expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Sabtu, 07 Februari 2015

Friendship ( Part 15 )



This Feeling

“Only my shadow knows how I feel about you
Only my shadow goes when I dream about you and me”


Sesampainya di Toko Roti milik Harry, keduanya masuk dan bertemu dengan Gemma yang sedang sibuk melayani pelanggan. Setiap harinya jumlah pelanggan Harry bertambah dan hal itu membuat Harry senang. Ia tidak menyangka akan sesukses ini dengan waktu yang cepat. Ibunya dan kakaknya memutuskan untuk bekerja disini dan Ayahnya mengizinkannya. Bahkan Ayahnya begitu bangga dengan kerja kerasnya selama ini.

            Melihat kedatangan Taylor yang tidak biasa, Gemma langsung memeluknya. Ia tau kalau Taylor sedang bersedih dan ia berharap ia bisa menghilangkan rasa sedih yang dirasakan Taylor. Gemma sudah menganggap Taylor sebagai adiknya sendiri dan ia sudah lama mengenal Taylor dan bagaimana sikap Taylor.

            “Kau kenapa menangis? Ada masalah lagi? Terakhir ku lihat kau menangis saat mengetahui Louis mencintai Ele.” Tanya Gemma.

            “Selena. Dia pindah ke New York tadi.” Jawab Taylor dengan suara bergetar.

            Gemma pun melepaskan pelukannya. “Ku kira kau diganggu Harry.” Ucapnya sambil tertawa dan Taylor tersenyum mendengar gurauan Gemma. Sementara Harry menatap tidak suka ke arah kakaknya.

            Taylor bersyukur datang kemari karena kesedihan yang ia rasakan mulai berkurang. Disini, ia juga bisa belajar melayani para pelanggan. Ternyata, bekerja disini cukup mudah dan santai dibanding bekerja di kantor atau perusahaan. Tapi keinginannya untuk tinggal di panti asuhan bersama anak-anak sudah bulat. Taylor ingin sekali membagi ilmunya kepada anak-anak di panti asuhan itu. Ia yakin disana nanti ia akan mendapatkan kehidupannya yang sebenarnya dan juga kebahagiaannya. Tapi ya hanya satu yang ia takutkan, yaitu Ayahnya dan kemarahan Ayahnya jika sewaktu-waktu Ayahnya menjodohkannya dan ia tidak bisa lari begitu aja.

            “Harr..” Kata Taylor dengan suara yang pelan.

            “Hmm..” Ucap Harry tanpa menoleh ke arah Taylor.

            Sepertinya Taylor ragu melanjutkan ucapannya. “Ng… Kalau seandainya Ayah menjodohkanku dengan lelaki pilihannya gimana? Aku tidak mau Harr. Aku takut jika pulang nanti Ayah sudah bersama seorang lelaki dan aku tidak bisa berbuat apa-apa.” Ucapnya.

            “Artinya, kau disuruh Tuhan untuk mencari seorang pacar agar Ayahmu tidak terus-terusan membicarakan masalah jodoh.” Jawab Harry.

            Taylor mendengus kesal mendengar jawaban yang diberikan Harry. Bisa tidak sih Harry sepaham dengannya? Pikirannya memang selalu berlawanan dengan pikiran Harry. Harry menjalani hidupnya lebih banyak bersantai dan tenang sementara ia selalu diderai rasa ketakutan dan kebingungan.  

            “Ada saran lain selain yang kau jawab tadi?” Tanya Taylor.

            Harry pun menatap Taylor dengan heran. “Terkadang aku bingung dengan jalan pikiranmu. Ayahmu hanya menakut-nakutimu saja dan tidak mungkin dia akan menjodohkanmu dalam waktu yang sedekat ini. Sebaiknya kau minta maaf dengan Ayahmu dan bicara baik-baik dengannya. Bicara kalau kau berjanji akan berusaha mencari seseorang yang pantas mendampingimu. Jangan pernah mengatakan kalau kamu tidak akan menikah.” Jelasnya.

            “Ya.. Ya.. Aku paham..” Kata Taylor dengan malas.

            Entah mengapa Harry tersenyum mendengar suara Taylor yang begitu pasrah. Ia pun melanjutkan pekerjaannya dan membiarkan Taylor merenungkan sendiri tentang kesalahan-kesalahannya dan semoga sahabatnya itu sadar dan mulai berubah.

            Tidak terasa, waktu sudah hampir menunjukkan pukul delapan malam dan Taylor masih tetap berdiam diri di Toko Harry yang semakin ramai. Berkali-kali Ibunya memiscallnya dan ia merejectnya. Ia malas bicara dengan Ibunya walau Ibunya tidak salah dan sering membelanya. Taylor tersadar kalau ia berada di tempat ini dengan waktu yang cukup lama dan motornya yang tadi dikendarai oleh Harry masih ada di luar sana. Mau tidak mau ia harus pulang ke rumah.

            “Kau mau menginap disini? Atau mau jadi penjaga toko disini?” Tanya Harry.

            Taylor menatapnya dengan kesal. “Aku mau pulang.” Jawabnya lalu bangkit dan berjalan keluar mencari motornya sementara Harry mengikutinya dari belakang.

            “Aku antar pulang aja ya. Nanti aku pulang naik angkutan umum.” Kata Harry.

            Terpaksa Taylor mengangguk karena kunci motornya ada di tangan Harry dan ia tidak bisa mengambilnya. Motornya pun melaju membelah malam yang dingin. Di tengah perjalanan, wajah Ayah dan Ibunya terbayang-bayang dibenaknya. Ia takut jika ia sampai di rumah Ayah dan Ibunya memarahinya. Dan Selena.. Taylor terlalu sedih memikirkan satu sahabatnya itu. Tapi ia mencoba untuk ikhlas dan mulai menata kembali hidupnya yang sempat kacau karena masalah-masalah itu.

            Setelah tiba di pintu gerbang, Taylor merebut paksa kunci motornya sebelum Harry memainkan kunci motornya itu. “Terimakasih.” Ucapnya lalu memasukkan motornya ke dalam garasi rumah lalu berjalan masuk ke rumah tanpa mempedulikan Harry. Namun ia bersyukur Ayah dan Ibunya tidak bertanya kenapa ia lama sekali pulang dan ia cepat-cepat masuk ke dalam kamarnya.

            Di kamar, Taylor terdiam sambil merenung. Merenungkan semua yang telah menimpa hidupnya. Pertama Louis. Ia harus kehilangan lelaki yang dicintainya itu hanya demi kebahagiaan Ele. Kedua, ia harus kehilangan sahabat yang sangat dicintainya itu, yaitu Selena. Besoknya apa lagi? Taylor tersenyum sinis dan tidak sabar mendapat derita lagi. Jangan-jangan, di depan pintu kamarnya besok sudah ada seorang lelaki yang siap menjadi suaminya dan tidak ada caranya untuk menghindar.

            Taylor mengambil ponselnya dan disana ada dua pesan dari Selena. Kata Selena, dia menuliskan kata maaf disana. Dan Selena begitu merindukannya dan ingin mendengar suaranya. Tapi Taylor belum siap menelpon sahabatnya itu. Lalu ia teringat dengan Ele yang tiba-tiba merasakan kesakitan. Taylor berharap Ele baik-baik saja dan Ele mau memaklumi perbuatannya tadi karena ia benar-benar emosi dicampur sedih.

            Kemudian, gadis itu tertidur dengan lelap karena hatinya sudah sangat lelah. Gadis itu tidak sadar kalau Ibunya masuk ke dalam kamarnya sambil membelai rambutnya, seraya berkata, “Mama hanya ingin kamu bahagia. Jika kamu tidak ingin menikah, Mama tidak bisa melarangmu asalkan kamu bahagia.”

***

            Selepas mengantar Taylor pulang, Harry memutuskan untuk menikmati pemandangan malam. Ia memilih untuk berjalan kaki pulang dan tidak naik angkutan umum. Pemandangan malam sangatlah indah dan begitu romantis. Saat ia tiba di jalan raya, Harry banyak menemukan pasangan-pasangan yang berjalan sambil bahagia di malam ini. Harry menghela nafas panjang. Cinta memanglah indah dan ia baru sadar akan hal itu.

            Sewaktu disuruh untuk memohon satu permohonan, ia berharap bahwa gadis yang dicintainya itu tau perasaannya dan balik mencintainya. Kata sahabat-sahabatnya, alangkah beruntungnya gadis yang ia cintai. Selama ini, ia menganggap cinta hanyalah sesuatu yang tidak penting dan tidak akan menganggu hidupnya. Namun sekarang, Harry bisa merasakan seberapa dahsyat kekuatan cinta itu. Tidak heran jika Taylor terpuruk karena cinta, Harry bisa memakluminya.

            Sebelumnya, ia pernah mencintai beberapa gadis saat ia masih duduk di bangku SMP dan SMA. Sementara sewaktu kuliah ia tidak pernah merasa tertarik dengan gadis manapun. Tapi rasa cinta itu hanyalah sementara dan tidak dapat merubah hidupnya. Semua orang pasti kaget dan tidak percaya dengan gadis beruntung yang kini sudah mencuri hatinya. Harry terlalu malu dan gugup saat mengingat gadis itu. Dan saat ia bertemu dengan gadis itu, jantungnya selalu berdegup kencang, tapi ia berusaha agar terlihat biasa-biasa saja dihadapan gadis itu.

            Harry melewati area penjualan makanan-makanan yang lezat dan baunya sudah sampai dihidungnya. Sebenarnya ia begitu lapar namun Harry tidak mau membeli satu diantara makanan-makanan tersebut. Di malam ini ia hanya ingin berjalan sambil menikmati angin malam dan tentu saja memikirkan perasaannya yang tiba-tiba hadir tanpa bisa ia cegah.

            “Bang Harry!” Teriak suara seorang anak perempuan.

 Harry tersadar dan tau siapa pemilik suara itu. Dia adalah Kelly, salah satu murid lesnya. Kelly duduk di bangku SMP kelas satu dan dia yang paling suka menggodainya. Kelly pernah bilang padanya kalau seandainya dia berumur dua puluhan, Kelly bakalan ingin menjadi pacarnya dan Harry tertawa mendengar ucapan anak perempuan itu.

“Kenapa Kelly ada disini sendiri? Ini sudah malam lho.” Tanya Harry.

“Jutru Kelly yang nanya ke bang Harry. Nah lho, bang Harry lagi galau ya? Cieee.. Kelly sudah bisa nebak soalnya kakak kelas Kelly banyak yang seperti bang Harry.” Kata Kelly.
           
Harry langsung mengacak-acak rambut Kelly. “Kamu sok tau sekali.” Ucapnya dan entah mengapa ia ingin sekali mengacak-acak rambut Taylor.
           
“Bukannya Kelly sok tau bang. Tapi Kelly emang bisa nebak apa yang bang Harry pikirkan. Ngaku aja deh kalau bang Harry lagi jatuh cinta.”
            Anak perempuan yang bernama Kelly itu berhasil membuatnya kesal, juga menjadi sedikit gugup. Tapi akhirnya Harry mengaku juga. “Iya.. Iya.. Puas kamu?” Tanyanya.

            Kelly tertawa. “Ciee… Kelly penasaran siapa cewek yang berhasil membuat abang Kelly yang ganteng ini jatuh cinta. Kalau bang Harry sudah pacaran sama cewek yang bang Harry sukai dan mau menikah, jangan lupa undang Kelly ya..”

            Harry tersenyum. “Iya. Sekarang kamu pulang saja ya. Nah itu Mama kamu.” Kata Harry dan Kelly berlari menuju tempat Ibunya.

            Setelah kepergian Kelly, Harry memutuskan untuk kembali ke tokoknya dengan berjalan kaki. Sekarang hampir jam sembilan malam dan tokoknya tutup kira-kira pukul sebelas malam. Jadi ada waktu kurang lebih dua jam untuk berdiam diri di tokonya.

***

            Pagi yang berbeda dari pagi biasanya. Taylor terbangun dari mimpi buruknya. Dalam mimpi buruknya, ia merasa sendirian dan sahabat-sahabatnya telah meninggalkannya. Lalu, Ayahnya datang dan memaksanya untuk menikah dengan lelaki asing yang sangat tidak disukainya. Ia berusaha menghindar, menghindar dan ia terbangun dari tidurnya dengan nafas yang tersengal-sengal.

            Sebisa mungkin Taylor menenangkan dirinya dan yakin kalau semuanya akan baik-baik saja. Gadis itu juga berusaha untuk tidak menangis lagi dan cuek dengan segala hal yang menimpanya. Ia siap menerima berbagai macam cobaan kecuali Ayahnya yang akan menjodohkannya. Taylor bangkit dari tidurnya dan berjalan menuju ruang keluarga. Disana ada Ibunya yang sedang menonton televisi. Namun Taylor merasa Ibunya tidak baik.

            “Mama kenapa?” Tanya Taylor mendekati Ibunya.

            Ibunya tersenyum pucat. Astaga! Ibunya sedang sakit! Taylor bingung menghadapi Ibunya yang kini sedang sakit. Sementara Ayahnya tidak tau kemana. Ayahnya memang jarang sekali di rumah dan ia tidak pernah mempedulikan Ayahnya.

            “Mama sakit ya? Sebaiknya Mama di kamar aja. Atau lebih baik ke dokter saja?” Tanya Taylor.

            “Mama baik-baik saja kok. Cuma sedikit lelah saja.” Jawab Ibunya.

            Taylor tidak sengaja melirik ke arah meja makan dan disana tidak ada satupun makanan. Yang ada hanyalah nasi saja. Pasti Ibunya tidak bisa masak karena sakit. Taylor mendengus kesal. Ia sungguh-sungguh membenci hidupnya ini.

            “Mama ingin sekali merasakan masakanmu. Gimana kalau kamu buatin Mama bubur spesial?”

            Mau tidak mau Taylor mengangguk demi kesehatan Ibunya. Selama ini ia tidak pernah memasak makanan untuk Ibunya. Bahkan dirinya pun tidak. Taylor merasa dirinya masih anak-anak dan tidak akan pernah menjadi dewasa. Ia masih takut memegang pisau dan yang paling parah lagi, membersihkan ikan yang baginya sangat mengerikan.

            “Baiklah. Taylor akan buatin Mama bubur. Mama istirahat aja ya di kamar.” Kata Taylor dan diangguki Ibunya.

            Setelah Ibunya sudah ada di kamar, Taylor menjadi bingung. Bagaimana cara membuat bubur? Apa bahan-bahannya? Taylor melihat bahan-bahan makanan yang ada di rak dapur sambil berpikir-pikir. Ah, buat asal-asal aja yang penting jadi, gumamnya. Akhirnya Taylor mulai membuat bubur yang diminta Ibunya dan ia tidak peduli bagaimana rasanya.

            Butuh waktu setengah jam baginya membuat bubur dan akhirnya selesai. Baunya cukup enak dan ia yakin sekali rasanya enak juga. Sebelum memberi bubur ke Ibunya, terlebih dahulu ia mencicipi bubur buatannya itu. Dan pada suapan pertama….

            “ARGHH!! RASA APA INI?? KENAPA ANEH SEKALI??” Teriaknya sambil memuntahkan bubur yang dimakannnya. Ia yakin sekali jika Ibunya memakan bubur buatannya ini, mungkin Ibunya langsung dibawa ke rumah sakit.

            “Aku memang bodoh. Gadis bodoh.” Gumamnya sedih lalu membershikan bubur yang kececer di lantai. “Lebih baik beli di luar aja.” Sambungnya dan berharap Ibunya tidak kecewa padanya.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar