But
We Have To Say ‘Good Bye’
“Can’t
believe you’re packing your bags
Trying
so hard not to cry
Had
the best time and now it’s the worst time
But
we have to say goodbye”
Saat Taylor membuka jendela di kamarnya, ponselnya bergetar
pertanda ada pesan masuk. Taylor mengambil ponselnya dan ketika ia membaca
pesan dari Ele, gadis itu tidak bisa berhenti untuk tersenyum. Tentu saja ia
merasa senang karena sahabatnya itu sedang hamil dan baru-baru ini disadari
oleh Ele. Sebulan yang lalu mereka sudah balik ke London dan memulai kehidupan
baru mereka. Taylor tentunya tidak boleh merasa sedih karena Louis masih belum
benar-benar pergi dari hatinya. Bayangan Louis masih menari-nari dipikirannya
dan ia masih memimpikan Louis walau tidak sesering dulu.
Sekarang
Ele tinggal di rumah Louis yang letaknya cukup jauh dari rumah lamanya dan
mungkin butuh waktu satu jam bagi Taylor untuk bisa sampai di rumah baru Ele.
Sudah tiga kali ia mengunjungi Ele saat sahabatnya itu kembali dari Paris. Kata
Ele, Paris sangatlah indah dan begitu romantis. Ele juga sempat berfoto dengan
Louis di sekitar menara Eiffel. Taylor menghela nafas panjang saat mengingat
cerita bahagia yang diceritakan oleh Ele.
Gadis
itu berjalan sambil menatap wajahnya di depan cermin. Ia merasa wajahnya di
cermin tidak sesuai dengan umurnya sekarang. Taylor merasa wajahnya itu sudah
tampak tua karena mungkin banyak masalah yang didapatinya. Terutama mengenai
soal pernikahannya suatu hari nanti dan siapa kira-kira pendamping hidupnya
kelak. Akhir-akhir ini Ayahnya mulai kasar dengannya karena ia belum juga
mempunyai seorang kekasih, sementara Ibunya diam saja jika Ayahnya marah
padanya.
Ketakutan
Taylor semakin menjadi-jadi. Ia sangat takut jika Ayahnya yang kasar itu akan
menjodohkannya dengan pria asing dan ia akan hidup sengsara untuk
selama-lamanya. Taylor yakin sekali jika ia sudah menikah, pasti suaminya tidak
akan betah tinggal dengannya karena ia merasa ia bukanlah figur istri sekaligus
Ibu yang baik dan ujung-ujungnya meminta cerai.
Setelah
mandi dan merasa kalau dirinya sudah rapi, Taylor berjalan menuju ruang tamu.
Ia mendengus kesal tatkala melihat kebahaiaan Ayah, Ibu dan kakak laki-lakinya
yang sedang memangku anaknya yang kira-kira berumur tiga tahun. Tumben kakak
laki-lakinya yang bernama Dylan mengajak istrinya datang ke rumah ini.
Sepertinya ia ingin menangis. Alangkah bahagianya mereka sementara ia? Itulah
sebab Ayahnya ingin menyuruhnya cepat-cepat mencari seorang kekasih agar
hidupnya tidak menggenaskan seperti ini. Tapi Taylor merasa dirinya baik-baik
saja.
“Nah
itu Taylor! Ayo sini sayang!” Seru Ibunya.
Terpaksa
Taylor berjalan mendekati Ibunya dan berusaha untuk tidak menatap wajah Ayahnya
yang baginya begitu mengerikan. Tapi ia sempat bertatapan dengan Dylan dan
istri Dylan yang wajahnya sangat cantik dan putih. Dan Taylor tersenyum saat
melihat Luke yang adalah anak dari kakaknya itu. Luke sangatlah lucu dan
menggemaskan.
“Taylor
sudah besar ya. Kakak kangen sekali sama kamu. Kata Mama, kamu masih single ya?
Kebetulan kakak punya teman dan saat kakak memberi fotomu ke teman kakak itu,
sepertinya teman kakak tertarik denganmu.” Kata Dylan.
Taylor
tersenyum sinis lalu menjawab. “Tidak terimakasih. Aku sudah memutuskan untuk
tidak akan menikah dengan lelaki manapun.”
Tentu
saja Ayahnya marah mendengar ucapan Taylor yang terdengar tidak sopan. Padahal
kakaknya tadi bicaranya sopan sekali. “Taylor! Sekali lagi kau bicara seperti
itu, tak segan-segan Ayah segera menikahkanmu dan Ayah tidak peduli apa kau
menyukai lelaki itu!” Bentaknya.
Nyali
Taylor langsung menciut saat menerima bentakan kasar dari Ayahnya. Ia ingin
sekali menangis tapi sebisa mungkin ia menahan air matanya agar tidak turun
membahasi pipinya. Kenapa Ayahnya tidak mau mengertikan dirinya? Kenapa Ayahnya
egois sekali? Meski Ayahnya benar dan ia salah, tapi kenapa Ayahnya tidak mau
menerima keputusannya untuk tidak akan menikah dengan lelaki siapapun?
Ponselnya
bergetar lagi. Kali ini pesan dari Harry. Katanya, sekarang ini juga ia harus
datang ke rumah Selena. Disana sudah ada Ele dan Niall. Dan entah mengapa
perasaannya menjadi tidak enak. Sebelum pergi, Taylor menatap tajam Ayahnya dan
siap membalas bentakan Ayahnya.
“Ini
hidup Taylor, bukan hidup Ayah! Terserah Taylor mau memutuskan apa yang Taylor
inginkan dan Ayah tidak boleh ikut campur! Apalagi mengatur-ngatur hidup
Taylor!” Bentaknya lalu berlari meninggalkan rumahnya sambil menangis.
Ibunya
berusaha menenangkan Ayahnya yang benar-benar sudah sangat marah. Lalu Ayahnya
merasa dada kirinya terasa nyeri. Ayahnya memang sudah lama terkena penyakit
jantung dan Taylor belum mengetahui tentang itu.
***
Taylor
mengendarai motornya dengan penuh emosi dan air mata yang tadi ditahannya itu
akhirnya keluar sekarang. Gadis itu tidak peduli kalau seandainya ada kendaraan
yang menabraknya karena ia tidak konsen mengendarai motor. Sebenarnya rumah
Selena tidak jauh dari rumahnya, hanya saja karena Selena pindah rumah dan ia
tidak bisa lagi berjalan kaki jika ingin pergi ke rumah Selena.
Setelah
sampai di rumah Selena, Taylor memarkir motornya dengan asal dan langsung masuk
ke dalam rumah Selena tanpa mengucap salam terlebih dahulu. Tentu saja Ele,
Niall dan Harry yang saat itu sedang berada di ruang tamu langsung kaget saat
mendapati keadaan Taylor yang menyedihkan. Sementara Selena masih ada di
kamarnya.
“Tay!
Kau kenapa?” Tanya Ele panik.
“Aku..
Aku tadi kelahi dengan Ayahku dan..” Ucap Taylor sambil menangis. Ele menyuruh
Taylor untuk duduk di sofa dan menceritakan kejadian apa yang barusan terjadi
padanya.
“Coba
jelaskan kenapa kamu bisa kelahi sama Ayahmu.” Pinta Ele.
Sejenak
Taylor terdiam, lalu ia bicara. “Ayahku memaksaku untuk segera mempunyai pacar
dan menikah. Tapi aku tidak mau El, aku bersumpah untuk tidak akan menikah dan
Ayahku marah mendengarnya.” Ucapnya.
Ele
menghela nafas panjang. Ia begitu merasa kasihan dengan Taylor. Begitu pula
dengan Harry dan Niall. Dua lelaki itu menunduk sedih saat mendengar penjelasan
Taylor yang tentu saja bisa membuat hati Ayah Taylor sakit. Tentu Ayah Taylor
tidak ingin putrinya menjadi perawan tua untuk selama-lamanya.
“Tay,
Ayahmu benar dan kenapa kamu tidak mau menikah? Apa karena Louis?” Tanya Ele
hati-hati.
“Aku
tidak tau El yang jelas aku tidak mau menikah.” Jawab Taylor.
Sekarang
ini saja Taylor sudah sangat sedih. Apalagi saat mendengar berita tentang
Selena yang sebentar lagi akan pindah ke New York. Karena itulah Selena
menyuruh Taylor dan lainnya berkumpul di rumahnya hari ini juga hanya untuk
mengucapkan kata perpisahan. Orangtua Selenalah yang menyuruh Selena untuk
pindah ke New York padahal Selena menolaknya mentah-mentah. Ia sudah betah
tinggal di London dan tentu saja tidak mau pindah ke New York.
Baik
Ele, Niall maupun Harry, mereka takut jika Taylor mendengar berita sedih ini.
Mereka yakin sekali Taylor akan lebih sedih lagi dibanding sebelumnya.
Kemudian, Selena datang sambil memasang senyum palsu, lalu gadis itu tiba-tiba
menjadi kaget saat melihat Taylor yang tengah menangis. Apa Taylor sudah tau?
Batinnya.
“Harr,
apa Taylor sudah tau?” Bisik Selena.
“Belum.
Taylor menangis karena Ayahnya.” Jawab Harry.
Selena
tau kalau belakang-belakangan ini Taylor sering kelahi dengan Ayahnya. Taylor
memang susah sekali akur dengan Ayahnya karena keduanya sama-sama keras kepala
dan tidak ada yang mau mengalah.
“Tay..”
Lirih Selena. Gadis itu berjalan mendekati Taylor.
Taylor
mengangkat kepalanya. “Apa? Kau mau kemana?” Tanyanya. Sepertinya Taylor sadar
kalau pagi ini Selena terlihat rapi dan tidak seperti biasanya.
Jujur
saja, Selena terlalu lemah untuk menjelaskan pada Tayor kalau sebenarnya ia
akan pindah ke New York, hari ini juga. Selena tidak ingin berpisah dengan
Taylor, Ele, Harry dan Niall. Terutama dengan Taylor karena ia yang paling
dekat dengan Taylor. Tiba-tiba, Ibunya datang sambil tersenyum.
“Kalian
sudah nangis-nangisan? Maafkan tante. Sebenarnya ini bukan keinginan tante.
Tapi keinginan Ayah Selena dan keluarga Selena yang ada di New York.” Ucap Ibu
Selena.
Mendengar
ucapan Ibu Selena yang terdengar ganjil, Taylor langsung bertanya. “Memangnya
ada apa tan? Selena mau kemana?” Tanyanya bingung.
Akhirnya
Selena yang menjawab pertanyaan Taylor dengan jujur. “Tay, maafkan aku. Tapi
pagi ini juga aku harus pindah ke New York dan tinggal disana untuk
selama-lamanya.”
Sejenak,
Taylor terdiam seperti merasa baik-baik saja mendengar jawaban Selena. Selena
pindah ke New York dan akan tinggal disana untuk selama-lamanya? Taylor mencoba
untuk baik-baik saja dan berusaha agar kesedihannya tidak lagi bertambah.
“Kau
tidak apa-apa Tay?” Tanya Ele takut.
Tiba-tiba
saja Taylor berdiri dan ia menatap tajam ke arah Selena dengan jumlah air mata
yang lebih banyak dari sebelumnya. Wajah Taylor terlihat mengerikan dan Selena
tidak berani menatap wajah itu.
“Katakan
Sel kalau ucapanmu tadi cuma bohongan!” Bentaknya.
“Taylor..”
Lirih Ele yang sepertinya ingin menangis.
Sementara
Selena, gadis itu terdiam sambil menunduk. Jika ia menjelaskan lebih dalam
lagi, semuanya akan bertambah buruk dan wajah Taylor akan semakin mengerikan
lagi. Kemudian, Ayahnya datang sambil mendekatinya.
“Maafkan
om. Tapi inilah yang terbaik buat Selena.” Ucapnya.
Taylor
benar-benar menangis sekaligus sangat marah. Tapi ia sadar. Selena mempunyai
kehidupan sendiri dan ia tidak bisa mengaturnya. Sama seperti Ayahnya yang
tidak bisa mengatur hidupnya karena ia juga mempunyai kehidupan sendiri. Gadis
itu pun duduk lalu menangis dipelukan Ele.
“Tay,
tolong jangan menangis. Walaupun Selena sudah tidak tinggal di London lagi,
tapi kita tetap bisa menghubunginya lewat telepon atau facebook.” Hibur Ele.
Akhirnya,
setelah selesai mengucapkan selamat tinggal dan peluk-pelukan, inilah saatnya
Selena pergi meninggalkan sahabat-sahabat yang sangat mencintainya. Sungguh,
begitu berat meninggalkan Taylor, Ele, Harry dan Niall. Pasti ia akan kangen
berat dengan keusilan Taylor, tawa Niall yang lucu, senyum manis Harry dan
sikap Ele yang baginya begitu dewasa.
Mobilnya
pun mulai melaju secara perlahan yang memisahkan jarak antara dirinya dengan
sahabat-sahabatnya itu. Di dalam mobil, Selena menangis dan ia berjanji ini
adalah tangisan terakhirnya. Jika bukan karena Ayah atau Ibunya, Selena tidak
akan meninggalkan London dan juga sahabat-sahabat yang sudah sangat lama
bersamanya. Selena merasa, separuh nyawanya telah hilang dan ia merasa tidak
memiliki semangat untuk menjalankan kehidupannya yang baru. Tapi Selena percaya
bahwa Tuhan akan memberikan yang terbaik untuknya. Siapa tau di New York nanti
ia akan menemukan hal-hal baru yang tidak pernah ditemuinya.
Setelah
mobil Selena menghilang, Ele bersusah payah untuk menghibur Taylor walau
rasanya sangat sulit. Apalagi ia sedang hamil dan harus berhati-hati.
Sedaritadi, hanya ia saja yang menghibur Taylor sementara Harry dan Niall diam
saja.
“Selena
jahat! Selena jahat!” Ucap Taylor.
“Sudahlah
Tay, Selena melakukan ini semua demi masa depannya. Dia tidak akan pernah
melupakanmu.” Ucap Ele.
“Benar
Tay.” Kali ini Harry yang bicara. “Persahabatan bukanlah setiap hari harus
berkumpul bersama. Bisa saja kita bersahabat dengan seseorang yang jaraknya
jauh dari kita asalkan kita benar-benar menganggap seseorang itu sebagai
sahabat sejati kita. Selena tidak jahat padamu, dia sangat menyayangimu.
Seharusnya kau mengerti dengan keadaannya dan bukan malah melarangnya untuk
pergi ke New York. Kau kan pernah bilang kalau masing-masing orang mempunyai
kehidupannya sendiri. Begitu pula dengan Selena.” Ucapnya panjang lebar dan
berharap agar Taylor mengerti.
Namun
Taylor tidak mempedulikan ucapan Harry maupun Ele. Gadis itu semakin
menjadi-jadi dan Ele tidak tahan melihat keadaan Taylor. Ia begitu lelah
menghadapi sahabatnya itu. Ia bertanya dalam hatinya, mengapa sampai sekarang
Taylor belum juga dewasa? Gadis itu sudah berumur dua puluh empat tahun dan
sebentar lagi mencapai dua puluh lima tahun.
“Ku
mohon Tay, ini demi aku, Selena, Harry dan Niall. Ku mohon bersikaplah seperti
layaknya orang dewasa. Aku tidak bisa melihatmu menangis seperti ini. Masih ada
aku, Harry dan Niall dan kami tidak akan pernah meninggalkanmu.” Ucap Ele.
“Masih
ada kalian?” Tanya Taylor sambil menatap tajam Ele. “Kau sudah bahagia bersama
Louis dan sebentar lagi Harry dan Niall menikah. Aku tidak ingin dinomor duakan
oleh kalian. Oke, mungkin kalian menganggap aku ini seperti anak kecil. Tapi
apa salahnya berharap seperti itu? Aku tau El kau pasti lebih mencintai Louis
dibanding aku, ya kan?”
“Taylor..”
Lirih Ele lalu tiba-tiba ia merasakan kesakitan di perutnya. Ele ingat saat
pertama kali memeriksakan diri di rumah sakit. Kata dokter, kandungannya cukup
lemah dan ia harus menjaganya sebaik mungkin. Jika ia sedikit saja marah atau
bersedih, tentu akan berpengaruh denga bayi yang dikandungnya itu. Dan sekarang
ini Ele sudah melanggar pesan dokter dan ia merintih kesakitan. Tapi Ele
berusaha untuk tenang dan tidak merepotkan sahabat-sahabatnya itu.
Niall
dan Harry yang sudah dipesan Louis untuk menjaga Ele dengan baik menjadi
waspada. Mereka takut jika terjadi sesuatu pada Ele dan bayi Ele. Sementara
Taylor cuek dengan keadaan Ele dan sama sekali tidak merasa kasihan.
“Yel,
kau antar Ele pulang. Ini pakai mobilku. Biar aku yang urus Taylor.” Kata Harry
sambil member kunci mobilnya ke Niall.
“Thanks
Harr, semoga keadaan Ele baik-baik saja.” Kata Niall sambil membantu Ele berdiri
lalu menuntut Ele sampai masuk di mobil Harry.
Setelah
Niall dan Ele pergi, Harry mulai bingung. Kini, hanya ia dan Taylor saja yang
ada di tempat ini. Entah mengapa suasanya berubah menjadi kaku. Tapi tangisan
Taylor masih bisa ia dengar walau tidak seburuk tadi.
“Aku
benci hidupku ini! Benci!” Ucap Taylor.
“Sudahlah
Tay, jangan berpikir seperti itu. Kau harus bersyukur dengan hidupmu yang
sekarang ini. Kau masih mempunyai Ibu, Ayah, kakak laki-lakimu, Ele, Niall,
Selena dan juga aku. Coba kau lihat mereka yang hidup sebatang kara di pinggir
jalan. Mereka ingin sekali menjadi sepertimu. Mereka ingin mempunyai orangtua
yang sangat menyayanyimu dan sahabat-sahabat yang selalu ada untukmu. Jadi
jangan pernah membenci hidupmu ini.” Ucap Harry.
Mendengar
penjelasan Harry yang dapat membuat dadanya sesak, Taylor langsung menangis di
pelukan Harry. Ucapan Harry tadi ada benarnya. Seharusnya ia bersyukur karena
masih mempunyai Ayah dan Ibu walau ia sering kelahi dengan Ayahnya.
“Iya,
aku tau. Tapi aku sangat membenci Ayahku.” Ucapnya.
Seandainya
Taylor tidak menangis, mungkin gadis itu bisa mendengar detakan jantungnya yang
berpacu dengan cepat. Dan Harry memberanikan diri untuk membelai rambut gadis
itu agar gadis itu bisa tenang dan mulai belajar untuk bersikap dewasa.
“Ayahmu
benar Tay, kau yang salah. Ayahmu begitu mencintaimu dan dia ingin kau bahagia.
Ayahmu ingin kau mempunyai seorang kekasih lalu menikah. Ingat Tay, kau
satu-satunya anak perempuan Ayahmu. Walau Ayahmu sudah memiliki cucu, bukan
berarti dia menyetujui keinginanmu untuk tidak menikah. Kau harus menikah Tay
agar kau mempunyai keturunan.” Jelas Harry.
“Tapi..
Tapi aku tidak mau menikah Harr! Aku membenci laki-laki dan aku tidak akan bisa
lagi jatuh cinta dengan lelaki manapun!”
“Kau
pasti bisa, percayalah.” Kata Harry.
Harry
ragu kalau alasan Taylor untuk tidak lagi mencintai lelaki manapun yaitu karena
Louis. Jika seandainya Taylor tidak mengenal Louis, pasti ceritanya akan
berbeda. Namun Tuhan sudah menakdirkan gadis itu untuk bertemu dengan Louis dan
jatuh cinta dengan Louis walau ujung-ujungnya menyakitkan.
“Aku
antar pulang saja yuk. Pasti Ibumu khawatir denganmu.” Kata Harry.
Namun
Taylor malah menggeleng. “Aku tidak mau balik ke rumah. Aku tidak berani
bertemu Ayah dan Mas Dylan.” Jawabnya.
Tiba-tiba
Harry mendapatkan ide. “Kalau begitu ke toko rotiku aja. Disana ada Ibuku dan
Gemma.” Ucapnya dan diangguki Taylor.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar