expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Minggu, 08 Februari 2015

We Love You Sivia! ( Part 3 )



Part 3

.

.

.

Malam hari ini nggak terlalu cerah. Cuma ada empat, lima bintang yang nongol di langit. Seorang cowok yang memakai jaket berwarna hitam berjalan menelusuri tempat tinggal di masa lalunya. Ia sedikit lupa dengan tempat ini. Lima tahun berada di Singapura nyaris melumpuhkan ingatannya. Tapi, ada satu yang tak pernah dan tak akan ia lupakan.

Seseorang yang dulu sangat ia sukai diam-diam. Ia ingin menemui orang itu. Tapi sayangnya, ia tidak memiliki keberanian. Ia hanya bisa melihat dari jauh dan nggak berani mendekat. Sekarang, ia disekolahkan di SMA Vincen, sekolah yang nggak kalah bagusnya dengan SMA Value.

Nama cowok itu adalah Alvin. Ia adalah cowok cakep, tinggi, dan ramah. Siapapun akan jatuh cinta melihatnya. Banyak cewek-cewek yang ingin jadi pacarnya. Mulai dari cewek yang berkategori tingkat bawah, sampai cewek yang berkategori tingkat atas. Namun Alvin menolak dengan halus cinta dari cewek-cewek itu.

Alvin berjalan sendirian. Memulihkan kembali ingataannya yang sempat hilang karena kesibukannya di Singapura. Tanpa sengaja, ia melihat seorang cowok yang di telinganya dipasang earphone.

Itu kan Gabriel! Batin Alvin. Alvin mencoba untuk tersenyum. Gabriel adalah temannya sewaktu SD. Ia kenal betul dengan Gabriel. Yang menjadi pertanyaannya, apakah Gabriel masih mengingatnya?

“Hei! Gabriel Damanik!” Teriak Alvin.

Yang diteriaki menoleh. Alvin berjalan dengan langkah lebar menemui cowok yang ia yakini adalah Gabriel, temannya dulu.

“Hei! Masih inget gue?” Tanya Alvin.

Alvin dapat menyimpulkan kalo cowok itu sedang berpikir. Gaya mikirnya Gabriel nggak pernah berubah. Apalagi kalo Gabriel mikir di malam hari. Otaknya nggak pernah konek.

“Ah, pikun lo! Masa’ temen kecil lo ini lo lupain?”

Gabriel pun berkata, “Sebentar. Gue inget wajah lo. Mungkin karena malam hari jadi gue nggak bisa mikir. Otak gue lemah kalo buat mikir malam-malam.”

Benar kan. Gabriel nggak pernah bisa berpikir keras pada malam hari. Aneh bukan? Kena penyakit apa tuh Gabriel? Harus diteliti nih.

“Hahaha.. Lo sama aja kayak dulu..” Tawa Alvin. Lucu juga liat ekspresi Gabriel kalo lagi mikir.

Tapi kemudian Gabriel ingat siapa dirinya. Dilihat dari wajahnya yang mulai bersinar, Alvin yakin Gabriel udah tau siapa dirinya.

“Ohh.. Gue tau! Gue tau!” Teriak Gabriel.

Duh, kayak anak kecil aja. Alvin ingin saja tertawa lagi tapi ia tahan tawanya. Ntar kalo ia ketawa Gabriel bakal ngamuk. Tapi sekarang nggak tau sih. Soalnya dulu kalo ia gangguin Gabriel, Gabriel jadi ngamuk dan memusuhinya untuk beberapa hari.

“So, siapa gue?” Tanya Alvin.

“Lo... Alvin kan? Temen SD gue?” Kata Gabriel.

“Yap! Akhirnya lo inget juga siapa gue.”

Gabriel senang banget bertemu Alvin kembali. Jadi, apa Alvin akan tinggal di Jakarta? Sivia bakal senang tuh. Dulu Alvin dan Sivia sempat kenalan juga. Tapi nggak tau sih apa Sivia masih ingat Alvin karena mereka cuma dua kali ketemuannya.

“Gimana kabar lo? Betah nggak lo di Singapur? Udah punya cewek belum?” Tanya Gabriel.

“Bentar-bentar. Pelan-pelan aja. Kabar gue baik. Gue betah kok tinggal di Singapur, tapi sayangnya cowok ganteng kayak gue belum punya cewek.” Jawab Alvin yang kalo disimak sama narsisnya kayak Rio.

“Serius? Gue kira cewek lo ratusan.” Canda Gabriel.

Karena nggak enak ngobrol di tengah jalan, mereka memutuskan ngobrol di warung Pak Joko, sekalian beli mie ayam karena Alvin kangen banget sama mie ayam.

“Gue juga nggak punya cewek.” Kata Gabriel di sela-sela makannya.

“Hahaha.. Artinya lo nggak laku..” Tawa Alvin.

“Kayak lo nggak laku juga.”

Malam semakin larut. Obrolan mereka semakin seru dan asyik. Alvin yang dikenal banyak omong menceritakan pengalamannya selama di Singapura. Ngomong-ngomong, Alvin juga jago main basket, sama kayak Sivia. Sedangkan Gabriel, dribel aja nggak bisa. Malu-maluin kan?

Ada satu pertanyaan yang sejak tadi Alvin sembunyikan. Ia ragu mengeluarkan pertanyaannya itu. Tapi akhirnya ia memberanikan diri bertanya pada Gabriel.

“Gimana kabar Sivia?” Tanya Alvin.

Saat Alvin menyebut nama ‘Sivia’, entah mengapa hati Gabriel menjadi panas. Oh astaga, apa ia tidak suka ada cowok yang menanyai kabar Sivia? Itu kan hanya menanyai kabar aja, kok rasanya seperti... Ah, sudahlah.

“Sivia baik.” Jawab Gabriel singkat.

“Lo.. Lo masih temenan sama dia kan? Apa kalian.. Pacaran?” Tanya Alvin lebih detail.

Hampir saja Gabriel mau jawab ‘iya’. Namun ia sadar kalo ia dan Sivia hanya sebatas sahabat. Kalo seandainya Alvin suka sama Sivia dan menembak Sivia, apa salahnya? Itu kan haknya Alvin, dan ia nggak bisa melarang.

“Nggak. Gue sama dia sebatas sahabat. Tapi kami sangat dekat.”

Alvin mencoba mencari kebenaran di mata Gabriel. Nggak mungkin kan mereka hanya bersahabat. Tadi ia melihat Sivia mesra banget sama Gabriel. Apa namanya itu kalo bukan pacaran?

“Oh.. Tapi kalian cocok deh.” Kata Alvin.

Sial! Mengapa kalimat itu yang keluar dari mulutnya? Bukannya.. Bukannya tujuannya kemari untuk menjemput cintanya? Ya, benar. Cintanya yang bernama Sivia. Sudah lama ia menyukai Sivia. Tapi ia tak berani mengatakan langsung ke Sivia.

“Vin, udah malam. Besok gue mau sekolah. Mmm.. Nomer HP lo berapa?”

“Ohyaya..”

Alvin menyebutkan deretan nomornya dan Gabriel menyimpannya di kontak HP. Sebenarnya ia ingin lama-lama berada disini. Tapi kenapa mungkin perasaannya jadi nggak enak bahas soal Sivia.

“Oke, thanks. Rumah gue nggak jauh dari tempat ini. See you..”

Melihat Gabriel pergi, Alvin juga ingin balik ke rumah. Alvin tinggal bersama tantenya karena kedua orangtuanya masih di Singapura.

Ah ya, besok kan udah mulai sekolah?

***

SMA Vincen sedang kedatangan seorang murid baru pindahan dari sekolah di Singapura. Semua murid melongo melihat murid baru itu yang bisa dikategorikan sebagai cowok cakep. Ya, tentu saja murid baru itu adalah Alvin, teman dari Gabriel di waktu kecil.

Sebenarnya Alvin berniat mendaftar sekolah di SMA Value karena disana ada Gabriel. Tapi Tantenya yang bernama Wina memaksanya mendaftar di SMA Vincen, dan Alvin nggak bisa membantah keinginan Wina. Baginya, keputusan Wina adalah keputusan yang terbaik. Ia takut kalo seandainya pilih SMA Value, banyak masalah yang nggak bisa ia hadapi. Alvin yakin  SMA Vincen adalah sekolah yang terbaik dan ia nyaman berada di sekolah itu.

Seorang guru berambut sebahu dan sedikit kemerah-merahan tersenyum menyambut kedatangan Alvin. Guru itu kenal baik dengan keluarga Alvin. Makanya guru itu seperti akrab dengan Alvin walau Alvin sendiri nggak merasa kenal sama guru itu.

“Welcome to SMA Vincen! I hope, this school is your best choice. I’m sure, the students very nice to you.” Kata guru itu yang bernama Mawa.

“Yes. Thank you.” Kata Alvin.

“Ohya, kelasmu ada di X.3. Tunggu dulu ya..”

Mawa memanggil seorang murid cowok yang lagi duduk di sofa dekat mejanya. Murid cowok itu mengangguk menerima tugas dari Mawa untuk mengantar murid baru menuju kelasnya.

“Nah Alvin, biar Ray aja yang antar kamu ke kelas.” Kata Mawa.

Alvin mengangguk seraya mengikuti langkah Ray. Ray adalah tipe cowok cerdas dan hemat bicara. Kalo boleh dikatakan, orang yang cerdas itu banyak diamnya. Alvin banyak memiliki teman yang berotak cerdas tapi banyak diamnya. Tapi nggak semua juga sih. Dari wajahnya yang serius dan memakai kacamata, Alvin yakin sekali Ray termasuk jajaran murid berprestasi di sekolah ini.

“Itu kelas lo. Ohya, nama gue Ray. Gue ada di 2IPA-1.” Kata Ray.

“Oke, thanks.” Kata Alvin.

Kelas X.3 tampak ramai. Alvin yakin sekali di kelas itu nggak ada guru. Kalo ada guru, pasti kelas itu sepi bagaikan kuburan. Saat Alvin masuk ke dalam kelas, tiba-tiba kelas berubah menjadi sepi. Cewek-ceweknya pada terdiam melihat wajah Alvin.

Jadi begini ya reaksi mereka liat wajah ganteng kayak gue, batin Alvin sambil tersenyum. Ia melihat ada bangku kosong paling belakang.

“Hai cowok!” Sapa seorang cewek yang agak centil.

Merasa dipanggil, Alvin yang udah duduk manis dibangkunya menoleh ke arah sumber suara. Seorang cewek berpenampilan cantik tersenyum manis ke arahnya. Alvin hanya membalas cewek itu dengan anggukan. Tak ada sebersit keinginan untuk berkenalan dengan cewek itu.

“Nama lo siapa?” Tanya seorang cowok yang berada di depan bangku Alvin.

“Nama gue Alvin.” Jawab Alvin.

“Ooo.. Lo nggak mau tau siapa nama gue?” Tanya cowok itu lagi.

Alvin tersenyum. Sepertinya itu tipe cowok yang humoris dan hobi membuat kelucuan di kelas atau di tempat manapun.

“Nama lo siapa?” Tanya Alvin, berusaha meng-konek antara dirinya dengan calon teman barunya itu.

“Coba tebak. Huruf depannya D, dan belakangnya A.” Jawab cowok itu. Wah, kayaknya dimulai nih acara game tebak-tebakan.

“Apa ya? Gue nggak tau. Jangan berhenti becanda deh. Gue tipe orang yang to the point dan hemat bicara.”

“Ah, lo nggak asyik.” Kata cowok itu setengah ngambek. Hmm.. Kayak cewek aja. Apa cowok itu manusia setengah banci? Dilihat dari penampilannya kayak cewek.

“Lo cowok atau cewek sih?” Tanya Alvin akhirnya.

Cowok itu tertawa. Gini-gini ditanyain. “Ya udah, ya udah. Nama gue Deva. Gue cowok tulen. Kalo lo ngira gue cewek, mungkin pas mami gue lagi ngandung gue, dia berharap bayi yang dikandungnya berjenis cewek. Eh tau-tau, yang keluar berjenis cowok. Tapi tenang aja, gue normal kok. Gue udah punya pacar.” Jelas cowok yang bernama Deva

Seorang guru masuk ke dalam kelas X.3. Riko, sang ketua kelas mengucapkan salam kepada guru tersebut. Guru itu tersenyum menyambut salam dari para muridnya. Lalu penglihatannya terpusat pada murid yang duduk sendiri di belakang.

“Alvin Jonathan. Ibu senang kamu memilih sekolah ini. Semoga kamu betah dan banyak mendapatkan teman disini.” Kata guru itu.

“Terimakasih, Bu.” Jawab Alvin.

Siapa sangka? Ternyata Alvin begitu dikenal sama guru-guru di sekolah SMA Vincen. Memang, keluarga Alvin kenal betul dengan SMA Vincen yang entah itu gurunya, kepseknya, TU-nya, satpamnya atau bibi-bibi yang berjualan di kantin.

“Lo orang penting ya di sekolah ini?” Bisik Deva.

“Nggak juga.” Jawab Alvin.

“Baiklah. Keluarkan tugas yang kemarin lusa Ibu suruh kerjakan. Bagi yang nggak mengerjakan, ada hadiahnya lho..”

Semuanya pun mengeluarkan tugas masing-masing, kecuali Alvin. Nggak mungkin banget Alvin tau kalo kelas X.3 diberi tugas, dia kan baru menginjakkan kaki di kelas ini sejak pagi tadi?

***

SMA Value...

Di kantin, Sivia memesan cilok aja. Dia nggak mau makan banyak-banyak. Dipikirannya hanya ada satu. Yaitu pertandingan persahabatan yang akan digelar nanti sore. Jujur, Sivia lagi nggak enak badan. Nggak tau kenapa. Semenjak tadi kepalanya nyut-nyutan. Padahal tadi dia udah sarapan.

Febby yang udah siap membawa makanan langsung duduk di samping Sivia. Melihat keadaan sahabatnya yang sedikit pucat, Febby merasa simpati.

“Sakit? Nggak ke UKS?” Tanya Febby.

“Ng.. Gue nggak papa.” Kata Sivia.

“Jangan bohongin gue. Gue tau lo lagi nggak enak badan.”

Ya, Febby emang wajib tau keadaan Sivia. Walau Febby bukan dokter, tapi Febby tau kapan saat-saat Sivia kalo lagi galau, sedih, bahagia, kesal dan sakit. Ya seperti sekarang ini.

“Gimana pertandingan nanti?” Tanya Febby. Ia menyesap es tehnya.

“Pertandingan? Tentu saja gue ikut. Kalo nggak ada gue, tim kami pasti kalah.” Jawab Sivia sedikit menyombongkan diri.

“Tapi kan, lo nggak enak badan. Kalo lo kenapa-napa ntar gimana?”

“Udahlah Feb, itu kan juga gue, bukan lo.”

Tumben Sivia sakit seperti ini. Biasanya Sivia jarang sekali sakit. Sivia termasuk golongan cewek yang kuat dan beda dengan cewek feminim lainnya. Meski Sivia nggak bisa dibilang cewek tomboi. Kalo dilihat dari penampilan, semua orang mengira Sivia adalah cewek feminim. Tapi menurut Sivia, dia biasa-biasa aja. Nggak terlalu kecewek-cewekan dan nggak terlalu tomboi.

“Vi, udah mau bel. Kita ke kelas yuk.” Ajak Febby.

“Ya udah. Jangan lupa ya nanti sore nonton gue.”

***

SMA Vincen... Sepulang sekolah...

“Alvin!” Teriak Deva. Cowok itu berlari mendekati Alvin yang udah ada di parkiran.

“Iya-Iya? Ada apa? Kayak kesambet setan aja lo.” Kata Alvin.

Di hari pertama sekolah, Alvin banyak mendapatkan teman. Cewek-cewek juga mulai banyak yang ngefans sama Alvin. Maklum, Alvin kan anaknya ganteng? Kalo diperhatikan, Alvin itu wajahnya mirip kayak pacar gue yang bernama MARIO MAURER. Benar nggak? Deva termasuk salah satu teman yang paling dekat dengan Alvin karena Deva yang paling pertama dikenal Alvin.

“Ntar lo nggak mau nonton pertandingan basket antara SMA kita vs SMA Value? Cewek lho yang maen.” Kata Deva semangat.

Mendengar Deva mengucapkan ‘SMA Value’, Alvin jadi teringat Sivia. Ya, cewek itu kan sekolah disana. Alvin jadi senyum sendiri mengingat nama itu. Ah, kapan ya gue bisa ketemu Sivia? Nanti Sivia ikut nonton nggak ya?

“Bisa-bisa. Dimana? Di SMA kita ato SMA Value?” Tanya Alvin. Dan semoga aja di SMA Value soalnya ia yakin sekali Sivia masih ada di sekolah. Kalo di SMA Vincen, kemungkinan besar Sivia nggak bakal nonton. Gini-gini kan cuma pertandingan biasa aja, bukan yang sebenarnya.

“Kita dong! Pokoknya tim ceweknya harus menang. Lo tau, tim cowoknya pada kalah lawan SMA Value. Makanya gue sering ngomel-ngomel nggak jelas kalo mereka kalah.” Kata Deva.

“Iya-iya, ntar gue gabung aja. Gue kan juga jago maen basket. Mungkin kehadiran gue disana bisa bantu buat kuatin tim mereka.”

“Nah ya, bagus-bagus.”

Setelah pembicaraan selesai, Alvin menghidupkan mesin motornya. Siang yang cukup panas ini membuat tenggorokannya kering dan sangat haus. Pokoknya nanti pulang-pulang langsung minum air segalon deh, hihihi...

***

SMA Value... Sepulang sekolah...

Gabriel berjalan keluar kelas. Akhirnya ia dikasih pulang setelah menyelesaikan sepuluh soal matematika yang mengerikan. Nggak banyak kok teman-temannya yang bisa jawab. Ia yang otaknya pintar aja ada beberapa yang nggak bisa dijawab.

Kelas Sivia udah kosong. Gabriel tersenyum melintasi kelas itu. Sivia. Nama yang sangat cantik, sama seperti orangnya.

“Sivia mana? Pasti udah pulang.” Gumam Gabriel.

Ponsel yang ia taruh di kantong celana ia ambil, lalu ia mencari nama ‘Sivia’ di kontak HPnya. Tapi sayangnya, ternyata nomer Sivia nggak aktif.

“Perasaan gue kok jadi nggak enak ya?”

Gabriel tau dari Febby kalo Sivia lagi nggak enak badan. Tapi Sivia tetap memaksakan diri untuk ikut dalam pertandingan nanti. Sivia.. Sivia... Jangan dipaksakan. Itu kan bukan pertandingan sungguhan, cuma persahabatan aja.

Sampai di dekat pintu gerbang yang suasananya sepi, hanya ada beberapa anak disana yang menunggu jemputan. Gabriel berjalan ke luar pintu gerbang karena ia ingin membeli makanan di luar untuk mengganjal perutnya yang kosong gara-gara dimakan sama matematika tadi.

“Yel..”

Sebuah lirihan yang terdengar di telinga Gabriel. Gabriel hafal suara itu. Itu kan... Cepat-cepat Gabriel berlari menuju sumber suara itu, dan ketika ia sampai...

“Sivia?”

***

2 komentar:

  1. Directioner ya?? Swifty juga ya?? 5SOSFAM juga? BTW tentang one direction udah taj ya tentang keluarnya zayn dari one direction??

    BalasHapus
  2. iya zayn udah keluar dari 1D...

    BalasHapus