expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Minggu, 08 Februari 2015

We Love You Sivia! ( Part 2 )



Part 2

.

.

.

Universitas Value...

Seorang cowok sedang serius menatap layar laptopnya. Orang mengira cowok itu sedang mengerjakan tugas dari dosen. Tapi ternyata tidak. Cowok itu hanya iseng ngetik-ngetik keyboardnya.

Suasana di kantin agak sepi. Kira-kira ada lima orang yang sedang duduk-duduk di kantin. Cowok tadi adalah kakak Sivia yang bernama Rio. Cowok yang dikenal sebagai cowok pendiam dan nggak banyak omong, tapi memiliki kecerdasan yang luar biasa.

Sebenarnya Rio nggak pendiam-pendiam amat. Kalo lagi ada diskusi, dia yang paling cerewet. Teman Rio pun banyak. Tapi Rio selalu menyeleksi siapa saja yang berhak jadi teman dekatnya ( Walau menurut Rio dia nggak suka pilih-pilih teman ). Itu dikarenakan karena Rio tidak mau memiliki teman yang pergaulannya nggak baik. Rio mau berteman dengan siapa saja asalkan anaknya baik dan pergaulannya juga baik.

Rio menyesap teh hangat yang tadi ia pesan. Lalu ia mencomot pisang goreng yang udah dingin. Rio tersenyum sendiri membaca hasil karyanya yang tertera di layar laptopnya itu. Kalo boleh dibilang, Rio jago bikin cerita. Katanya dia mau jadi penulis tapi nggak tau jugalah ke depannya.

Sekarang Rio berada di semester enam dan sebentar lagi naik ke semester tujuh. Di universitas ini Rio mengambil jurusan Teknik Informatika. Nggak tau kenapa dia pilih jurusan itu.

“Hai Yo! Bikin karya lagi?” Sapa sahabatnya yang bernama Cakka.

Rio tidak mempedulikan Cakka dan lebih memfokuskan pada layar laptopnya. Cakka adalah sahabat Rio sejak SMA. Cakka juga berada di semester enam, tetapi ia mengambil jurusan matematika karena Cakka doyan banget sama pelajaran matematika.

“Lalu gadis itu tersenyum, melihat seorang cowok yang juga tersenyum melihatnya. Gadis itu menjadi malu dan cowok itu..” Kata Cakka membaca tulisan yang ada di layar laptop Rio.

Cepat-cepat Rio menyingkirkan laptopnya. “Jangan baca tulisan gue!” Kata Rio sedikit ketus.

“Hmmm.. Lo kenapa sih? Lagi suka ya sama cewek? Kok tulisan lo so sweet banget sih?” Tebak Cakka.

Menurut Cakka, Rio adalah cowok yang aneh. Kalian pasti kan nggak percaya kalo Rio itu belum pernah pacaran? Tapi itu memang benar. Rio mengaku kalo dirinya nggak pernah pacaran. Meskipun banyak cewek yang menyukainya, tetapi Rio sama sekali nggak tertarik dengan ribuan cewek yang menyukainya. Berarti sama dong kayak Sivia. Dia kan juga nggak pernah pacaran.

Kalo Cakka sih tentu udah punya cewek. Namanya Agni. Dia kuliahnya juga disini. Bedanya cuma Agni semester empat dan mengambil jurusan sastra inggris. Cakka dan Agni udah lama pacaran. Kira-kira hampir tujuh tahunan. Langgeng banget kan? Iya dong! Kan pasangan yang serasi.

“Kka, bisa nggak lo pergi dari sini? Ide-ide gue ntar hilang.” Kata Rio.

“Halah. Kayak gue setan pengganggu aja. Udah deh, lo ngaku aja. Lo lagi jatuh cinta kan? Sama siapa? Kasih tau gue dong!”

Dasar Cakka sok tau! Batin Rio.

“Nggak. Gue nggak lagi jatuh cinta. Gue lagi stres karena mikirin tugas kuliah yang banyak.” Kata Rio.

“Gitu aja lo strers. Mata lo tuh sakit gara-gara keseringan natap laptop tiap hari. Ooo.. Gue baru tau.. Pacar lo laptop kan? Makanya selama ini lo selalu nolak cinta dari pacar cewek. Tapi untunglah dulu lo nolak Agni jadi Agni bisa sama gue, hehe..”

Begitulah Cakka. Anaknya cerewet dan kalo ngomong nggak bisa woles. Beda dengan Rio yang bicaranya hemat dan nggak suka bicara yang nggak penting.

Dari arah fakultas MIPA, seorang cewek berkacamata yang sedikit terlihat malu dan tertutup duduk tak jauh dari tempat Rio dan Cakka berada. Cewek itu memesan jus alpukat dan roti bakar. Kalo diperhatikan, tampang cewek itu sangatlah manis dan tipe cewek yang cerdas.

Tanpa sengaja, Rio melirik ke arah cewek itu. Sialnya, cewek itu juga melirik ke arah Rio. Pandangan mereka bertemu. Cewek itu langsung menunduk dan menganggap kejadian tadi itu nggak pernah terjadi selama hidupnya.

“Kenapa Yo?” Tanya Cakka.

Rio tersadar dan cepat-cepat kembali pada laptopnya. Cakka tau ada sesuatu yang terjadi dengan Rio. Ia pun melihat ke arah cewek yang menurutnya menjadi pusat perhatian Rio. Cewek berkacamata yang terlihat diam dalam pikiran yang ia tidak ketahui. Hei, tunggu! Sepertinya ia familier dengan cewek itu. Tapi siapa ya?

“Kayaknya gue familiar sama tuh cewek.” Kata Cakka.

Mendengar ucapan Cakka barusan, Rio langsung menatap Cakka dengan penuh tanda tanya. “Siapa? Dia anak baru? Di fakultas apa cewek itu? Lo kenal sama cewek itu?” Tanya Rio.

Cakka tersenyum. Ia bisa menebak kejadian selanjutnya. Tentu Rio penasaran sama cewek itu dan harapan yang selama ini ia harap akan tercapai. Bisa jadi Rio naksir sama cewek itu dan jadian sama cewek itu. Cakka penasaran betul bagaimana tingkah Rio ketika pacaran sama cewek.

“Gue nggak tau siapa dia. Ntar deh gue tanya ke yang lain. Emangnya kenapa? Lo suka sama cewek itu?”

Rio gelapagan sendiri mendengar pertanyaan Cakka barusan. Suka? Suka sama cewek itu? Kenal aja enggak. Ngapain juga suka? Tapi kok, Rio kayak gugup gitu ya? Ah, lupain!

“Ngapain juga gue suka?”

“Alah, ngaku aja deh lo, Yo! Tuh cewek manis juga. Kenapa lo nggak coba kenalan lebih dekat aja?”

Kesepuluh jari Rio kembali menekan-nekan keyboard. Dia berusaha nggak mendengar apa yang diucapkan Cakka tadi. Cakka emang pengen sekali liat dia pacaran sama cewek. Ngobrol akrab sama cewek aja udah seneng. Apalagi pacaran?

“Yo, gue mau balik dulu, oke? Dan jangan lupa lo kenalan sama cewek itu. Hahaha..”

Cakka langsung berlari meninggalkan Rio yang ingin sekali menerkam Cakka. Kembali Rio melirik ke arah cewek tadi. Cewek itu hendak bangkit dari duduknya, lalu membayar dan langsung pergi meninggalkan kantin.

“Hmmm.. Kok cewek itu tampak misterius ya? Apa dia juga nggak punya temen?” Batin Rio.

***

Sebuah tempat dimana tempat itu adalah tempat masa kecilnya bersama Gabriel. Dulu, Gabriel sering mengajaknya pergi ke tempat itu. Tempat itulah tempat pertemuannya dengan Gabriel. Sekarang tempat itu udah diperbaharui dan menjadi tempat yang cantik.

Banyak bunga-bunga cantik bermekaran indah disana. Yang Sivia senyumkan, disana ada ayunan yang ia tau adalah ayunannya dengan Gabriel. Ya, masa kecil yang indah dan penuh dengan kenangan manis.

“Duduk disana yuk, Vi!” Ajak Gabriel.

Mereka duduk di dekat air mancur. Di hadapan mereka terlukis sebuah pemandangan yang indah. Hmm.. Ada juga ya tempat cantik, sejuk dan nyaman di Jakarta, batin Sivia.

“Gue akan selalu mengingat tempat ini.” Kata Gabriel pelan. Ia memejamkan mata, seolah merasakan semilir angin lembut yang lewat dihadapannya. Lalu ia membuka mata dan tersenyum melihat Sivia.

“Ya. Gue juga akan selalu mengingat tempat ini. Tempat yang hampir gue lupakan.” Tambah Sivia.

Tanpa Gabriel duga, Sivia sudah bersender di bahunya. Gabriel pun memeluk Sivia sehingga Sivia berada di dalam pelukannya.

“Yel, lo tau nggak tentang gosip itu?” Tanya Sivia.

“Gosip? Gue selalu nggak percaya yang namanya gosip. Kalo mereka menganggap kita pacaran terus kenapa? Nggak apa-apa juga kan?”

Sivia terdiam mendengar ucapan Gabriel. Kalo mereka menganggap kita pacaran terus kenapa? Nggak apa-apa juga kan?

“Ng.. Vi.. Udahlah, jangan dipikirin tentang gosip itu. Yang penting, kita sahabatan untuk selamanya kan?” Kata Gabriel.

Sepasang mata yang sedaritadi menyakiskan adegan itu sedikit merasa sakit, alias cemburu. Ia berusaha untuk tidak mengeluarkan emosinya yang ingin sekali ia keluarkan sehingga dapat membuat keonaran disini. Sepasang mata itulah orang yang dulu melihat cerianya dua bocah kecil yang bernama Sivia dan Gabriel.

“Tentu, Yel. Ohya, bagaimana menurut lo kalo seandainya gue punya cowok? Gue pengen punya cowok. Tapi masalahnya gue nggak bisa jatuh cinta.” Kata Sivia.

Sedikit Gabriel terenyak dengan ucapan Sivia, lalu ia tersenyum. Ia sadar, Sivia berhak mencintai lelaki manapun. Dan mungkin ketika Sivia sudah punya pacar, Gabriel harus bisa memberikan Sivia kebebasan untuk kapan aja bertemu sama cowok Sivia, juga Gabriel harus rela karena waktunya bersama Sivia berkurang, bahkan mungkin jarang bertemu.

Sepasang mata tadi tersenyum lega. Dapat ia simpulkan kalo Sivia sama sekali nggak memiliki rasa apapun sama Gabriel. Ia tau betul siapa Gabriel dan sangat mengenali Gabriel. Gabriel adalah teman semasa SMPnya. Bisa dibilang mereka adalah sahabat yang selalu bersama kapan saja.

“Gue yakin lo pasti bisa jatuh cinta.” Kata Gabriel.

Sivia tersenyum. “Ya. Gue akan belajar mencintai seseorang. Tapi seandainya gue udah punya pacar, gimana dengan persahabatan kita? Kita nggak mungkin kehilangan kontak kan?”

Ternyata Sivia khawatir banget kehilangan kontak dengan Gabriel. Memang sih Sivia sedikit manja sama Gabriel. Kalo nggak ada Gabriel disampingnya, Sivia nggak bakal tenang. Pokoknya, harus ada Gabriel disampingnya. Itu sifatnya sejak kecil yang nggak bisa dirubah. Bahkan kalo boleh dibilang, Sivia lebih dekat sama Gabriel dibanding Rio. Mengerikan bukan? Ya itulah namanya sahabat.

Tapi mulai saat ini Sivia berjanji untuk mandiri dan bersikap dewasa. Ia nggak boleh menjadi cewek yang manja. Ada tidak ada Gabriel, itu nggak berpengaruh bagi Sivia.

“Vi.. Lo itu merupakan bagian dari hidup gue. Kita nggak mungkin kehilangan kontak. Gue akan selalu ada buat lo kalo lo lagi sedih atau lagi ada masalah. Kita akan selalu bersama Vi..”

Saat ini, Sivia yang takut jika seandainya kehilangan Gabriel. Bagaimana jika Gabriel takut kehilangan Sivia? Bagaimana jika Sivia sudah memiliki cowok yang sekejap melupakan Gabriel?

Selama Gabriel bersahabat dengan Sivia, ia nggak bisa mengartikan perasaan yang ia rasakan. Tapi inti dari perasaannya, ia tidak ingin Sivia hilang dari sisinya. Apakah ini yang dinamakan...

Cinta?

Sejauh ini Gabriel tak pernah membahas soal cinta. Ia sama seperti Sivia. Belum pernah pacaran. Jatuh cinta pun ia tidak pernah merasakan. Di hidupnya, hanya ada satu cewek yang paling dekat dengannya selain Mamanya, yaitu Sivia.

Apa mungkin suatu hari nanti tiba-tiba ia mencintai Sivia? Dan rasa cinta itu sangat kuat sehingga ia harus memaksa Sivia supaya menjadi kekasihnya? Bagaimana jika Sivia menolak cintanya dan lebih memilih cowok lain?

Menyadari Gabriel terdiam dan nggak bicara, Sivia menegur Gabriel. “Yel.. Lagi mikirin apa?” Tanyanya.

“Oh.. Ng.. Nggak ada kok Vi.” Kata Gabriel yang tiba-tiba berubah menjadi gugup. Sungguh, mengapa tiba-tiba ia menjadi gugup? Apa sebenarnya yang terjadi dengannya?

“Oh.. Eh Yel, lo pernah nggak merasa pengen punya cewek?” Tanya Sivia.

Kegugupan Gabriel semakin bertambah. Tapi ia coba untuk biasa dan menyembunyikan kegugupannya agar Sivia nggak curiga.

“Mmm.. Nggak.” Jawab Gabriel. Ia emang nggak punya niat punya cewek.

“Jangan bilang lo nggak mau pacaran karena gue. Gue tau lo sayang sama gue. Tapi lo jangan terusan kayak gitu. Cobalah mencintai seseorang. Lo dan gue harus mempunyai kehidupan masing-masing.”

Gue nggak bisa berhenti menyayangi lo dan nggak bisa mencintai cewek lain selain lo, kata Gabriel dalam hati. Jadi, apa kesimpulannya ia benar-benar mencintai Sivia dan nggak mau kehilangan Sivia? Juga nggak mau Sivia ada dipelukan cowok lain?

“Yel.. Gue akan usahain ubah gaya hidup gue. Gue nggak akan manja-manja’an lagi sama lo. Gue pengen hidup mandiri.” Tekad Sivia.

Tentu saja Gabriel nggak bisa melarang Sivia untuk berubah. Ingat, ia hanya sebatas sahabat. Bukan pacar atau keluarga. Jadi ia nggak bisa ngatur-ngatur Sivia.

Yang menjadi kekhawatirannya saat ini, ia takut jika suatu hari nanti Sivia punya cowok dan perasaannya pada Sivia yang masih nggak jelas tiba-tiba berubah menjadi cinta. Mustahil banget bagi Gabriel untuk melarang Sivia memiliki cowok.

***

Matahari perlahan tenggelam di ufuk barat. Sebagian aktivitas manusia cukup sampai disini. Masing-masing pulang dengan membawa hasil kerja keras mereka. Sivia melangkahkan kaki ke dalam halaman rumahnya. Tadi, ia ingin mengajak Gabriel ke rumahnya. Tapi Gabriel menolak dengan alasan yang masuk akal dan bisa dipahami Sivia.

Namun menurut penilaian Sivia, Gabriel sedikit aneh. Gabriel sedikit lebih pendiam dan nggak banyak omong. Mungkin Gabriel sedang dihadapi masalah yang banyak, batin Sivia.

Di depan pintu rumah yang terbuka, Rio menatap tajam Sivia. Sivia tau kakaknya itu marah karena ia pulang nggak tepat waktu plus nggak beri kabar. Seharusnya ia pulang satu siang, bukan jam enam sore.

“Sorry, kak. Via tadi jalan-jalan sama Gabriel.” Kata Sivia.

Rio yang udah akrab sama Gabriel, walau umur mereka beda lima tahun sudah paham dengan kegiatan Sivia bersama Gabriel. Sivia emang banyak menghabiskan waktu bersama Gabriel. Seperti yang sudah dijelaskan tadi, Sivia lebih dekat dengan Gabriel dibanding Rio.

Karena Rio nggak bicara-bicara juga, Sivia masuk ke dalam rumah dan berjalan ke kamar. Ia membaringkan tubuhnya di atas kasur yang empuk.

“Lo nggak teraktir kakak lo yang ganteng ini?”

Tiba-tiba Rio udah ada di kamar Sivia. Nggak tau kapan cowok itu datang. Yang jelas Sivia kaget menyadari kakaknya udah berdiri di kamarnya.

“Traktir apaan?” Tanya Sivia. Apa otak kakaknya itu lagi nggak konek?

“Jangan pura-pura nggak tau, dan jangan cerdik membohongi kakak lo ini.” Rio duduk di kasur Sivia. “Udah lama kan lo pacaran sama Gabriel? Ngaku deh!” Lanjutnya.

Lho, lho, lho? Apa lagi ini? Apa gosip di sekolahnya udah nyampe di telinga kakaknya? Butuh ekstra yang keras ini buat jelasin ke Rio.

“Kak, gue sama Gabriel just friend. Inget, Just friend! Lo tuh yang nggak bisa bedain orang pacaran sama sahabatan.” Kata Sivia.

“Jangan bohong! Gue bisa nebak apa yang ada dipikiran lo.”

Sivia menjadi kesal sama Rio. Urusin aja tuh ceweknya yang masih dalam pencarian. Ngapain juga urus orang lain kalo dirinya sendiri belum beres?

“Udahlah, kak. Gue capek. Terserah lo deh mau bilang gue pacaran sama Gabriel. Gue nggak peduli.” Kata Sivia akhirnya, seperti ingin mengusir Rio dari kamarnya.

“Jadi ceritanya lo mau ngusir gue ya?”

“Iya. Terus kenapa? Pergi lo sana dari kamar gue. Bosen tau gue liat wajah lo.” Kesal Sivia. Ia bersiap-siap memukuli Rio pake bantal.

Rio malah tertawa. Ia memang suka godain Sivia sampai Sivia kesal. “Lo bosen liat wajah gue yang nggak pernah habis dinikmatin sama cewek-cewek?”

“Cewek-cewek yang nggak punya pikiran baru.”

Bantal yang ada di tangan Sivia langsung menghantam punggung Rio. Tapi ya, lucu juga kan kalo Rio kesakitan gara-gara dipukulin Sivia pake bantal? Bantal besi baru.

“Hahaha.. Piss Vi.. Gue juga bosen tau liat wajah lo..”

“Ihhh.. Kak Rio ngeselin!” Teriak Sivia yang menyadari Rio udah nggak ada di kamarnya. Jelangkung dia kali, tadi datang secara tiba-tiba dan pergi secara tiba-tiba.

Yah, meskipun begitu, Rio adalah cowok nomer satu dihidupnya setelah Ayah. Walau mulutnya sering ngucapin Rio itu cowok yang berada di tingak dua ratus dalam hidupnya.

Ya udah deh, tidur aja, ngantuk nihh.. Hehe...

***

Pukul delapan malam, Gabriel berjalan seorang diri. Sebenarnya ia ingin membeli makanan ringan di alfamart. Tapi kok pas nyampe di alfamart lolos aja?

Di telinganya ia pasangkan earphone. Gabriel terlihat menikmati lagu-lagu yang diputarkannya. Ternyata, jalan-jalan di malam hari sambil dengerin lagu asyik juga ya? Tapi hati-hati lo kalo yang cewek, ntar diculik lagi.

Sampai dipertigaan. Gabriel merasa nggak nyadar ia sedang berjalan. Ia dan kakinya nggak berkoordinasi. Gabriel nggak peduli akan dibawa kemana oleh kedua kakinya itu. Tapi jangan sampai dibawa ke kuburan deh...

“Hei! Gabriel Damanik!” Teriak suara seorang cowok yang memecahkan keheningan malam.

Telinganya nggak seperti kedua kakinya. Gabriel bisa mendengar ada seseorang yang memanggil namanya.

“Hei! Masih inget gue?” Tanya cowok itu tersenyum mendekati Gabriel.

Gabriel melepas earphonenya dari telinga, lalu memperhatikan sosok cowok yang ada dihadapannya. Cowok bertubuh tinggi dan atletis, dan juga tersirat keramahan kepada siapapun. Tunggu! Kayaknya ia kenal deh sama cowok itu.

“Ah, pikun lo! Masa’ temen kecil lo ini lo lupain?” Kata cowok itu nggak terima.

“Sebentar. Gue inget wajah lo. Mungkin karena malam hari jadi gue nggak bisa mikir. Otak gue lemah kalo buat mikir malam-malam.” Kata Gabriel.

“Hahaha.. Lo sama aja kayak dulu..” Tawa cowok itu.

Karena kesal juga sama cowok itu, Gabriel mencoba berpikir keras. Ia yakin ia pernah berteman dengan cowok itu. Gabriel mem-flashbackkan masa lalunya dari SD hingga SMP. Siapa saja orang yang pernah menjadi temannya hingga menjadi musuhnya.

“Ohh.. Gue tau! Gue tau!” Kata Gabriel kayak anak kecil yang udah dibeliin balon sama Ibunya.

“So, siapa gue?” Tanya cowok itu.

“Lo...”

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar