
Sampai dipertigaan.
Gabriel merasa nggak nyadar ia sedang berjalan. Ia dan kakinya nggak
berkoordinasi. Gabriel nggak peduli akan dibawa kemana oleh kedua kakinya itu. Tapi
jangan sampai dibawa ke kuburan deh...
“Hei! Gabriel
Damanik!” Teriak suara seorang cowok yang memecahkan keheningan malam.
Telinganya nggak
seperti kedua kakinya. Gabriel bisa mendengar ada seseorang yang memanggil
namanya.
“Hei! Masih inget
gue?” Tanya cowok itu tersenyum mendekati Gabriel.
Gabriel melepas
earphonenya dari telinga, lalu memperhatikan sosok cowok yang ada dihadapannya.
Cowok bertubuh tinggi dan atletis, dan juga tersirat keramahan kepada siapapun.
Tunggu! Kayaknya ia kenal deh sama cowok itu.
“Ah, pikun lo!
Masa’ temen kecil lo ini lo lupain?” Kata cowok itu nggak terima.
“Sebentar. Gue
inget wajah lo. Mungkin karena malam hari jadi gue nggak bisa mikir. Otak gue
lemah kalo buat mikir malam-malam.” Kata Gabriel.
“Hahaha.. Lo sama
aja kayak dulu..” Tawa cowok itu.
Karena kesal juga
sama cowok itu, Gabriel mencoba berpikir keras. Ia yakin ia pernah berteman
dengan cowok itu. Gabriel mem-flashbackkan masa lalunya dari SD hingga SMP.
Siapa saja orang yang pernah menjadi temannya hingga menjadi musuhnya.
“Ohh.. Gue tau! Gue
tau!” Kata Gabriel kayak anak kecil yang udah dibeliin balon sama Ibunya.
“So, siapa gue?”
Tanya cowok itu.
“Lo...”
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar