expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Sabtu, 07 Februari 2015

Friendship ( Part 14 )



But We Have To Say ‘Good Bye’

“Can’t believe you’re packing your bags
Trying so hard not to cry
Had the best time and now it’s the worst time
But we have to say goodbye”


Saat Taylor membuka jendela di kamarnya, ponselnya bergetar pertanda ada pesan masuk. Taylor mengambil ponselnya dan ketika ia membaca pesan dari Ele, gadis itu tidak bisa berhenti untuk tersenyum. Tentu saja ia merasa senang karena sahabatnya itu sedang hamil dan baru-baru ini disadari oleh Ele. Sebulan yang lalu mereka sudah balik ke London dan memulai kehidupan baru mereka. Taylor tentunya tidak boleh merasa sedih karena Louis masih belum benar-benar pergi dari hatinya. Bayangan Louis masih menari-nari dipikirannya dan ia masih memimpikan Louis walau tidak sesering dulu.

            Sekarang Ele tinggal di rumah Louis yang letaknya cukup jauh dari rumah lamanya dan mungkin butuh waktu satu jam bagi Taylor untuk bisa sampai di rumah baru Ele. Sudah tiga kali ia mengunjungi Ele saat sahabatnya itu kembali dari Paris. Kata Ele, Paris sangatlah indah dan begitu romantis. Ele juga sempat berfoto dengan Louis di sekitar menara Eiffel. Taylor menghela nafas panjang saat mengingat cerita bahagia yang diceritakan oleh Ele.

            Gadis itu berjalan sambil menatap wajahnya di depan cermin. Ia merasa wajahnya di cermin tidak sesuai dengan umurnya sekarang. Taylor merasa wajahnya itu sudah tampak tua karena mungkin banyak masalah yang didapatinya. Terutama mengenai soal pernikahannya suatu hari nanti dan siapa kira-kira pendamping hidupnya kelak. Akhir-akhir ini Ayahnya mulai kasar dengannya karena ia belum juga mempunyai seorang kekasih, sementara Ibunya diam saja jika Ayahnya marah padanya.

            Ketakutan Taylor semakin menjadi-jadi. Ia sangat takut jika Ayahnya yang kasar itu akan menjodohkannya dengan pria asing dan ia akan hidup sengsara untuk selama-lamanya. Taylor yakin sekali jika ia sudah menikah, pasti suaminya tidak akan betah tinggal dengannya karena ia merasa ia bukanlah figur istri sekaligus Ibu yang baik dan ujung-ujungnya meminta cerai.

            Setelah mandi dan merasa kalau dirinya sudah rapi, Taylor berjalan menuju ruang tamu. Ia mendengus kesal tatkala melihat kebahaiaan Ayah, Ibu dan kakak laki-lakinya yang sedang memangku anaknya yang kira-kira berumur tiga tahun. Tumben kakak laki-lakinya yang bernama Dylan mengajak istrinya datang ke rumah ini. Sepertinya ia ingin menangis. Alangkah bahagianya mereka sementara ia? Itulah sebab Ayahnya ingin menyuruhnya cepat-cepat mencari seorang kekasih agar hidupnya tidak menggenaskan seperti ini. Tapi Taylor merasa dirinya baik-baik saja.

            “Nah itu Taylor! Ayo sini sayang!” Seru Ibunya.

            Terpaksa Taylor berjalan mendekati Ibunya dan berusaha untuk tidak menatap wajah Ayahnya yang baginya begitu mengerikan. Tapi ia sempat bertatapan dengan Dylan dan istri Dylan yang wajahnya sangat cantik dan putih. Dan Taylor tersenyum saat melihat Luke yang adalah anak dari kakaknya itu. Luke sangatlah lucu dan menggemaskan.

            “Taylor sudah besar ya. Kakak kangen sekali sama kamu. Kata Mama, kamu masih single ya? Kebetulan kakak punya teman dan saat kakak memberi fotomu ke teman kakak itu, sepertinya teman kakak tertarik denganmu.” Kata Dylan.

            Taylor tersenyum sinis lalu menjawab. “Tidak terimakasih. Aku sudah memutuskan untuk tidak akan menikah dengan lelaki manapun.”

            Tentu saja Ayahnya marah mendengar ucapan Taylor yang terdengar tidak sopan. Padahal kakaknya tadi bicaranya sopan sekali. “Taylor! Sekali lagi kau bicara seperti itu, tak segan-segan Ayah segera menikahkanmu dan Ayah tidak peduli apa kau menyukai lelaki itu!” Bentaknya.

            Nyali Taylor langsung menciut saat menerima bentakan kasar dari Ayahnya. Ia ingin sekali menangis tapi sebisa mungkin ia menahan air matanya agar tidak turun membahasi pipinya. Kenapa Ayahnya tidak mau mengertikan dirinya? Kenapa Ayahnya egois sekali? Meski Ayahnya benar dan ia salah, tapi kenapa Ayahnya tidak mau menerima keputusannya untuk tidak akan menikah dengan lelaki siapapun?

            Ponselnya bergetar lagi. Kali ini pesan dari Harry. Katanya, sekarang ini juga ia harus datang ke rumah Selena. Disana sudah ada Ele dan Niall. Dan entah mengapa perasaannya menjadi tidak enak. Sebelum pergi, Taylor menatap tajam Ayahnya dan siap membalas bentakan Ayahnya.

            “Ini hidup Taylor, bukan hidup Ayah! Terserah Taylor mau memutuskan apa yang Taylor inginkan dan Ayah tidak boleh ikut campur! Apalagi mengatur-ngatur hidup Taylor!” Bentaknya lalu berlari meninggalkan rumahnya sambil menangis.

            Ibunya berusaha menenangkan Ayahnya yang benar-benar sudah sangat marah. Lalu Ayahnya merasa dada kirinya terasa nyeri. Ayahnya memang sudah lama terkena penyakit jantung dan Taylor belum mengetahui tentang itu.

***

            Taylor mengendarai motornya dengan penuh emosi dan air mata yang tadi ditahannya itu akhirnya keluar sekarang. Gadis itu tidak peduli kalau seandainya ada kendaraan yang menabraknya karena ia tidak konsen mengendarai motor. Sebenarnya rumah Selena tidak jauh dari rumahnya, hanya saja karena Selena pindah rumah dan ia tidak bisa lagi berjalan kaki jika ingin pergi ke rumah Selena.

            Setelah sampai di rumah Selena, Taylor memarkir motornya dengan asal dan langsung masuk ke dalam rumah Selena tanpa mengucap salam terlebih dahulu. Tentu saja Ele, Niall dan Harry yang saat itu sedang berada di ruang tamu langsung kaget saat mendapati keadaan Taylor yang menyedihkan. Sementara Selena masih ada di kamarnya.

            “Tay! Kau kenapa?” Tanya Ele panik.

            “Aku.. Aku tadi kelahi dengan Ayahku dan..” Ucap Taylor sambil menangis. Ele menyuruh Taylor untuk duduk di sofa dan menceritakan kejadian apa yang barusan terjadi padanya.

            “Coba jelaskan kenapa kamu bisa kelahi sama Ayahmu.” Pinta Ele.

            Sejenak Taylor terdiam, lalu ia bicara. “Ayahku memaksaku untuk segera mempunyai pacar dan menikah. Tapi aku tidak mau El, aku bersumpah untuk tidak akan menikah dan Ayahku marah mendengarnya.” Ucapnya.

            Ele menghela nafas panjang. Ia begitu merasa kasihan dengan Taylor. Begitu pula dengan Harry dan Niall. Dua lelaki itu menunduk sedih saat mendengar penjelasan Taylor yang tentu saja bisa membuat hati Ayah Taylor sakit. Tentu Ayah Taylor tidak ingin putrinya menjadi perawan tua untuk selama-lamanya.

            “Tay, Ayahmu benar dan kenapa kamu tidak mau menikah? Apa karena Louis?” Tanya Ele hati-hati.

            “Aku tidak tau El yang jelas aku tidak mau menikah.” Jawab Taylor.

            Sekarang ini saja Taylor sudah sangat sedih. Apalagi saat mendengar berita tentang Selena yang sebentar lagi akan pindah ke New York. Karena itulah Selena menyuruh Taylor dan lainnya berkumpul di rumahnya hari ini juga hanya untuk mengucapkan kata perpisahan. Orangtua Selenalah yang menyuruh Selena untuk pindah ke New York padahal Selena menolaknya mentah-mentah. Ia sudah betah tinggal di London dan tentu saja tidak mau pindah ke New York.

            Baik Ele, Niall maupun Harry, mereka takut jika Taylor mendengar berita sedih ini. Mereka yakin sekali Taylor akan lebih sedih lagi dibanding sebelumnya. Kemudian, Selena datang sambil memasang senyum palsu, lalu gadis itu tiba-tiba menjadi kaget saat melihat Taylor yang tengah menangis. Apa Taylor sudah tau? Batinnya.

            “Harr, apa Taylor sudah tau?” Bisik Selena.

            “Belum. Taylor menangis karena Ayahnya.” Jawab Harry.

            Selena tau kalau belakang-belakangan ini Taylor sering kelahi dengan Ayahnya. Taylor memang susah sekali akur dengan Ayahnya karena keduanya sama-sama keras kepala dan tidak ada yang mau mengalah.

            “Tay..” Lirih Selena. Gadis itu berjalan mendekati Taylor.

            Taylor mengangkat kepalanya. “Apa? Kau mau kemana?” Tanyanya. Sepertinya Taylor sadar kalau pagi ini Selena terlihat rapi dan tidak seperti biasanya.

            Jujur saja, Selena terlalu lemah untuk menjelaskan pada Tayor kalau sebenarnya ia akan pindah ke New York, hari ini juga. Selena tidak ingin berpisah dengan Taylor, Ele, Harry dan Niall. Terutama dengan Taylor karena ia yang paling dekat dengan Taylor. Tiba-tiba, Ibunya datang sambil tersenyum.

            “Kalian sudah nangis-nangisan? Maafkan tante. Sebenarnya ini bukan keinginan tante. Tapi keinginan Ayah Selena dan keluarga Selena yang ada di New York.” Ucap Ibu Selena.

            Mendengar ucapan Ibu Selena yang terdengar ganjil, Taylor langsung bertanya. “Memangnya ada apa tan? Selena mau kemana?” Tanyanya bingung.

            Akhirnya Selena yang menjawab pertanyaan Taylor dengan jujur. “Tay, maafkan aku. Tapi pagi ini juga aku harus pindah ke New York dan tinggal disana untuk selama-lamanya.”

            Sejenak, Taylor terdiam seperti merasa baik-baik saja mendengar jawaban Selena. Selena pindah ke New York dan akan tinggal disana untuk selama-lamanya? Taylor mencoba untuk baik-baik saja dan berusaha agar kesedihannya tidak lagi bertambah.

            “Kau tidak apa-apa Tay?” Tanya Ele takut.

            Tiba-tiba saja Taylor berdiri dan ia menatap tajam ke arah Selena dengan jumlah air mata yang lebih banyak dari sebelumnya. Wajah Taylor terlihat mengerikan dan Selena tidak berani menatap wajah itu.

            “Katakan Sel kalau ucapanmu tadi cuma bohongan!” Bentaknya.

            “Taylor..” Lirih Ele yang sepertinya ingin menangis.

            Sementara Selena, gadis itu terdiam sambil menunduk. Jika ia menjelaskan lebih dalam lagi, semuanya akan bertambah buruk dan wajah Taylor akan semakin mengerikan lagi. Kemudian, Ayahnya datang sambil mendekatinya.

            “Maafkan om. Tapi inilah yang terbaik buat Selena.” Ucapnya.

            Taylor benar-benar menangis sekaligus sangat marah. Tapi ia sadar. Selena mempunyai kehidupan sendiri dan ia tidak bisa mengaturnya. Sama seperti Ayahnya yang tidak bisa mengatur hidupnya karena ia juga mempunyai kehidupan sendiri. Gadis itu pun duduk lalu menangis dipelukan Ele.

            “Tay, tolong jangan menangis. Walaupun Selena sudah tidak tinggal di London lagi, tapi kita tetap bisa menghubunginya lewat telepon atau facebook.” Hibur Ele.

            Akhirnya, setelah selesai mengucapkan selamat tinggal dan peluk-pelukan, inilah saatnya Selena pergi meninggalkan sahabat-sahabat yang sangat mencintainya. Sungguh, begitu berat meninggalkan Taylor, Ele, Harry dan Niall. Pasti ia akan kangen berat dengan keusilan Taylor, tawa Niall yang lucu, senyum manis Harry dan sikap Ele yang baginya begitu dewasa.

            Mobilnya pun mulai melaju secara perlahan yang memisahkan jarak antara dirinya dengan sahabat-sahabatnya itu. Di dalam mobil, Selena menangis dan ia berjanji ini adalah tangisan terakhirnya. Jika bukan karena Ayah atau Ibunya, Selena tidak akan meninggalkan London dan juga sahabat-sahabat yang sudah sangat lama bersamanya. Selena merasa, separuh nyawanya telah hilang dan ia merasa tidak memiliki semangat untuk menjalankan kehidupannya yang baru. Tapi Selena percaya bahwa Tuhan akan memberikan yang terbaik untuknya. Siapa tau di New York nanti ia akan menemukan hal-hal baru yang tidak pernah ditemuinya.

            Setelah mobil Selena menghilang, Ele bersusah payah untuk menghibur Taylor walau rasanya sangat sulit. Apalagi ia sedang hamil dan harus berhati-hati. Sedaritadi, hanya ia saja yang menghibur Taylor sementara Harry dan Niall diam saja.

            “Selena jahat! Selena jahat!” Ucap Taylor.

            “Sudahlah Tay, Selena melakukan ini semua demi masa depannya. Dia tidak akan pernah melupakanmu.” Ucap Ele.

            “Benar Tay.” Kali ini Harry yang bicara. “Persahabatan bukanlah setiap hari harus berkumpul bersama. Bisa saja kita bersahabat dengan seseorang yang jaraknya jauh dari kita asalkan kita benar-benar menganggap seseorang itu sebagai sahabat sejati kita. Selena tidak jahat padamu, dia sangat menyayangimu. Seharusnya kau mengerti dengan keadaannya dan bukan malah melarangnya untuk pergi ke New York. Kau kan pernah bilang kalau masing-masing orang mempunyai kehidupannya sendiri. Begitu pula dengan Selena.” Ucapnya panjang lebar dan berharap agar Taylor mengerti.

            Namun Taylor tidak mempedulikan ucapan Harry maupun Ele. Gadis itu semakin menjadi-jadi dan Ele tidak tahan melihat keadaan Taylor. Ia begitu lelah menghadapi sahabatnya itu. Ia bertanya dalam hatinya, mengapa sampai sekarang Taylor belum juga dewasa? Gadis itu sudah berumur dua puluh empat tahun dan sebentar lagi mencapai dua puluh lima tahun.

            “Ku mohon Tay, ini demi aku, Selena, Harry dan Niall. Ku mohon bersikaplah seperti layaknya orang dewasa. Aku tidak bisa melihatmu menangis seperti ini. Masih ada aku, Harry dan Niall dan kami tidak akan pernah meninggalkanmu.” Ucap Ele.

            “Masih ada kalian?” Tanya Taylor sambil menatap tajam Ele. “Kau sudah bahagia bersama Louis dan sebentar lagi Harry dan Niall menikah. Aku tidak ingin dinomor duakan oleh kalian. Oke, mungkin kalian menganggap aku ini seperti anak kecil. Tapi apa salahnya berharap seperti itu? Aku tau El kau pasti lebih mencintai Louis dibanding aku, ya kan?”

            “Taylor..” Lirih Ele lalu tiba-tiba ia merasakan kesakitan di perutnya. Ele ingat saat pertama kali memeriksakan diri di rumah sakit. Kata dokter, kandungannya cukup lemah dan ia harus menjaganya sebaik mungkin. Jika ia sedikit saja marah atau bersedih, tentu akan berpengaruh denga bayi yang dikandungnya itu. Dan sekarang ini Ele sudah melanggar pesan dokter dan ia merintih kesakitan. Tapi Ele berusaha untuk tenang dan tidak merepotkan sahabat-sahabatnya itu.

            Niall dan Harry yang sudah dipesan Louis untuk menjaga Ele dengan baik menjadi waspada. Mereka takut jika terjadi sesuatu pada Ele dan bayi Ele. Sementara Taylor cuek dengan keadaan Ele dan sama sekali tidak merasa kasihan.

            “Yel, kau antar Ele pulang. Ini pakai mobilku. Biar aku yang urus Taylor.” Kata Harry sambil member kunci mobilnya ke Niall.

            “Thanks Harr, semoga keadaan Ele baik-baik saja.” Kata Niall sambil membantu Ele berdiri lalu menuntut Ele sampai masuk di mobil Harry.

            Setelah Niall dan Ele pergi, Harry mulai bingung. Kini, hanya ia dan Taylor saja yang ada di tempat ini. Entah mengapa suasanya berubah menjadi kaku. Tapi tangisan Taylor masih bisa ia dengar walau tidak seburuk tadi.

            “Aku benci hidupku ini! Benci!” Ucap Taylor.

            “Sudahlah Tay, jangan berpikir seperti itu. Kau harus bersyukur dengan hidupmu yang sekarang ini. Kau masih mempunyai Ibu, Ayah, kakak laki-lakimu, Ele, Niall, Selena dan juga aku. Coba kau lihat mereka yang hidup sebatang kara di pinggir jalan. Mereka ingin sekali menjadi sepertimu. Mereka ingin mempunyai orangtua yang sangat menyayanyimu dan sahabat-sahabat yang selalu ada untukmu. Jadi jangan pernah membenci hidupmu ini.” Ucap Harry.

            Mendengar penjelasan Harry yang dapat membuat dadanya sesak, Taylor langsung menangis di pelukan Harry. Ucapan Harry tadi ada benarnya. Seharusnya ia bersyukur karena masih mempunyai Ayah dan Ibu walau ia sering kelahi dengan Ayahnya.

            “Iya, aku tau. Tapi aku sangat membenci Ayahku.” Ucapnya.

            Seandainya Taylor tidak menangis, mungkin gadis itu bisa mendengar detakan jantungnya yang berpacu dengan cepat. Dan Harry memberanikan diri untuk membelai rambut gadis itu agar gadis itu bisa tenang dan mulai belajar untuk bersikap dewasa.

            “Ayahmu benar Tay, kau yang salah. Ayahmu begitu mencintaimu dan dia ingin kau bahagia. Ayahmu ingin kau mempunyai seorang kekasih lalu menikah. Ingat Tay, kau satu-satunya anak perempuan Ayahmu. Walau Ayahmu sudah memiliki cucu, bukan berarti dia menyetujui keinginanmu untuk tidak menikah. Kau harus menikah Tay agar kau mempunyai keturunan.” Jelas Harry.

            “Tapi.. Tapi aku tidak mau menikah Harr! Aku membenci laki-laki dan aku tidak akan bisa lagi jatuh cinta dengan lelaki manapun!”

            “Kau pasti bisa, percayalah.” Kata Harry.

            Harry ragu kalau alasan Taylor untuk tidak lagi mencintai lelaki manapun yaitu karena Louis. Jika seandainya Taylor tidak mengenal Louis, pasti ceritanya akan berbeda. Namun Tuhan sudah menakdirkan gadis itu untuk bertemu dengan Louis dan jatuh cinta dengan Louis walau ujung-ujungnya menyakitkan.

            “Aku antar pulang saja yuk. Pasti Ibumu khawatir denganmu.” Kata Harry.

            Namun Taylor malah menggeleng. “Aku tidak mau balik ke rumah. Aku tidak berani bertemu Ayah dan Mas Dylan.” Jawabnya.

            Tiba-tiba Harry mendapatkan ide. “Kalau begitu ke toko rotiku aja. Disana ada Ibuku dan Gemma.” Ucapnya dan diangguki Taylor.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar