Part 3
.
.
.
Malam hari ini
nggak terlalu cerah. Cuma ada empat, lima bintang yang nongol di langit.
Seorang cowok yang memakai jaket berwarna hitam berjalan menelusuri tempat
tinggal di masa lalunya. Ia sedikit lupa dengan tempat ini. Lima tahun berada
di Singapura nyaris melumpuhkan ingatannya. Tapi, ada satu yang tak pernah dan
tak akan ia lupakan.
Seseorang yang dulu
sangat ia sukai diam-diam. Ia ingin menemui orang itu. Tapi sayangnya, ia tidak
memiliki keberanian. Ia hanya bisa melihat dari jauh dan nggak berani mendekat.
Sekarang, ia disekolahkan di SMA Vincen, sekolah yang nggak kalah bagusnya
dengan SMA Value.
Nama cowok itu
adalah Alvin. Ia adalah cowok cakep, tinggi, dan ramah. Siapapun akan jatuh
cinta melihatnya. Banyak cewek-cewek yang ingin jadi pacarnya. Mulai dari cewek
yang berkategori tingkat bawah, sampai cewek yang berkategori tingkat atas.
Namun Alvin menolak dengan halus cinta dari cewek-cewek itu.
Alvin berjalan
sendirian. Memulihkan kembali ingataannya yang sempat hilang karena
kesibukannya di Singapura. Tanpa sengaja, ia melihat seorang cowok yang di
telinganya dipasang earphone.
Itu kan Gabriel!
Batin Alvin. Alvin mencoba untuk tersenyum. Gabriel adalah temannya sewaktu SD.
Ia kenal betul dengan Gabriel. Yang menjadi pertanyaannya, apakah Gabriel masih
mengingatnya?
“Hei! Gabriel
Damanik!” Teriak Alvin.
Yang diteriaki
menoleh. Alvin berjalan dengan langkah lebar menemui cowok yang ia yakini
adalah Gabriel, temannya dulu.
“Hei! Masih inget
gue?” Tanya Alvin.
Alvin dapat
menyimpulkan kalo cowok itu sedang berpikir. Gaya mikirnya Gabriel nggak pernah
berubah. Apalagi kalo Gabriel mikir di malam hari. Otaknya nggak pernah konek.
“Ah, pikun lo!
Masa’ temen kecil lo ini lo lupain?”
Gabriel pun
berkata, “Sebentar. Gue inget wajah lo. Mungkin karena malam hari jadi gue
nggak bisa mikir. Otak gue lemah kalo buat mikir malam-malam.”
Benar kan. Gabriel
nggak pernah bisa berpikir keras pada malam hari. Aneh bukan? Kena penyakit apa
tuh Gabriel? Harus diteliti nih.
“Hahaha.. Lo sama
aja kayak dulu..” Tawa Alvin. Lucu juga liat ekspresi Gabriel kalo lagi mikir.
Tapi kemudian
Gabriel ingat siapa dirinya. Dilihat dari wajahnya yang mulai bersinar, Alvin
yakin Gabriel udah tau siapa dirinya.
“Ohh.. Gue tau! Gue
tau!” Teriak Gabriel.
Duh, kayak anak
kecil aja. Alvin ingin saja tertawa lagi tapi ia tahan tawanya. Ntar kalo ia
ketawa Gabriel bakal ngamuk. Tapi sekarang nggak tau sih. Soalnya dulu kalo ia
gangguin Gabriel, Gabriel jadi ngamuk dan memusuhinya untuk beberapa hari.
“So, siapa gue?”
Tanya Alvin.
“Lo... Alvin kan?
Temen SD gue?” Kata Gabriel.
“Yap! Akhirnya lo
inget juga siapa gue.”
Gabriel senang
banget bertemu Alvin kembali. Jadi, apa Alvin akan tinggal di Jakarta? Sivia
bakal senang tuh. Dulu Alvin dan Sivia sempat kenalan juga. Tapi nggak tau sih
apa Sivia masih ingat Alvin karena mereka cuma dua kali ketemuannya.
“Gimana kabar lo?
Betah nggak lo di Singapur? Udah punya cewek belum?” Tanya Gabriel.
“Bentar-bentar.
Pelan-pelan aja. Kabar gue baik. Gue betah kok tinggal di Singapur, tapi
sayangnya cowok ganteng kayak gue belum punya cewek.” Jawab Alvin yang kalo
disimak sama narsisnya kayak Rio.
“Serius? Gue kira
cewek lo ratusan.” Canda Gabriel.
Karena nggak enak
ngobrol di tengah jalan, mereka memutuskan ngobrol di warung Pak Joko, sekalian
beli mie ayam karena Alvin kangen banget sama mie ayam.
“Gue juga nggak
punya cewek.” Kata Gabriel di sela-sela makannya.
“Hahaha.. Artinya
lo nggak laku..” Tawa Alvin.
“Kayak lo nggak
laku juga.”
Malam semakin
larut. Obrolan mereka semakin seru dan asyik. Alvin yang dikenal banyak omong
menceritakan pengalamannya selama di Singapura. Ngomong-ngomong, Alvin juga
jago main basket, sama kayak Sivia. Sedangkan Gabriel, dribel aja nggak bisa.
Malu-maluin kan?
Ada satu pertanyaan
yang sejak tadi Alvin sembunyikan. Ia ragu mengeluarkan pertanyaannya itu. Tapi
akhirnya ia memberanikan diri bertanya pada Gabriel.
“Gimana kabar
Sivia?” Tanya Alvin.
Saat Alvin menyebut
nama ‘Sivia’, entah mengapa hati Gabriel menjadi panas. Oh astaga, apa ia tidak
suka ada cowok yang menanyai kabar Sivia? Itu kan hanya menanyai kabar aja, kok
rasanya seperti... Ah, sudahlah.
“Sivia baik.” Jawab
Gabriel singkat.
“Lo.. Lo masih
temenan sama dia kan? Apa kalian.. Pacaran?” Tanya Alvin lebih detail.
Hampir saja Gabriel
mau jawab ‘iya’. Namun ia sadar kalo ia dan Sivia hanya sebatas sahabat. Kalo
seandainya Alvin suka sama Sivia dan menembak Sivia, apa salahnya? Itu kan
haknya Alvin, dan ia nggak bisa melarang.
“Nggak. Gue sama
dia sebatas sahabat. Tapi kami sangat dekat.”
Alvin mencoba
mencari kebenaran di mata Gabriel. Nggak mungkin kan mereka hanya bersahabat.
Tadi ia melihat Sivia mesra banget sama Gabriel. Apa namanya itu kalo bukan
pacaran?
“Oh.. Tapi kalian
cocok deh.” Kata Alvin.
Sial! Mengapa
kalimat itu yang keluar dari mulutnya? Bukannya.. Bukannya tujuannya kemari
untuk menjemput cintanya? Ya, benar. Cintanya yang bernama Sivia. Sudah lama ia
menyukai Sivia. Tapi ia tak berani mengatakan langsung ke Sivia.
“Vin, udah malam.
Besok gue mau sekolah. Mmm.. Nomer HP lo berapa?”
“Ohyaya..”
Alvin menyebutkan
deretan nomornya dan Gabriel menyimpannya di kontak HP. Sebenarnya ia ingin
lama-lama berada disini. Tapi kenapa mungkin perasaannya jadi nggak enak bahas
soal Sivia.
“Oke, thanks. Rumah
gue nggak jauh dari tempat ini. See you..”
Melihat Gabriel
pergi, Alvin juga ingin balik ke rumah. Alvin tinggal bersama tantenya karena
kedua orangtuanya masih di Singapura.
Ah ya, besok kan
udah mulai sekolah?
***
SMA Vincen sedang
kedatangan seorang murid baru pindahan dari sekolah di Singapura. Semua murid
melongo melihat murid baru itu yang bisa dikategorikan sebagai cowok cakep. Ya,
tentu saja murid baru itu adalah Alvin, teman dari Gabriel di waktu kecil.
Sebenarnya Alvin berniat
mendaftar sekolah di SMA Value karena disana ada Gabriel. Tapi Tantenya yang
bernama Wina memaksanya mendaftar di SMA Vincen, dan Alvin nggak bisa membantah
keinginan Wina. Baginya, keputusan Wina adalah keputusan yang terbaik. Ia takut
kalo seandainya pilih SMA Value, banyak masalah yang nggak bisa ia hadapi.
Alvin yakin SMA Vincen adalah sekolah
yang terbaik dan ia nyaman berada di sekolah itu.
Seorang guru
berambut sebahu dan sedikit kemerah-merahan tersenyum menyambut kedatangan
Alvin. Guru itu kenal baik dengan keluarga Alvin. Makanya guru itu seperti
akrab dengan Alvin walau Alvin sendiri nggak merasa kenal sama guru itu.
“Welcome to SMA
Vincen! I hope, this school is your best choice. I’m sure, the students very
nice to you.” Kata guru itu yang bernama Mawa.
“Yes. Thank you.”
Kata Alvin.
“Ohya, kelasmu ada
di X.3. Tunggu dulu ya..”
Mawa memanggil
seorang murid cowok yang lagi duduk di sofa dekat mejanya. Murid cowok itu
mengangguk menerima tugas dari Mawa untuk mengantar murid baru menuju kelasnya.
“Nah Alvin, biar
Ray aja yang antar kamu ke kelas.” Kata Mawa.
Alvin mengangguk
seraya mengikuti langkah Ray. Ray adalah tipe cowok cerdas dan hemat bicara.
Kalo boleh dikatakan, orang yang cerdas itu banyak diamnya. Alvin banyak
memiliki teman yang berotak cerdas tapi banyak diamnya. Tapi nggak semua juga
sih. Dari wajahnya yang serius dan memakai kacamata, Alvin yakin sekali Ray
termasuk jajaran murid berprestasi di sekolah ini.
“Itu kelas lo.
Ohya, nama gue Ray. Gue ada di 2IPA-1.” Kata Ray.
“Oke, thanks.” Kata
Alvin.
Kelas X.3 tampak
ramai. Alvin yakin sekali di kelas itu nggak ada guru. Kalo ada guru, pasti
kelas itu sepi bagaikan kuburan. Saat Alvin masuk ke dalam kelas, tiba-tiba
kelas berubah menjadi sepi. Cewek-ceweknya pada terdiam melihat wajah Alvin.
Jadi begini ya
reaksi mereka liat wajah ganteng kayak gue, batin Alvin sambil tersenyum. Ia
melihat ada bangku kosong paling belakang.
“Hai cowok!” Sapa
seorang cewek yang agak centil.
Merasa dipanggil,
Alvin yang udah duduk manis dibangkunya menoleh ke arah sumber suara. Seorang
cewek berpenampilan cantik tersenyum manis ke arahnya. Alvin hanya membalas
cewek itu dengan anggukan. Tak ada sebersit keinginan untuk berkenalan dengan
cewek itu.
“Nama lo siapa?”
Tanya seorang cowok yang berada di depan bangku Alvin.
“Nama gue Alvin.”
Jawab Alvin.
“Ooo.. Lo nggak mau
tau siapa nama gue?” Tanya cowok itu lagi.
Alvin tersenyum.
Sepertinya itu tipe cowok yang humoris dan hobi membuat kelucuan di kelas atau
di tempat manapun.
“Nama lo siapa?”
Tanya Alvin, berusaha meng-konek antara dirinya dengan calon teman barunya itu.
“Coba tebak. Huruf
depannya D, dan belakangnya A.” Jawab cowok itu. Wah, kayaknya dimulai nih
acara game tebak-tebakan.
“Apa ya? Gue nggak
tau. Jangan berhenti becanda deh. Gue tipe orang yang to the point dan hemat
bicara.”
“Ah, lo nggak
asyik.” Kata cowok itu setengah ngambek. Hmm.. Kayak cewek aja. Apa cowok itu
manusia setengah banci? Dilihat dari penampilannya kayak cewek.
“Lo cowok atau
cewek sih?” Tanya Alvin akhirnya.
Cowok itu tertawa.
Gini-gini ditanyain. “Ya udah, ya udah. Nama gue Deva. Gue cowok tulen. Kalo lo
ngira gue cewek, mungkin pas mami gue lagi ngandung gue, dia berharap bayi yang
dikandungnya berjenis cewek. Eh tau-tau, yang keluar berjenis cowok. Tapi
tenang aja, gue normal kok. Gue udah punya pacar.” Jelas cowok yang bernama
Deva
Seorang guru masuk
ke dalam kelas X.3. Riko, sang ketua kelas mengucapkan salam kepada guru
tersebut. Guru itu tersenyum menyambut salam dari para muridnya. Lalu penglihatannya
terpusat pada murid yang duduk sendiri di belakang.
“Alvin Jonathan.
Ibu senang kamu memilih sekolah ini. Semoga kamu betah dan banyak mendapatkan
teman disini.” Kata guru itu.
“Terimakasih, Bu.”
Jawab Alvin.
Siapa sangka?
Ternyata Alvin begitu dikenal sama guru-guru di sekolah SMA Vincen. Memang,
keluarga Alvin kenal betul dengan SMA Vincen yang entah itu gurunya, kepseknya,
TU-nya, satpamnya atau bibi-bibi yang berjualan di kantin.
“Lo orang penting
ya di sekolah ini?” Bisik Deva.
“Nggak juga.” Jawab
Alvin.
“Baiklah. Keluarkan
tugas yang kemarin lusa Ibu suruh kerjakan. Bagi yang nggak mengerjakan, ada
hadiahnya lho..”
Semuanya pun
mengeluarkan tugas masing-masing, kecuali Alvin. Nggak mungkin banget Alvin tau
kalo kelas X.3 diberi tugas, dia kan baru menginjakkan kaki di kelas ini sejak
pagi tadi?
***
SMA Value...
Di kantin, Sivia
memesan cilok aja. Dia nggak mau makan banyak-banyak. Dipikirannya hanya ada
satu. Yaitu pertandingan persahabatan yang akan digelar nanti sore. Jujur, Sivia
lagi nggak enak badan. Nggak tau kenapa. Semenjak tadi kepalanya nyut-nyutan.
Padahal tadi dia udah sarapan.
Febby yang udah
siap membawa makanan langsung duduk di samping Sivia. Melihat keadaan
sahabatnya yang sedikit pucat, Febby merasa simpati.
“Sakit? Nggak ke
UKS?” Tanya Febby.
“Ng.. Gue nggak
papa.” Kata Sivia.
“Jangan bohongin
gue. Gue tau lo lagi nggak enak badan.”
Ya, Febby emang
wajib tau keadaan Sivia. Walau Febby bukan dokter, tapi Febby tau kapan
saat-saat Sivia kalo lagi galau, sedih, bahagia, kesal dan sakit. Ya seperti
sekarang ini.
“Gimana
pertandingan nanti?” Tanya Febby. Ia menyesap es tehnya.
“Pertandingan?
Tentu saja gue ikut. Kalo nggak ada gue, tim kami pasti kalah.” Jawab Sivia
sedikit menyombongkan diri.
“Tapi kan, lo nggak
enak badan. Kalo lo kenapa-napa ntar gimana?”
“Udahlah Feb, itu
kan juga gue, bukan lo.”
Tumben Sivia sakit
seperti ini. Biasanya Sivia jarang sekali sakit. Sivia termasuk golongan cewek
yang kuat dan beda dengan cewek feminim lainnya. Meski Sivia nggak bisa
dibilang cewek tomboi. Kalo dilihat dari penampilan, semua orang mengira Sivia
adalah cewek feminim. Tapi menurut Sivia, dia biasa-biasa aja. Nggak terlalu
kecewek-cewekan dan nggak terlalu tomboi.
“Vi, udah mau bel.
Kita ke kelas yuk.” Ajak Febby.
“Ya udah. Jangan
lupa ya nanti sore nonton gue.”
***
SMA Vincen... Sepulang sekolah...
“Alvin!” Teriak
Deva. Cowok itu berlari mendekati Alvin yang udah ada di parkiran.
“Iya-Iya? Ada apa?
Kayak kesambet setan aja lo.” Kata Alvin.
Di hari pertama
sekolah, Alvin banyak mendapatkan teman. Cewek-cewek juga mulai banyak yang
ngefans sama Alvin. Maklum, Alvin kan anaknya ganteng? Kalo diperhatikan, Alvin
itu wajahnya mirip kayak pacar gue yang bernama MARIO MAURER. Benar nggak? Deva
termasuk salah satu teman yang paling dekat dengan Alvin karena Deva yang
paling pertama dikenal Alvin.
“Ntar lo nggak mau
nonton pertandingan basket antara SMA kita vs SMA Value? Cewek lho yang maen.”
Kata Deva semangat.
Mendengar Deva
mengucapkan ‘SMA Value’, Alvin jadi teringat Sivia. Ya, cewek itu kan sekolah
disana. Alvin jadi senyum sendiri mengingat nama itu. Ah, kapan ya gue bisa
ketemu Sivia? Nanti Sivia ikut nonton nggak ya?
“Bisa-bisa. Dimana?
Di SMA kita ato SMA Value?” Tanya Alvin. Dan semoga aja di SMA Value soalnya ia
yakin sekali Sivia masih ada di sekolah. Kalo di SMA Vincen, kemungkinan besar
Sivia nggak bakal nonton. Gini-gini kan cuma pertandingan biasa aja, bukan yang
sebenarnya.
“Kita dong!
Pokoknya tim ceweknya harus menang. Lo tau, tim cowoknya pada kalah lawan SMA
Value. Makanya gue sering ngomel-ngomel nggak jelas kalo mereka kalah.” Kata
Deva.
“Iya-iya, ntar gue
gabung aja. Gue kan juga jago maen basket. Mungkin kehadiran gue disana bisa
bantu buat kuatin tim mereka.”
“Nah ya, bagus-bagus.”
Setelah pembicaraan
selesai, Alvin menghidupkan mesin motornya. Siang yang cukup panas ini membuat
tenggorokannya kering dan sangat haus. Pokoknya nanti pulang-pulang langsung
minum air segalon deh, hihihi...
***
SMA Value... Sepulang sekolah...
Gabriel berjalan
keluar kelas. Akhirnya ia dikasih pulang setelah menyelesaikan sepuluh soal
matematika yang mengerikan. Nggak banyak kok teman-temannya yang bisa jawab. Ia
yang otaknya pintar aja ada beberapa yang nggak bisa dijawab.
Kelas Sivia udah kosong.
Gabriel tersenyum melintasi kelas itu. Sivia. Nama yang sangat cantik, sama
seperti orangnya.
“Sivia mana? Pasti
udah pulang.” Gumam Gabriel.
Ponsel yang ia
taruh di kantong celana ia ambil, lalu ia mencari nama ‘Sivia’ di kontak HPnya.
Tapi sayangnya, ternyata nomer Sivia nggak aktif.
“Perasaan gue kok
jadi nggak enak ya?”
Gabriel tau dari
Febby kalo Sivia lagi nggak enak badan. Tapi Sivia tetap memaksakan diri untuk
ikut dalam pertandingan nanti. Sivia.. Sivia... Jangan dipaksakan. Itu kan bukan
pertandingan sungguhan, cuma persahabatan aja.
Sampai di dekat
pintu gerbang yang suasananya sepi, hanya ada beberapa anak disana yang
menunggu jemputan. Gabriel berjalan ke luar pintu gerbang karena ia ingin
membeli makanan di luar untuk mengganjal perutnya yang kosong gara-gara dimakan
sama matematika tadi.
“Yel..”
Sebuah lirihan yang
terdengar di telinga Gabriel. Gabriel hafal suara itu. Itu kan... Cepat-cepat
Gabriel berlari menuju sumber suara itu, dan ketika ia sampai...
“Sivia?”
***
Directioner ya?? Swifty juga ya?? 5SOSFAM juga? BTW tentang one direction udah taj ya tentang keluarnya zayn dari one direction??
BalasHapusiya zayn udah keluar dari 1D...
BalasHapus